“Selly ikut asistensi, saya tunggu di OK!” perintah sosok itu tegas kemudian dengan santainya melangkah meninggalkan Selly dan beberapa teman koasnya yang lain.
Selly masih terpaku di tempatnya berdiri sambil menatap kepergian laki-laki itu yang tengah melangkah ke OK yang ada di gedung sebelah lantai yang sama. Ia kemudian menatap teman-temannya satu persatu, kenapa dia lagi sih yang harus ikut masuk ke OK? Perasaan dari lima orang temannya yang saat ini koas di bagaian bedah, rekor Selly mengasistensi chief residen atau dokter bedah lebih banyak dibandingkan teman-temannya yang lain.
“Kok gue lagi sih?” desis Selly nelangsa.
“Sudah sono pergi, laris amat sih elu jadi asistensi?” cibir Yosi dengan muka penuh kemenangan, kalau asistensi yang lain dia masih oke, tapi kalau sosok itu ... ah seperti mimpi buruk! Dan tampaknya mimpi buruk itu menghampiri Selly.
“Cepetan siap-siap sono, ntar dia ngamuk berabe, Sel!” Dante mendorong Selly agar bergegas melangkah menuju OK, ia tahu betul tabiat dan kebiasaan sosok itu. Koas hampir empat minggu dibagian bedah membuat dia kenyang akan tingkah laku sosok ganteng bersorot tajam dan dingin itu.
“Gue belum sarapan!” rintih Selly pedih, menghadapi sosok itu dengan cadangan tenaga yang full saja terkadang bikin Selly lemas dan memucat, apalagi perut kosong! Ia berharap tidak pingsan di dalam sana nanti.
Namun bukannya iba, teman-temannya malah seolah bahagia dengan penderitaan yang harus Selly alami. Mereka dengan begitu semangat mendorong Selly sampai ke depan pintu OK. Mengasistensi sosok sokter Anggara Tanjaya itu artinya harus punya banyak stok sabar. Harus punya telinga kebal makian dan sindiran. Itulah yang membuat beberapa koas begitu menghindari momen di mana mereka harus mengasisteni sosok dingin satu itu, tapi sebagai koas yang sering diibaratkan dengan keset rumah sakit, mereka bisa apa sih kalau kemudian nama mereka yang dipilih sosok itu untuk ikut terjun ke OK bersamanya? Seperti apa yang Selly alami saat ini.
“Sialan, temen-temen nggak ada akhlak semua!” gerutu Selly begitu ia sudah melangkah masuk ke dalam OK.
Ia nampak menghela nafas panjang, kemudian dengan sedikit lesu melangkah ke ruang ganti guna membersihkan diri dan memakai baju OK-nya. Selly sedikit tertegun ketika di ruang ganti itu ia menemukan sosok itu tengah duduk dan memainkan ponselnya. Mata mereka bertemu sesaat, Selly tersenyum sambil menundukkan kepalanya sebagai tanda salam dan hormat.
“Cuci bersih-bersih, saya tunggu!” sosok itu sontak bangkit dan bergegas melangkah keluar.
Selly lega luar biasa, jujur ia selalu kikuk tiap ada sosok itu. Ia tidak nyaman dengan sikap cuek dan tatapan tajam yang dimiliki oleh dokter bedah satu itu. Selly melepas snelli-nya dan memasukkanya kedalam salah satu loker. Kemudian ia beralih untuk mengganti bajunya dengan baju khusus OK, mencuci tangannya bersih-bersih sambil mempersiapkan diri guna menghadapi sosok itu.
“Ayolah, be a good day, please!”
***
Anggara melangkah menuju ruang tiga, ruangan dimana ia harus melakukan laparatomi pada gadis belia yang mengidap apendisitis itu. Ia memang sengaja memilih Selly yang ia minta untuk mengasistensi dirinya pada operasi saat ini. Entah mengapa berada di dekat gadis itu membuat Anggara merasa sedikit aneh, dalam artian dia merasa lebih tenang dan bahagia.
Bahagia?
Anggara sendiri tidak paham dan tidak mengerti dengan apa yang ia rasakan ini, tapi jujur perasaan itu benar-benar sebuah perasaan bahagia. Sekali lagi di dalam lubuk hatinya itu ia merasa sedikit berdosa pada mendiang Diana. Ia sudah berjanji bukan bahwa hanya Diana yang akan selalu menghuni hatinya? Namun kenapa hanya karena kehadiran Selly, Anggara jadi mengingkari janjinya seperti ini?
Anggara benar-benar tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada dirinya ini. Benarkah ia jatuh cinta? Tapi kenapa harus dengan Selly? Anggara sendiri tidak mengerti, namun melihat dan menatap mata itu membuat Anggara yakin bahwa ia punya perasaan yang lain pada gadis itu, ia tertarik, suka dan jatuh cinta.
Jatuh cinta? Benarkan semua perasaan ini adalah cin-.
“Ang, kamu malah melamun?”
Anggara tersentak ketika kemudian siku itu menyenggol lengannya, ia menoleh dan mendapati Alfred, sejawatnya di bagian anestesi sudah berdiri dan siap dengan segala atributnya.
“Ah ... nggak apa-apa kok, ini mana pasiennya kok belum di dorong masuk?” Anggara berusaha menekan semua perasaan aneh dan perasaan bersalahnya pada mendiang Diana, ia harus fokus pada operasi yang harus ia tangani bukan?
“Tuh baru mau masuk!” guman Alfred sambil membetulkan posisi masker bedahnya.
Anggara hanya mengangguk sambil menghela nafas panjang, di saat yang sama sosok itu masuk ke dalam ruangan. Sudah lengkap dengan gown dan segala macam atributnya yang lain. Ahh ... bahkan hanya menatap mata itu saja kemudian mampu membuat Anggara berdegub tidak karuan. Benar-benar sial.
“Lho ikut gabung juga nih?” suara itu milik Adit, residen bedah semester empat yang sedang menjalani pendidikan spesialis di rumah sakit ini.
Tampak sosok itu hanya memgangguk pelan, kenapa Anggara tidak suka melihat kedekatan itu? Ia melirik dua orang yang kini tengah mengobrol dengan suara lirih, suara yang tidak bisa ia tangkap dengan kedua telingannya, memang apa yang sedang mereka bicarakan itu sih? Kenapa rasanya Anggara sangat ingin tahu?
“Ang, anestesi clear!” suara Alfred sekali lagi membuyarkan lamunan Anggara, ia sontak mengangguk dan memposisikan dirinya. Ia menarik nafas dalam-dalam, memejamkan mata sejenak guna menetralkan pikirannya dan membawa dirinya fokus pada apa yang ada di hadapannya itu.
“Anestesi,”
“Clear!”
“Peralatan,”
“Clear!”
“Koas,”
“Clear!”
“Residen,”
“Clear!”
Sekali lagi Anggara menghela nafas panjang, ia menyempatkan diri melirik Selly yang berdiri di belakang Adit yang untuk kali ini menjadi surgical asistennya. Sial, kenapa harus dekat dengan Adit sih? Ada apa di antara mereka? Anggara memejamkan matanya sejenak, kembali dengan susah payah mencoba fokus. Menghela nafas panjang kemudian dengan lantang berkata,
“Scalpel, please!”
***
“Lanjutkan!” suara Anggara terdengar sedikit menggelegar, membalikkan badannya lalu melepas handscoon yang berlumuran darah itu. Kepalanya mendadak pusing, tanpa banyak berkata-kata lagi ia pergi meninggalkan ruangan itu, membiarkan residen dan koasnya menyelesaikan bagian akhir dari operasi yang baru saja ia lakukan itu.
Anggara mencuci kembali tangannya sampai bersih, mengeringkannya lalu melangkah masuk ke ruang ganti. Ia mendengus kesal sambil memijit pelipisnya. Ia masih belum mengerti dengan diriya sendiri. Apakah ia benar-benar jatuh cinta? Tapi bagaimana dengan janjinya terhadap mendiang Diana? Apakah tidak termasuk sebuah dosa jika kemudian ia mengingkari janjinya ini?
Anggara menelungkupkan wajahnya di atas meja, kenapa harus seperti ini sih? Sekian lama ia bisa menahan diri dan mengabaikan semua gadis dan wanita yang berada di sekelilingnya, kenapa sekarang hanya karena gadis itu semuanya seolah sia-sia?
“Aku kenapa?”
Operasi sudah selesai, pasien sudah dipindah ke ruang pulih sadar untuk observasi lebih lanjut sebelum pasien bisa kembali ke bangsal rawat inapnya. Akhirnya selesai juga sesi menegangkan hari ini. Ikut asistensi di OK saja sudah sangat menegangkan, ditambah penata bedahnya adalah sosok dokter Anggara Tanjaya! Ruang operasi jadi makin horor macam ruang jenazah! Selly mencuci tangannya bersih-bersih, ia hendak melangkah keluar ketika kemudian Adit muncul dan mengekor di belakangnya. "Sel, udah makan?" tanya sosok itu sambil menjejerkan langkahnya di samping Selly. "Belum nih, Bang. Kenapa?" Selly mengerutkan keningnya, biasanya kalau kayak gini bentuk modus dari abang-abang residen pada para koas. "Temenin Abang makan yuk, Abang yang traktir kamu deh, yuk ah ... mau makan apa?" Selly tampak berpikir sejenak, sudah jam makan siang juga bukan? Rasanya tidak ada ruginya mengiyakan ajakan residen bedanya satu ini. Lumayan makan siang gratis.
Sudah waktunya pulang, tidak ada cito dan lain sebagainya, jadi Anggara sudah bisa langsung kembali kerumah. Ia sudah rindu dengan gadis kecilnya itu. Entah apa nanti yang ia ceritakan perihal kegiatannya di sekolah, yang jelas obat lelah dan letih Anggara cuma itu. Dengan santai ia melangkah menuju parkiran. Suasana poli rawat jalan sudah sepi, bangsal rawat inap yang ramai banyak orang berlalu-lalang, jam besuk sudah dibuka. Anggara tertegun ketika mendapati Honda Jazz putih itu masih terparkir di sebelah mobilnya. Sebuah senyum mengembang di wajah Anggara. Mobil itu bukan yang tadi pagi ia kendarai? Yang ia ganti ban belakangnya karena kempes? Sontak ia teringat dengan sang pemilik mobil, kenapa wajah itu terus terngiang di dalam pikiran Anggara? Anggara menghela nafas panjang, ia menggelengkan kepalanya sambil memijit pelipisnya dengan gemas. Ada apa dengan dirinya ini? Kenapa ia jadi seperti ini? Ia bergegas masuk ke dalam mobilnya sendiri. Tangannya me
"Papa sudah mandi?" tanya Felicia ketika ia melonggok ke dalam kamar sang papa. "Sudah Sayang, sini Papa pengen peluk kamu!" Anggara tersenyum, ia merentangkan kedua tangannya, bersiap untuk merengkuh tubuh itu kedalam pelukannya. Sontak Felicia berlari dan jatuh ke dalam pelukan sang papa, sebuah pelukan terhangat dalam hidupnya. Anggara merasa semua lelah dan letihnya sirna seketika ketika tubuh mungil ini bermanja-manja padanya seperti ini. "Papa capek nggak?" tanya Felicia sambil menatap manik mata sang papa. "Capek Papa hilang tiap lihat kamu, memang kenapa?" Angara membawa gadis itu dalam gendongannya. "Main ke mall yuk, Pa. Beli camilan buat besok ada acara di luar kelas," renggek Felicia manja. "Acara apa?" Anggara tampak mengerutkan keningnya. "Ahh ... masa lupa sih? Mau main ke itu sekolah anak-anak kurang beruntung, difabel namanya kalau nggak salah." Astaga, saking sibuknya dengan pekerjaan, Anggara sampai l
Anggara bergegas kembali melanjutkan belanjanya, ia sudah memasukkan beberapa camilan dan snack kesukaan anak-anak untuk besok dibawa Felicia kunjungan ke sekolah luar biasa. Beberapa cokelat dan susu UHT pun tak lepas dari bidikan Anggara, rasanya nanti ia perlu beli plastik untuk mengemas makanan-makanan kecil itu bukan? Ahh ... sebuah ide yang sangat mendadak sekali, semoga waktunya cukup untuk merealisasikannya. "Pah, makan es krim yuk! Pengan sundae-nya McD," renggek Felicia sambil memasang puppy eyes andalannya. "Boleh, bayar dulu ya tapi," Anggara tersenyum, apa sih yang tidak untuk gadis kesayangannya itu? Ia membawa trolley-nya ke kasir, hanya ada tiga pos kasir yang buka dari belasan pos kasir yang ada di hypermart itu membuat antrian sedikit panjang. Anggara menghela nafas, rasanya ia harus sedikit bersabar hingga kemudian bisa menyelesaikan kegiatan belanjanya ini. Felicia sibuk menyusun kotak-
"Sekalian saja, Mbak!" Anggara menyodorkan kembali debit card-nya kepada petugas kasir. "Eh ... Tunggu, Dokter ... Anda ....." "Sudah, jangan membantah!" Anggara memberi kode pada Selly untuk tidak protes, ia sendiri sudah menyusun plastik belanjanya di trolley. Selly menghela nafas panjang, sebanyak ini dan konsulennya yang bayar? Astaga, akan ada tragedi macam apa setelah ini? Ia yakin bahwa belanjaannya itu akan habis dua ratus ribu lebih. "Dokter sa-saya ...." "Sudah, saya ikhlas, jangan khawatir." Potong Anggara singkat. Kembali Selly hanya menghela nafas panjang, ia melirik Felicia yang sedang asyik dengan cokelat di tangannya itu. Belanjaannya sedang di hitung. Mulai dari pembalut, sabun cuci muka, body lotion dan tak lupa cemilan-cemilan serta mie instan yang jumlahnya lumayan banyak itu sudah menyentuh angka dua ratus lima puluh ribu, mampus! Tampak Selly garuk-garuk kepala, ia jadi tidak enak dengan sosok ko
"Saya dan Kevin satu alumni, saya beberapa kali main kerumah kamu, orangtua kita teman baik, kenapa saya nggak pernah melihat kamu?" tanya Anggara yang begitu penasaran.Selly menatap Anggara dengan tatapan tidak percaya, sedetik kemudian ia tersenyum dan menghela nafas panjang."Kalau Dokter satu angkatan dengan kakak saya, berarti benar Dokter tidak kenal atau tidak lihat saya, sejak kecil saya ikut Tante saya, karena beliau kehilangan suami dan anaknya sekaligus dalam sebuah kecelakaan. Beliau minta saya ikut bersamanya sebagai obat kesepian dan kepedihan atas tragedi yang menimpa keluarganya, Dokter."Anggara tampak mengangguk tanda mengerti, pantas dia sama sekali tidak pernah melihat sosok Selly ketika dulu mampir kerumah Kevin untuk sekedar belajar bersama ketika mau ujian blok atau persiapan diskusi ilmiah, jadi ceritanya seperti itu?"Jadi kamu ikut tantemu?" Anggara tampak mengulangi pertanyaannya itu, seo
"Terima kasih banyak untuk hari ini, Dokter. Sejak tadi pagi saya sudah sangat merepotkan," guman Selly kikuk, gimana nggak merepotkan? Tadi pagi dokter itu harus repot-repot mengganti ban mobilnya yang kempes, lalu membayar semua belanjaannya yang hampir tiga ratus ribu itu, kemudian masih mentraktir Selly makan es krim."Jangan sungkan, Sel. Orangtua kita teman baik, saya dan kakak mu teman dekat," Anggara mengentikan langkahnya, mereka sudah sampai di area parkir, "Saya antar dulu ke mobilmu, kamu parkir dimana?"Selly tersenyum penuh arti, lalu menganggukkan kepalanya perlahan. Mereka kembali melangkah menuju tempat parkiran Selly kembali suasana menjadi, tidak ada obrolan yang terjadi. Felicia pun masih asyik dengan kubik yang tadi Selly belikan di toko mainan."Sekali lagi terima kasih banyak, Dok." Selly bergegas membuka pintu mobil, memindahkan plastik belanjaannya ke dalam mobil."Sudah saya
Selly memarkirkan mobilnya di basement apartemen. Ia bergegas turun dan membawa plastik belanjaan miliknya. Lumayan kan ngirit sekian ratus ribu? Senyum Selly mengembang teringat bahwa sosok yang begitu ia takuti di rumah sakit itu ternyata memiliki sisi lain yang tidak Selly ketahui.Yang lebih mengejutkan lagi adalah Dokter Anggara ternyata kenal betul dengan keluarganya! Sayang sekali sejak kecil ia ikut tantenya, jadi ia tidak tahu bahwa Ko Kevin bahkan bersahabat dekat dengan sosok itu, orangtua mereka juga!Selly menekan kombinasi angka yang menjadi kunci apartemennya itu. Kombinasi yang hanya diketahui olehnya, Tante Suci, kedua orangtuanya dan tentu saja dua kakak laki-lakinya. Dibawanya masuk belanjaan itu dan diletakkannya di dekat pantry. Ia bergegas masuk ke dalam kamar. Rasanya lebih baik mandi terlebih dahulu, sudah cukup malam bukan?Pikiran Selly terus terbayang wajah tadi, wajah yang memiliki rahasia indah jika sang pemilik tersenyum bahkan tert