"Papa sudah mandi?" tanya Felicia ketika ia melonggok ke dalam kamar sang papa.
"Sudah Sayang, sini Papa pengen peluk kamu!" Anggara tersenyum, ia merentangkan kedua tangannya, bersiap untuk merengkuh tubuh itu kedalam pelukannya.
Sontak Felicia berlari dan jatuh ke dalam pelukan sang papa, sebuah pelukan terhangat dalam hidupnya. Anggara merasa semua lelah dan letihnya sirna seketika ketika tubuh mungil ini bermanja-manja padanya seperti ini.
"Papa capek nggak?" tanya Felicia sambil menatap manik mata sang papa.
"Capek Papa hilang tiap lihat kamu, memang kenapa?" Angara membawa gadis itu dalam gendongannya.
"Main ke mall yuk, Pa. Beli camilan buat besok ada acara di luar kelas," renggek Felicia manja.
"Acara apa?" Anggara tampak mengerutkan keningnya.
"Ahh ... masa lupa sih? Mau main ke itu sekolah anak-anak kurang beruntung, difabel namanya kalau nggak salah."
Astaga, saking sibuknya dengan pekerjaan, Anggara sampai lupa agenda sekolah gadis kecilnya itu. Ya ... sekolah Felicia memang akan mengadakan lawatan ke taman kanak-kanak anak-anak spesial dengan segala kekurangan dan kelebihan mereka itu. Mengajarkan agar mereka senantiasa memiliki rasa bersyukur dan tidak memandang rendah mereka yang memiliki perbedaan fisik dan mental.
"Oh iya, kalau begitu ayo kita berangkat, nanti kita beli banyak cokelat untuk teman-teman di sana ya. Harus Felicia bagi ke mereka secara adil, oke?" Anggara tersenyum, menatap betapa jernih manik mata putri cantiknya itu.
"Oke, siap! Ayo pergi sekarang, Felicia juga mau permen cokelat!"
Anggara tersenyum, ia menurunkan Felicia dari gendongannya.
"Papa ganti baju dulu, Felicia juga ganti baju dan tunggu di depan, oke?"
Gadis cantik itu hanya mengangguk patuh dan melangkah keluar, Anggara tersenyum sambil menatap kepergian buah cintanya bersama mendiang Diana itu, ia adalah satu-satunya harta paling berharga yang Anggara miliki dibanding semua materi yang sekarang ia miliki. Kenang-kenangan dari perjalanan cinta yang indah antara ia dan sosok yang sudah hampir lima tahun pergi meninggalkan dirinya seorang diri.
Terkadang Anggara berharap semua ini hanya lah mimpi dan ketika ia bangun dari tidurnya, sosok itu masih tersenyum menyambut pagi harinya yang indah dengan wajah berseri-seri. Kenapa Tuhan secepat itu memanggil Diana? Kenapa Tuhan tidak membiarkan Anggara bisa sedikit lebih lama bersama sosok itu? Bahkan Felicia hanya sekali merasakan ASI dari ibunya, ketika IMD setelah ia lahir kedunia, selebihnya sama sekali tidak. Gadisnya itu belum pernah sekalipun dimandikan oleh sang mama, disuapi, digendong dan ditemani tidur malamnya, sama sekali belum pernah.
Tak terasa air mata Anggara menitik, kenapa Tuhan seolah begitu kejam kepadanya dan Felicia? Apa dosa yang sudah Anggara perbuat?
***
Selly bergegas mencari tempat kosong untuk mobilnya ketika ia sudah sampai di area parkir sebuah mall terbesar di kota itu. Setelah mendapatkan tempat parkir ia bergegas melepas seat belt-nya dan turun dari mobil. Ia melangkah dengan santai masuk ke dalam mall, rasanya sudah sangat tidak sabar sampai di apartemennya untuk kemudian maraton drakor sambil makan camilan. Ya semoga saja tidak ada on call!
Sampai di lantai dasar mall tempat di mana hypermart terlengkap itu ada, Selly menarik satu trolley untuk tempat segala macam belanjaan yang akan ia beli. Sekalian belanja yang lain-lain saja tidak ada masalah bukan?
"Mumpung suasan hati lagi baik nih, sekalian beli kebutuhan yang lain," gumannya sambil mendorong trolley itu ke rak sabun mandi. Beli beberapa sekalian tidak masalah sepertinya, berikut dengan pasta gigi, shampoo, conditioner dan segala macam skincare dan lain-lain.
Selly begitu serius memilih body lotion ketika tubuhnya seperti terhantam tubuh lain dengan begitu keras.
"Aduh!" pekik suara itu sedikit gaduh.
Selly bergegas membalikkan badan dan terkejut bukan main ketika menemukan gadis cantik yang tadi padi ia antar ke sekolahnya itu tengah tersungkur di lantai mall.
"Lho, Felicia?" Selly sontak meletakkan dengan asal botol-botol body lotion itu ke rak lalu meraih dan menggendong gadis itu. Ini anak dokter Anggara bukan? Kenapa bisa sampai di sini?
"Ada yang sakit?" tanya Selly lembut, gadis itu kemudian menggeleng pelan.
"Kok Kakak di sini?" tanya gadis itu dengan tatapan menyelidik.
Selly sontak tertawa, ia menoleh dan menunjukkan trolley belanjanya sebagai jawaban dari pertanyaan : kenapa ia bisa ada di sini saat ini.
"Kakak belanja juga ternyata," guman sosok itu sambil mengangguk tanda paham.
"Iya dong, kebetulan yang di unit kakak sudah pada habis, Felicia sendiri ke sini sama siapa?" Selly celingak-celinguk mencari sosok itu, namun tidak ada! Masa iya Felicia hanya sendirian pergi ke sini sih?
"Bisa antar Felis ke area buah dan sayur segar nggak, Kak?" pinta gadis itu yang seolah mengabaikan pertanyaan Selly tentang siapa orang yang bersamanya sampai ia bisa berada di mall ini.
"Tentu, kamu naik di sini, mau?"
Felicia tersenyum dan mengangguk, membuat Selly kemudian memasukkan Selly ke dalam trolley belanjanya. Selly bergegas membawa gadis itu ke area sayur dan buah. Seketika matanya menatap sosok yang tengah sibuk memilih apel dan beberapa buah lain itu.
"Nah itu papa, Kak!" guman Felicia riang.
Selly menghela nafas panjang, sebenarnya tidak perlu dijelaskan Selly sudah tahu kok kalau sosok itu adalah ayah dari Felicia. Selly merasakan tubuhnya dingin, kenapa tiap bertemu sosok itu rasanya begitu tertekan macam ini? Semacam ada rasa canggung, takut, sungkan dan sedikit tidak suka.
"Lho, Felicia kok bisa sama Kak Selly?" tanya Anggara setelah ia menoleh dan mendapai Felicia sudah duduk santai di dalam trolley milik koas yang berhasil memporak-porandakan hatinya itu.
"Tadi ketemu saya di bagian sabun dan bodycare, Dok." jelas Selly sambil tersenyum kecut.
"Oh begitu, maaf kalau anak saya sudah merepotkan." guman sosok itu begitu singkat, dingin dan terkesan cuek luar biasa.
"Sama sekali tidak, Dokter." Selly hanya mengangguk pelan sambil tersenyum kecut.
"Sini Felicia turun, Sayang," Anggara bergegas menggendong Felicia dan meletakkan gadisnya itu ke dalam trolley-nya sendiri.
"Terima kasih tumpangannya, Kakak yang cantik," ujar Felicia sambil tersenyum lebar.
"Sama-sama cantik, lain kali jangan jauh-jauh kalau diajak ke tempat seperti ini, nggak boleh kemana-mana sendirian," nasehat Selly sambil mengelus lembut rambut Felicia.
"Oke siap, Kakak Cantik!"
Selly tersenyum manis, ia kemudian menatap Anggara yang membeku di tempatnya bediri itu Jujur Anggara tidak menyangka akan bertemu dengan sosok itu di sini. Dari penampilannya pasti dia belum pulang kerumah bukan?
"Kalau begitus saya pamit duluan, Dokter."
"Tunggu!" pekik Anggara ketika Selly sudah mendorong trolley-nya, "Saya ucapkan banyak terima kasih, Sel!"
"Jangan sungkan, Dok. Bukankah tadi pagi Dokter sudah menolong saya? Saya juga banyak-banyak mengucapkan terima kasih." senyum Selly mengembang, "Saya permisi Dok, mari."
Anggara menghela nafas panjang, ia menatap sosok yang tengah mendorong trolley-nya pergi itu. Kenapa rasa itu makin lama semakin kuat?
Selly turun dari mobil sambil menggendong Clairine, ia sudah begitu rindu rumahnya, rindu anak-anak tentunya. Perlahan dia melangkah masuk, nampak Gilbert kemudian muncul bersama sang kakak di depan pintu dengan wajah bersinar cerah.“Mama pulang!” teriak Felicia dengan penuh semangat.“Mana adek Ibert?” tampak Gilbert juga bagitu antusias, bocah kecil itu tampak sangat begitu gembira melihat sang mama akhirnya pulang.Kalau saja jahitan Selly sudah kering sempurna, rasanya ia ingin meraih bocah gembul itu dalam pelukan dan gendongannya. Menciuminya dengan penuh cinta, tapi sayang, jahitan yang masih basah itu membuat Selly harus mengurungkan niatnya untuk merealisasikan aksi gendong ciumnya, terlebih ada Clairine dalam gendongan Selly.“Yuk masuk dulu, adek mau dibawa masuk ya,” Anggara menenteng tas besar berisi perlengkapan Selly masuk ke dalam, beberapa bulan ke depan rasanya rumah ini akan makin ramai, makin berant
“Mama!” Selly tersenyum ketika melihat sosok itu tampak begitu antusias melihat dia yang sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Gadis dengan kaos bergambar unicorn itu, tawanya begitu lebar ketika menghampiri Selly, menjatuhkan dirinya ke dalam dekapan Selly yang masih tampak begitu pucat itu. “Dari mana, Sayang?” tanya Selly lembut sambil mengelus kepala Felicia yang di sandarkan di dadanya. “Diajak Oma makan malam, Mama mau makan?” Selly tersenyum, ia menggeleng perlahan, “Belum boleh makan, Sayang. Nunggu dulu sampai jam dua belas.” Anggara tersenyum, melihat betapa anak gadisnya itu terlihat sangat menyayangi Selly, ia mengelus lembut kepala Felicia, lalu menarik dengan lembut anak gadis itu agar bangun dari posisinya. “Jahitan Mama masih baru, jadi hati-hati, oke?” Felicia menatap sang papa, ia tersenyum dan mengangguk pelan. Membuat Anggara kemudian menjatuhkan tubuh itu dalam dekapannya. Sungguh malam ini ia menjelma men
Ada alasan kenapa kemudian Felicia begitu mengkhawatirkan Selly, wanita yang menyandang gelar sebagai mama tirinya, saat ini. Saat dimana ia kembali mendapatkan seorang adik. Ya... adik perempuan seperti yang dia inginkan. Felicia begitu takut kehilangan sosok itu! Sosok yang menjadi figur ibu dalam hidup Felicia.Felicia tumbuh tanpa mengenal sosok yang ia kenal sebagai mama. Dalam hidup Felicia hanya ada sang papa, BI Ijah dan jangan lupa kakek-neneknya. Tidak ada mama seperti teman-temannya yang setiap hari diantar sang mama ke sekolah. Tidak! Felicia tidak punya mama atau lebih tepatnya sang mama meninggal di hari yang sama ketika ia lahir ke dunia.Terkadang ia berpikir bahwa mamanya, yang kata sang papa bernama Diana, sampai meninggal karena dirinya. Karena melahirkan Felicia sang mama bisa sampai meninggal. Jadi itu semua salah Felicia, bukan?Namun, Anggara, papanya yang berprofesi sebagai dokter bedah itu selalu mengatakan bahwa :
"Namanya Clairine Escolastica Tanjaya."Dokter Anton yang tengah 'membereskan' pekerjaannya itu sontak menoleh, menatap Anggara dengan seksama."Susah amat, artinya apa?""Gadis yang bersinar dan berwawasan luas dari keturunan Tanjaya."Selly tersenyum, sebuah doa yang begitu indah, yang Selly dan Anggara sematkan lewat nama cantik itu. Tentu harapan Selly dan Anggara ingin kelak gadis mungil yang lahir hari ini bisa menjadi gadis yang luar biasa dengan segala macam wawasannya, berguna tidak hanya untuk keluarga mereka tetapi juga nusa dan bangsa.Anggara kembali fokus pada sang isteri, menantikan dokter Anton selesai menjahit lapis demi lapis rahim dan kulit Selly yang disayat sebagai akses Clairine dari tempat yang selama ini menjadi rumahnya."Jangan tidur, jangan pingsan, tolong...," desis Anggara lirih, manik matanya menatap manik Selly yang nampak berkaca-kaca itu."Mau lihat Clairine," desis Selly
Selly menghela nafas panjang, ia sudah di dorong keluar dari kamar inapnya, hendak menuju OK. Anggara masih nampak mengenakan setelan scrub-nya, sangat terlihat kalau dia baru saja pulang dan langsung menuju klinik tanpa pergi kemana pun.Hati Selly jauh lebih tenang ketika ia melihar raut wajah sang suami muncul. Mencium aroma tubuh Anggara yang berpadu dengan aroma povidone iodine yang samar-samar tercium dari sosok itu.“Kenapa senyam-senyum?” tanya Anggara yang sadar sang isteri tengah menatapnya sambil tersenyum penuh arti.“Heran aja, ada dokter bedah yang bisa sepucat ini hanya karena hendak masuk ke OK.” Ledeknya sambil tertawa kecil.Tampak Anggara mencebik, kan sudah berkali-kali dia bilang, kalau yang jadi obyek bedahnya sosok wanita yang begitu ia cintai ini tentulah ia akan begitu takut dan khawatir seperti saat ini. Kenapa sang isteri itu tidak mengerti?Selly nampak masih tersenyum ke arahnya, membuat Anggara
"Tidur aja dulu, mama nggak bakalan kemana-mana, Sayang."Selly mengangguk dan tersenyum, ia menatap langit-langit kamar, pikirannya melayang membayangkan apa yang sedang anak-anaknya lakukan sekarang. Felicia pasti sangat khawatir kepadanya. Tahu sendiri anak itu tidak bisa jauh dari Selly barang sebentar."Mikir apa, Sel?"Selly tersentak, ia menoleh dan menatap sang mama dengan seksama. Mamanya juga punya tiga anak, bukan? Rasanya gimana?"Ma, punya tiga anak itu rasanya bagaimana?" tanya Selly yang begitu penasaran dengan bagaimana polah mamanya dulu ketika mereka masing bayi.Ya walaupun selisih mereka jauh, tapi tidak ada salahnya Selly meminta testimoni dan wejangan dari sang mama perihal apa yang harus dia lakukan ketika nanti buah hatinya ini lahir."Mau tahu enaknya apa nggak enaknya nih?" Indah hampir terbahak mendengar pertanyaan Selly, memang kenapa kalau punya tiga orang anak?"Yang nggak en
“Aku tinggal dulu, nanti aku langsung balik, kalau ada apa-apa kabari aku ya?” Selly tersenyum, bibir itu mengecup keningnya dengan begitu lembut. Ia sudah berada di klinik bersalin milik dokter Anton, sesuai jadwal, pukul tujuh malam nanti Selly akan kembali menjalani operasi caesarea yang kedua. “Ma, titip isteri Anggara ya,” pamit Anggara pada Indah yang sudah stand by untuk menemani putri kesayangannya melahirkan. “Jangan khawatir, fokus kerja dulu saja, Ang. Selly aman. Nanti ada mama dan papamu juga datang kemari.” Indah tersenyum, ia begitu antusias dengan kelahiran anak ke dua Selly. Bukan apa-apa, sampai hari H tidak ada yang diberi tahu apa jenis kelamin anak kedua Selly dan Anggara ini. Jadilah Indah begitu penasaran dan ingin tahu cucunya kali ini perempuan atau laki-laki. “Kalau gitu Anggara pamit dulu, Ma.” Anggara menoleh, menatap sang isteri dan tersenyum begitu manis. Ia melambaikan tangan dan melangkah menuju pintu. Tampak Se
Selly tengah mengoleskan petrolium jelly ke perutnya, sebuah ritual yang mulai rajin ia lakukan ketika menyadari bahwa dia kembali hamil. Dia tidak mau perutnya muncul banyak streechmark seperti ketika hamil Gilbert dulu, oleh karena itu sejak dini Selly meminimalkan munculnya gurat di kulit karena peregangan kulit yang terjadi.Meskipun tidak terlihat oleh orang-orang, namun bekas streechmark itu sangat menganggu dan membuat Selly minder setengah mati di hadapan sang suami. Oleh karena itu, ia jaga betul kulitnya, ia tidak mau hal itu kembali terjadi. Kalau perlu ia akan berkonsultasi dengan sejawat di bagian kulit kelamin guna memperbaiki kulit yang sudah terlanjur bergurat itu.Selly menutup jar petrolium jelly miliknya ketika kemudian pintu kamar itu terbuka, nampak Anggara tersenyum menatap betapa sexy sang isteri dengan perut membukitnya itu.“Kenapa?” tanya Selly yang sedikit curiga melihat senyum ganjil itu.“Nggak, memang nggak
“Kok belum masuk panggul ya, Sel?” tampak dokter Anton menatap seksama layar monitor di hadapannya itu, sementara tangan dokter kandungan yang wajahnya mirip salah satu idol Korea itu sibuk menekan-nekan probe di atas perut Selly.Tampak wajah Anggara menegang, ia ikut mengamati dengan seksama layar monitor itu. Posisi bayinya sih sudah siap lahir, hanya saja benar kata dokter kandungan yang menangani isterinya sejak dulu hamil Gilbert, kepalanya belum mau masuk panggul.“Fix besok saya jadwalkan SC lebih cepat, riwayat jarak kelahiran yang dekat, adanya lilitan di kaki yang menyebabkan kepalanya belum mau masuk. Sangat riskan untuk dicoba pervaginam.”Selly menghela nafas panjang. Apa boleh buat? Ia sendiri takut dan tidak pernah terbesit sedikitpun dalam pikiran Selly untuk mencoba melahirkan secara pervaginam! Koas sepuluh minggu di bagian obsgyn membuat Selly paham dan tahu betul apa yang akan terjadi jika dia memaksakan diri mencoba