Share

7. Mulai Syuting

Pagi ini, garis bibir Tio sudah terangkat sempurna. Sungguh dia benar-benar menantikan hal ini. Skenario yang sudah disimpan selama lima tahun, kini bisa terwujud. Arini adalah pemeran yang sangat pas. Kisah ini memang ditujukan untuknya.

Parfum yang sudah lama tidak pernah dia gunakan setelah lima tahun akhirnya dia kenakan kembali. Aroma musk menyeruak ke sekitarnya. Dia melihat jam di dinding kamarnya, baru jam tujuh pagi. Dia sudah tidak sabar ingin segera menjemput Arini.

Melihat tingkah putranya yang tidak biasa, membuat Cintami (Ibu Tio) penasaran. Anak lelaki kesayangannya itu menghampiri lalu berpamitan kepadanya.

“Mam, Tio pamit ya mau syuting,” ucap Tio.

“Kamu mau ke mana Sayang? Ingat kamu baru dua tahun loh, jangan terlalu lelah,” tanya Cintami sambil mengusap rambut anaknya.

“Mami, akhirnya Tio bertemu dengan Arini. Rasanya Tio sudah mendapatkan kembali tujuan hidup Tio,” jawab Tio sumringah.

“Arini itu cinta pertamamu ya,” tebak Cintami mengulum senyum.

“Ah Mami.” Pipi Tio kemerahan.

“Dia rumahnya di mana?” tanya Cintami.

“Dia anak dari tetangga kita Mi, anak Pak Joni,” jawab Tio.

“Oalah, ternyata orang dekat.” Cintami menyeringai. “Mami sih asalkan kamu bahagia, Mami akan setuju,” lanjutnya.

“Tio Cuma ingin  buat dia bersinar seperti harapannya sejak dulu. Kita sama-sama berjanji untuk saling dukung,” ucap Tio. Dia menundukkan kepalanya, tidak layak untuknya mengharapkan sesuatu yang lebih dari itu.

“Kamu tidak perlu bersedih. Mama yakin, kamu pasti bahagia,” ucap Cintami memberi semangat pada putra tampannya.

Tio pamit, dia ambil tas besar lalu membawanya pergi ke luar. Dia menjemput Arini ke rumahnya.

“Permisi,” panggil Tio sambil mengetuk pintu.

Tidak lama, Ibu Arini membuka pintu. Dia sangat terkejut saat melihat ada pemuda tampan nan tinggi berdiri di depan pintu rumahnya. Pemuda itu tersenyum dengan ramah. “Selamat pagi Bu, perkenalkan saya Tio teman Arini,” sapa Tio dengan sopan.

“Oh, apakah kamu anak dokter Cintami?” tanya Ibu Arini.

“Betul, saya anak Ibu Cintami yang di sebelah rumah Anda,” ucap Tio sambil menganggukkan kepala.

“Nak Tio ada perlu apa ya ke sini?” tanya Ibu Arini.

“Saya mau meminta izin kepada Ibu untuk mengajak Arini syuting film pendek yang akan saya garap. Arini sebagai pemeran utamanya,” jelas Tio.

“Oh seperti itu, silakan masuk,” ucap Ibu Arini.

Arini ke luar dari kamarnya dan sudah bersiap sambil membawa beberapa pakaian. Dia terkejut karena melihat Tio sudah berada di ruang tamu menunggunya dengan tenang.

“Tio, sejak kapan kamu datang?” tanya Arini menghampiri lelaki itu.

“Baru saja, apa kamu sudah siap?” tanya tio balik.

“Sudah, baguslah kalau begitu kita berangkat sekarang. Matahari belum naik, itu akan sangat bagus untuk pengambilan gambar,” ajak Tio.

Arini berpamitan pada ibunya, begitu pun dengan Tio yang meminta izin sambil mencium tangan. Mereka pergi ke sebuah kebun yang dipenuhi pohon besar. Tio memberikan sebuah skrip untuk dibaca Arini. Tidak banyak dialog yang tercipta, hanya difokuskan pengambilan gambar dan juga acting yang sangat mumpuni agar film ini berhasil.

Arini memerankan seorang wanita yang baru saja terbebas dari sekapan para penjahat. Pengambilan gambar pun dimulai. Take satu, Arini berlari dengan wajah panik dengan pakaian yang telah robek. Wajahnya dirias seperti sudah terluka dengan rambut yang acak-acakkan.

Arini mengerahkan seluruh kemampuan beraktingnya. Rasanya sangat menyenangkan bisa kembali berakting setelah sekian lama dia memendam keahliannya itu. Berulang kali Tio ingin mendapatkan hasil yang bagus dan mencekam. Ketakutan seseorang yang hampir putus asa karena sulitnya melarikan diri dari lingkungan yang mengekangnya.

Napas Arini terengah, dia terus mengulangi adegan berlari dengan ekkpresi ketakutan yang realistis. Setelah mendapatkan gambar yang bagus, kini Tio beralih ke adegan dua. Arini mengais tanah dengan jarinya, mencari sebuah kunci yang jatuh. Kunci itu adalah kunci di mana dia bisa meraih masa depan yang cerah nantinya.

Matahari sudah naik, jam di tangan Tio kini menunjukkan pukul sepuluh pagi. Mereka beristirahat sejenak. Tio sudah merasa kelelahan. “Arini, besok kita lanjutkan lagi ya. Aku akan mengajak beberapa orang untuk membantu produksi. Silakan kamu pelajari script untuk adegan selanjutnya,” papar Tio sambil menyerahkan skrip untuk adegan selanjutnya.

Mereka berdua akhirnya pulang dari kebun tersebut. Tio mengajaknya untuk makan siang di restoran yang ada di kota. Mereka menaiki mobil yang Tio bawa menuju cafe terdekat. Untuk kali pertama mereka jalan bersama.

Sesekali Arini mencuri pandang ke arah Tio. Menurut pandangannya, Tio semakin tampan dan juga dewasa. Hidung, mata, bibir, semua yang ada di Tio selalu membuat Arini berdebar. Hal wajar jika melihat seseorang yang tampan dan cantik membuat hati yang melihatnya berdebar. Apalagi Arini memang pernah menyimpan rasa untuknya.

Sadar ada yang memperhatikan, membuat Tio menoleh ke sampingnya. “Kamu kenapa?” tanya Tio sambil membelai rambut Arini.

Jantung Arini terpacu cepat. Matanya berkedip beberapa kali dan rasanya oksigen tidak masuk ke rongga paru. “Aku … aku baik-baik saja,” jawab Arini gugup. Tertangkap basah, membuat Arini mati gaya. Dia hanya bisa tersenyum manis saat Tio membalas dengan senyuman.

“Syukurlah, aku takut kamu kelelahan,” ucap Tio sambil fokus menyetir. Tidak lama mereka sampai di cafe terdekat. Dia menepikan mobil dan tidak lama dia ke luar sambil membukakan pintu untuk Arini.

“Silakan Tuan Putri,” sambut Tio menarik garis bibir ke atas.

“Wah, jangan berlebihan aku kan jadi malu,” ucap Arini tersenyum simpul.

Tio menggenggam jemari Arini, mengajaknya masuk ke kafe lalu duduk di tempat yang masih kosong. “Kamu mau pesan apa?” tanya Tio lemah lembut.

“Terserah kamu saja, aku ikut,” jawab Arini.

“Setahuku kamu tidak suka yang terlalu asam, kan,” terka Tio.

“Wah, kamu masih ingat saja.” Arini tersenyum simpul.

Tidak lama, waitress datang menghampiri Tio dan Arini. Mereka memesan beberapa makanan dan juga Tio memesan makanan lain untuk dibawa pulang. Tio sangat senang, akhirnya dia memiliki waktu untuk berdua bersama Arini.

Sambil menikmati hidangan yang tersaji, Arini menyanyakan beberapa pertanyaan yang selama ini selalu mengganjal di hatinya. “Tio, sebenarnya apa alasan kamu meninggalkan proyek film kita waktu itu?” tanyanya.

Mata hazel itu langsung menatap Arini dalam. Dia langsung menghentikan tangannya dan meletakkan alat makannya. Hal ini sudah dia duga sebelumnya. Tidak mungkin dia terus diam dan mengalihkan pembicaraan.

“Sebenarnya, ayahku tidak menyetujui aku meraih cita-cita sebagai actor. Dia ingin aku menjadi pebisnis sepertinya. Perlakuannya kasar kepada mama. Aku tidak tega melihat mama setiap hari menangis. Saat audisi itu, mama menjemputku di asrama. Dia berkata kita harus sembunyi agar ayahku tidak bisa menemukan kita. Pada saat itu mama sedang mengajukan proses percerian. Makanya selama lima tahun ini aku diam dan tidak ke mana-mana,” ungkap Tio sambil menundukkan kepala.

“Maafkan aku ya, aku tidak bermaksud untuk mengorek kisah sedihmu,” sesal Arini sambil mengusap punggung tangan Tio.

“Tidak apa, aku baik-baik saja,” jawab Tio sambil tersenyum. ‘Ya aku akan baik-baik saja asalkan kamu tetap berada di sisiku dan tersenyum manis hanya padaku saja,’ batinnya sambil mengusap pahanya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status