Pagi ini, garis bibir Tio sudah terangkat sempurna. Sungguh dia benar-benar menantikan hal ini. Skenario yang sudah disimpan selama lima tahun, kini bisa terwujud. Arini adalah pemeran yang sangat pas. Kisah ini memang ditujukan untuknya.
Parfum yang sudah lama tidak pernah dia gunakan setelah lima tahun akhirnya dia kenakan kembali. Aroma musk menyeruak ke sekitarnya. Dia melihat jam di dinding kamarnya, baru jam tujuh pagi. Dia sudah tidak sabar ingin segera menjemput Arini.
Melihat tingkah putranya yang tidak biasa, membuat Cintami (Ibu Tio) penasaran. Anak lelaki kesayangannya itu menghampiri lalu berpamitan kepadanya.
“Mam, Tio pamit ya mau syuting,” ucap Tio.
“Kamu mau ke mana Sayang? Ingat kamu baru dua tahun loh, jangan terlalu lelah,” tanya Cintami sambil mengusap rambut anaknya.
“Mami, akhirnya Tio bertemu dengan Arini. Rasanya Tio sudah mendapatkan kembali tujuan hidup Tio,” jawab Tio sumringah.
“Arini itu cinta pertamamu ya,” tebak Cintami mengulum senyum.
“Ah Mami.” Pipi Tio kemerahan.
“Dia rumahnya di mana?” tanya Cintami.
“Dia anak dari tetangga kita Mi, anak Pak Joni,” jawab Tio.
“Oalah, ternyata orang dekat.” Cintami menyeringai. “Mami sih asalkan kamu bahagia, Mami akan setuju,” lanjutnya.
“Tio Cuma ingin buat dia bersinar seperti harapannya sejak dulu. Kita sama-sama berjanji untuk saling dukung,” ucap Tio. Dia menundukkan kepalanya, tidak layak untuknya mengharapkan sesuatu yang lebih dari itu.
“Kamu tidak perlu bersedih. Mama yakin, kamu pasti bahagia,” ucap Cintami memberi semangat pada putra tampannya.
Tio pamit, dia ambil tas besar lalu membawanya pergi ke luar. Dia menjemput Arini ke rumahnya.
“Permisi,” panggil Tio sambil mengetuk pintu.
Tidak lama, Ibu Arini membuka pintu. Dia sangat terkejut saat melihat ada pemuda tampan nan tinggi berdiri di depan pintu rumahnya. Pemuda itu tersenyum dengan ramah. “Selamat pagi Bu, perkenalkan saya Tio teman Arini,” sapa Tio dengan sopan.
“Oh, apakah kamu anak dokter Cintami?” tanya Ibu Arini.
“Betul, saya anak Ibu Cintami yang di sebelah rumah Anda,” ucap Tio sambil menganggukkan kepala.
“Nak Tio ada perlu apa ya ke sini?” tanya Ibu Arini.
“Saya mau meminta izin kepada Ibu untuk mengajak Arini syuting film pendek yang akan saya garap. Arini sebagai pemeran utamanya,” jelas Tio.
“Oh seperti itu, silakan masuk,” ucap Ibu Arini.
Arini ke luar dari kamarnya dan sudah bersiap sambil membawa beberapa pakaian. Dia terkejut karena melihat Tio sudah berada di ruang tamu menunggunya dengan tenang.
“Tio, sejak kapan kamu datang?” tanya Arini menghampiri lelaki itu.
“Baru saja, apa kamu sudah siap?” tanya tio balik.
“Sudah, baguslah kalau begitu kita berangkat sekarang. Matahari belum naik, itu akan sangat bagus untuk pengambilan gambar,” ajak Tio.
Arini berpamitan pada ibunya, begitu pun dengan Tio yang meminta izin sambil mencium tangan. Mereka pergi ke sebuah kebun yang dipenuhi pohon besar. Tio memberikan sebuah skrip untuk dibaca Arini. Tidak banyak dialog yang tercipta, hanya difokuskan pengambilan gambar dan juga acting yang sangat mumpuni agar film ini berhasil.
Arini memerankan seorang wanita yang baru saja terbebas dari sekapan para penjahat. Pengambilan gambar pun dimulai. Take satu, Arini berlari dengan wajah panik dengan pakaian yang telah robek. Wajahnya dirias seperti sudah terluka dengan rambut yang acak-acakkan.
Arini mengerahkan seluruh kemampuan beraktingnya. Rasanya sangat menyenangkan bisa kembali berakting setelah sekian lama dia memendam keahliannya itu. Berulang kali Tio ingin mendapatkan hasil yang bagus dan mencekam. Ketakutan seseorang yang hampir putus asa karena sulitnya melarikan diri dari lingkungan yang mengekangnya.
Napas Arini terengah, dia terus mengulangi adegan berlari dengan ekkpresi ketakutan yang realistis. Setelah mendapatkan gambar yang bagus, kini Tio beralih ke adegan dua. Arini mengais tanah dengan jarinya, mencari sebuah kunci yang jatuh. Kunci itu adalah kunci di mana dia bisa meraih masa depan yang cerah nantinya.
Matahari sudah naik, jam di tangan Tio kini menunjukkan pukul sepuluh pagi. Mereka beristirahat sejenak. Tio sudah merasa kelelahan. “Arini, besok kita lanjutkan lagi ya. Aku akan mengajak beberapa orang untuk membantu produksi. Silakan kamu pelajari script untuk adegan selanjutnya,” papar Tio sambil menyerahkan skrip untuk adegan selanjutnya.
Mereka berdua akhirnya pulang dari kebun tersebut. Tio mengajaknya untuk makan siang di restoran yang ada di kota. Mereka menaiki mobil yang Tio bawa menuju cafe terdekat. Untuk kali pertama mereka jalan bersama.
Sesekali Arini mencuri pandang ke arah Tio. Menurut pandangannya, Tio semakin tampan dan juga dewasa. Hidung, mata, bibir, semua yang ada di Tio selalu membuat Arini berdebar. Hal wajar jika melihat seseorang yang tampan dan cantik membuat hati yang melihatnya berdebar. Apalagi Arini memang pernah menyimpan rasa untuknya.
Sadar ada yang memperhatikan, membuat Tio menoleh ke sampingnya. “Kamu kenapa?” tanya Tio sambil membelai rambut Arini.
Jantung Arini terpacu cepat. Matanya berkedip beberapa kali dan rasanya oksigen tidak masuk ke rongga paru. “Aku … aku baik-baik saja,” jawab Arini gugup. Tertangkap basah, membuat Arini mati gaya. Dia hanya bisa tersenyum manis saat Tio membalas dengan senyuman.
“Syukurlah, aku takut kamu kelelahan,” ucap Tio sambil fokus menyetir. Tidak lama mereka sampai di cafe terdekat. Dia menepikan mobil dan tidak lama dia ke luar sambil membukakan pintu untuk Arini.
“Silakan Tuan Putri,” sambut Tio menarik garis bibir ke atas.
“Wah, jangan berlebihan aku kan jadi malu,” ucap Arini tersenyum simpul.
Tio menggenggam jemari Arini, mengajaknya masuk ke kafe lalu duduk di tempat yang masih kosong. “Kamu mau pesan apa?” tanya Tio lemah lembut.
“Terserah kamu saja, aku ikut,” jawab Arini.
“Setahuku kamu tidak suka yang terlalu asam, kan,” terka Tio.
“Wah, kamu masih ingat saja.” Arini tersenyum simpul.
Tidak lama, waitress datang menghampiri Tio dan Arini. Mereka memesan beberapa makanan dan juga Tio memesan makanan lain untuk dibawa pulang. Tio sangat senang, akhirnya dia memiliki waktu untuk berdua bersama Arini.
Sambil menikmati hidangan yang tersaji, Arini menyanyakan beberapa pertanyaan yang selama ini selalu mengganjal di hatinya. “Tio, sebenarnya apa alasan kamu meninggalkan proyek film kita waktu itu?” tanyanya.
Mata hazel itu langsung menatap Arini dalam. Dia langsung menghentikan tangannya dan meletakkan alat makannya. Hal ini sudah dia duga sebelumnya. Tidak mungkin dia terus diam dan mengalihkan pembicaraan.
“Sebenarnya, ayahku tidak menyetujui aku meraih cita-cita sebagai actor. Dia ingin aku menjadi pebisnis sepertinya. Perlakuannya kasar kepada mama. Aku tidak tega melihat mama setiap hari menangis. Saat audisi itu, mama menjemputku di asrama. Dia berkata kita harus sembunyi agar ayahku tidak bisa menemukan kita. Pada saat itu mama sedang mengajukan proses percerian. Makanya selama lima tahun ini aku diam dan tidak ke mana-mana,” ungkap Tio sambil menundukkan kepala.
“Maafkan aku ya, aku tidak bermaksud untuk mengorek kisah sedihmu,” sesal Arini sambil mengusap punggung tangan Tio.
“Tidak apa, aku baik-baik saja,” jawab Tio sambil tersenyum. ‘Ya aku akan baik-baik saja asalkan kamu tetap berada di sisiku dan tersenyum manis hanya padaku saja,’ batinnya sambil mengusap pahanya sendiri.
Setelah menghabiskan seluruh makanan di atas meja, mereka pulang. Selama di perjalanan, Arini dan Tio diam seribu bahasa. Lelaki yang disukai Arini itu terlalu pendiam. Terkadang membuat gadis itu sulit mengerti apa yang sedang dipikirkan olehnya. “Tio, memangnya kamu ingin ikut festival di mana?” tanya Arini membuyarkan keheningan. “Oh, aku akan mengikuti festival di Jepang. ‘Shorts Shorts Film Festival’ kamu tahu, kan,” tutur Tio sambil tersenyum manis. “Ah serius mau ikutan festival itu?” Mata Arini terbelalak dengan membuka mulutnya lebar-lebar. “Serius.” Menganggukkan kepala. “Semoga saja film kita masuk nominasi,” harap Arini berbunga-bunga. “Amiin, aku pun berharap demikian.” Tio menepikan mobilnya. Akhirnya dia sampai di depan gerbang rumah Arini. Tio kembali membukakan pi
Ibu Arini mencari putrinya. Dia mendapati Farhan dan Arini sedang di kamar berdua sambil berpegangan tangan. Dalam pikirannya menjadi semakin berkecamuk. Apakah putrinya dan Farhan sudah saling menyatakan perasaan. “Rin, kamu sedang apa sama Farhan?” tanya Ibu Arini sambil bersandar di kusen pintu. “Rini tadi kelilipan, jadi Farhan bantu tiup,” jawab Arini berbohong. Farhan ikut menganggukkan kepala, menyetujui ucapan Farhan. Jelas mereka berdua sedang berbohong, tidak mungkin kelilipan tapi pegangan tangan. Berarti hubungan mereka kini lebih dari sekedar teman, dalam hatinya. “Ya sud
Mata Arini langsung terbelalak saat bibir Farhan membentur bibirnya. Hangat bagi Farhan, menyakitkan untuk Arini. Lelaki itu terkejut lalu bangkit dari tempat tidur. Dia melihat ada luka di bibir Arini. Benturan yang keras menyebabkan bibirnya terkena gigi. “Ish! Farhaaan!” kesal Arini sambil memegangi bibirnya yang terasa perih. Farhan menyeringai, dia tidak sengaja melukai Arini. Tangannya mengatup memohon ampun. “Rin, aku minta maaf, tidak sengaja,” sesalnya. “Pergi!” Arini mengacungkan kepalan tangannya. Dia ingin Farhan segera pergi dari kamarnya. Farhan tersenyum malu sekaligus merasa bersalah. Ciuman pertamanya tidak terduga. Dilakukan dengan cara yang aneh dan meninggalkan bekas. Farhan memegangi dadanya yang terus berdebar. 'Seharusnya ini dilakukan dengan cara yang lebih manis lagi,' sesalnya dalam hati. * Keesokan harinya,  
Terbang, Arini merasakan tubuhnya seperti melayang di udara. Matanya yang tadi masih terpejam kini terbuka dengan perlahan. Sekilas dia melihat sosok Erik, dia mengedipkan kelopak matany berkali-kali untuk memastikan jika itu tidak mungkin terjadi. Arini kemudian mendapatkan penglihatannya dengan jelas. Lelaki yang dia lihat bukanlah Erik melainkan Farhan. Bola mata Arini lalu berputar, melirik ke kiri, dia tidak sedang berjalan. Ternyata dia sedang digendong oleh Farhan. Arini berpura-pura masih menutup mata. Dia ingin tahu, Farhan akan membawanya ke mana. Terdengar suara pintu berderit. “Farhan, Rini kenapa kamu gendong?” tanya Ayah Arini dengan khawatir. “Dia ketiduran di mobil. Farhan bantu gendong saja.” Farhan meneruskan langkahnya menuju kamar gadis itu. “Ya sudah, Bapak mau ke dalam dulu ya.” Ayah Arini masuk ke kamarnya. &n
“Ya ampun, Neng. Kenapa nyosor gitu sama Abah, Neng? Itu orang ganteng ada di belakang,” kelakar Kakek tua itu sambil menggelengkan kepalanya. Tio lekas menarik Arini. Wajahnya tidak dapat berbohong, dia ingin sekali tertawa saat Kakek tua itu berkata seperti itu. Arini melihat Tio ingin menertawakannya akhirnya menegur lelaki itu. “Ketawa aja sampe puas, iseng bener nolongnya sampai aku hampir berciuman dengan bandot tua,” sindir Arini sambil mencubit perut Tio pelan. “Hahaha, maaf ya.” Tio Terkekeh. “Untung kamu ganteng jadi aku maafin,” jawab Arini sambil mencolek pipi Tio. Dia hanya bermaksud untuk berkelakar saja. “Rin, seminggu atau bahkan satu bulan ke depan kita nggak bisa ketemu,” kata Tio sambil memegang jemari Arini. “Kenapa?” “Aku harus mengedit film tersebut, dan juga mengirimkan na
Kedua orang tua Arini lekas menyambut kehadiran tamunya itu. Mereka bersalaman seperti sudah mengenal satu sama lain. Setelah selesai membuatkan minuman, Arini mulai menyajikannya pada tamu itu. Ternyata di sana sudah ada Farhan yang duduk di samping kedua tamunya. Dengan santai, Arini terus melaju. Dia memberi Farhan kode untuk mengikutinya. Arini mengajak Farhan ke kamarnya. “Rin, kamu kenapa?” Farhan duduk di tempat tidur. “Kamu kenal dengan mereka?” tanya Arini penasaran. “Memangnya kenapa?” Farhan memastikan. “Ah sudahlah,” kesal Arini sambil mendorong Farhan ke luar kamar.
Sudah jam Sembilan malam, Arini masih tidak bisa memejamkan mata. Tio tidak mengiriminya pesan, padahal awalnya dia mengajak Arini untuk bertemu. Penasaran, Arini menghubungi Tio. Dia ingin tahu, mengapa lelaki itu urung menemuinya. “Halo Tio,” “Iya Rin,” “Bisa kita ketemu?” “Kapan?” “Sekarang, aku tunggu di depan gerbang rumah kamu,” “Iya, tunggu sebentar,” Walau hatinya masih terluka, Tio memaksakan diri untuk ke luar dari kamarnya. Rumahnya sangat sepi. Cintami masih belum pulang dari rumah sakit. Tidak lama Tio pun sampai di pintu gerbang. Dia melihat Arini sudah berdiri sambil memeluk tubuhnya sendiri. “Arini, sejak kapan kamu berdiri di sini?” tanya Tio. Dia melepaskan jaketnya lalu menutupi tubuh Arini dengan jaket miliknya. “Tio aku nggak apa-apa, jaketnya kamu pakai saja,” tolak Arini. “Apa k
Semalam suntuk Arini sulit tidur. Di kepalanya terus beredar wajah Tio saat menciumnya. Mengapa lelaki itu mencuri ciuman pertamanya padahal mereka bukan pasangan kekasih. Terlebih lagi, baru tadi sore dia menerima lamaran Farhan. Pagi sekali, Ibu Arini sudah mengoceh saat melihat anaknya masih di dalam kamar. Air satu ember sudah dia siapkan untuk menyiram putri tidur yang lebih mirip dengan kebo. Pada saat dia akan membuka pintu kamarnya, ternyata Arini tidak ada di tempat tidur. Arini memilih jalan-jalan ke tepi sawah. Dia duduk di pematang sawah yang padinya sudah mulai menguning. Dari kejauhan terlihat sosok Farhan yang sudah memakai pakaian dinas. ‘Ya Tuhan, sahabatku ini kelak akan menjadi suamiku. Lalu mengapa hati ini tidak rela? Aku malah menginginkan lelaki lain,’ batin Arini. Lelaki itu menemukan Arini yang tengah duduk santai dengan mata yang merah.