“Biasa, ada urusan. Cepet, buka gerbangnya,” jawabku seraya berjalan cepat keluar dari halaman rumah menuju taksi online yang sudah menunggu. Apalagi lampu kamar tengah menyala. Aku takut itu Rania, terbangun karena suara klakson dari taksi online.
“Baik, Tuan!” Pak Kim bergegas lari mendahuluiku untuk membukakan pintu gerbang.
Syukurlah, dia tak banyak tanya macam-macam. Dengusku.
Segera aku masuk ke taksi online itu dan memberi perintah pada drivernya untuk segera meninggalkan rumah.
*****
Aku tersentak dan terjaga dari tidur. Rasanya seperti mendengar suara klakson mobil dari luar pagar depan rumah. Semula aku tak curiga sedikit pun. Apalagi di atas tempat tidur Alex masih tidur dengan selimut yang menutup rapat tubuhnya. Sehingga membuatku tenang dan kembali merebahkan sebentar tubuh ini, sekadar meluruskan kembali otot-otot yang sempat terhimpit karena posisi tidurku yang tak benar.
Seraya mengedarkan pandangan dan melihat jam di dinding kamar yang sudah menunjukkan pukul setengah empat pagi. Seketika aku terperanjat. Berdiri dan kembali memerhatikan sosok yang tertutup selimut. Aku baru sadar, ada yang aneh di sana.
Kunyalakan lampu kemudian membuka selimut itu. Ternyata hanya sebuah guling di dalamnya. Lalu, kemana Alex? Apakah dia di kamar mandi?
Bergegas aku memeriksa kamar mandi. Namun lelaki itu tak ada juga di sana. Segera kulepas mukena dan keluar dari kamar seraya memanggil bik Shu-pelayan rumah tangga sekaligus istri dari Hans.
“Bik! Bik! Bik Shu…! Hans…!”
“Ya, Nyonya!” jawab pelayan rumah tangga itu dari dalam kamar. Suaranya masih terdengar berat, seraya membuka pintu kamarnya.
“Kamu lihat Tuan nggak, Bik?” tanyaku ketika melihat Bik Shu keluar. Rambutnya yang sebahu terlihat acak-acakan. Rupanya Bik Shu juga baru bangun. Dia masih tampak lesu sambil menguap dan mengusap-usap matanya. Agar matanya dapat terbuka dengan sempurna dan melihat dengan jelas.
“Tidak, Nyonya. ‘Kan saya juga baru bangun. Jadi tidak lihat Tuan,” ucapnya sambil merapikan rambut dengan jari-jari tangannya. Lalu diikat kebelakang sekenanya.
“Oh. Lalu, Hans?” tanyaku kembali sambil melongok mencari Hans di dalam kamar Bik Shu yang masih gelap.
“Kakak Hans ada di kamar. Masih tidur tuh, Nyonya,” jawabnya tersipu, tangannya menarik daun pintu untuk menutup pintunya. Seolah-olah ada yang disembunyika ketika melihatku mencoba melongok ke dalam.
“Loh kok masih tidur? bukannya Hans harusnya mengantar Tuan Alex ke bandara?” aku melebarkan mata kemudian mengerutkan dahi.
Melihat aku terkejut dan heran, tanpa menunggu perintah lagi Bik Shu bergegas masuk kemabali ke kamar dan membangunkan Hans.
“Waduh, maaf, Nyonya. Saya terlambat bangun. Sebentar saya cuci muka dulu setelah itu antar Tuan ke bandara,” ucap Hans bergegas keluar kamar setelah dibangunkan oleh istrinya. Sampai-sampai supir itu tak sadar, dia keluar tak mengenakan apa-apa. Kecuali celana dalam.
“Kamu, apa-apa-an begitu? Mau pamer ke saya, hah?!” hardikku yang salah tingkah melihat Hans tak berbusana.
“Oh … Ah … Ma-maaf, Nyonya. Saya kelupaan,” ucap Hans yang kemudian bergegas masuk dan disambut Bik Shu dengan membawakan sarung.
“Ah! Dasar kalian berdua sembrono.” Aku langsung memutar badan dan pergi meninggalkan mereka berdua.
Cih! Mereka membuat aku teringat kejadian semalam. Ketika aku menawarkan surga dunia, Alex menolak. Sangat menyakitkan. Aku nggak bisa terima. Bagaimana tidak, selama dua puluh tahun menikah, baru kali ini Alex menolak ajakanku untuk bercinta.
Kembali netraku menghangat. Benda cair bening mendesak untuk keluar, hingga tak bisa kubendung lagi. Membuatku harus mengusap pipi berkali-kali karena basah oleh cucuran air mata yang berlinang.
Aku melangkah keluar, mencari Pak Kim. Siapa tahu dia mengetahui kepergian Alex. “Pak Kim, tahu nggak tadi Alex pergi jam berapa?” tanyaku saat menemukan penjaga keamanan rumah ini di pos dekat pintu gerbang.
“Tahu, Nyonya. Sekitar sepuluh menit yang lalu,” jawab Pak Kim dengan tegas. Mencerminkan bahwa dia adalah bekas tentara yang saat ini sudah tak aktiv lagi di ketentaraannya. Karena dia sudah tak ingin terikat oleh negara lagi dan bekerja sebagai layaknya orang sipil.
“Sepuluh menit? Naik apa?” mataku membesar dengan dahi mengernyit. Menyatukan alis karena terkejut dan merasa heran ketika mendengar jawaban Pak Kim. Hanya selisih sepuluh menit saat aku terbangun dari tidur.
Kenapa dia nggak membangunkan aku? Aneh. Nggak biasanya dia begini. Apakah ada sesuatu yang dia sembunyikan? Sehingga aku nggak boleh mengetahuinya? Sayang, sudah dua puluh tahun kita menikah. Nggak satu pun rahasia yang kita simpan. Aku selalu tahu rahasiamu begitu pula sebaliknya. Tapi kali ini?
“Tuan tadi naik taksi online, Nyonya. Kelihatannya sih buru-buru banget,” jelas Pak Kim. “Apa Nyonya tidak tahu kalau Tuan pergi?” lanjut Pak Kim keheranan.
Aku baru tersadar kalau Alex memang sengaja pergi diam-diam. Dia tak membangunkan aku saat akan pergi. Dia tak mengijinkan aku untuk merapika barang-barang bawaannya. Ada apa dengan suamiku?
“Nggak.” Aku menggelengkan kepala dengan kencang, untuk menyamarkan luka di hati ini. Agar Pak Kim tak melihat mataku yang kembali mulai berkaca-kaca. Aku tak ingin Pak Kim melihat setetes pun air yang mengalir dari netraku. Biarlah kesedihan ini kusimpan sendiri. Tanpa seorang pun yang tahu.
“Waduh! Kok bisa begitu?”
“Mungkin karena dia terburu-buru, Pak Kim”
“Oh, ya mungkin. Bisa jadi itu.”
“Ya sudah, saya masuk lagi ya, Pak.”
“Baik. Silakan, Nyonya.”
Aku tersenyum kecut mendengar komentar Pak Kim. Lalu, pergi meninggalkan pria yang usianya kira-kira hampir sama denganku.
Bersambung…!
Sepekan sudah Alex tak ada kabar. Sudah beberapa kali aku mencoba menelponnya. Namun, kedua nomornya tak satu pun aktif. Wa terakhir yang kukirim pun juga belum dia baca. Sehingga aku tak bisa mengetahui kabar beritanya. Membuatku cemas, khawatir, memikirkannya apa yang tengah terjadi pada suamiku.Apakah mungkin gawainya tak mendapatkan sinyal di sana? Ah! Rasanya tak mungkin, di negara yang maju akan teknologinya, bisa susah mendapatkan sinyal. Kecemasanku semakin menjadi.Aku menerawang jauh ke cakrawala dari balkon kamar. Berharap mendapatkan jawaban dari atas sana. Agar bisa melampiaskan kerinduan yang kian mendalam. Pada belahan jiwa yang telah menemani selama dua puluh tahun ini.Alex, dimana kamu, Sayang? Aku sudah rindu padamu. Aku kesepian tanpamu. Aku ingin bercinta denganmu. Menuangkan semua nafsuku hanya untukmu. Aku butuh pelukanmu yang hangat, agar tak kedinginan seperti ini.Tiba-tiba suara gawaiku berbunyi dari dalam kamar.
Setelah Sarah pamit untuk menutup telponnya, aku pun bersiap-siap merebahkan tubuh di atas ranjang. Sendiri, tanpa Alex di sampingku. Aku merasa benar-benar kesepian di kamar ini. Dingin, tak ada pria yang biasanya selalu dengan senang hati bisa memelukku. Dada yang bidang serta tangan yang kekar, membuatku selalu nyaman berlama-lama di sana. Sambil mendengarkan alunan detak jantung yang seirama dengan napasnya.Menit kemudian, mataku mulai terasa berat. Kelopaknya sudah tak mampu menahan bola manik untuk tetap terjaga. Perlahan cahayanya mulai redup, lalu terpejam untuk membawaku ke alam bawah sadar.Berselang tak lama, tiba-tiba pipiku merasakan belaian halus dari tangan yang sangat kukenal. Mengusap lembut disetiap incinya. Membuatku dengan mudah bisa menebak siapa gerangan yang berada di belakangku. Memberikan kejutan cinta yang hangat.Aku menoleh ke samping kanan. Tanpa diberi aba-aba aku bergegas bangun dan menubruk pria berbadan atletis itu. Memeluk tubu
Kurebahkan kembali tubuh ini. Setelah menghabiskan air mineral di dalam gelas hingga kurasa tubuh kembali segar. Mencoba kembali memejamkan mata disisa malam ini.Akan tetapi, sudah beberapa menit mata ini tak mau terpejam. Pikiranku melayang terbawa mimpi yang baru saja kualami. Rasanya seperti benar-benar terjadi. Tiba-tiba saja aku menjadi gelisah. Membayangkan mimpi itu akan menjadi kenyataan.“Ya Tuhan. Jangan sampai terjadi,” gumamku. Kuusap wajah ini. Agar bayangan suram itu menghilang. Tak lagi menggangguku yang sedang kesepian.Kuambil gawai yang tergeletak di sebelahku. Mengusap layarnya, mencoba mengecek beberapa chat di sana. Siapa tahu ada berita dari Alex. Akan tetapi, harapan itu membuatku kecewa. Tak ada satu pun chating dari Alex.Kulirik jam di dinding, jarum pendeknya menunjukkan angka dua, sedangkan jarum panjang menunjuk keangka lima. Ah, ternyata waktunya untuk mengadu disepertiga malam.Bergegas aku beran
Netraku seketika terbelalak, serasa ingin keluar dari kelopaknya. Jantung berdegup sangat kencang hingga mampu memompa kobaran api dalam darah. Walau aku masih belum percaya dengan mata sendiri, tapi aku yakin aku hapal betul sosok itu. Walau dalam gelap sekali pun."Halo, Rania. Are you alrigh?" Tanya Sarah saat melihat ekspresi wajahku yang tiba-tiba berubah."Ada apa, Rania? Jangan kamu buat saya jadi takut juga! Kamu tidak melihat monster, kan?" celetuk konyol Sarah, namun tetap tak kugubris. Aku masih fokus melihat sosok pria yang sangat kukenal sedang berdua-duaan begitu mesra dengan wanita, seperti sepasang kekasih yang sedang kasmaran.Aku bangun dari tempat duduk. Untuk lebih memastikan, aku menghampiri pria itu. Dia nyaris membelakangiku. Sehingga dia tak sadar aku mendekatinya."Alex?" Panggilku sedikit ragu. Pria itu menoleh. Bagaikaan teror menyalip wajahnya. Seketika ekspresinya b
Aku keluar dari kamar Rania. Menuruni anak tangga satu per satu. Sambil melihat suasan rumah Rania yang besar. Rumah yang sangat megah. Disepanjan dinding tangga, dihiasi dengan foto-foto yang terpajang di sana. Aku tertarik untuk melihatnya.Perlahan aku amati satu demi satu foto-foto itu. Tampak sebuah foto pernikahan Rania bersama suaminya. Rania tampak cantik sekali dengan pakaian pernikahannya yang serba putih dan mahkota di kepalanya. Senyumnya selalu memikat pria yang melihatnya. Tak terkecuali Irwan saat kuliah dulu. Aku sempat iri dengannya kala itu.Jojo, kakak tingkat kami saat kuliah dulu. Terkenal pria yang cool dan tak mudah jatuh cinta dengan wanita mana pun. Walau banyak perempuan yang ingin menjadi kekasihnya. Akan tetapi ketika dia mengenal Rania, Jojo langsung jatuh hati tanpa ada yang bisa menghalangi.Aku beralih melihat foto disebelahnya. Tampak dua gadis yang tersenyum manis. Hidungnya mancung, kelopak mata yang sedikit berkantung, gigi gi
Pagi ini saya ingin berkeliling halaman rumah Rania yang luas. Melemaskan otot-otot kaki yang terasa kaku. Sekaligus berkenalan dengan pelayan lain yang ternyata masih ada beberapa pelayan yang bekerja di sini.“Hai, Pak,” sapaku pada seorang tukang kebun yang sedang merawan tanaman. Bapak perawat tanaman itu menyahut dengan menganggukan kepala dengan sopan sambil menyunggingkan bibirnya.Tanaman-tanaman yang dirawatnya tampak indah. Tentunya membuat semakin cantik halaman rumah ini. Semua terlihat terawat dan segar. Beberapa pohon perdu pun tengah dipangkas. Bunga-bunga yang indah terlihat basah seperti habis disiram.Haaa! Tempat yang benar-benar nyaman. Membuat aku betah untuk tinggal di sini. Tapi, ish. aku hanya bisa bermimpi bisa punya rumah senyaman ini.Dari kejauhan saya lihat Lily berlari menuju ke arahku. Dari wajahnya, dia terlihat panik. Tampaknya ada sesuatu yang membuat dia ketakutan seperti itu.“Ada apa,
“Kalau begitu saya akan memberikan dia obat penenang. Tapi nanti diberikan seperlunya saja ketika dia benar-benar membutuhkan obat itu. Dan, saya percaya pada anda. Tolong bantu sepupu saya agar dia tidak mengalami hal-hal yang sama sekali tidak kita inginkan.” Dokter itu memohon padaku dengan tatapannya yang penuh harapan.“Anda bisa mengandalkan saya, Dokter.” Aku meyakinkannya, agar Dokter Harun tidak meragukan kemampuanku untuk mendampingi Rania dalam masalah ini.***Tiga hari sudah aku tergelatak di atas ranjang. Setelah Harun memeriksaku dan Sarah selalu merawat dan memberikan semangat untukku, kini berangsur-angsur kondisiku mulai membaik. Hatiku sedikit tenang, walau terkadang masih terbawa emosi karena mengingat peristiwa di bandara.Aku mencoba untuk bisa mengendalikan emosiku. Demi kedua putriku yang kini sedang sekolah di Amerika.Gawai yang kuletakkan di atas nakas berbunyi. Kulihat Sarah mengambil benda itu la
Aku berdiri di pinggir balkon kamar. Menikmati cakrawala yang dihiasi bintang. Tampak rembulan yang malu untuk bersinar. Terhimpit diantar awan menghitam.Angin malam berhembus sepoi-sepoi. Mengurai rambut lepas tergerai. Wajah sembab pun tak luput dibelai. Membawa rasa menjadi gontai.Hah! Aku menghela napas panjang, lalu menghempaskan perlahan. Melepas sesak yang mengganjal di dada. Agar keluar bersama beban.“Menghirup angin malam kadang-kadang membuat kita terbebas dari tekanan. Tetapi kadang-kadang ia membuat kita terbawa oleh hayalan.” Tiba-tiba suara Sarah muncul dari belakangku. Aku menoleh ke arah sumber suara itu. Rupanya ia sudah berdiri di tengah pintu yang menghubungkan kamar dan balkon.“Sarah? Sudah lama di situ?” sambutku, lalu menyunggingkan bibir dan kembali menikmati pemandangan malam. Menyandarkan tubuh di pagar dinding balkon. Menumpuhkan siku untuk menopang lipatan tangan di dada.Sarah melangkah mendek