Aku menolak Rania untuk membantuku merapikan barang-barang yang aku bawa. Walau sebenarnya aku merasa bingung barang-barang apa saja yang harus kubawa. Karena selama ini hanya dia yang tahu dan mengurus semua keperluan dan kebutuhanku selama dua puluh tahun ini kami menikah. Aku hanya tak ingin Rania tahu, dokumen-dokumen apa saja yang akan kubawa. Aku tak ingin istriku terluka karena melihat dokumen-dokumen ini. Bahkan aku merasa gugup dan tegang karena telah membohonginya.
Segera kututup tas dan koperku. Menguncinya agar Rania tak melihat isi dalam koper saat dia mendekat. "Sudah, nggak usah. Semua sudah selesai aku rapikan sendiri kok," ucapku menepis bantuan yang secara tidak langsung ia tawarkan.
Kulihat dari sudut mata, Rania menatapku. Sepertinya dia merasa heran dengan sikapku yang tak biasa. Semoga keheranannya itu tak membuatnya curiga.
Aku memalingkan wajah, agar dia tak bisa membacanya. Sebab wajah ini mulai menegang akibat kebohongan yang telah kubuat.
"Hans!” aku keluar dari kamar menuju balkon untuk memanggil sopir pribadiku.
“Ya, Tuan?” jawab Hans seketika. Terdengar langkah larinya untuk menghampiriku.
“Koper sama tas saya, tolong kamu taruh di dalam mobil, ya. Sekarang! Soalnya besok pagi-pagi saya berangkat. Biar nggak ada yang ketinggalan," perintahku setelah melihat Hans menaiki tangga lantai atas.
"Baik, Tuan," jawab Hans. Aku bergegas mengeluarkan tas dan koper itu dari dalam kamar sebelum Riana membuka dan mengacak-ngacaknya. Kemudian Hans membawanya turun menuju garasi mobil sesuai dengan perintahku.
“Jangan lupa, besok pagi-pagi kamu antar saya ke bandara, ya,” imbuhku dengan suara agak keras karena Hans hampir menghilang di balik tembok membawa koper dan tasku ke mobil.
“Baik, Tuan!” Terdengar suara Hans menjawab seraya menoleh dan mengangguk.
Saat Hans sudah berlalu, Rania kembali membuka suara. Kali ini ia memaksa menawarkan bantuan. Membuatku kesal, karena aku tak ingin apa yang sudah dirahasiakan, akan terbongkar oleh pertanyaan-pertanyaan yang seolah-olah mengintrogasi. Sehingga membuatku meninggikan suara.
Yah, aku bingung dan kalut. Kali ini aku tak bisa berpikir jernih. Aku takut Rania akan mengetahui hal yang masih menjadi sebuah rahasia karena aku masih belum bisa menyampaikan permasalahan ini padanya.
Sulit. Sangat sulit untuk memulainya. Aku masih belum bisa mencari waktu yang tepat untuk bisa menceritakan ini pada Rania. Biarlah, ini akan menjadi sebuah rahasiaku. Untuk hal yang satu ini saja.
Lagi-lagi Rania menatapku tajam. Tepat di depan wajah ini. Paras yang ayu melukiskan sejuta pertanyaan. Mungkin dia sedang mencari tahu rahasia yang tengah kusimpan?
Apalagi, dia adalah lulusan S2 psikolog dari Universitas Melbourn. Mungkin dengan bekalnya itulah aku takut dia bisa menyusuri permasalahan yang saat ini aku hadapi. Aku segera menuju ke ranjang untuk merebahkan diri, alih-alih menutupi kebohongan uang telah kuciptakan..
Rania menyusul, menjatuhkan diri di sampingku. Dia menyandarkan kepalanya di bahu ini dengan manja. Sehingga aroma rambut dan tubuhnya yang wangi pun menguar. Menggelitik hidung dan membangunkan hasrat yang tidur. Membuat kelelakianku perlahan terbangun.
Apalagi dia mencoba merayu dengan meletakkan tangannya di dadaku. Tak segan dia membuka dua kancing dan memasukkan tangannya ke dalam piama yang kukenakan. Lalu mengusap bulu-bulu halus yang tumbuh di sana dan memainkan ujung jarinya.
Dia hafal betul tempat-tempat yang bisa membuat aku terbuai dan terhanyut oleh rayuannya. Begitulah kebiasaannya ketika dia ingin menawarkan hal yang paling disukai oleh kaum lelaki. Tak terkecuai aku.
Seketika jantungku berdebar, tubuh ini gemetar. Darah pun mulai ikut menggelegar. Apalagi jemarinya mulai bermain di pusaran, aku sudah bisa menebaknya, sebentar lagi pasti dia akan menuju area yang membuatku tak tahan untuk memeluknya dan menyerangnya hingga semua bisa tertuntaskan.
Ah! Aku menahan desahan napas ini hingga terhenti di kerongkongan. Perlahan keringat mulai membasahi tubuhku karena tak sanggup lagi untuk menahan luapan hasrat yang harus kutumpahkan.
Akan tetapi, kali ini aku tak ingin melakukannya. Aku tak mau disaat kami saling bersentuhan, tapi pikiranku melayang bukan untuk dia.
Aku bingung, apa yang harus kulakukan?
Kutepis tangan Rania. Sebuah sikap yang pada akhirnya kuputuskan. Menolak ajakannya untuk bercinta. Walau sebenarnya hati ini merasa berat. Merasa bersalah telah mengecewakannya.
Aku menarik selimut bad cover hingga leher. Memutar tubuh, membelakangi Rania. Untuk menutupi perasaan bersalah ini. Maaf, sayang. Kali ini aku nggak bisa melakukannya. Aku nggak ingin menyakitimu dengan cara seperti ini. Tapi, apa boleh buat, karena saat ini pikiranku sedang melayang jauh, bukan untukmu.
Aku tahu malam ini kamu pasti kecewa karena aku telah menolak ajakanmu. Ah, kecewa? Kenapa aku mengecewakannya? Bukankah aku harus memberikan dia nafkah lahir batin? Nggak. Aku nggak boleh membuatnya sedih, aku nggak boleh membuatnya kecewa. Aku harus memberikan semua apa yang dia minta, termasuk bercinta. Walau malam ini pikiranku sedang kalut.
Kuputar lagi tubuhku, tapi ternyata Rania sudah membalikkan badan membelakangiku.
Ingin aku membangunkan dia. Tapi aku mengurungkannya. Melihat bahunya yang naik-turun dengan teratur sepertinya dia sudah tertidur. Rasanya aku tak tega untuk membangunkan dia.
Ah, ya sudahlah mungkin dia sudah lelah. Gumamku dalam hati. Aku pun memutar kembali tubuhku, menengadah menatap langit-langit kamar, berharap Rania terbangut dan kembali memainkan jemarinya di tubuhku dan kami bisa saling melampiaskan untuk bermadu kasih. Namun, Rania tak kunjung memutar tubuhnya, hingga rasa kantuk mulai menyerang. Tak terasa, perlahan aku mulai terlelap.
Saat terbangun, aku melihat jam di dinding kamar yang sudah menunjukkan pukul setengah tiga pagi. Sejurus aku mengalihkan pandangan ke ranjang, tempat biasa Rania tidur. Namun aku tak menemukannya.
Ah, rupanya dia habis sholat dan tertidur di atas sajadah. Mungkin dia lelah? Aku tak tega membangunkannya.
Aku segera beranjak dari tempat tidur dan melangkah pelan menuju kamar mandi. Aku tak ingin Rania terbangun, karena aku telah mengusik tidurnya.
Rania masih tertidur saat aku keluar dari kamar mandi. Lagi-lagi aku tak ingin membangunkannya. Kubiarkan dia di sana. Bergegas aku mengenakan baju yang sudah dia siapkan semalam. Lalu bergegas keluar dari kamar untuk mencari Hans.
Rupanya Hans juga belum bangun. Mungkin karena masih terlalu gelap? kulihat pintu kamarnya masih tertutup rapat.
Ya, sudahlah. Aku tak usah membangunkannya. Takut aku membuat keributan dan akhirnya Rania terbangun.
Aku segera mencari kunci mobil ditempat biasa Hans menyimpan. Di dalam laci nakas di ruang tengah. Aku menemukannya.
Bergegas menuju garasi dan masuk ke mobil. Namun, aku mengurungkan untuk menyalakan mesinnya.
“Bagaimana kalau nanti suara mobil ini membangunkan Rania dan seisi rumah ini? Ah, sudah lah. Lebih baik aku memesan taksi online saja,” gumamku lirih seraya berbicara sendiri.
Aku kembali keluar dari mobil. Mengambil koper dan tas yang telah dimasukkan Hans ke bagasi semalam. Dan menutupnya kembali dengan perlahan. Lalu, membuka aplikasi dan memesan taksi online. Setelah itu aku berjalan ke depan untuk menunggu taksi online itu yang keberadaannya tak jauh dari rumah ini.
Di pintu gerbang, aku melihat Pak Kim, salah satu penjaga rumah yang hari ini bertugas, tengah tertidur di ruang penjagaannya. Entah, beberapa penjaga
yang lain di mana? Aku tak melihatnya.Akan tetapi ini adalah situasi yang bagus sekali. Seisi rumah tidak akan ada yang tahu kalau aku pergi. Yah, dengan begini aku bisa terhindar dari pertanyaan-pertanyaan yang untuk saat ini aku sendiri tak ingin menjawabnya.
Tetapi, sial! Taksi online itu datang dan membunyikan klaksonnya. Sehingga membuat Pak Kim terjaga dari tidurnya. “Duh, gawat!” umpatku.
“Selamat malam, Tuan,” Pak Kim bergegas keluar dari posnya menghampiriku. Berkali-kali dia berkedip dan mengusap kedua matanya yang masih susah untuk dia buka.
“Malam,” jawabku singkat karena tak ingin bertele-tele.
“Gelap-gelap gini mau kemana, Tuan?” Pak Kim mengedarkan pandangan ke langit. Merasa heran melihatku sudah rapi di waktu yang kebanyakan orang masih terlelap.
Hah! Benarkan? Pasti ada pertanyaan yang aku malas untuk menjawabnya saat ini. Aku menoleh sebentar ke pintu rumah untuk memastikan tak ada orang yang keluar.
Bersambung…!
“Apa yang akan kamu lakukan, Chateryn…?” tanpa memberikan kesempatan pria itu untuk bertanya lebih panjang lagi, aku langsung mengunci mulutnya dengan bibirku. Tak kubiarkan dia sedetik pun mengambil napas tanpa intimidasi dari seranganku, hingga kecapan pun mulai terdengar karena bibir kami saling beradu.Di bawah sana. Di antara kedua belah pahanya. Sebuah benda yang sangat berharga, terasa semakin keras tertindas. Membuatku menjadi semakin penasaran. Ingin melihat seperti apa wujudnya. Apakah sama dengan waktu dia mabuk dulu?Kedua kaki kuturunkan. Lalu, jari-jari tanganku mulai menampilkan kepiawaiannya. Membuka pengait dan resleting yang semakin sempit karenanya. Pria itu menggeliat, antara malu dan mau. Cih!“Chat. Ja-jangan, Chat,” ucapnya tak berkutik.“Sssttt! Pak Alex tenang saja. Kita akan bermain seperti waktu di New Zeland,” balasku sambil membuka dua lapis penutupnya.“Waow!” seru
Seperti hari ini. Disaat aku dan Pak Alex lembur untuk mempersiapkan dokumen-dokumen dan memeriksa beberapa berkas calon investor yang akan meeting besok. Jam kerja sudah berlalu, hari pun sudah semakin larut. Bisa dipastikan semua staf sudah pulang. Tinggal aku dan Pak Alex di ruangan yang sudah terlihat sepi.Sebuah kesempatan buatku untuk melancarkan skandal kedua. Merayu dan menggoda Pak Alex. Agar terperangkap kembali dalam perangkapku. Aku yakin dia pasti tak menolak.Saat mengantarkan kopi yang baru saja kupesan dari deliveri online, aku melihat Pak Alex duduk santai di kursi kebesarannya. Wajahnya setengah menengada, matanya terpejam, dan kedua kakinya dinaikkan, ujung tumitnya bertumpu di atas meja. Serta kedua tangannya di belakang kepala sebagai bantalannya. Pria itu semakin terlihat menarik, membuat jantungku berdebar kencang. Tak tahan ingin memeluknya dan ingin menyandarkan kepala ke dadanya yang bidang.“Hai, Chate. Bawa apa itu? Kamu belum
“Nia, aku tahu kamu pasti menyusulku. Untuk bercinta dengaku kan, Sayang.” Tiba-tiba Pak Alex bangun. Dengan bicaranya yang ngawur dan tubuh yang sempoyongan, dia memelukku. Mendekatkan bibirnya yang masih tersisa aroma wine ke bibirku. Aku pun tak akan menyia-nyiakan hal ini. Kubalas serangan bibirnya hingga ia terjatuh lagi di atas tempat tidur.Berkali-kali pria itu menyebut nama istrinya. Membuat aku menjadi muak, tak suka dengan nama itu dia sebut di saat kami sedang bercinta. Ingin rasanya aku menyumpal mulutnya, hingga pria itu tak bisa lagi menyebut nama perempuan yang sangat kubenci.Tetapi, tak apa lah. Mungkin karena permainan ini baru dimulai. Lagi pula pria itu masih dalam pengaruh alkohol. Jadi aku yang harus bersabar.Permainanku berjalan dengan lancar. Tak ada sedikit pun gangguan. Bahkan Bos Golden ini walau masih dalam keadaan mabuk, dia sangat menikmati permainan yang aku suguhkan. Sepertinya dia merasa sangat puas. Dengan sentuhan
Pada saatnya tiba, ketika setelah kupaparkan semua produk-produk dan kinerja perusahaan secara profesional, beberapa klain banyak yang tertarik. Klain yang semula hanya ingin mendengarkan saja tak berniat untuk gabung pun akhirnya ikut juga menanamkan sahamnya di Golden Group. Sehingga, ketika meeting akan di tutup kami merayakan kesuksesan ini dengan memesan wine. Lebih tepatnya aku yang memesan wine pada pelayan hotel tanpa sepengetahuan Pak Alex.Semula Pak Alex tak meminum wine itu. Aku tahu, ia tak pernah minum minuman yang beralkohol semacam itu. Karena selama ini setiap ada acara meeting atau pesta dan sejenisnya, dia selalu membawa istrinya dan sudah bisa dipastikan ia dalam kendalinya.Hah! Dasar, suami-suami takut istri.Suatu kesempatan buatku. Kubujuk Bos Golden itu untuk meminum wine sebagai tanda penghormatan pada tamu-tamu yang sudah bersedia menanamkan sahamnya ke perusahaannya. Untungnya dia mengikuti saranku. Kemudian meminumnya hingga minuman
“Chat, kamu siap-siap ya. Besok temani saya meeting ke New Zeland. Kali ini Bu Rania tidak bisa mendampingi saya. Karena dia mau nengok ayahnya yang sakit di London,” perintah Pak Alex ketika aku masuk ke ruangannya untuk memberikan berkas-berkas yang akan menjadi bahan meeting besok. Setelah Bos itu memanggilku melalui nir-kable.Ke New Zeland tanpa Bu Rania? Yes…! Akhirnya, apa yang gue tunggu-tunggu terkabul juga. Nenek-nenek peot itu nggak bisa dampingin lakinya buat nemuin klain dan vendor di sana. Jadi, gue yang dapat tugas buat nemenin Bos incaran gue. Setelah sekian lama gue menanti kesempatan ini, pergi dengan Bos tanpa istrinya. Kesempat emas yang nggak boleh gue lewati. Gue harus mempersiapkan sebaik mungkin.Sudah pasti aku menerima tugas dari Pak Alex dengan senang hati, karena istrinya tak bisa mendampingi suaminya.Pertama kalinya aku mendapatkan tugas untuk mendampingi Pak Alex, tugas ke luar negeri tanpa Bu Rania-istrinya.
Hari pun semakin larut. Angin malam berhembus, meniup kesekujur tubuhku. Udaranya yang mulai dingin menembus tulang belulang, menyadarkanku dari lamunan. Kusesap rokok terakhirku, kemudian mematikan puntungnya ke asbak yang ada di atas meja. Lalu kembali masuk ke kamar untuk menyusul Rania yang sudah pergi ke alam mimpinya.Saat setelah mengunci pintu dan menutup gordennya, ketika memutar badan, tanpa sengaja aku melihat wajah Rania yang tersorot lampu tidur yang terletak di sisi pojok ranjang. Wajahnya tampak begitu cantik dengan sorotan lampu itu.Aku mendekat. Berdiri mematung di sana. Kubungkukan badanku serasa membisikan kata, maaf. Lalu, mengecup keningnya perlahan.Setelah puas memandangi wajahnya, aku berdiri. Melangkah menuju sisi lain dari ranjang ini. lalu, menjatuhkan diri untuk pergi berpetualang di alam mimpi. Bersama istri.“Ah…!” Tiba-tiba, sebuah sinar menyilaukan menyorot wajahku. Kuhalangi cahaya itu dengan kedua bela