Netraku seketika terbelalak, serasa ingin keluar dari kelopaknya. Jantung berdegup sangat kencang hingga mampu memompa kobaran api dalam darah. Walau aku masih belum percaya dengan mata sendiri, tapi aku yakin aku hapal betul sosok itu. Walau dalam gelap sekali pun.
"Halo, Rania. Are you alrigh?" Tanya Sarah saat melihat ekspresi wajahku yang tiba-tiba berubah.
"Ada apa, Rania? Jangan kamu buat saya jadi takut juga! Kamu tidak melihat monster, kan?" celetuk konyol Sarah, namun tetap tak kugubris. Aku masih fokus melihat sosok pria yang sangat kukenal sedang berdua-duaan begitu mesra dengan wanita, seperti sepasang kekasih yang sedang kasmaran.
Aku bangun dari tempat duduk. Untuk lebih memastikan, aku menghampiri pria itu. Dia nyaris membelakangiku. Sehingga dia tak sadar aku mendekatinya.
"Alex?" Panggilku sedikit ragu. Pria itu menoleh. Bagaikaan teror menyalip wajahnya. Seketika ekspresinya berubah. Dia terkejut melihat kehadiranku.
Sontak dia melepaskan tangannya yang sedang menggenggam jemari wanita itu kemudian berdiri dari tempat duduknya.
“Ra-Rania? Ka-kamu… di sini?” Alex tergagap. Bergegas dia mendekatiku dengan tingkah konyolnya karena aku memergokinya.
“Ka-kamu… Chateryn? Apa-apaan ini, hah?” Aku menatap mereka secara bergantian. Tubuhku gemetar, kaki lemas, bibir pun bergetar. Rasanya tak percaya, Alex ada affair dengan wanita lain, yang selama ini dipercayakan sebagai tangan kanan kami di perusahaan.
Yah, wanita itu. Dia adalah Chateryn—sekretaris Alex di Golden Group. Induk perusahan yang aku dan Alex bangun dari nol.
“Tenang, Nia. Akan aku jelaskan.” Alex melingkarkan tangannya di bahuku. Dia mencoba menenangkan aku dan mengajakku menjauh dari tempat duduk yang telah dia tempati bersama Chateryn. Karena semua pengunjung kafe melihat dan menyaksikan keributan kami.
Begitu pula dengan Sarah, dia bergegas menghampiriku. Mencoba untuk menenangkan aku dengan berkali-kali mengelus pundakku sambil menatap Alex dengan wajah yang penuh selidik.
"Maaf, Nyonya Alex. Mulai sekarang saya juga sudah menjadi Nyonya Satria Alex Darmawan. Kami sudah menikah tiga hari yang lalu. Dan sekarang, kami akan berbulan madu,” jelas Chateryn dengan mengangkat dagu serta alisnya saat menghampiriku. Dia tersenyum sinis seraya meraih lengan Alex dan menggandengnya mesra. Tak ada rasa sungkan sedikit pun di hadapanku. Seolah-olah dia bangga telah berhasil merebut suamiku.
Deg! Bagaikan tertimpa runtuhan langit hingga lapisan ketujuh yang menggelegar. Aku terhenyak, seketika hati ini hancur berkeping-keping. Hingga tak bisa disatukan lagi. Netraku tak tahan membendung air bah yang mulai meluap dan siap membanjiri pipi.
“Alex. Kenapa kamu bohongi aku, Sayang? Jelaskan semua ini padaku. Kenapa? Kenapa, Alex?" Aku meraung sambil memukul dadanya, mengguncang-guncngkan tubuhnya yang seketika mematung tak bisa berkata. Dia memandangku dengan tatapan yang kosong, sembab dan berkaca. Entah, apa yang sebenarnya terjadi?
Ditengah keributan kami, tiba-tiba terdengan informasi bahwa pesawat menuju Bandara Internasional Paris Charles de Gaulle akan melakukan bording. Seketika Chateryn menarik tangan Alex untuk meninggalkan kami.
“Maaf, Nyonya. Kami mau bording. Sampai ketemu lagi,” ucap Yulia dengan penekanan penuh kemenangan. Seakan dia mencebik dan mencaciku.
“Alex, tunggu. Kamu harus menjelaskan semua ini padaku, Sayang! Jangan pergi. Jangan tinggalkan aku, Alex.” Aku meraung sejadi-jadinya. Hingga tubuh ini menjadi lemas dan terjatuh duduk di lantai. Melihat Alex pergi bersama Chateryn, berjalan beriringan sambil bergandengan tangan dengan mesra untuk berbulan madu.
Melihatku meratap, Sarah segera memelukku. “Sssttt…! Sabar Raina. Sabar. Biarkan mereka pergi. Aku yakin, suatu saat nanti mereka pasti akan kena batunya. Mereka akan menyesal.” Berkali-kali Sarah memberiku semangat dan memintaku untuk bersabar. Walau kutukan tak henti-hentinya dia ucapkan untuk Alex dan Chateryn. Tampaknya dia pun kesal melihat sikap dan perlakuan mereka kepadaku.
***
“Ternyata mimpiku semalam adalah firasat bagiku, Sar,” ungkapku pada Sarah saat kami sudah berada di rumah.
Aku terus menangis, bersandar di sandaran ranjang sambil meratap dipelukan Sarah. Tak menyangka mimpiku semalam menjadi kenyataan. Aku, masih belum bisa menerima kenyataan ini. Membuatku serasa ingin mengakhiri hidup.
Selama dua puluh tahun pernikahaanku, tak pernah Alex mengeluhkan pelayananku padanya. Kami selalu harmonis. Tak ada tanda-tanda Dia mempunyai affair dengan siapa pun. Apalagi dengan Chateryn.
Aku tahu persis bagaimana Alex. Dia tak akan pernah tega menyakiti hatiku apa lagi harus menghianati pernikahan kami. Tapi, kenapa kali ini dia sudah membohongiku. Aku benar-benar tak percaya. Aku berharap ini hanyalah sebuah mimpi buruk seperti mimpiku semalam.
“Ssssst…! Sabar ya, Rania. Tenangkan dulu hati kamu. Istigfar. Saya yakin, pasti kamu bisa melewati ini,” hibur Sarah.
“Pantas saja, selama ini telponnya tak satu pun bisa kuhubungi. Tak ada kabar selama sepekan ini. Pada hal sebelumnya dia pamit ke Osaka untuk bertemu koleganya. Tapi ternyata, dia menikah dengan Chateryn,” ungkapku lagi dengan tersedu.
“Aku tak sanggup hidup seperti ini, Sar. Aku ingin pergi. Aku ingin mati saja. Aku tak bisa diperlakukan seperti ini. Hatiku sakit, Sarah,” imbuhku.
Kuusap muka ini dengan kedua telapak tangan. Seolah-olah ingin membenamka semua kekalutan ini, mengambil, lalu membuangnya jauh-jauh. Rasanya aku tak bisa berpikir jernih lagi. Ingin rasanya menghabisi hidupku. Agar tak bisa melihat mereka tertawa bahagia di hadapanku.
“Hai! Tak boleh kamu berkata seperti itu!” seru Sarah. Rupanya dia terkejut dengan ucapanku yang mulai ngawur.
“Banyak-banyak istigfar, Nia. Allah nggak suka kamu melakukan itu. Nggak baik itu. Sudahlah. Lebih baik kamu istirahat saja. Saya yakin, bangun nanti kamu akan segar kembali. kamu bisa berpikir jernih kembali. Oke?!”
Aku mengangguk pasrah. Sarah menurunkan bantal yang semula kubuat sandaran. Dia menatanya agar aku bisa meletakkan kepalaku dengan nyaman.
“Sarah… jangan pergi. Jangan tinggalin aku,” sergaku seraya meraih tangannya dan menepuk bagian punggung tangannya. Memintanya untuk menemaniku.
“Ya. Oke! Saya nggak kemana-mana. Saya akan di sini. Menginap di rumah kamu. Don’t worry, Rania,” jawabnya sambil menyunggingkan senyumnya.
“Oke. Thank’s,” aku membalas senyumnya, walau sedikit kupaksa. Kemudian membenamkan seluruh tubuhku di balik selimut.
***
Baru kali ini aku berjumpa Rania lagi, setelah sekian lama tak bertemu. Namun sayang, pertemuan kami yang seharusnya membawa kebahagiaan, terjadi sebuah insiden yang tak mengenakkan.
Aku merasa kasihan dengan sahabatku ini. Yang kutahu dia wanita baik, tak pernah berbuat macam-macam. Tak seharusnya dia mendapatkan perlakuan yang menyakitkan seperti ini dari suaminya.
Ah! Tak tahu lah. Aku tak pernah mengenal sebelumnya. Karena kami belum pernah bertemu.
Wajah Rania menyembul keluar dari dalam selimut. Tampaknya dia sudah terlelap. Kutatap lekat wajahnya yang masih seperti dulu. Terlihat cantik, mulus dan terawat, walau usianya sudah hampir seabad.
“Rania… kamu pasti bisa melewati ini. Saya tahu, ini adalah kisah yang buruk dan sangat berat yang pernah kamu alami. Kamu harus semangat. Tak boleh kalah dengan wanita yang sudah merebut suamimu,” ucapku lirih seraya membisikan kalimat itu. Walau tak di telinganya.
Tiba-tiba, perutku berkerucuk. Aku baru ingat, bahwa seharian belum makan. Lebih tepatnya tak jadi makan di kafe itu sebab insiden ini. Sehingga cacing-cacing penghuni usus besar merajuk untuk diberi asupan.
Bersambung...!
“Apa yang akan kamu lakukan, Chateryn…?” tanpa memberikan kesempatan pria itu untuk bertanya lebih panjang lagi, aku langsung mengunci mulutnya dengan bibirku. Tak kubiarkan dia sedetik pun mengambil napas tanpa intimidasi dari seranganku, hingga kecapan pun mulai terdengar karena bibir kami saling beradu.Di bawah sana. Di antara kedua belah pahanya. Sebuah benda yang sangat berharga, terasa semakin keras tertindas. Membuatku menjadi semakin penasaran. Ingin melihat seperti apa wujudnya. Apakah sama dengan waktu dia mabuk dulu?Kedua kaki kuturunkan. Lalu, jari-jari tanganku mulai menampilkan kepiawaiannya. Membuka pengait dan resleting yang semakin sempit karenanya. Pria itu menggeliat, antara malu dan mau. Cih!“Chat. Ja-jangan, Chat,” ucapnya tak berkutik.“Sssttt! Pak Alex tenang saja. Kita akan bermain seperti waktu di New Zeland,” balasku sambil membuka dua lapis penutupnya.“Waow!” seru
Seperti hari ini. Disaat aku dan Pak Alex lembur untuk mempersiapkan dokumen-dokumen dan memeriksa beberapa berkas calon investor yang akan meeting besok. Jam kerja sudah berlalu, hari pun sudah semakin larut. Bisa dipastikan semua staf sudah pulang. Tinggal aku dan Pak Alex di ruangan yang sudah terlihat sepi.Sebuah kesempatan buatku untuk melancarkan skandal kedua. Merayu dan menggoda Pak Alex. Agar terperangkap kembali dalam perangkapku. Aku yakin dia pasti tak menolak.Saat mengantarkan kopi yang baru saja kupesan dari deliveri online, aku melihat Pak Alex duduk santai di kursi kebesarannya. Wajahnya setengah menengada, matanya terpejam, dan kedua kakinya dinaikkan, ujung tumitnya bertumpu di atas meja. Serta kedua tangannya di belakang kepala sebagai bantalannya. Pria itu semakin terlihat menarik, membuat jantungku berdebar kencang. Tak tahan ingin memeluknya dan ingin menyandarkan kepala ke dadanya yang bidang.“Hai, Chate. Bawa apa itu? Kamu belum
“Nia, aku tahu kamu pasti menyusulku. Untuk bercinta dengaku kan, Sayang.” Tiba-tiba Pak Alex bangun. Dengan bicaranya yang ngawur dan tubuh yang sempoyongan, dia memelukku. Mendekatkan bibirnya yang masih tersisa aroma wine ke bibirku. Aku pun tak akan menyia-nyiakan hal ini. Kubalas serangan bibirnya hingga ia terjatuh lagi di atas tempat tidur.Berkali-kali pria itu menyebut nama istrinya. Membuat aku menjadi muak, tak suka dengan nama itu dia sebut di saat kami sedang bercinta. Ingin rasanya aku menyumpal mulutnya, hingga pria itu tak bisa lagi menyebut nama perempuan yang sangat kubenci.Tetapi, tak apa lah. Mungkin karena permainan ini baru dimulai. Lagi pula pria itu masih dalam pengaruh alkohol. Jadi aku yang harus bersabar.Permainanku berjalan dengan lancar. Tak ada sedikit pun gangguan. Bahkan Bos Golden ini walau masih dalam keadaan mabuk, dia sangat menikmati permainan yang aku suguhkan. Sepertinya dia merasa sangat puas. Dengan sentuhan
Pada saatnya tiba, ketika setelah kupaparkan semua produk-produk dan kinerja perusahaan secara profesional, beberapa klain banyak yang tertarik. Klain yang semula hanya ingin mendengarkan saja tak berniat untuk gabung pun akhirnya ikut juga menanamkan sahamnya di Golden Group. Sehingga, ketika meeting akan di tutup kami merayakan kesuksesan ini dengan memesan wine. Lebih tepatnya aku yang memesan wine pada pelayan hotel tanpa sepengetahuan Pak Alex.Semula Pak Alex tak meminum wine itu. Aku tahu, ia tak pernah minum minuman yang beralkohol semacam itu. Karena selama ini setiap ada acara meeting atau pesta dan sejenisnya, dia selalu membawa istrinya dan sudah bisa dipastikan ia dalam kendalinya.Hah! Dasar, suami-suami takut istri.Suatu kesempatan buatku. Kubujuk Bos Golden itu untuk meminum wine sebagai tanda penghormatan pada tamu-tamu yang sudah bersedia menanamkan sahamnya ke perusahaannya. Untungnya dia mengikuti saranku. Kemudian meminumnya hingga minuman
“Chat, kamu siap-siap ya. Besok temani saya meeting ke New Zeland. Kali ini Bu Rania tidak bisa mendampingi saya. Karena dia mau nengok ayahnya yang sakit di London,” perintah Pak Alex ketika aku masuk ke ruangannya untuk memberikan berkas-berkas yang akan menjadi bahan meeting besok. Setelah Bos itu memanggilku melalui nir-kable.Ke New Zeland tanpa Bu Rania? Yes…! Akhirnya, apa yang gue tunggu-tunggu terkabul juga. Nenek-nenek peot itu nggak bisa dampingin lakinya buat nemuin klain dan vendor di sana. Jadi, gue yang dapat tugas buat nemenin Bos incaran gue. Setelah sekian lama gue menanti kesempatan ini, pergi dengan Bos tanpa istrinya. Kesempat emas yang nggak boleh gue lewati. Gue harus mempersiapkan sebaik mungkin.Sudah pasti aku menerima tugas dari Pak Alex dengan senang hati, karena istrinya tak bisa mendampingi suaminya.Pertama kalinya aku mendapatkan tugas untuk mendampingi Pak Alex, tugas ke luar negeri tanpa Bu Rania-istrinya.
Hari pun semakin larut. Angin malam berhembus, meniup kesekujur tubuhku. Udaranya yang mulai dingin menembus tulang belulang, menyadarkanku dari lamunan. Kusesap rokok terakhirku, kemudian mematikan puntungnya ke asbak yang ada di atas meja. Lalu kembali masuk ke kamar untuk menyusul Rania yang sudah pergi ke alam mimpinya.Saat setelah mengunci pintu dan menutup gordennya, ketika memutar badan, tanpa sengaja aku melihat wajah Rania yang tersorot lampu tidur yang terletak di sisi pojok ranjang. Wajahnya tampak begitu cantik dengan sorotan lampu itu.Aku mendekat. Berdiri mematung di sana. Kubungkukan badanku serasa membisikan kata, maaf. Lalu, mengecup keningnya perlahan.Setelah puas memandangi wajahnya, aku berdiri. Melangkah menuju sisi lain dari ranjang ini. lalu, menjatuhkan diri untuk pergi berpetualang di alam mimpi. Bersama istri.“Ah…!” Tiba-tiba, sebuah sinar menyilaukan menyorot wajahku. Kuhalangi cahaya itu dengan kedua bela