Share

2. Lelaki yang Berasal dari Salju

"Hei, bangun!" Aku menendang kaki lelaki itu dengan ujung jempolku karena kupikir akan menyakitkan jika dia kutendang dengan kekuatan kakiku.

Dia masih bergeming. Aku berniat mendekatinya, barangkali dia mati. Atau—tidak, dia tak boleh mati. Aku tak boleh menjadi pembunuh di usia muda. Ehm—maksudku meski tua nanti aku juga tak boleh jadi pembunuh.

"Hei, lelaki mesum. Bangun, atau akan kuguyur kau dengan air dingin," bisikku sedikit mengancam.

Dan anehnya lelaki itu langsung terduduk dan menatap ke arahku.

"Kau mengerti aku bilang apa?" tanyaku, aku berjongkok dengan jarak lima meter darinya setelah berhasil membuat dia tersadar.

Dia mengangguk.

"Darimana kau berasal?"

Wajahnya menengadah menatap ke arah langit.

"Pohon? Kau pikir aku akan percaya?"

Dia tersenyum.

Sial! Senyum itu sangat mematikan untuk jantungku. Senyum yang sangat polos itu dengan bibirnya yang kemerahan dan matanya yang biru. Rahangnya terpahat dengan sempurna.

Apa dia peri?

"Apa kau manusia?"

Dia berpikir sebentar kemudian menggelengkan kepalanya. Aku sontak sedikit menjauh darinya.

Jangan-jangan dia vampire.

"Kau—vampir?"

Dia menggelengkan kepalanya lagi.

"Hantu?"

Dia merengut, baru kali ini aku melihatnya merengut apa itu artinya dia tak suka jika kusebut hantu?

"Lalu kau ini apa?"

Kenapa dia tak mau berbicara? Apa dia bisu? Tapi—sayang sekali kalau lelaki setampan dia bisu. Aku langsung menggelengkan kepalaku sedetik kemudian. Mana mungkin aku menganggapnya tampan.

Aku tertawa samar. Dia tak boleh tahu kalau aku diam-diam memujinya.

Dan …

Tali itu terlepas dengan sendirinya. Mataku hampir melompat dari tempatnya. Kalau dia bisa melepaskan diri mengapa tidak dari tadi malam saja?

Dan setelah dia mampu melepaskan diri. Lelaki itu berlari ke halaman tanpa busana. Kemudian berbaring di atas tumpukan salju tebal dan tampak sangat bahagia.

"Hei! Setidaknya pakai baju!"

Aku langsung berlari. Pemandangan ini tak baik untuk kesucian mataku. Selama ini aku tak pernah melihat lelaki telanjang di depan mataku dengan begitu percaya diri.

Dengan gegas aku berlari masuk ke dalam kamar ayahku. Aku mencari baju lama ayahku yang mungkin masih ada di sana.

Dan ketika aku membuka sebuah peti tua, di sana ada beberapa baju ayahku ketika dia belum ke rumah baru.

Itu artinya baju ketika ayahku masih muda.

Aku mengambil celana panjang dan juga kaos yang mudah dikenakan. Sampai di halaman aku melihat lelaki itu menengadahkan wajahnya ke langit dan tersenyum.

Seakan dia menyukai salju yang masih turun hari ini.

"Hei! Pakai baju!" seruku dia menoleh ke arahku.

Sial! Setidaknya tutup dulu dong itumu.

Aku melemparkan baju dan celana dari tanganku. Dan menyangkut di wajahnya kemudian dia tersenyum.

Dia hanya memandangi baju itu, apa dia tidak menyukainya?

"Kau tak suka dengan pakaian itu?" tanyaku masih dengan berteriak. Tapi tiba-tiba dia berlari ke arahku sangat kencang.

Aku mengambil ancang-ancang kalau dia tiba-tiba memelukku.

Namun itu hanya delusiku saja. Dia menyerahkan baju itu padaku, dan memintaku untuk memakaikannya.

"Kau tak bisa memakainya?"

Dia mengangguk.

"Kau pasti mahkluk purba," gumamku dan dia langsung merengut lagi.

"Maaf, habisnya kau ini masa—pakai baju saja tidak bisa."

Wajahku memanas, mungkin saja saat ini merah. Melihat tubuhnya yang sangat sempurna. Tak hanya wajahnya yang sempurna, tapi tubuhnya juga.

Perutnya rata dengan kotak-kotak seperti lelaki yang kukagumi yang ada di layar ponselku. Apa dia juga rajin pergi ke tampat gym?

"Aku tak bisa memakaikanmu celana," gumamku menatap wajahnya.

Wajahnya tampak bertanya-tanya.

"Jangan bodoh, mana mungkin aku memakaikannya untukmu!"

Aku masuk ke dalam lagi, dan membawa celana pendekku. Aku mempraktikkan bagaimana cara mengenakan celana dan dia melihatnya begitu serius.

Aku ingin tertawa tapi kutahan ketika melihat wajah tampan itu seakan memperhatikan pelajaran fisika di mana ada banyak rumus yang membingungkan.

"Mengerti?"

Dia mengangguk cepat seperti anak anjing puddle. Lucunya.

"Aku akan masuk ke dalam dan aku akan ke sini setelah kau mengenakan celana, oke?!"

Dia mengangguk. Aku tak tahu dia siapa, hanya saja—aku merasa kalau dia bukanlah orang jahat. Dia sangat polos. Dan—jika dia hanya berpura-pura. Mana mungkin dia bisa tahan dengan suhu dingin di luaran sana tanpa menggigil?

Setelah aku selesai membuat teh hangat, aku kembali untuk menemuinya di beranda. Namun dia tidak ada.

"Apa sudah pergi," gumamku. 

Ketika aku hendak masuk sebuah lemparan salju melayang ke beranda. Dan aku melihat lelaki itu sedang tersenyum kepadaku.

"Berhentilah tersenyum seperti orang bodoh," gumamku.

Dia berlari ke arahku lalu menunjukkan salju padaku.

"Salju?"

Dia mengangguk. Aku masih tak mengerti waktu itu apa maksudnya dia menunjukkan salju putih itu.

"Mau main salju?"

Dia menggelengkan kepalanya.

Lalu tangannya menunjuk salju dan dirinya secara bergantian. "Oh kau mau aku menimpukmu dengan salju?"

Dia menggeleng cepat. Sungguh! Aku tak mengerti maksudnya.

Dan setelah dia menunjuk langit, salju lalu dirinya aku menebak. "Apa kau dari salju?" tanyaku.

Dia mengangguk. Sangat semangat seperti anak kecil yang baru saja diberikan permen loli.

"Jangan berbohong, aku bukan orang bodoh," desisku.

Lelaki itu membuang saljunya, lalu memegang kedua pipiku.

Dingin. Sangat dingin.

"Kau sakit?" tanyaku.

Dia menggelengkan kepalanya lagi. Lalu untuk pertama kalinya aku mendengarkan suaranya yang frustrasi karena harus berhadapan dengan perempuan bodoh sepertiku.

"A—ku—bera—sal—dari—sal—ju."

Dia masih terbata, menjelaskan siapa dirinya yang sebenarnya. Dan sialnya aku langsung percaya dengan apa yang dia katakan.

Ketika aku tertegun, kedua sudut bibirnya terangkat membuat senyum manis.

"Bo—doh." Ia berkata masih dengan senyum itu.

Lalu aku tersadar.

"Apa kau bilang! Kau mengatai aku bodoh! Awas kau! Akan kujadikan es serut kalau kau bilang aku bodoh lagi!"

Senyum itu—deretan giginya yang rapi—dan wajahnya yang tampan. Mana mungkin dia berasal dari salju.

Tetapi suhu dingin itu, tidak seperti suhu yang dimiliki manusia. Meskipun dia sedang mengalami hipotermia sekalipun.

PLAK!

Aku menamparnya pelan, agar aku tersadar.

"Sana menjauh dariku, aku kedinginan kalau kau di depanku."

Dia melangkah mundur ke belakang satu langkah.

"Lagi."

Dia mundur lagi seperti apa yang kusuruh.

"Lagi, masih kurang jauh."

Dia mundur dua langkah, sampai—

BRUUK!!

Aku membuatnya terjungkal dari beranda. Tawaku sangat lepas ketika melihat dia terjatuh di atas salju.

Dia tersenyum melihatku tertawa. Aku menghampirinya dan membersihkan wajahnya yang dipenuhi salju.

"Apa aku harus percaya padamu?"

Dia mengangguk. "Harus!"

Aku mengambil salju yang ada di rambutnya. Hati ini mengatakan kalau lelaki itu tak sedang berbohong.

"Oke, aku akan percaya padamu. Tapi kalau sampai kau berbohong—"

Dia memandangku sangat serius.

"Akan kujadikan es serut!"

Dia mengangguk cepat dan mantap.

"Bodoh," desisku.

"Bodoh." Dia membeo ucapanku dan aku dorong tubuh itu sampai terjungkal lagi di atas salju.

Saat itu aku berpikir, mungkin Snow adalah lelaki yang dikirim ayah dan ibuku untuk menemaniku di rumah itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status