Malam ini masih seperti biasa. Menunggu seseorang yang sangat berharga bagi hidupku.
Kekasih? Bukan, dia bukan kekasihku. Tapi aku harus menyebutnya apa?
Dia adalah lelaki yang sudah mengisi hidupku selama lebih dari dua tahun ini.
Dia sangat polos, dia sangat lucu dan dia sangat menggemaskan.
Namanya adalah Snow.
Malam ini katanya akan turun salju. Makanya aku tetap berada di sini tak memedulikan dingin yang hampir saja membekukan tubuhku.
"Masih menunggu dia?" tanya seorang lelaki yang kemudian duduk di sebelahku.
"Hmm, tentu saja," jawabku.
"Apa kau yakin kalau dia akan kembali," desahnya sambil menyandarkan punggungnya di kursi.
"Aku yakin. Dia tak pernah mengingkari janjinya selama ini." Aku tersenyum pada Foster, lelaki yang juga sahabatku.
"Aku masih penasaran."
"Penasaran apa?"
"Bagaimana pertemuan pertamamu waktu itu."
"Apa kau yakin akan mampu mendengar ceritaku sampai pagi?" tanyaku. Sangat panjang cerita mengenai aku dan Snow.
"Tentu. Kau bisa menceritakannya serinci mungkin."
Aku tersenyum. Mataku memandang langit gelap malam ini. Sambil menunggu salju turun, mungkin aku akan menceritakan bagaimana aku bertemu dengan Snow.
Waktu itu …
Aku baru saja kehilangan kedua orang tuaku dalam kecelakaan pesawat. Di dunia ini aku hanya memiliki mereka. Dan sangat berat bagiku jika aku harus menjalani hidup ini sendirian.
Namun—Pamanku Edward menampungku sampai aku lulus sekolah. Karena setelah lulus dari sekolah, aku pun ingin mencari pekerjaan dan hidup mandiri.
Akan tetapi dia menentangnya, karena baginya aku masih seperti gadis kecil beberapa tahun yang lalu.
Yang selalu menangis jika melihat foto ayah dan ibuku.
"Kau tak bisa hidup sendirian, Elena," katanya dengan frustrasi.
Tetapi keputusanku sudah bulat. Aku tak ingin merepotkan Pamanku dan juga istrinya.
Apalagi di rumah itu bukan hanya aku saja yang dihidupi, tapi ada anak seumuranku yang bernama Mia anak dari pamanku.
"Aku bisa, aku pasti bisa. Umurku sudah lebih dari 18 tahun, aku sudah bukan anak kecil lagi."
Setelah perdebatan itu dan setelah aku bisa meyakinkan pamanku. Akhirnya dia bisa melepaskanku pergi. Hanya saja, dia menyuruhku untuk tinggal di rumah ayah dan ibuku.
Rumah yang dulu ia tempati sebelum melahirkanku. Rumah yang tidak aku ketahui karena mereka tak pernah menceritakannya padaku.
Dan aku menerima tawaran itu, asalkan aku bisa hidup sendirian dan mandiri. Kupikir itu tidak akan masalah.
Tetapi ternyata aku keliru. Rumah yang kupikir hanya rumah tua ternyata tak hanya sekadar tua. Maksudku, rumah itu benar-benar seperti tak layak pakai.
Lantai yang berlantaikan dari kayu tersebut seakan bisa roboh jika aku berjalan di atasnya. Dan atapnya—ada lubang yang sangat indah jika malam dan akan menjadi sumber panas jika siang.
Aku benar-benar tak bisa tinggal di sana. Apalagi listrik sudah diputus sejak lama agar tidak terjadi kebakaran.
Sepertinya pamanku sengaja agar aku menyerah. Namun tidak, aku tidak akan menyerah dan akan tinggal di sana. Dan jika sudah memiliki uang maka aku akan menyewa rumah yang lebih layak.
Dan sialnya aku harus pergi ke sana malam-malam. Hawa dingin merasuk hingga ke tulang ketika aku menginjak di pekarangan rumah itu. Sangat gelap dan aku hanya membawa ponsel yang bisa kugunakan untuk menyinari rumah tersebut.
Mungkin jika sewaktu-waktu aku mati. Tak akan ada yang tahu karena rumah ini sangat jauh dari peradaban. Tetangga yang seharusnya ada di sebelah rumahku ternyata jaraknya lebih dari seratus meter.
Aku tak yakin kalau mereka bisa mendengarku jika aku berteriak memanggil mereka.
Aku menghela napasku dalam-dalam. Tak bisa terus menggerutu karena hanya akan membuatku lemah dan payah.
Aku harus bisa membuktikan pada pamanku kalau aku bisa hidup mandiri.
"Aghh!!" pekikku setelah melihat seekor tikus menyambutku dengan berdiri di depan pintu ketika aku hendak masuk ke dalam.
"Sialan!" rutukku.
Bau pengap dan kayu lapuk menusuk ke hidung. Bagaimana aku bisa tinggal di sini?
Kenapa ayah dan ibuku membeli rumah ini? Aku benar-benar tak habis pikir.
Aku meletakkan tasku di atas lantai, dan seperti dugaanku. Kayu lapuk itu terdengar seperti mau patah.
Sepertinya aku harus berhati-hati.
Lalu aku membuka plastik penutup sofa yang ada di ruang tamu. Mungkin untuk sementara aku akan tidur di sofa itu malam ini.
Tetapi … debu langsung terbang ke wajahku dan membuatku sampai terbatuk-batuk.
Astaga! Lalu aku harus tidur di mana?
Aku membuka plastik yang menutupi meja. Mungkin aku bisa tidur di sana satu malam ini, karena debu yang ada di atas meja bisa kubersihkan dengan kain.
Tapi rasanya sangat aneh. Begitu keras dan—tak nyaman.
Namun rasa kantukku mengalahkan semuanya. Sampai pada akhirnya aku tertidur dan tak memikirkan apa-apa lagi.
**
BRUUAKKK!!!
Mataku langsung terbuka karena terkejut. Itu seperti suara benda yang terjatuh ke bawah. Tapi apa?
Aku mencoba untuk memejamkan mataku, karena kupikir itu adalah sapi tetangga yang sedang bermain salju dan terjatuh dari atapku.
Ah sial! Imajinasi macam apa itu. Mana mungkin ada sapi—dan tetanggaku—
Untuk sesaat aku tercenung. Keringat dingin mengucur padahal cuaca sangat dingin. Bulu kudukku meremang, aku sangat takut.
Lalu tak lama setelah aku sibuk dengan pikiranku. Terdengar suara langkah mendekati rumahku.
Lantai kayu yang ada di beranda berderit.
"Tolong, jangan ada maling di hari pertamaku tinggal."
"Rumah ini tak ada apa-apanya. Buat apa maling datang ke sini?"
Aku terus berdoa karena barangkali Tuhan sedang ingin mengabulkan permohonanku.
Suara derit itu tak terdengar lagi. Namun aku malah semakin penasaran. Hingga aku menurunkan kedua kakiku pelan-pelan dan bergerak menuju depan pintu.
Aku mengintip dari jendela yang bertirai debu. Mataku melebar tak percaya ketika melihat apa yang ada di beranda rumahku.
"Pria mesum!" pekikku tertahan.
Aku menutup mulutku sendiri. Melihat lelaki tanpa busana itu ada di depan rumahku.
"Jangan-jangan dia mabuk dan nyasar sampai di sini?"
Aku mengambil tasku—barangkali bisa untuk menyambit lelaki itu.
Akan tetapi, ketika aku keluar. Lelaki itu menatapku dengan wajah yang polos. Mata yang indah itu menyihirku, mata dengan warna biru dan juga kulitnya yang putih pucat.
"Apa kau kedinginan?" Aku malah bertanya seperti itu padanya.
Lelaki itu malah tersenyum, seperti anak lelaki kecil yang sedang menatap ibunya.
Namun senyum itu malah membuatku curiga!
BUG!!!
Aku memukulnya dengan tasku yang sudah kuisi dengan batu sebelum ke rumah ini. Dan alhasil dia pingsan.
Aku mengikatnya tapi sebelumnya kuberi dia selimut agar tidak kedinginan.
Mataku memandang yang aneh pada wajahnya. Dia sama sekali tidak mengeluarkan darah. Dan dalam pingsannya, dia masih bisa tersenyum.
"Dasar orang aneh."
"Hei, bangun!" Aku menendang kaki lelaki itu dengan ujung jempolku karena kupikir akan menyakitkan jika dia kutendang dengan kekuatan kakiku.Dia masih bergeming. Aku berniat mendekatinya, barangkali dia mati. Atau—tidak, dia tak boleh mati. Aku tak boleh menjadi pembunuh di usia muda. Ehm—maksudku meski tua nanti aku juga tak boleh jadi pembunuh."Hei, lelaki mesum. Bangun, atau akan kuguyur kau dengan air dingin," bisikku sedikit mengancam.Dan anehnya lelaki itu langsung terduduk dan menatap ke arahku."Kau mengerti aku bilang apa?" tanyaku, aku berjongkok dengan jarak lima meter darinya setelah berhasil membuat dia tersadar.Dia mengangguk."Darimana kau berasal?"Wajahnya menengadah menatap ke arah langit."Pohon? Kau pikir aku akan percaya?"Dia tersenyum.Sial! Senyum itu sangat mematikan untuk jantungku. Sen
"Waktu itu dia sangat senang ketika kuberikan nama Snow," ucapku pada Foster.Foster tampak menyukai dengan ceritaku ini."Yah, mungkin kalau kau yang memberikan nama itu padaku, aku akan lebih memilih untuk menjadi musuhmu saja," gumam Foster menyebalkan."Kau tau, Foster? Mengapa aku memberikan nama itu padanya?""Apa?"Aku tersenyum sambil membayangkan wajah cerah itu. "Karena dia putih dan sangat polos.""Mana ada lelaki polos, jangan mengelabuiku," ucap Foster tak percaya."Awalnya aku pikir dia berpura-pura, tapi ternyata dia benar-benar polos."**"Snow? Snow?" Dia mengucapkan nama itu berkali-kali seolah baru saja diberikan satu ton berlian."Hmm, Snow. Kau suka?"Dia mengangguk cepat. "Snow, Snowie.""Snow, cukup Snow jangan tambahkan apa-apa di belakang. Itu adalah merk pe
"Snow, kau ada di mana?" tanyaku sambil mencari Snow. Biasanya jam tujuh pagi dia sudah ada di dalam rumah tapi aku tidak melihatnya di mana-mana."Aku di dalam kamar mandi, Elena!" sahutnya.Tanpa berpikiran apa-apa aku pun langsung membuka pintu kamar mandi dan akan pamitan padanya kalau aku akan pergi ke kota pagi ini."Aku akan pergi ke ko—""Astaga! Kau tak perlu berdiri seperti itu bodoh! Dan tolong tutup itumu dulu!" Aku menutup pintu kamar mandi dengan tergesa.Malu rasanya karena sudah dua kali aku dipermainkan oleh Snow seperti ini."Kau mau ke kota, Elena?" Snow keluar dari kamar mandi. Dengan handuk melilit bagian bawahnya.Aku melirik sedikit dan kini bisa menatap wajahnya secara penuh."Kau mau beli kue strawberry untukku?"Dasar si rakus! Selalu saja makanan yang ada di dalam kepalanya!"B
"Elena, ini siapa?" tanya Snow menunjuk foto kedua orang tuaku yang ada di atas perapian."Itu—orang tuaku," jawabku."Lalu gadis kecil ini?""Itu aku.""Kau cantik sejak kecil, Elena."Entah itu pujian atau hanya gombalan yang baru dipelajari oleh Snow. Tapi baru kali ini aku tidak menangis ketika ditanya mengenai orang tuaku.Orang tuaku yang meninggal ketika umurku masih delapan tahun. Kalau saja dulu aku ikut mereka, mungkin aku tak akan menjadi yatim piatu seperti ini."Mereka ada di mana, Elena? Mengapa aku tak pernah melihat mereka?""Mereka—" Akhirnya aku tak bisa menahan air mata yang sudah berkumpul di pelupuk mata.Aku melihat bayangan Snow bergerak menghampiriku yang saat ini sedang membersihkan debu di sofaku."Mereka—sudah meninggal, Snow," jawabku pelan lalu sekuat tenaga aku menahan agar tangisan ini
Untuk pertama kalinya, aku meninggalkan Snow berada di rumah itu sendirian. Bukan hanya satu atau dua jam, melainkan sampai enam jam lamanya karena aku harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami berdua.Apalagi akhir-akhir ini Snow sangat menyukai makanan manis yang harganya sebenarnya lumayan. Bisa untukku hidup selama satu minggu.Bus datang tak lama aku menunggu. Mulai hari ini aku akan menjalani hidup yang lumayan sibuk.“Dia sedang apa ya?” tanyaku pada diriku sendiri ketika menatap ke arah jendela. Tak mungkin dia akan bertahan menjadi batu selama seharian.Aku tersenyum tanpa sadar. Mengapa tingkah Snow bisa membuatku menjadi aneh seperti ini?Aku tidak tahu apakah dia benar-benar polos atau bagaimana. Tetapi yang aku rasakan selama tinggal dengannya dia itu sangat manis. Sikapnya sangat menggemaskan dan membuatku tidak merasa kesepian lagi.Namun ketika teringat jika dia ti
“Harusnya tadi kita naik motor saja, Elena,” ucap Peter ketika kami baru saja turun dari bis yang mengantarkan kota sampai ke desa.Aku menoleh terkejut ke arahnya, tak mengerti sekaligus penasaran.“Memangnya kenapa? Aku lebih suka jalan kaki.”“Apa kau tak lelah?”Apa Peter sedang perhatian padaku. Mengapa dia bertanya hal itu padaku. Memang sih aku lelah, karena sudah berdiri seharian di belakang meja kasir. Bahkan tidak bisa duduk lantaran pengunjung yang tak ada hentinya.“Tidak.”Ya, aku menjawab seperti itu saja pada Peter.Ia kemudian mengedarkan pandangannya ke sekitar. Malam belum begitu larut. Padahal masih jam enam. Tetapi sudah mulai gelap karena lampu penerangan yang jarang.“Apa kau yakin akan terus pulang pergi dengan jalan ini?”“Iya, memangnya kenapa?”“Kupikir kau harus ditemani oleh seseorang Ele
“Apa kau marah padaku, Snow?” tanyaku ketika sejak tadi Snow diam dan tak banyak bicara seperti biasanya.“Tidak,” jawabnya singkat.“Jangan bohong makhluk jelek, aku tau kalau kau sedang marah padaku. Kenapa? Apa karena masalah kue strawberry, hah?”Snow diam, dia malah mendelik tajam ke arahku. Sesekali aku mendengar gumamannya yang tidak jelas dan seperti menggerutu. Aku masih tidak yakin penyebab dia marah kepadaku.Sampai akhirnya dia bertanya padaku dan pertanyaan itu membuatku menjadi bisu.“Apa kau menyukai lelaki tadi, Elena?” tanya Snow.Aku diam. Sama sekali tidak bisa berkata apa-apa atau pun menjawab pertanyaan dari Snow. Dari mana sih, dia bisa bertanya mengenai hal itu padaku?“Kenapa? Kenapa kau bertanya hal itu padaku.” Awalnya aku mengira kalau dia akan cemburu atau semacamnya, tapi ternyata tidak. Semua tidak seperti yang aku pikirkan.
Aku sempat pingsan sampai satu jam. Dan orang yang mengangkat tubuhku ke atas ranjang adalah Snow. Yah, siapa lagi kalau bukan dia, karena tak mungkin Peter yang akan menggendongku.Tapi, ngomong-ngomong soal Peter, aku masih tidak enak karena aku tidak masuk bekerja di hari keduaku.“Maafkan aku, Peter,” ucapku tadi ketika di telepon.“Tak apa-apa, Elena. Yang penting kau harus sembuh dulu.”Aku yakin jika Peter saat ini tidak baik-baik saja, sebab aku sempat mendengar suara pelanggan yang memanggilnya dan menanyakan stok roti gandum padanya.“Elena, maaf. Aku akan menghubungimu nanti, oke.” Suaranya sangat terburu-buru. Aku berani bertaruh kalau dia sangat sibuk sekarang.Aku menghela napasku, diikuti oleh bayangan yang sejak tadi melihatku di sofa di kamar tidurku.“Maafkan aku, Snow.” Aku memijat kepalaku yang masih pusing. “Aku tak bisa membuatkanmu sarapan sep