Janu menjadi semakin bertanya-tanya, siapakah sebenarnya si gadis singa jantan itu? Smith adalah orang yang sangat misterius bagi Janu. Pikiran dan tingkahnya tidak bisa ditebak.
Jika mengacu dari cerita Pak Hadi, sepertinya ia adalah seorang yang berada, yang memiliki banyak harta. Tapi jika itu memang benar, mengapa Smith seolah-olah menutupi segalanya? Ia terlihat sederhana. Bahkan sangat sederhana.
Janu pun menanyakan keanehan itu kepada Pak Hadi. Tapi ia tidak mendapat banyak informasi perihal tersebut.
Pak Hadi juga tidak tahu pasti tentang hal itu. Ia hanya mengatakan bahwa Smith selalu datang ke rumahnya dengan menaiki angkutan umum yang berisi perkakas-perkakas tertentu yang di bawah Smith untuk keluarganya.
"Nona Smith selalu carter angkot, Mas. Dan memberi istri saya amplop tebal berisi uang pecahan seratus ribuan. Nona smith tidak pernah menceritakan banyak hal tentang dirinya atau keluarganya. Dia hanya terus bertanya ataupun berbicara soal keluarga saya. Dia berharap saya dan keluarga saya selalu dalam keadaan sehat dan bahagia.
Tapi jika Mas Janu ingin tahu tentang Nona Smith lebih banyak lagi, Mas mungkin bisa mencari tahu sendiri dengan pergi ke rumahnya.
Ini alamat rumah Nona Smith. Dia memberikan alamat ini barangkali kalau hal buruk menimpa keluarga saya dan Nona Smith sulit untuk dihubungi. Saya diminta untuk langsung datang ke rumahnya."
Janu menerima secarik kertas yang diberikan oleh Pak Hadi. Ia membaca sebentar alamat rumah yang tertera dalam kertas itu. Janu tahu benar bahwa itu adalah kompleks perumahan elite di Bandung.
***
Ting tong...
Suara bel rumah berbunyi. Janu sedang berdiri di depan rumah Smith. Ia menunggu seseorang membukakan pintu untuknya.
Tak lama setelah itu seorang satpam menggeser pintu gerbang sedikit. Hanya cukup untuk seorang saja.
"Apa benar ini rumah Smith, Sasmitha Maharani?" tanya Janu setelah memasang senyum lebar.
"Ya benar. Mas siapa?" Pak Jono memandang Janu lekat-lekat, mulai ujung kaki ke ujung kepala. Ia belum pernah melihat pemuda di hadapannya sekarang.
"Saya teman satu kelas Smith. Saya datang ke sini untuk mengerjakan tugas kelompok dengannya."
"Baik, silakan masuk."
Pak Jono membuka gerbang lebih lebar. Janu pun masuk ke dalam rumah Smith.
Sejak awal tiba di depan rumah gadis singa jantan itu, Janu mulai bertanya-tanya lagi. Jika memang rumah yang sangat megah dan mewah itu adalah tempat tinggal Smith, tentu dugaannya selama ini bena. Dan bisa jadi ada lebih banyak kebenaran yang disembunyikan Smith dari semua orang.
"Maaf Mas, Nona Smith sedang keluar. Jadi silakan tunggu di sini dulu. Saya akan kembali ke pos satpam. Nanti Bibi Ipah akan membuatkan minuman untuk Mas. Mas suka teh atau kopi?"
"Tidak usah repot-repot Pak. Saya akan menunggu di sini sampai Smith pulang."
Pak Jono pun meninggalkan Janu sendirian di ruang tamu. Tak lama sesudah itu Bibi Ipah datang membawa secangkir kopi juga sebuah toples berisi kacang mede.
"Silakan diminum, Mas. Mungkin Non Smith akan sedikit terlambat. Biasanya kalau hari Selasa, Non Smith pulang sedikit lebih malam," ujar Bibi Ipah sambil meletakkan cangkir di depan Janu.
"Terima kasih, Bi. Kalau boleh tahu, Smith sekarang ada dimana?"
Janu langsung mengambil cangkir berisi kopi, lantas menyeruput sedikit, sekadar untuk membuat Bibi Ipah senang.
"Biasanya Non Smith kalau hari Selasa sepulang dari kampusnya, dia akan pergi berbelanja untuk anak-anak panti. Nona Smith bisa menghabiskan banyak waktu di pantai asuhan."
Janu diliputi tanda tanya antara tidak percaya dan kagum. Rasa-rasanya jika melihat perangai Smith yang mirip singa jantan itu sulit dipercaya kalau gadis itu suka dengan anak-anak, namun entah benar atau tidak, rasa kagum dalam diri Janu pada Smith semakin bertambah.
"Bi Ipah, apa Bibi sedang repot?" tanya Janu saat Bibi Ipah hendak meninggalkannya, kembali ke dapur.
"Ada apa, Mas?" kata Bibi Ipah dengan wajah sangat serius.
"Sebenarnya, saya sedang dalam masalah," ujar Janu setengah berbisik, membuat wajah Bibi Ipah menjadi tegang.
"Saya menjadi teman satu kelompok Smith. Kami hanya berdua. Ini tugas untuk kelompok kecil. Tapi, saya sangat takut, Bi."
Janu sengaja memenggal ucapannya untuk membuat Bibi Ipah masuk dalam suasana yang ia bangun.
"Takut kenapa, Mas?"
"Smith itu sangat menakutkan. Dia sangat galak dan tidak banyak bicara. Apapun yang saya katakan selalu saja salah. Apa menurut Bibi, saya harus mencari teman lain saja?" ujar Janu tidak sepenuhnya jujur. Ia berkata demikian hanya untuk memancing Bibi Ipah supaya menceritakan soal Smith.
"Hahahaha, apa Mas..."
"Janu," sahut Janu mengenalkan namanya.
"Apa Mas Janu tahu, saya berani bertaruh, Mas akan jatuh cinta jika tahu seperti apa Non Smith sebenarnya. Hahaha."
Bibi Ipah yang sudah tidak muda itu melanjutkan tawa lantangnya, merasa lucu mendengar pengakuan Janu. Lantas pergi berjalan menuju dapur sambil mengusap titik air di ujung mata. Tanpa memberikan informasi lainnya.
Sebenarnya itu cukup mengecewakan sebab Janu sudah kadung berharap bisa mendapatkan informasi lebih banyak. Namun, tidak dipungkiri, perkataan Bibi Ipah menambah rasa penasaran dalam dirinya.
***
Pukul 20.55 Smith tiba di rumahnya. Ia sangat terkejut saat membuka pintu rumahnya karena Janu sedang duduk di lantai sambil mengoperasikan laptopnya.
"Sedang apa kau di sini?" tanya Smith dengan nada malas.
"Seperti yang sudah aku katakan padamu, aku akan datang ke rumahmu. Apa kau sudah lupa kalau aku ini teman satu kelompokmu? Kita belum berdiskusi sama sekali. Aku tidak ingin mendapat masalah hanya karena tidak mengerjakan tugas."
Smith menghembuskan nafas berat. Janu bisa melihat ada lelah di wajah gadis itu.
"Sudah aku katakan padamu, aku akan mengerjakan tugas itu sendiri dan namamu akan aku sertakan dalam tugas itu. Jadi, pulanglah. Aku sedang tidak ingin menerima tamu malam ini."
Smith berdiri masih dengan wajah malas. Sedari tadi Smith juga berbicara dengan suara yang cenderung pelan.
Tok, tok, tok!
Suara pintu diketuk. Mengagetkan Smith dan Janu.
"Haaah, siapa lagi orang sinting yang bertamu malam-malam begini?" kata Smith sambil mendengus dongkol. Ia tahu itu bukan Hendry. Sebab jika yang ada di balik pintu adalah sang ayah, biasanya Hendry akan langsung masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
Smith berjalan menuju pintu dengan wajah malas. Wajah itu tidak berubah sedikit pun ketika ia membuka pintunya. Bahkan menjadi semakin malas ketika melihat siapa orang di balik pintu rumahnya."Untuk apa kau ke rumahku malam-malam begini? Apa tidak bisa bertamu besok saja? Pulanglah! Aku sedang malas untuk menerima tamu," ujar Smith sambil menoleh ke belakang sesaat. Melihat seorang tamu lainnya yang tengah duduk di lantai, yang membuatnya sudah ingin tidur saja."Aku hanya datang membawa makan malam untuk ayah. Mama membuatkan makanan ini secara khusus. Ini menu kesukaan ayah, nasi goreng spesial pakai udang," kata gadis tinggi semampai yang rambut panjangnya diikat rapi itu."Apa kau pikir aku peduli? Lagipula ayahmu tidak ada di sini. Jadi pulanglah! Aku sangat lelah."Smith memegang kepalanya dengan tangan kiri. Entah bagaimana rasa pening langsung ada di sana. Sementara tangan kanannya di gerak-gerakkan sebagai
Selama beberapa saat ruang tamu di rumah Smith begitu sunyi. Baik Janu ataupun Sisil sama-sama merasa canggung untuk memulai percakapan lagi, setelah Smith benar-benar tidak terlihat.Mereka adalah teman lama. Dan sayangnya, pertemuan pertama mereka setelah sekian lama terpisah, ternyata dihadapkan pada keadaan yang tidak semestinya."Sisil, terima kasih ya, walau bagaimanapun berkat dirimu aku bisa mendapatkan beasiswa di kampus yang aku inginkan," kata Janu yang berusaha memperbaiki suasana dengan membicarakan masa lalu."Tidak, tidak. Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya memotivasi dirimu untuk mendaftar saja. Selebihnya ya, semua berkat kemampuanmu sendiri," tukas Sisil sambil tersenyum."Sisil, maafkan aku, tadi aku mendengar percakapanmu dengan Smith. Jadi, mengapa kau menunggu ayahmu di sini?"Pada akhirnya Janu tidak bisa menahan diri lagi. Ia sungguh-sungguh ingin tahu mengapa Sisil ada b
Pukul 23.45, Hendry tiba di rumah. Ia membuka pintu menggunakan kunci cadangan dengan sangat hati-hati, tidak ingin membangunkan penghuni rumah.Bibi Ipah memang tidak pernah membiarkan kunci rumah menempel di pintu. Sengaja agar sang majikan bisa membuka kuncinya dari luar.Hendry mengendap perlahan, masuk ke dalam rumah. Benar-benar tidak ingin memunculkan suara-suara tertentu. Ia juga tidak menyalakan lampu yang telah dipadamkan.Tapi Smith tahu kalau ayahnya telah datang. Gadis itu selalu tahu. Sebab diam-diam, dalam batinnya, Smith juga mencemaskan sang ayah sebagaimana yang dirasakan Sisil.Smith tersenyum dan kembali memejamkan mata. Sebelumnya ia tengkurap, terlentang, miring ke kanan dan ke kiri, juga mempraktikkan posisi seperti orang tengah sujud, lantaran kantuk tidak juga mendatanginya.Apapun posisi tidurnya, yang terpenting memang ketenangan bati
Setelah kematian ibunya, Smith mulai belajar bisnis. Seorang manajer kepercayaan Lisa-lah yang dengan telaten mengajari Smith remaja tentang bisnis butik.Manajer dengan nama panggilan Sheira itu merupakan sahabat baik Lisa. Ia mengetahui semua hal buruk yang dialami Lisa dan Smith karena ulah Hendry. Itu sebabnya, Sheira selalu ada kapanpun Smith membutuhkannya.Hingga kini Sheira masih setia mendampingi Smith dalam mengelola butik peninggalan Lisa. Sebetulnya bisa saja ia berhenti menjadi manajer dan membuka butik sendiri. Sheira memiliki lebih dari cukup uang untuk itu. Tapi Sheira tidak melakukannya.Sheira sudah berjanji pada almarhum sahabatnya, akan menjaga Smith dengan sebaik-baiknya. Ia selalu ada untuk Smith.Tapi Smith memang terlalu dewasa. Gadis itu tidak pernah sedikitpun merasa perlu untuk merepotkan Sheira. Ia selalu melakukan semuanya sendiri, kecuali soal butik yang mema
Suasana sore di butik terasa sangat panas. Bahkan pendingin ruangan seperti tidak berfungsi.Ketegangan melingkupi batin para karyawan ataupun pengunjung butik. Melihat Smith bersitegang dengan ibu sambungnya.Para pengunjung yang semula tidak begitu menghiraukan keributan kecil di sana, kini mulai mengabaikan pakaian yang menyita perhatian mereka, dan turut menyimak apa yang terjadi.Ketika itu, Sheira, sang manajer butik memang sedang tidak bekerja. Ia mengambil cuti karena ibunya sedang sakit.Itu sebabnya, Smith harus mengurusi sendiri masalah ibu sambungnya yang menyebalkan itu. Biasanya Smith tidak akan keluar ruangan jika Sinta, Sisil, atau ayahnya datang berkunjung. Ia juga meminta Sheira dan para karyawan agar tidak mengatakan keberadaannya."Smith, kau tidak boleh pergi jika ibumu sedang bica
Smith masih bisa tersenyum pada seluruh karyawan ketika berjalan masuk ke dalam ruangannya. Orang-orang di dalam butik pun tersenyum lebar, turut senang karena Smith telah memberikan pelajaran telak pada ibu sambungnya yang terlihat sangat kejam itu.Tapi Smith tetaplah gadis biasa, yang memerlukan dekapan dari orang tersayang untuk membantu membuat batinnya tenang kembali.Smith terlihat sangat tegar dan kuat untuk segalanya di hadapan semua orang. Namun, setelah ia masuk ke dalam ruangannya dan pintu telah terkunci, gadis itu tidak bisa lagi menyembunyikan segalanya.Smith merebahkan tubuhnya yang bergetar di atas sofa. Ia meringkuk sambil memeluk erat sebuah bantal berbentuk bunga.Gadis itu memejamkan mata erat-erat. Lekas-lekas diikuti rembesan air hangat dari kedua matanya. Smith menangis tanpa bersuara. Ia tidak menger
Pak Jono menelan ludah. Lidahnya seperti kaku hingga sulit untuk dipakai berbicara."Haaah, apa ini acara yang diadakan Lisa? Untuk apa dia mengadakan acara di rumah saat sedang sakit begitu? Melihat rumah ini, benar-benar membuatku semakin lelah," ujar Hendry yang terus mengoceh karena dongkol. Ia yang sudah sangat letih mengurus perusahaan, masih harus repot dengan masalah rumah tangga yang menurutnya sangat konyol."Tuan, apa Tuan belum tahu apa yang terjadi?" tanya Pak Jono kemudian dengan suara ragu-ragu. Wajah lelaki itu sampai pucat menahan takut."Katakan, apa yang terjadi? Mengapa keluargaku menjadi semakin aneh? Aku tidak habis pikir atas tingkah istri dan anakku. Belum juga seminggu aku tidak pulang, semuanya menjadi sangat berbeda. Bagaimana jika aku pergi selamanya? Aku benar-benar bisa gila," tukas Hendry sembari mengusap dahinya."Tuan, jangan bicara begitu. Kasihan Nona Smith jika Tua
Smith baru keluar dari dalam ruangannya setelah melihat merah di hidung dan matanya telah menghilang. Ia juga berdeham beberapa kali untuk menghilangkan serak dari tenggorokan."Siapa yang datang?" tanya Smith tanpa melihat wajah orang yang ia ajak bicara, khawatir kalau-kalau masih tersisa kesedihan di wajahnya."Tidak tahu, Nona. Dia belum pernah kemari sebelumnya. Saya pikir, dia datang secara khusus untuk mengunjungi Nona," ujar salah seorang karyawan sambil tersenyum-senyum. Smith juga melihat para karyawan lainnya memandang dirinya dengan senyum yang tidak biasa.Hal itu membuat Smith bertanya-tanya, mengapa seorang tamu sampai membuat karyawannya menjadi demikian? Aneh!Ini bukan kali pertama ia mendapat tamu. Orang-orang sering datang menemuinya untuk memesan baju dengan desain khusus. Smith memiliki dua perancang busana yang andal di butiknya, yang bisa memuaskan para pelanggan dengan desain yang dibuat.