Akan ada badai besar.
Hazkiel bisa merasakannya dari angin yang bertiup, dingin dan kuat, dan dari awan mendung yang bergulung-gulung di langit, membuat penjuru negara ini diliputi kegelapan.
Orang biasa akan mengira bahwa fenomena ini terjadi semata-mata karena cuaca buruk. Tapi tidak. Semua ini karena makhluk itu.
"Tuan Putri! Kita harus segera!" Suara lelaki yang familiar muncul dari belakang Hazkiel, membuatnya dan sang Putri menoleh.
Pertama kali Hazkiel mendengar panggilan itu, ia merasa geli. Karena yang dipanggil Putri itu jauh lebih muda darinya, dan sikapnya sama sekali tidak mencerminkan seorang putri.
Tapi setelah semua yang mereka jalani bersama, Hazkiel tak pernah lagi menganggap sang Putri sebagai lelucon.
"Hazkiel, ingat pesanku."
Hazkiel hanya bisa mengangguk.
Dia ingin sekali mengatakan supaya mereka mencoba cara lain. Ingin mengatakan bahwa semua tak perlu berakhir di sini.
Ingin mengatakan bahwa Hazkiel tak bisa melewati hari setelah ini tanpa dirinya.
Tapi itu hanya suara keegoisannya. Ada negara yang tengah dipertaruhkan dan bukan waktunya untuk mementingkan diri sendiri.
Sang Putri menoleh padanya, matanya yang selalu tajam saat bertempur, melembut untuk sesaat. Mata Hazkiel melebar tatkala melihat air menetes dari sepasang mata yang sering mencuri pandang padanya setiap kali mereka menghabiskan malam bersama, menatap jajaran bintang yang dia bilang adalah rumahnya.
Sekarang atau tidak akan pernah. Bisik hati kecil Hazkiel. Masa bodoh dengan egoisme, masa bodoh dengan kehancuran negara ini. Bagi Hazkiel hanya wanita ini saja yang paling penting.
“Lanaya, aku—“
"Sebenarnya aku ingin kita selalu bersama."
Hazkiel terperanjat. Mengapa Lanaya mengucapkannya sekarang? Kata-katanya hanya membuat pertahanan emosi Hazkiel runtuh.
Lanaya mulai berlari menjauh, setelah mengucapkan kalimat perpisahan yang akan menghantui Hazkiel seumur hidupnya. Hazkiel mengulurkan tangannya, mencoba mengejar. Ia hendak meraih Lanaya, namun terhenti oleh sebuah sinar yang amat terang membutakan matanya.
Suara guntur dan kilatan petir menggelegar di angkasa, bersamaan dengan sebuah ledakan besar.
"LANAYA!!!"
Hazkiel terlempar ke belakang oleh kekuatan itu. Ia tahu seharusnya ia tadi menyingkir, tapi ia tidak bisa. Hazkiel ingin memeluk Lanaya. Hal yang selama ini ingin ia lakukan namun tak pernah terwujud.
Tapi sekarang, itu sudah tidak mungkin.
*
123 tahun kemudian...."Apakah kau selalu memakai celana ketat seperti itu?"Gemma melirik dari balik rambut panjang merah kecokelatan yang menutupi wajahnya. Ia tengah menikmati bir dingin setelah penampilan yang melelahkan beberapa menit yang lalu. Tidak bisakah orang-orang meninggalkannya sendirian saja untuk sesaat?Gemma memilih untuk tidak menjawab pertanyaan itu. Tapi yang ia lakukan justru membuat mereka semakin terpancing."Aku mendengar desas-desus bahwa kau adalah wanita yang sulit didekati. Tapi apa maksudmu dengan pakaianmu yang seperti ini, yang membuat semua lelaki berpikir bahwa kau 'terbuka' pada kami?"Gemma dapat merasakan seringai dari laki-laki yang mengajaknya bicara. Ia pun mendongak, memutuskan untuk melihat si pongah itu dengan lebih jelas.Gemma mencebik. Tipikal lelaki kaya yang mendapatkan hartanya dari warisan orang tua. Kemeja mahal dengan setelan jas buatan desainer. Rambut hitam yang disisir rapi ke b
Gemma pikir seumur hidupnya ia tidak akan pernah keluar saat langit Elenio masih gelap. Tapi setelah ia pindah ke Ayria, ibukota Elenio, ia justru mempunyai kesempatan itu.Walaupun tak sepenuhnya gelap saat Gemma keluar, tetap saja ia merasakan sensasi yang berbeda. Gemma masih ingat bagaimana tubuhnya menyambut pengalaman pertamanya saat itu. Jantungnya yang berdegup tidak karuan, kakinya yang tak bisa berhenti gemetar. Bau udara malam menjelang pagi yang berembus, membelai kulit dan rambut Gemma. Dingin, lembab, dan sesuatu yang tak pernah bisa Gemma imajinasikan sebelumnya membuat seluruh tubuhnya larut dalam sebuah perasaan yang ... Ajaib."Kenapa kau suka sekali memancing keributan?"Gemma mendengus. Maya masih saja membahasnya?Siapa juga yang tahu kalau lelaki kaya tadi adalah tamu VIP di kelab malam itu?"Bukan aku yang memulai duluan,” jawab Gemma. Ia masih memandang keluar jendela mobil, tak mau melewatkan kesempatan melihat warna langit yang
Gemma bangun saat matahari sudah menggantung tinggi di langit dan membuat hawa di dalam loteng menjadi sangat panas.Walaupun Gemma sudah membuka lebar-lebar jendela sebelum ia tidur, angin sepoi-sepoi yang masuk dari situ tak lagi mampu meredakan rasa gerah yang membuat Gemma banjir keringat.Gemma bangun dan duduk sejenak di atas kasur. Ia memandang berkeliling loteng yang kini menjadi kamarnya. Ruangan berukuran tiga kali lima meter dengan atap miring yang rendah. Untungnya Gemma memiliki badan yang mungil sehingga ruangan ini tidak terasa sesak untuknya.Sebuah lemari berisi baju-baju yang kebanyakan Gemma peroleh dari pasar loak, berdiri kokoh di sudut. Meja rias yang diatasnya berserakan alat rias seadanya. Sebuah rak buku yang penuh dengan buku-buku yang Gemma ambil dari perpustakaan. Ia sudah membaca sebagian besar buku di situ dan sudah waktunya ia mengganti koleksinya.Gemma membawa beberapa buku yang sanggup ia bawa, kemudian turun melalui tang
Seorang dengan badan lebih kecil mengacungkan telunjuknya pada Gemma.Gemma menaruh telapak tangannya di dada dan bertanya dengan polos."Aku? Kalian mencariku?"Pria satunya, dengan badan bongsor yang membuat kaosnya terlihat bersusah payah menahan perut buncitnya, mendengus dengan kesal dan menaikkan nada bicaranya."Tidak usah pura-pura tidak tahu! Gara-gara kau, kami harus berada di rumah sakit selama tiga hari!!!"Gemma memiringkan kepalanya. Kini ia ingat siapa mereka. Dua orang itu adalah pria-pria yang ia hajar di sebuah kelab malam tempat Gemma mengadakan konser minggu lalu. Gemma menghajarnya karena mereka berani melakukan pelecehan pada seorang pelayan di sana.Yah, walaupun alasannya terdengar benar, tapi tetap saja pemilik tempat itu tidak mau tahu dan meminta ganti rugi pada Gemma."Hanya tiga hari? Kupikir sampai satu minggu."Gemma menekan jari-jari tangannya sampai menimbulkan bunyi. Pandangan matanya menggelap. Apa me
"Kita mau kemana?"Gemma bertanya ketika iring-iringan mobil terus melaju, melindas aspal jalan lingkar luar timur kota Ayria, alih-alih menuju ke markas cabang Archturian di sebelah barat Ayria.
"Mohon maaf atas ketidaknyamanan selama perjalanan. Hanya protokol standar saat kami harus membawa orang asing ke markas."Kata-kata itu menyambut Gemma saat ia mulai bisa membuka mata. Dari napasnya yang tak terhalang, Gemma tahu kalau
Gemma meletakkan satu tangannya di atas meja, dan tangan yang lainnya menyangga dagu. Jenis ancaman seperti ini sudah usang untuknya."Kau pikir aku peduli dengan apa yang terjadi pada hidupku?" cemooh Gemma.Gemma tahu bahwa pria misterius itu tidak menyangka ia akan memberi jawaban seperti ini."Hal terakhir yang pasti terjadi pada semua manusia adalah kematian. Tidak ada yang perlu ditakutkan,” ucapnya lagi.Walaupun tak nampak, Gemma dapat merasakan pria di hadapannya ini kehilangan kata-kata. Tapi itu tak lama, karena ia mulai membuka mulutnya lagi. Meskipun suaranya kini terdengar parau."Kau mungkin tidak peduli pada hidupmu, tapi apakah orang-orang terdekatmu punya pemikiran yang sama?"Gemma memandang pria itu dengan tatapan yang semakin malas."Orang terdekatku? Apa maksudmu, jika aku tidak menuruti keinginanmu, kau akan macam-macam dengan orang-orang yang dekat denganku?"Tak ada suara. Jadi jawabannya adalah y
Suara gedoran di pintu membuat Gemma mengerang tanpa ia sadari. Kepalanya seperti mau pecah, dan matanya begitu berat. Perlu beberapa saat untuk Gemma mengumpulkan tenaga, merasakan setiap pergerakan otot dari tubuhnya.Gedoran di pintu