Share

Elenio

Author: Sianida
last update Last Updated: 2021-03-22 12:34:33

Gemma pikir seumur hidupnya ia tidak akan pernah keluar saat langit Elenio masih gelap. Tapi setelah ia pindah ke Ayria, ibukota Elenio, ia justru mempunyai kesempatan itu.

Walaupun tak sepenuhnya gelap saat Gemma keluar, tetap saja ia merasakan sensasi yang berbeda. Gemma masih ingat bagaimana tubuhnya menyambut pengalaman pertamanya saat itu. Jantungnya yang berdegup tidak karuan, kakinya yang tak bisa berhenti gemetar. Bau udara malam menjelang pagi yang berembus, membelai kulit dan rambut Gemma. Dingin, lembab, dan sesuatu yang tak pernah bisa Gemma imajinasikan sebelumnya membuat seluruh tubuhnya larut dalam sebuah perasaan yang ... Ajaib.

"Kenapa kau suka sekali memancing keributan?"

Gemma mendengus. Maya masih saja membahasnya?

Siapa juga yang tahu kalau lelaki kaya tadi adalah tamu VIP di kelab malam itu?

"Bukan aku yang memulai duluan,” jawab Gemma. Ia masih memandang keluar jendela mobil, tak mau melewatkan kesempatan melihat warna langit yang berubah saat fajar menjelang.

Bila melihat keindahan seperti itu, Gemma sesaat lupa bahwa negara yang ia tinggali ini, Elenio, adalah negara terkutuk, yang menjadikan negara ini melarang warganya untuk keluar di malam hari.

"Tetap saja, ulahmu tadi membuat tamu VIP itu marah pada pemilik kelab, dan pemilik kelab marah pada kita. Kau tahu apa artinya kalau pemilik kelab marah pada kita???"

Itu artinya bayaran Gemma akan dipotong, atau ia tidak dapat sama sekali. Gemma lebih sering mengalami yang kedua.

"Setidaknya tidak ada yang rusak."

Kalau sampai ada yang rusak, bukannya Gemma yang menerima bayaran, tapi ia yang harus membayar kelab tempatnya menyanyi.

Gemma sering juga mengalami yang terakhir.

"Tidak bisakah kau bersikap normal layaknya seorang penyanyi? Cukup datang, bernyanyi, dan pulang."

"Masalahnya kan, aku tidak bisa langsung pulang setelah selesai bernyanyi."

Gemma membuat Maya menghela napas panjang dengan jawabannya. Mobil Maya berbelok di tikungan, mereka mulai mendekati pusat kota.

Alun-alun yang tepat berada di tengah kota selalu berhasil menarik perhatian Gemma walau hanya sekilas. Hamparan hijaunya saat pagi menjelang tampak basah dan berkilau karena embun. Belum ada tanda-tanda manusia yang biasanya berlalu lalang di situ untuk sekadar menikmati alam terbuka di tengah suasana perkotaan.

Gemma melirik jam tangannya, pukul setengah enam pagi. Benar saja belum ada manusia yang keluar. Masih setengah jam lagi sampai waktu jam malam berakhir.

Meskipun jam malam berakhir pukul enam, sangat jarang warga yang berani keluar tepat pukul enam pagi. Mereka menunggu sampai langit malam benar-benar sepenuhnya menghilang.

Gedung utama pemerintah yang terletak di sisi lain alun-alun, yang merupakan gedung terbesar dan termegah di seluruh Ayria, menjulang dan besar bagai raksasa penguasa negara ini.

"Nekat sekali lewat pusat kota. Bagaimana kalau kita tertangkap Patroli?"

Gemma menoleh ke arah Maya, yang masih juga memasang wajah kesalnya.

"Ohh ... Kau peduli kalau kita tertangkap?"

Maya mendengus, dia menginjak pedal gas lebih dalam.

Sebenarnya tidak, Gemma tidak peduli. Toh mereka juga tidak akan tertangkap. Mobil patroli selalu melewati jalur yang sama setiap harinya, dan pada jam-jam seperti ini mereka tidak melewati pusat kota.

Gemma tak pernah memberitahukan hal itu pada Maya, dan sepertinya Maya berpikir dengan melewati pusat kota seperti ini mereka akan benar-benar tertangkap, dan Maya akan puas melihat Gemma diborgol. Walaupun itu berarti dia juga pasti ditangkap.

Ayria pada jam malam seperti saat ini layaknya kota mati yang sudah lama ditinggal penduduknya. Tak ada cahaya selain lampu jalan berwarna oranye yang redup, dan samar-samar sinar mentari yang mengintip dari ufuk timur.

Tak ada tanda-tanda kehidupan yang menujukkan bahwa kota ini adalah kota besar, selain dari gedung-gedung modern, berjajaran dengan bangunan-bangunan kuno yang memiliki arsitektur khas Eropa, pertanda bahwa negara ini pernah dijajah.

Gemma tahu jalan-jalan aspal Ayria, ia melewati setiap jengkalnya setiap hari, dengan jalur yang berbeda-beda. Ia tahu bahwa di persimpangan depan sana, tepat di sudut, ada toko roti yang buka tepat pukul tujuh, dan mereka membuat roti isi yang menjadi menu sarapan hampir seluruh pekerja yang berkantor di pusat kota.

Gemma menoleh ke sebuah jalan kecil yang terlewati dengan cepat. Di jalan itu ada sebuah toko yang masih menjual kaset dan piringan hitam dari penyanyi dan band-band besar di tahun tujuh puluh dan delapan puluhan.

Mobil Maya melesat melewati supermarket yang memiliki kafe kecil dengan meja-meja berjajar di samping trotoar. Kafe itu selalu penuh pada jam makan siang. Gemma pernah menyanyi di situ, saat dia baru memulai karirnya. Tak banyak yang memperhatikannya saat itu, yang membuat Gemma nyaris mengamuk karena merasa diremehkan. Untung saja ada Maya yang dengan sigap menenangkannya.

Maya....

Gemma mengerling ke arah manajernya, yang mengomelinya semalaman tadi. Bukan hanya karena kejadian dengan tamu VIP itu saja, tetapi juga karena Gemma yang selalu saja membuat keributan di tempatnya melakukan konser.

"Jika bukan karena ulahmu, kita sudah kaya raya sekarang. Kau tak harus tinggal di loteng perpustakaan itu lagi. Kau juga bisa punya mobil sendiri, jadi aku tak selalu harus menjemputmu."

Gemma tak bisa membalas kata-kata itu. Karena Maya benar. Uang yang Gemma hasilkan selalu habis untuk mengganti rugi biaya perbaikan kelab karena Gemma hampir setiap kali terlibat perkelahian.

Gemma hanya bisa menelan ludah, sembari menatap kota Ayria yang selalu menjadi tanah asing di mata Gemma di waktu-waktu seperti ini. Gemma bahkan tak melihat kelebatan kucing liar yang acapkali berkeliaran di siang hari, dari tong sampah satu ke lainnya, berharap mendapat makanan.

Gemma tak pernah pergi ke luar negeri, ia hanya bisa melihatnya dari internet. Tapi itu cukup memberi gambaran bahwa di negara lain, mereka punya kehidupan malam. Gemma terkadang bertanya kutukan apa yang sebetulnya menaungi Elenio.

Pemerintah tidak memperbolehkan rakyatnya untuk keluar pada malam hari, karena ada sesuatu yang akan membunuh mereka. Beberapa menyebutnya monster. Tetapi para tetua negara ini memiliki julukan sendiri. Draconian.

Dulu saat pertama Gemma mendengar nama itu, ia membayangkan sosok vampir penghisap darah yang muncul di film-film horor. Dengan taring runcing dan wajah pucat.

Tapi bukan. Draconian bukanlah makhluk seperti itu.

Mereka tidak membutuhkan darah. Yang mereka ambil dari manusia bukan sekadar hal-hal fisik.

Jujur saja terkadang Gemma menantikan melihat sosok itu, saat ia berkendara bersama Maya pada jam malam seperti ini. Tak pernah ada yang benar-benar bisa mendeskripsikan dengan tepat seperti apa rupa Draconian. Dikatakan bahwa yang sudah pernah bertemu, tidak lagi hidup untuk bisa menceritakannya. Karena memang tidak ada yang bisa menyelamatkan nyawanya dari makhluk itu.

Kecuali mungkin para Archturian.

Hati Gemma seperti ditusuk setiap kali mengingat Archturian.

"Kita sampai."

Maya menetralkan perseneling dan menarik tuas rem tangan. Mereka sama-sama menoleh, memandang bangunan dua tingkat yang sepertinya dibangun pada masa penjajahan dua ratus tahun yang lalu. Jelas lebih tua dibanding bangunan-bangunan di sekitarnya. Pengelola tempat ini bilang bangunan ini dulunya adalah balai pertemuan warga Ayria, yang kemudian ditutup karena Ayria membangun balai pertemuan baru yang lebih besar dan modern. Kemudian bangunan ini dibeli oleh seorang kaya, dan fungsi bangunan ini akhirnya diubah menjadi sebuah perpustakaan umum.

"Terimakasih,” ucap Gemma, ia memberi salam sebelum keluar dari mobil. Maya hanya mengangguk, sudah kelihatan tidak begitu marah tapi juga malas untuk bicara.

Mobil Maya langsung melaju pergi begitu Gemma menutup pintunya.

Gemma berdiri sejenak di trotoar, memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Ia hanya ingin merasakan udara pagi Ayria yang tak pernah mengecewakan saat dihirup.

Gemma berbalik, mendongak melihat jendela kecil yang menunjukkan keberadaan tempat tinggalnya. Ia menggeliat membayangkan betapa nyamannya berada di kasur kecil yang tepat berada di sebelah jendela itu.

"Rumahku istanaku,” gumam Gemma, sembari menaiki undakan dan masuk ke dalam perpustakaan.

*

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Sianida
baca terus ya, biar tahu...
goodnovel comment avatar
Kikiw
dia reinkarnasi Layana?
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • The Arc: Elenio   Gemma and Nero - This Is Wrong

    “Men—menjalin hubungan?” Gemma tergagap. “Apa maksudmu?”Baru saja Gemma hendak mengatakan pada Nero untuk melupakan apa yang terjadi di antara mereka berdua. Apalagi setelah Gemma tahu bahwa Nero selama ini bertugas untuk mengawasinya, dan dia mengetahui segala gerak-gerik dan kebiasaan Gemma.Dan setelah apa yang Jo katakan, soal Gemma yang tak mungkin menjalin hubungan dengan siapapun… memulainya sekarang terdengar seperti ide yang buruk.“Kau tidak mengerti?” Ada ketidakpercayaan dalam cara Nero memberikan pertanyaan.Ya, tentu saja dia tidak percaya. Gemma bukanlah anak kecil yang tidak mengerti maksud pertanyaan Nero.“Bukan begitu…,” tukas Gemma. “Aku mengerti.” Gemma memejamkan mata untuk sejenak sembari menghirup udara dalam-dalam.Saat dia melakukannya, dia bisa mendengar suara dari dalam kepalanya. Entah suara miliknya sendiri atau milik Lanaya.Ini salah.“Lalu, apa jawabanmu?”Gemma membuka mata, mengerjap, lalu menatap Nero. “Haruskah aku menjawabnya sekarang?”“Aku yaki

  • The Arc: Elenio   Gemma and Nero - Would You?

    Latar belakang waktu untuk chapter ini adalah setelah kejadian teror di Fiend (Chapter: Act of Patience) dan sebelum Gemma berlatih bersama Pelayan (Chapter: Mind Over Matter).---Gemma tidak tahu apa yang dia lakukan di sini.Saat Jo mengajaknya pergi tadi, Gemma pikir Jo membawanya ke tempat makan atau mengajaknya menyelidiki sesuatu. Dia hanya mengatakan soal melakukan kunjungan sebelum kembali ke Meubena, dan Gemma tidak menyangka bahwa kunjungan yang Jo maksud adalah pergi ke panti asuhan Saint Anna.Ini adalah rumah Sarah dan Nero.Cara Gemma memandang Nero terasa berbeda sekarang, setelah apa yang mereka lalui. Alarm yang memekikkan bahwa hubungan mereka bukanlah sesuatu yang tepat masih saja berbunyi, ditambah dengan keberadaan Lanaya di tubuhnya, Gemma tidak bisa bertindak sesuka hati.Setidaknya, dia tidak mungkin bisa mencium siapapun sekarang. Gemma membayangkan Lanaya akan mengeluarkan dengus jijik jika ia mendapati Gemma melakukannya.Namun Gemma tak bisa menghindari at

  • The Arc: Elenio   Gemma and Nero - Let's Talk About Date Another Time

    Suara kaca selebar tiga meter yang menghantam tanah seolah menghentikan waktu untuk sementara.Gemma dan Nero membeku di tempat mereka berdiri, saling berpandangan dengan mata terbelalak. Ciuman mereka terhenti, pun dengan pikiran apapun yang tadi sempat merayapi benak mereka dan membuat pandangan mereka berkabut.Semua terjadi dalam hitungan detik, namun setiap momen terasa begitu lambat.Saat draconian-draconian yang terbang di sekitar menara berhenti dan berbalik arah. Raungan, kepakan sayap, dan berpasang-pasang mata berwarna merah yang kini mengarah kepada Gemma dan Nero.“Lari!” teriak Nero.Gemma mengambil inisiatif sepersekian detik sebelum Nero memberi perintah. Dia berlari ke arah tangga, tetapi berhenti dan memberi jalan pada Nero karena Gemma tak tahu kemana mereka harus berlari.Tak ada satupun dari mereka yang membawa senjata khusus, dan meskipun Gemma baru mengetahui kemarin kalau dia tak akan mati saat terkena cakar Draconian, bukan berarti Gemma akan melawan mereka be

  • The Arc: Elenio   Gemma and Nero - Can We Date Sometime

    “Siapa sangka pria itu adalah pacar dari wanita yang tadi menggodamu.”“Bagaimana bisa dia bersikap seperti itu padahal dia punya kekasih.”Gemma mengangguk, mengamini perkataan Nero. Mereka segera meninggalkan arena begitu masalah dengan pria gila itu terselesaikan.Ternyata setelah Gemma membawa Nero pergi dari hadapan wanita bernama Angel itu, dia menelepon kekasihnya dan mengatakan bahwa Gemma telah menyakitinya. Pacarnya langsung datang ke arena laser tag dan memaksa untuk ikut di dalam permainan.Kesalahpahaman terselesaikan saat Nero meminta pengelola menunjukkan rekaman cctv sesaat setelah pengarahan selesai dilaksanakan. Di situ terlihat jelas bahwa Angel yang mendekati Gemma dan Nero terlebih dulu dan Gemma tidak melakukan apapun padanya.“Seharusnya tadi kau meminta ganti rugi,” gumam Nero.“Aku tidak mau urusannya menjadi panjang.” Seolah Gemma belum banyak masalah saja.Kemudian Nero menengok ke arah Gemma yang berjalan di sampingnya. “Maaf. Kita jadi gagal memenangkan ko

  • The Arc: Elenio   Gemma and Nero - We're Not Dating

    Setelah melakukan pendaftaran, Gemma menerima sebuah rompi dengan lampu berbentuk segi lima di bagian dada. Dia mengenakan rompi itu, lalu mengikat rambutnya dengan karet yang ia bawa di pergelangan tangannya. Nero menyerahkan sebuah pistol laser berwarna hitam dengan seutas tali sepanjang lengan. Dia memasangkan kait di ujung tali itu ke kait yang ada di bagian depan rompi Gemma. “Peraturannya sederhana. Arahkan pistolmu ke bagian depan lawan, ke arah lampu di rompi,” Nero menjelaskan sambil menunjuk lampu segi lima di rompi Gemma yang kini berpendar dalam warna biru laut. Lampu itu terbagi menjadi lima bagian. “Jika semua lampu ini mati, itu berarti kau kalah dan harus keluar dari permainan.” Kemudian Nero menunjuk ke arah pintu yang letaknya berlawanan dengan pintu masuk. Pintu itu terbuka lebar, dan Gemma bisa melihat hamparan tanah lapang dengan pepohonan tinggi yang tumbuh dalam jarak beberapa meter antara satu sama lain. “Kita akan melakukan permainan outdoor. Tim yang berhasi

  • The Arc: Elenio   Gemma and Nero - Still Not a Date

    Pemberhentian pertama mereka adalah restoran yang biasa Gemma kunjungi bersama Jo. Restoran ini selalu penuh pada jam makan siang, dan kebanyakan pengunjungnya adalah mahasiswa serta pekerja kantoran yang tengah mengambil jam istirahat.Gemma hanya bisa menggerutu dalam hati saat berpasang-pasang mata memandang lapar ke arah Nero, seolah dia adalah hidangan utama di tempat ini. Jika hal ini terjadi pada Jo, Gemma pasti akan mengomel dan memelototi gadis-gadis genit itu.“Kau mau duduk di mana?” tanya Nero. Mereka berhenti di tengah-tengah restoran dan menjadi pusat perhatian seperti pohon natal dengan lampu berkelap-kelip.Gemma memandang ke sekeliling dengan gusar sebelum mencengkeram lengan Nero dan mengajaknya ke jajaran bangku di luar restoran. “Di sini saja,” ucap Gemma, yang kemudian menyeret sebuah bangku di dekat mereka dan menyuruh Nero untuk duduk.Nero menyunggingkan senyum kecil di satu sudut bibirnya sebelum dia duduk dan senyuman itu tak kunjung hilang saat Gemma duduk d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status