Share

Bab 5. Mengungkap Serangan.

Pesawat mendarat di Bandara Makassar, Selvi dan Valencia menjemput Jarwi beserta Sukandar.

Melihat Sukandar di kejauhan tepat di pintu keluar penumpang, Valencia berlari seraya bersorak.

“Kakek!” Tangannya di rentangkan  berlari berusaha memeluk Sukandar. Sedangkan Sukandar meletakkan kopernya dan setengah jongkok merentangkan tangannya.

Dengan senyum merekah di wajahnya dia bersedia memeluk cucu dari anak angkatnya itu. 

Tidak lama Jarwi terlihat di belakang Sukandar dengan sosok seseorang yang sangat tidak asing buat Selvi.

Kejutan luar biasa di berikan Jarwi Pak Darno dan Winarsih bergandengan tangan berjalan ke arah Selvi, merasa rindu dengan orang tua sambung yang membesarkannya langkah Selvi seperti bergerak sendiri.

Menghampiri kedua orang paruh baya itu, rambut mereka yang mulai terlihat dua warna walau masih dominan hitam. 

“Ibu ....” tangis Selvi pecah di pelukan Winarsih , dan Darno memeluknya juga dengan penuh kerinduan.

Tidak ada kata-kata yang dapat di ucapkan yang terlihat saat ini mereka sangat rindu dengan anak angkatnya itu, bertahun-tahun tanpa kabar. Bahkan sudah di anggap meninggal.

Dalam benak Winarsi, begitu sedih anak yang sudah dia sangka meninggal, terlihat sehat dan makin cantik di hadapannya.

Bahkan anaknya itu seperti seorang nyonya besar dengan kulit wajah terawat.

“Tak pikir kowe wies orak ono Nduk ( aku pikir kamu sudah meninggal Nak). Ibu sudah tahlilan tiap malam buat kamu bahkan sampai seribu harimu,” keluhnya antara sedih dan bahagia bercampur aduk.

“Ini bukan mimpi kan Pak?” tanya wanita paruh baya itu kepada suaminya. 

“Iya Bu, ini anak kita Selvi. Ma—afkan bapak ya Bu tidak jujur, Bapak baru tahu pas sudah seratus harinya Selvi. Tetapi Bapak di suruh merahasiakan,” jelas Darno. 

“Nanti saja di lanjut di rumah kangen-kangenannya,” sela Jarwi.

Perasaan Jarwi dan Sukandar merasa iba melihat pertemuan itu, sedangkan Valencia masih bingung mengapa Bundanya menangis. 

Di pikiran Valencia merasa asing dengan kedua Kakek dan Nenek yang berada di hadapannya. Selama perjalanan Valencia menghabiskan bercanda dengan Sukandar sedangkan Selvi masih di peluk oleh Winarsih.

“Bu kita langsung pulang atau mampir ke restoran seperti rencana sebelumnya,” tanya Burhan sopir Selvi.

 

“Di perempatan depan kita mampir makan ya pak di coto Makassar,” jawab Selvi. Mereka memasuki tempat makan yang tidak terlalu mewah namun rasa coto Makassarnya sangat enak.

“Pak, Bu, kita mampir makan disini dulu. Pasti kalian juga lapar karena perjalanan jauh, ini salah satu makanan khas di kota Makassar,” ucap Selvi sambil memperkenalkan makanan baru, yang bisa jadi masih asing di lidah mereka.

***

Seusai menikmati makanan mereka melanjutkan perjalanan pulang di daerah Gowa,  Selvi mempunyai rumah di salah satu perumahan di daerah Gowa Sulawesi. “Bunda, ini siapa?” tanya Valencia menunjuk Winarsih. 

Wanita paruh baya itu tersenyum melihat Valencia dan rasa ingin tahunya. “Ini neneknya Valencia,  dan kakek ini juga kakeknya Valencia,” jawab Winarsih.

Sedangkan gadis kecil itu merasa bingung mengapa bisa memiliki dua kakek sekaligus. Tetapi rasa bingung itu hilang mengingat dia saja tidak memiliki seorang Ayah, jadi tidak mustahil memiliki dua kakek. 

“Wah bahagianya berarti Valencia tidak hanya punya kakek Sukandar dan Om Jarwi saja, Valencia juga punya Kakek Darno dan Nenek Winarsih. Nanti saat masuk sekolah Valencia akan memperkenalkan kakek dan nenek ke Jordi,” ujarnya yang tidak lama tertidur di pangkuan Selvi. 

Mobil mulai masuk ke wilayah Gowa,  sekitar lima belas menit lagi mereka sampai di rumah Selvi.

“Disini suasanya lumayan sepi, jadi tidak terlalu banyak orang mengenal saya,” jelas Selvi. 

“Bagus kalau begitu, jadi saya bisa menyelesaikan perlindungan buatmu ya,” jawab Jarwi. 

Winarsih masih bingung dengan perbincangan Jarwi dan Selvi. Sehingga dia berusaha  mencari tahu langsung.

“Sebenarnya ada apa toh Nduk ( Sebenarnya ada apa  Nak )? Kenapa selama ini di rahasiakan. Bahkan di tempat yang kamu tidak mengenal siapa-siapa juga harus tetap bersembunyi,” tanya Winarsih.

“Nanti saat sampai di rumah akan Selvi jelaskan semuanya, ini juga harus tetap menjadi rahasia buat Valencia Bu. Apa pun yang Ibu lihat nanti Selvi mohon jangan pernah cerita ke siapa saja, biar ke Ibu Sutiyah juga jangan,” ucap Selvi. 

Mendengar ucapan itu Winarsih langsung tersadar dan dia paham mengapa anaknya sampai mencoba bunuh diri, mengapa anaknya menghilang.

“Kenapa aku baru sadar sekarang Nduk, seharusnya aku curiga,” gumamnya di samping Selvi.

Lengannya di cubit Darno. “Apa toh pak Cubit-cubit,” celetuknya kesal. 

“Ingat Ibu jangan menyebut nama siapa saja tetangga kita, saat berada disini." Wanita itu hanya menganggukkan kepalanya, saat ini dia senang bisa bertemu anak angkatnya lagi.

Walau bukan lahir dari rahimnya sendiri, setidaknya Selvi sudah mengisi kesendiriannya dan rasa rindunya memiliki seorang anak.

Ketika mereka sudah berada di dalam rumah, Jarwi mulai mengerjakan tugasnya memagari keponakannya dan Selvi. Terakhir Jarwi katakan, ini akan bertahan hingga usianya dua puluh lima tahun. 

“Tidak masalah mas, setidaknya saya tidak merasakan teror lagi. Saya lelah merasakan teror-teror itu,” ungkapnya.

“Mas sudah bisa melihat wanita itu?” tanya Selvi penasaran. 

“Saya sudah menuju ke satu orang, mungkin dia wanita yang saat ini menjadi istri Permana, dia merasa yakin kamu belum meninggal. Wanita itu takut jika suatu saat kamu atau anakmu akan merebut Permana lagi. Sebab itu dia berusaha melenyapkanmu,” ujar Jarwi. 

“Berarti saat ini Permana juga sedang tidak sadar?” sela Winarsih yang ikut mendengarkan perbincangan mereka, merasa istrinya tidak bisa kontrol rasa penasarannya Darno segera mencubit lengan Winarsih.

Mulut Winarsih menggerutu merasa tidak terima di cubit Darno. “Apa sih pak? Mending saya bertanya daripada salah-salah,” ungkapnya kesal. 

“Iya Bu maksud saya nanti, kalau mereka selesai membahasnya,” jawab Darno. 

“Memangnya Permana masih tinggal disana Bu?” tanya Jarwi. 

“Sudah pindah mas, sejak Selvi tidak ada. Ada warga yang bilang dia mengekor sama ....” Wanita itu menghentikan ucapannya takut salah-salah. 

“Ibu melihat siapa wanita yang bersama Mas Permana?” tanya Selvi dan melanjutkan ceritanya, “Karena, saat aku melihatnya wanita itu hanya terlihat punggungnya.  Jadi aku, tidak melihat wajahnya,” jelasnya.

“Warga yang melihat dia pergi bersama Arumi, itu juga setelah lima beras hari kepergianmu. Baru warga berani bercerita, bahkan kami sangat membenci Permana dan Arumi. Saat itu menurut kami merekalah penyebab kamu meninggal,” jelas Darno. 

Bisa dipastikan bahwa wanita itulah dalangnya, dia yang menerormu selama ini.

“Kalau demikian saya bisa memutusnya ke titiknya langsung. Setelah ini biar dia bertemu dengan Valencia dia tidak akan mengenali anakmu,” ujar Jarwi. 

Selvi merasa bersyukur Winarsi dan Darno ada di antar mereka saat ini jadi, usahanya menghilang bisa di selesaikan Jarwi dengan mulus.  Tanpa menerka siapa wanita misterius yang selalu menerornya. 

Selvi memutuskan agar Darno dan Winarsi tetap bersamanya tidak perlu kembali  ke kampung halamannya. Setelah satu bulan mereka di sana Jarwi beserta Sukandar kembali ke kampung halamannya. 

“Sekarang aku pergi tidak mengkhawatirkan kamu lagi,” ucap Jarwi.

“Terimakasih ya mas sudah menolongku dan menganggap aku seperti adikmu sendiri. Tolong jaga pak Sukandar, dia juga aku anggap seperti orang tuaku,” ucap Selvi sambil mengendong Valencia. 

“Pasti, dia juga seperti Ayahku sendiri. Hahaha ... walau dia memang Pakdeku ( panggilan untuk kakak dari Ayah atau Ibu dalam bahasa Jawa) ,” ujarnya. 

Mereka sudah melangkah masuk menuju ruang tunggu keberangkatan. Valencia, beserta Selvi, Darno dan Winarsi menuju kembali pulang ke kota Palopo sebelum mampir ke rumah yang di Gowa. 


Bersambung ...

Jangan lupa follow Instagram @Indraqilsyamil 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status