Angin saat itu bertiup kencang di kota Palopo, di sanalah Selvi mengadu nasib bersama Valencia putrinya. Selama sepuluh tahun sudah, dia berada di pulau Sulawesi tepatnya bagian selatan.
Dia bisa merantau sampai ke sana karena, ikut program pemerintah untuk mengelola lahan perkebunan. Bermodal lahan dari pemerintah yang dia kelola selama sepuluh tahun, saat ini sudah menghasilkan rumah dan membuka lapangan pekerjaan.
Hari-hari dia lalui bersama Valencia, walaupun sesekali gadis kecilnya sering merengek menanyakan sosok Ayahnya. Berbagai cara Selvi lakukan, untuk menutupi semua itu. Bahkan dia mengatakan, bahwa Permana hilang tersapu badai.
“Bunda ... Bunda di mana,” suara sayu-sayu terdengar dari dalam rumah.
Selvi sedang sibuk di pekarangan belakang rumah, memberi makan ikan Lele peliharaannya. Berkat ketekunannya sejak merantau Selvi benar-benar merasa bahagia bersama putri semata wayangnya.“Bunda di belakang sayang, di kolam lele!” teriaknya.
Valencia berlari kecil menghampiri, dengan sepucuk surat di tangannya. “Nih, ada surat dari Om Jarwi,” ucapnya manja, sambil menyerahkan kertas terbungkus amplop berwarna putih.
Senyum kasih sayang merekah di wajah Selvi, lalu di bukanya surat itu. Sebelum Selvi membaca, Valencia menyelanya .
“Kapan Kakek kesini, Bunda? Dia datang bersama Om Jarwi dan tante Dokter, benarkan Bunda?” tanyanya polos.
Semenjak kejadian bunuh diri, yang Selvi lakukan. Pak Kades yang bernama Sukandar sudah menganggap Selvi sebagai anaknya sendiri, Jarwi juga menganggap Selvi seperti Adik kandungnya begitu pula dengan Dokter Arini.
Setiap bulan selama di perantauan Selvi sering mengirim sedikit rezekinya untuk Jarwi bagikan kepada Pak Kades serta orang tua angkat yang membesarkannya.Jarwi paham tentang hal itu, setiap dia akan mengantarkan titipan itu. Sengaja Jarwi selalu muncul tiba-tiba di rumah Darno. Hanya Darno yang mengetahui siapa Jarwi, bahkan lelaki itu menutupi semuanya. Bahkan Winarsih, tidak tahu siapa sebenarnya Jarwi.
Kedua orang tua kandung Selvi berkebangsaan Belanda dan Indonesia, Ibunya seorang wanita berasal dari Belanda dan Ayahnya pribumi biasa. Sebab itu Selvi dan Anaknya memiliki perawakan, yang sangat cantik bermata bulat serta lensa mata biru.
***
'Kembali ke pertanyaan Valencia'
Valencia masih menunggu dengan sabar, jawaban dari Bundanya. Selvi menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Valencia.
“Kalau kakek cuti, pasti akan kemari bersama Om Jarwi,” jawabnya sambil mengelus lembut rambut Valencia.
“Bacakan suratnya Bunda,” pinta Valencia. Setelah membuka surat itu, Selvi malah menguji Valencia.
“Sepertinya Bunda ingin Valen, yang baca suratnya,” goda Selvi yang membuat, gadis kecilnya mencibir dan melipat kedua tangannya di depan dada.
“Valencia lagi lelah, jadi saat ini hanya ingin mendengarkan suara Bunda yang merdu,” jawabnya sedikit memicingkan wajahnya.
Melihat kelakuan putrinya, Selvi semakin gemas. Dengan lembut dia mengendong dan mencium sayang di pipi Putrinya.
Terbesit di benaknya perlakuan Permana, sehingga ada rasa jijik terhadap lelaki itu.
“Baiklah, Bunda akan membacakan untukmu. Jika sudah, Bunda minta di ambilkan segelas minuman segar bagaimana? Setuju atau tidak,” tanya Selvi, yang di balas anggukan oleh Anak semata Wayangnya itu.
***
Kepada yang tersayang Ponakan Om, Valencia Novrianto Permana
Hai cantik, Saat ini pasti Valencia sedang mendengarkan isi surat ini? Gadis kecil Om surat kali ini tidak terlalu panjang kemungkinan Om dan Kakek Sukandar akan ke sana bulan depan. Om harap Valencia sudah selesai ulangan di sekolah.
Jadi anak yang pintar, tetap menjaga sopan santun dan sayangi Bunda, jika Valencia tetap berbuat baik Om Jarwi akan membawakan boneka beruang sebagai buah tangan untuk Valencia.
Sepertinya itu saja yang Om sampaikan Valencia harus berjanji, tidak boleh berbohong saat Om tiba di sana.
Salam sayang dari
Om Jarwi dan Kakek Sukandar.
***
“Hore! akhirnya Om dan Kakek akan berkunjung kemari,” teriak Valencia, melompat-lompat bahagia.
Suatu berita yang sangat dia nantikan, akhirnya terkabulkan. Di benak gadis kecil itu merekalah, satu-satunya keluarga yang selalu di nantinya.Selama ini kawan-kawannya sering bertanya, di mana Kakeknya berada serta yang paling menyedihkan Ayahnya berada. Setiap ditanya tentang hal itu, gadis kecil dengan rambut lurus sedikit berwarna coklat keemasan itu, selalu mengalihkan ke cerita lain.
Seusai kawannya pergi, baru dia akan menangis. Itulah yang ingin ditanyakan, kepada Jarwi atau Sukandar saat mengunjunginya. “Tak sabar menanti kedatangan mereka,” ucapnya lagi, memeluk dan mencium kedua pipi Selvi.
“Bunda siang nanti, Zuwariah dan Jodi akan bermain ke rumah. Boleh atau tidak?” tanyanya sedikit merayu.
Selvi paham apa maksud kata boleh atau tidak sebenarnya, dia tahu bahwa kapan saja kawannya akan datang tidak pernah dilarang. Tetapi gadis itu maksudnya, agar Selvi menyiapkan makanan dan minuman untuk menemani mereka saat sedang bermain bersama.Senyum Selvi hanya merekah di wajahnya dan sedikit mengangguk tanda setuju, tanpa di beri aba-aba lagi gadis itu berlari meninggalkan Selvi sendirian, berteman dengan kesibukannya memelihara ikan-ikan.
***
Suara kumandang Adzan salat Ashar mulai terdengar, baru saja Selvi selesai menyiapkan permintaan putri semata wayangnya itu, tiba-tiba saja ada sesuatu yang membuat fokus penglihatannya berubah. Dia melihat pada sebuah benda, di dekat kamar Valencia.
Wanita yang saat ini sudah berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu, menghampiri benda yang mengganggunya, betapa terkejutnya dia saat menemukan benda itu.
“Siapa yang meletakkan ini disini,” gerutunya, sambil melihat lembaran demi lembaran di dalamnya.
Bahkan yang tidak habis pikir olehnya, ada sebuah benda seperti potongan anak ayam, yang di makan belatung di dalamnya. Semua benda itu dia bawa menjauh dari rumahnya, Selvi membakar benda itu dengan di bacakan ayat kursi.
“Bismillah semoga orang yang berniat jahat tidak akan pernah sampai kesini, Semoga Jarwi cepat datang. Aku yakin wanita dalam mimpiku masih berusaha mencari keberadaan kami saat ini. Namun dia baru bisa menembusnya,” ucap Selvi lirih.
Di dalam benaknya saat ini hanya keselamatan Valencia, itu juga menjadi teka-teki buat dia apa yang akan terjadi nantinya. Kenapa serangan-serangan itu tidak berhenti, batinnya.
“Nyonya, maaf tadi di kebun coklat ada sedikit masalah,” lapor salah satu Karyawan yang menghampiri Selvi.
“Baiklah, sebentar lagi saya akan menuju ke sana . Kamu tolong hubungi Pak Haji Sabarudin ya, saya takut jika harus saya sendirian yang ke sana,” jawab Selvi yang curiga, kejadian itu sama dengan yang dia temukan di rumah.
Benar tebakannya, ternyata apa yang dia pikirkan sama. Salah satu karyawannya tiba-tiba saja mengalami gangguan jin, dia saat ini kesurupan. Untung saja ada Pak haji, saat itu yang sudah dia panggil, untuk bersama ke perkebunan coklat miliknya.
Karyawan itu awalnya sedang memanen buah coklat, entah dari mana asal api itu. Tiba-tiba pohon coklat yang akan di panennya terbakar, dan dia terjatuh lalu kejang-kejang berteriak panas.
“Saya hanya utusan tolong jangan bakar saya, mungkin saya salah sasaran,” jelas Jin yang merasuki. Dengan bantuan Pak haji Sabarudin, jin itu keluar dari tubuh karyawan di perkebunan coklat.
“Bagaimana kondisimu, Ahmad?” tanya Selvi.
“Sedikit sakit semua badan saya Bu, sebenarnya apa yang terjadi? Terakhir saya ingat pohon itu terbakar, lalu selebihnya saya tidak ingat,” jelasnya.
“Alhamdulillah, yang penting saat ini kamu baik-baik saja Ahmad. Lain kali sebelum bekerja, selalu awali langkahmu dengan Bismillah,” pesan Pak haji Sabarudin.
“Baik Pak Haji,” jawab Ahmad yang di bantu berdiri. Kemudian karyawan yang lain mengantarnya pulang. “Bu Selvi sepertinya ada yang ingin berbuat jahat dengan Ibu. Kira-kira ada yang pernah Ibu curigai,” tanya Bahar.
Selvi tersenyum, berusaha menutupi masa lalunya saat ini. “Saya juga bingung, mungkin memang seseorang sedang mencoba sesuatu tapi salah orang. Lebih baik kita berhati-hati dan tetap lebih kuatkan iman selalu berdoa,” ucap Selvi, yang melanjutkan langkahnya mengantar Pak Haji Baharudin.
Sepanjang jalan, Selvi menceritakan kejadian yang dia alami sebelumnya kepada Pak Haji Baharudin. Beliau menyarankan Selvi, agar Jarwi segera datang untuk membantunya menangkal dari sini. Selvi bergegas menghubungi, Dokter Arini.
“Assalamuallaikum,” jawab Arini, dari sambungan telepon itu.
“Waallaikumsalam, apa kabar Bu Dokter?” tanya Selvi membalas dalam sambungan telepon.
“Selvi, baru saja saya akan menghubungimu. Jarwi tadi tergesa-gesa menemuiku, dia menyampaikan, sementara waktu kamu dan Valencia keluar kota terlebih dahulu. Karena, saat ini pagar yang di tutupkan terbuka entah ulah siapa, tetapi nanti saat Jarwi sampai disana barulah dia akan memperbaiki semuanya,” jelas Arini.
“Sebab itu saya menghubungi Dokter, apakah mas Jarwi ada pesan lain?” tanya Selvi memastikan, sebelum memutus sambungan telepon itu.
“Pesan Jarwi, sementara lebih banyak, putar murotal surah Al- Baqaroh. Bisa juga kamu yang membacanya sendiri, adikku,” balas Arini.
“Terimakasih mbak Arini, entah banyak sekali saya berhutang budi dengan kalian. Tanpa kalian mungkin saya dan Valencia sudah tidak ada saat ini,” ucap Selvi . Lalu mereka mengakhiri panggilan itu.
Dalam diam Selvi berpikir kencang sebenarnya siapa orang yang tega berbuat itu, tidak terbesit sedikit saja mencurigai mas Permana. Tetapi tidak menutup kemungkinan dia, namun dalam bayangan yang melakukan seorang wanita siapa dia kira-kira, batin Selvi tidak karuan cemas.
Bersambung ...
Jangan lupa follow Instagram @IndraqilsyamilFarhan menunggu balasan dari pesan singkatnya, tapi tidak kunjung di balas oleh Valencia. Hingga dia menyium bau dupa yang keluar dari ruangan khusus ibunya.Langkanya semakin dekat hingga dia menemukan sesuatu yang menjadi kecurigaannya selama ini, sosok menyeramkan sedang berdiskusi dengan Ibunya.'A-apa itu?' tanyanya terbata di dalam hati.Sebuah sosok besar menyerupai ular dengan separuh badan manusia, kaki Farhan tidak dapat bergerak dia mematung seketika."Jangan kau ambil anakku, tunggu beberapa hari aku akan memberikan permintaanmu." Farhan hanya bisa menelan saliva. Hingga sebuah notif pesan singkat menyadarkannya dari lamunan.[ Aku baik-baik saja, saat ini sudah berada di rumah]Farhan menutup smartphonenya lalu gersenyum, dia masih bingung harus membalas apa. Saat ini ia masih tidak menyangka, Ibunya bersekutu dengan Jin.[ Alhamdulillah , kalau kamu sudah baik- baik saja] balas Farhan dalam pesan singka
Farhan kembali menuju tempat Ayahnya berada dia tidak habis pikir, dengan apa yang dia lihat. Sosok yang dingin itu tiba-tiba menghilang. Menurut Farhan seperti ada pesan yang ingin di ceritakan gadis itu. Walau Farhan berupaya menyingkirkan kejadian yang dia alami, tetapi semua seakan sia-sia. Benaknya masih bertanya-tanya ke mana perginya gadis dengan ekspresi dingin, yang membuat bulu kuduknya merinding. Seseorang menepuk pundaknya dari belakang, Pria itu terkejut. Hampir saja dia memukul orang yang dibelakanginya itu. “Duh Ayah, hampir jantungku copot,” ungkapnya. “Kenapa, seperti habis lihat setan saja?” tanya Bramasta. Farhan diam sejenak seakan masih bingung harus bagaimana memulainya. “Tadi pas ke lantai atas ada anak seusiaku, dia sendirian. Mungkin salah satu anak rekan kerja Ayah,” ceritanya. “Bisa jadi, tapi apa yang membuat kamu jadi seperti ini. Seperti habis melihat setan saja,” ujar Bramasta. Wajah Farhan terlihat pucat, menurut Bramasta ada yang janggal.
Di tempat lain di mana Farhan berada, pria itu mendapat pesan singkat dari Valencia. Awalnya dia tidak yakin akan membalas pesan itu atau langsung menghubunginya. Hati kecilnya sempat bergelut merasa tidak yakin. Jika dia menghubungi langsung, maka dia tidak perlu repot-repot menghapus setiap kata. Akhirnya dia memutuskan menekan tanda telepon di gawainya. Panggilan mulai berdering, Farhan menunggu dengan sabar hingga ada jawaban dari Valencia. Tetapi hingga dering terakhir Valencia tidak menjawabnya. Mungkin dia sedang sibuk akhirnya Farhan memutuskan menjawab melalui pesan singkat, dia kembali meletakkan gawainya di atas nakas. Kegiatan hari ini dia ikut ayahnya ke salah satu perusahaan mereka, jadi perjalanan yang akan di tempuh lumayan lama dari kota Palopo ke Makassar. “Farhan sudah siap?” tanya Bramasta. “Sebentar lagi Farhan keluar, ini lagi mengenakan sepatu,” ujarnya. Sekitar lima belas menit kemudian Bramasta melihat Putranya dengan kemeja hitam dan sepatu ala kant
Panggilan itu masih Valencia abaikan, perasaannya benar-benar bingung. Mau menjawab takut di tanya oleh Bundanya.Satu panggilan terabaikan, ada rasa lega di hati Valencia. Mereka bergegas keluar menuju lobi. Sekitar lima belas menit dari panggilan itu. Gawai Valencia berbunyi lagi, nama yang tertera kali ini Jordi.Segera dia menggeser lambang telepon berwarna hijau.“Assalamuallaikum, ada apa Jor?” tanya Valencia dalam panggilan itu.“Waallaikumsalam, kata ART kamu pulang hari ini Val?” tanya Jordi antusias.“Hem, bagaimana ya. Mau kamu pulang hari ini atau tidak?” goda Valencia.“Huff, aku serius Val? Kamu enggak kasihan aku merana seperti pena kehilangan buku,” ujar Jordi.“Hahaha ... jangan sedih gitu. Aku sekarang dalam perjalanan, Kamu siapkan coklat kalau tidak ...,” ancam Valencia yang menghentikan ucapannya.
Selvi menghela napas panjang, memikirkan permintaan yang sangat berat menurut dia. Betapa baiknya putrinya ini, nyawanya hampir melayang dia masih mau memaafkan orang yang mencelakainya.Melihat ketulusan Valencia, membuat Selvi luluh. Akhirnya Selvi menghubungi pengacaranya untuk mencabut semua tuntutannya itu.Valencia senang karena, Bunda nya mau memaafkan Hana dan bulan. Memandang jauh keluar kaca jendela rumah sakit, terlihat pasien lain yang di antar oleh ke dua orang tuanya.Perasaan Selvi seakan hancur, dia merindukan kehadiran Ayahnya. Tetapi dia tidak tahu apakah Ayahnya masih hidup atau tidak, terkadang ingin bertanya tapi ada perasaan takut jika bundanya marah.“Bunda,” panggilnya dengan suara lirih.“Iya ada apa?” tanya Selvi.“Bunda tidak ingin memiliki pendamping hidup? Seperti mereka,” tanya Valencia.Selvi tertegun mendenga
Hujan turun deras, mobil Terios putih memasuki halaman Rumah sakit, saat itu cuaca seakan mendukung perasaan Selvi. Langkahnya diiringi Jordi menuju ruang ICU, di depan ruangan itu masih setia menunggu Darno dan Winarsih.“Bagaimana, Pak sudah ada perkembangan?” tanya Selvi cemas.“Belum Nduk ( nak), sepertinya kita harus banyak berdoa,” jawab Darno, mengelus pundak Selvi.Wajah Selvi semakin cemas, Dia takut jika Valencia tidak akan sadar. “Aku akan kesekolah, ingin ku temui siswa itu,” ungkapnya geram.Saat dia akan melangkahkan kaki menuju SMK Duta Karsa, salah satu perawat meminta di masuk ke ruangan Dokter. Akhirnya dia menuju ruangan Dokter, di buka pintu berwarna putih tulang. “Masuk Bu, silakan duduk,” ucap Dokter Ivan.“Bagaimana, kondisi anak saya Dokter? Apakah dia masih bisa sembuh?” tanya Selvi.“Alhamdulillah anak Ib