"Paman istirahat saja, paman pasti lelah setelah seharian bekerja. Biar aku saja yang menjaganya. Lagi pula ini sudah malam, paman membutuhkannya agar bisa beraktivitas besok."
Danu tersenyum mendengar perkataan Andrea yang duduk di tepi ranjang. Ia menatap gadis cantik yang sedang mengganti kain kompres di dahi pria yang ditolongnya beberapa minggu yang lalu itu. "Aku sudah berjanji padamu, aku akan membantumu untuk merawatnya. Jadi aku akan di sini sampai kondisinya membaik," ucapnya lalu kembali menatap iba pria yang masih setia memejamkan matanya meski sudah dua minggu berlalu. Bahkan sejak kemarin kondisi pria ini menurun.
Melihat tatapan Danu membuat Andrea menghela napas pelan. Ia tahu Danu sedang mengkhawatirkan pria yang masih belum menunjukkan tanda-tanda akan sadar ini. "Dia baik-baik saja, Paman. Kondisinya sudah lebih baik dari kemarin. Paman tidak perlu cemas. Jika terjadi sesuatu, aku akan memberi tahu paman. Jadi sekarang paman bisa pulang dan istirahat."
"Tapi ..."
"Tidak ada bantahan. Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada paman karena kelelahan. Jangan membuat kekhawatiranku bertambah karena paman sakit."
Danu hanya menghela napas mendengar perkataan Andrea. Jika sudah seperti ini, tidak ada alasan lagi baginya untuk membantah. Gadis cantik yang sudah dianggapnya sebagai anak ini kehilangan kata-kata dengan perhatian-perhatian kecil yang diberikannya. Ia merasa bahagia tapi merasa tidak pantas untuk mendapatkan perhatian Andrea karena dirinya telah menyembunyikan banyak hal dari gadis malang yang harus tinggal jauh dari keluarganya.
Andai ia bisa, ia pasti akan mengatakan semua yang ia tahu pada Andrea. Tapi nyatanya ia tidak mampu untuk mengatakannya. Terlebih jika hidup Andrea yang menjadi taruhannya. Yang bisa dilakukannya sekarang hanya menjaga gadis malang ini sampai dia yang membuat Andrea berada di desa ini menjemput Andrea atau setidaknya sampai gadis cantik ini menemukan seseorang yang bisa melindunginya dari orang itu.
Mengingat mereka membuat Dani tanpa sadar kembali menghela napas dan membuat Andrea menatapnya penuh kekhawatiran "Paman baik-baik saja?" tanyanya.
Pertanyaan Andrea membuat Danu sadar dari lamunannya. Ia tersenyum "Iya, paman baik-baik saja," jawabnya. Ia mengalihkan tatapannya ke arah pria yang terlihat tidak terganggu dengan suara di sekitarnya. "Baiklah pamam akan pulang, tapi jika terjadi sesuatu langsung beritahu paman. Nanti paman akan menyuruh Alfi ke sini untuk menemanimu."
Andrea mengangguk "Aku berjanji. Tidak perlu paman, kasihan, Alfi masih harus sekolah besok," tolak Andrea. Tidak mungkin ia menerima tawaran Danu, sementara ia tahu putra dari pria paruh baya ini harus bersekolah besok dan jaraknya pun tidak bisa dikatakan dekat. Ia tidak mungkin membiarkan Alfi kelelahan karena menemaninya menjaga pria yang keadaannya sedang menurun ini.
"Tapi Andrea, paman tidak mungkin ..."
"Aku akan baik-baik saja, Paman. Tidak perlu mencemaskanku. Aku masih bisa menjaganya sendiri. Paman tenang saja. Untuk hari saja tidak apa-apa aku sendiri yang menjaganya."
Keseriusan di mata Andrea mampu meyakinkan Danu untuk kembali ke rumahnya. Meninggalkan Andrea sendiri bersama pria yang masih setia menutup matanya itu. "Baiklah paman akan pulang, tapi usahakan kau juga tetap beristirahat."
"Iya, Paman. Aku akan tetap beristirahat nanti."
Akhirnya Andrea mengantar Danu sampai ke depan pintu. Setelah pria paruh baya itu pergi, ia kembali masuk ke dalam kamar pria yang sudah dirawatnya dua minggu terakhir ini. Kembali menganti kompres yang sudah mulai mengering. Jemarinya mengusap pelan wajah yang dipenuhi dengan luka. Ia tersenyum miris. Mungkin luka-luka di tubuh seperti ini bisa sembuh hanya dengan obat dalam hitungan hari, tapi tidak dengan luka di hati, seperti hatinya.
Andrea terus mengamati wajah pria di hadapannya. Sekilas ia tertegun, merasa pernah melihat wajah pria ini di suatu tempat, tapi ia tidak tahu kapan dan di mana. "Kapan dan di mana aku pernah melihatmu?" gumamnya tanpa sadar.
Hela napas terdengar dari bibirnya saat tidak menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Ia tidak dapat mengingat apa pun. Memang sejak beberapa tahun ini, ia tidak dapat mengingat banyak hal. Waktu itu kakaknya pernah mengatakan ia pernah kecelakaan hingga membuat beberapa memorinya hilang. Entahlah! Ia tidak dapat mengingatnya. Kakaknya pun tidak menjelaskan yang terjadi saat itu. Bahkan tentang keberadaannya di desa ini pun kakaknya tidak menjelaskan apa pun. Hanya mengatakan jika ia harus menunggu di sini sampai keadaan keluarganya lebih baik.
Dulu ia yang masih belum terlalu mengerti, hanya bisa menuruti. Namun seiring waktu berlalu membuat rasa penasarannya semakin membuncah. Bertanya-tanya kenapa ia harus berada di tempat ini? Sudah tiga tahun berlalu, apakah kakaknya tidak berniat menjemputnya? Atau jangan-jangan kakaknya sengaja melupakan keberadaannya di sini? Apa kakaknya tidak merindukannya seperti yang selalu ia rasakan? Berbagai pertanyaan itu tidak bisa membuat Andrea untuk tidak berpikir negatif hingga sesak itu memenuhi hatinya.
Tatapan sendu terlihat lagi pada mata bulatnya. Pun saat maniknya kembali tertuju pada pria di hadapannya, berbagai pertanyaan kembali menghampirinya. Apa pria ini akan bernasib sama sepertinya? Hingga tanpa sadar ia menggumamkan semua yang ada di pikirannya. "Sampai kapan kau memejamkan matamu? Tidakkah kau merindukan mereka yang mungkin menyayangimu? Merindukanmu? Mengkhawatirkanmu? Kau tahu? Rasa itu sangat menyesakkan. Jika kau menyayangi mereka, cepatlah sadar. Jangan membuat mereka menunggumu terlalu lama. Jangan membuat mereka sama sepertiku, yang terus menunggu tanpa kepastian karena rasanya sangat..."
Andrea menghentikan perkataannya. Ia tidak sanggup lagi berucap. Dadanya terasa sesak saat mengatakan hal ini. Meski mencoba kuat, ia tetap saja masih merasakan sakit. Sakit yang membuat air matanya kembali membasahi pipinya.
Dengan kasar ia menghapus air matanya. Tidak boleh, ia tidak boleh lagi bersedih hanya karena hal itu. Sudah cukup ia menangisi sesuatu yang tidak pasti. Jika memang ini takdirnya, ia akan menerimanya. Lagi pula ia cukup bahagia di sini bersama orang-orang yang menganggapnya sebagai keluarga. Iya keluarga, tidak seperti mereka yang disebut keluarga tapi nyatanya seperti orang asing.
"Rasanya sangat sakit," lirihnya. "Jadi aku harap kau cepat membuka matamu agar mereka tidak cemas," gumamnya lemah. Matanya sudah terasa berat, dan ia menyerah dengan rasa kantuknya. Andrea tertidur tanpa mengetahui jemari pria yang diajaknya bicara itu bergerak pelan dan air mata mengalir dari mata yang terpejam itu seakan mengerti apa yang dirasakan oleh gadis yang merawatnya.
***
"Kau merindukannya."
Pernyataan telak itu membuat pria yang berdiri di balkon itu tersenyum miris. Pernyataan itu benar. Sangat benar. Tanpa menoleh ia menanggapi perkataan seseorang yang berdiri di belakangnya "Tidak ada orang yang tidak akan merindukan orang yang disayanginya."
"Jika seperti itu, kenapa kau tidak membawanya kembali. Ini sudah lebih dari waktu yang seharusnya. Tapi kenapa kau belum membawanya pulang?"
"Belum saatnya," ucap pria itu dan berbalik. Ia menatap sendu wanita yang sudah menemani hidupnya beberapa tahun ini. "Aku hanya..."
"Hanya apa lagi?" sela wanita itu lagi. Sudah cukup ia mendengar semua alasan dari pria yang dicintainya ini. "Tidakkah kau memikirkan perasaannya? Ia pasti kesepian di sana sendiri," ucapnya lagi dengan lirih.
"Dia sudah cukup dewasa untuk menghadapi semua yang ada di depannya. Dia mampu ..."
"Tapi tidak cukup untuk menghentikan orang itu."
Cukup lama wanita itu terdiam mendengar bentakan pria yang sedang menatapnya penuh sesal itu sebelum menghela napas panjang menenangkan emosinya. "Sudah tiga tahun berlalu dan semuanya sudah berbeda sekarang. Jika kalian bersatu, kalian bisa menghadapi orang serakah itu."
Melihat tidak ada respon dari lawan bicaranya, membuat wanita itu mendecih dalam hati dengan kekeras kepalaan suaminya ini. Ia memilih berjalan masuk ke dalam kamarnya, tapi ia menghentikan langkahnya dan menoleh "Aku harap kau tidak menyesal karena dia akan menolak kehadiranmu nantinya," ucapnya sebelum melanjutkan langkahnya meninggalkan pria yang terpekur di tempatnya. "Maafkan aku," gumam pria itu entah pada siapa.
***
"Andrea ...""Andrea?""Huh? Paman?""Kau melamun?" tanya Danu saat menemukan Andrea termenung sendiri di meja makan sampai-sampai gadis yang masih menunjukkan raut kebingungannya ini tidak menanggapi pangilannya sedari tadi. "Apa yang sedang kau pikir, 'kan, hm?""Aku ..." Andrea menggantung perkataannya. Ragu untuk mengatakan hal yang mengganggu pikirannya. "Bukan apa-apa, Paman," jawabnya. "Mungkin aku hanya lelah," elak Andrea.Danu memandang penuh selidik ke arah Andrea yang sedari tadi menghindari tatapannya. "Kau tidak sedang berbohong pada paman, bukan?"Andrea kembali menoleh ke arah Danu sebelum kembali menunduk. Menghindari tatapan pria paruh baya yang masih menunjukkan raut ketidakpercayaan atas jawaban yang ia berikan.Sementara Danu tersenyum melihat sikap Andrea. Gadis ini memang terlalu polos untuk bisa berbohong. Tidak berubah sejak dulu. "Paman mengenalmu bukan satu dua tahun, Andrea, tapi sejak kau masih kanak
Danu yang merasa Andrea begitu lama membersihkan tubuh pria yang ditolongnya, memutuskan kembali ke kamar yang di tempati pria itu untuk memanggil Andrea. "Andrea! Kenapa lama sekali? Kau ..." Perkataannya menggantung saat mendapati Andrea termenung, tapi bukan itu yang menjadi fokusnya. Melainkan benda yang ada di tangan gadis itu. "Apa yang kau pegang itu Andrea?""Eh Paman? Sejak kapan ada di sini?" tanya Andrea terkejut saat mendengar suara Danu bertanya padanya. "Apa paman sudah selesai sarapan?" lanjutnya."Paman sudah selesai sarapannya. Paman menunggumu tapi kau belum muncul juga untuk sarapan, makanya pamam ke sini untuk memastikan apakah semua baik-baik saja, dan yang paman temukan adalah kau lagi-lagi melamun," jelas Danu. "Apa semua baik-baik saja? Dan apa yang ada di tanganmu?" tanyanya lagi.Andrea hanya tersenyum tipis. "Semua baik-baik saja. Hanya saja aku menemukan ini terlepas dari
"Andrea, kau baik-baik saja bukan?" tanya Danu dengan cemas saat melihat wajah shock Andrea di depan pintu kamar tempat pria yang ditolongnya berada."Wajahmu pucat, apa terjadi sesuatu?" tanya Galang menimpali pertanyaan Danu. Awalnya ia dan Danu berniat menggantikan Andrea untuk menjaga pemuda di dalam sana agar gadis di hadapan mereka ini bisa beristirahat, tapi yang mereka temukan justru Andrea berdiri mematung dengan wajah shock. Ada apa sebenarnya? Apa kondisi pemuda itu menurun lagi seperti minggu lalu? Atau lebih buruk lagi, pemuda itu ....Galang menggeleng, mencoba mengenyahkan pikiran negatif yang menghampiri kepalanya. Tidak! Ia tidak boleh seperti ini. Pasti pemuda itu baik-baik saja. Tangannya bergerak memegamg dan menggoyangkan lengan Andrea. Menyadarkan gadis itu dari keterpakuannya. "Andrea! Semua baik-baik saja, 'kan?" tanyanya sekali lagi.Andrea yang merasakan lengannya digoyang-goyangkan
Dimas mengerjap pelan menyesuaiakan cahaya yang masuk ke matanya. Setelahnya ia mengedarkan pandangannya. Keningnya mengerut melihat kamar yang tampak asing baginya ini. Di mana ia saat ini? Bukankah ia sedang dalam perjalanan pulang, tapi mengapa ia berada di tempat asing ini?"Mama ingin kau pulang hari ini juga! Jika tidak, kau tahu akibatnya!"Dimas mendesah lelah setelah membaca pesan yang dikirimkan oleh ibunya. Ia meletakkan ponselnya begitu saja di jok di samping kemudi. Selalu seperti ini, selalu dihadapkan pada tuntutan yang tidak dapat ia tolak. Kenapa ibunya tidak pernah mau mengerti? Ia hanya ingin menenangkan diri sebentar, menghilangkan penat akibat rutinitas yang dijalaninya. Namun, kenapa sulit sekali untuk mendapatkan hal itu? Kenapa ia tidak bisa tenang sebentar saja? Tidak bisakah lepas dari segala semua yang terasa mengimpitnya selama ini?Sibuk dengan pikirannya, membuat Dimas ti
Pertanyaan yang keluar dari bibir Dimas membuat Danu menghela napas lelah karena sedari tadi berarti penjelasan yang ia jabarkan sia-sia saja. Tidak satu pun didengar oleh pemuda yang baru bangun setelah dua minggu lebih tidak sadarkan diri ini. Namun terlepas dari itu, ia merasa lega di saat yang bersamaan. Ini berarti pemuda yang ia tolong tidak ada kaitannya sama sekali dengan Andrea."Kau benar-benar tidak mendengar perkataan Danu?" tanya Galang dengan suara rendah tapi penuh penekanan. Berulang kali ia mengembuskan napas, guna menahan emosi. Ia sadar, yang mereka ajak bicara adalah orang baru sadar dari tidur panjangnya. Butuh waktu untuk menyesuaikan diri, pun mengembalikan fokus. Namun apa semua yang mereka katakan terlewat begitu saja? Tidak satu pun yang disimak? Termasuk saat Danu memperkenalkan mereka tadi? Setidaknya pemuda ini pasti menyimak saat Danu menyebut nama mereka satu persatu, 'kan?Dimas yang mendengar pertanyaan itu membuatnya merasa bersalah. "
"Bagaimana, Paman?""Mau bagaimana lagi? Sepertinya pemuda itu memang harus tinggal lebih lama di sini," ujar Danu menjawab pertanyaan Andrea. Tidak ada pilihan bagi mereka bukan? Tidak mungkin juga untuk membiarkan pemuda itu luntang-lantung tanpa tujuan sementara pemuda itu tidak mengingat apa pun.Pada akhirnya mereka membawa pemuda itu ke rumah sakit untuk memeriksa dan memastikan kondisinya. Hasilnya pun tidak berbeda dengan yang dikatakan oleh Dokter Dania beberapa hari yang lalu. Pemuda itu benar-benar hilang ingatan. Beruntung kondisi fisiknya sudah membaik. Hanya butuh beberapa hari untuk memulihkan kondisinya seperti sedia kala."Kau tidak keberatan bukan? Dia tinggal di sini lebih lama lagi?" tanya Danu. Meski ia tahu Andrea gadis yang baik dan tidak akan tega menolak permintaannya, tapi ia tetap menghargai gadis ini. Tidak mungkin ia memaksa Andrea untuk terus merawat orang asing, terlebih seorang pria.
"Maaf terlambat. Sudah waktunya makan siang," ujar Andrea mengejutkan Dimas yang duduk bersandar di kepala ranjang. "Oh maafkan aku mengejutkanmu! Aku hanya membawakan makan siang untukmu," tukas Andrea sambil meletakkan nampan di atas nakas di samping ranjang. "Ayo makan dulu. Kau harus minum obatmu," ucapnya lagi sambil menyendok sesuap nasi berisi lauk ke arah Dimas yang masih menatapnya dengan lekat. "Aku ... aku bisa sendiri," ujar Dimas dengan tergugu menolak saat Andrea hendak menyuapinya. "Sudah! Jangan menolak, ayo cepat dimakan." Dimas masih menatap ragu dan diam, enggan membuka mulutnya. Tentu saja itu membuat Andrea jengkel. "Mau sembuh atau tidak?" ketus Andrea. "Ayo buka mulutmu dan makan!" lanjutnya. Mendengar nada ketus dari Andrea membuat Dimas mau tidak mau membuka mulutnya. Menerima suapan dari Andrea. Satu suap, dua suap ... Andrea terus men
Tidak ingin percakapan Dimas dan Andrea semakin dalam, akhirnya Danu dan Galang memutuskan masuk. Mengejutkan Andrea dan Dimasyang masih memaku pandangan dengan dehaman. "Ekhm!" "Eh Paman?" seru Andrea kaget menoleh ke arah kedua pamannya. "Sejak kapan kalian berdiri di sana?" "Cukup lama untuk mendengar percakapan seru kalian! Apa kedatangan kami mengganggu kalian?" tanya Galang seraya memberikan tatapan penuh arti pada Dimas dan Andrea. Dengan cepat Andrea menggeleng. "Tentu saja tidak!" jawabnya mengelak. Apanya yang seru? Ia merasa tidak ada yang seru, justru yang ada sebaliknya, percakapan mereka terasa kaku. "Ini tidak seperti yang kalian pikirkan." "Memangnya apa yang kami pikirkan?" "Maafkan aku, tapi yang dikatakan Andrea benar. Tidak ada pembahasan spesial di antara kami seperti yang paman kira," ujar Dimas menimpali perkataan Andrea sekaligus menjawab pertanyaan Galang. Tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman di antara