"Andrea ..."
"Andrea?"
"Huh? Paman?"
"Kau melamun?" tanya Danu saat menemukan Andrea termenung sendiri di meja makan sampai-sampai gadis yang masih menunjukkan raut kebingungannya ini tidak menanggapi pangilannya sedari tadi. "Apa yang sedang kau pikir, 'kan, hm?"
"Aku ..." Andrea menggantung perkataannya. Ragu untuk mengatakan hal yang mengganggu pikirannya. "Bukan apa-apa, Paman," jawabnya. "Mungkin aku hanya lelah," elak Andrea.
Danu memandang penuh selidik ke arah Andrea yang sedari tadi menghindari tatapannya. "Kau tidak sedang berbohong pada paman, bukan?"
Andrea kembali menoleh ke arah Danu sebelum kembali menunduk. Menghindari tatapan pria paruh baya yang masih menunjukkan raut ketidakpercayaan atas jawaban yang ia berikan.
Sementara Danu tersenyum melihat sikap Andrea. Gadis ini memang terlalu polos untuk bisa berbohong. Tidak berubah sejak dulu. "Paman mengenalmu bukan satu dua tahun, Andrea, tapi sejak kau masih kanak-kanak. Kau tidak mudah untuk bisa berbohong. Jadi katakan apa yang mengganggu pikiranmu?"
Andrea menggigit bibirnya. Matanya sudah memerah menahan tangis yang siap pecah. Kenapa? Kenapa justru orang yang tidak memiliki hubungan darah dengannya yang selalu memberinya perhatian yang ia harapkan? Kenapa justru orang lain yang lebih mengerti dirinya dibandingkan dengan mereka yang ia harapkan ada untuknya?
Danu yang melihat bahu Andrea bergetar, mendekat ke arah Andrea yang masih duduk di tempatnya. Mengulurkan tangannya lalu memegang bahu Andrea yang membuat gadis itu mendongak menatapnya dengan mata yang sudah basah oleh air mata. "Paman, aku ..." Lagi! Andrea tidak mampu melanjutkan perkataannya karena tangisnya justru lebih dulu pecah. Tangannya langsung terulur memeluk tubuh Danu yang berdiri di sampingnya.
Sesak! Itulah yang dirasakan Danu saat melihat manik milik Andrea yang telah basah oleh air mata dan hatinya semakin berdenyut sakit saat Andrea memeluk tubuhnya seraya terisak. Tangannya kembali terulur, mengusap kepala Andrea. Tidak ada yang bisa ia lakukan lagi selain hal ini. Kenyataannya bukan ia yang gadis ini butuhkan untuk mengusap air matanya, tapi mereka yang ada jauh di sana. "Paman tahu! Kau merindukan mereka. Bersabarlah! Paman yakin mereka ..."
"Sampai kapan, Paman? Sampai kapan aku harus menunggu? Sampai kapan?" tanya Andrea disela tangisnya. Akhirnya isi hatinya tumpah. Pertanyaan yang selalu ditahannya selama ini keluar dari bibirnya. Pertanyaan yang selalu ia rapalkan dalam hati setiap saat. Setiap ia merindukan mereka, keluarganya. Keluarga yang entah masih mengingatnya atau tidak.
Usapan tangan Danu terhenti mendengar pertanyaan Andrea. Bibirnya terkatup rapat, tidak dapat menjawab pertanyaan gadis yang telah ia anggap sebagai putrinya sendiri. Kenyataannya, ia pun tidak tahu kapan hari itu datang. Ia sendiri tidak tahu kapan mereka yang membuat Andrea berada di sini akan menjemput dan membawa Andrea kembali ke sana. Tempat yang seharusnya menjadi rumah bagi gadis malang ini. Hanya kata maaf yang ia bisa terucap dalam hatinya karena tidak berdaya untuk memberi Andrea kepastian apa pun. "Menangislah! Jika itu membuatmu lebih baik, tapi setelah ini, kau harus menjadi Andrea yang kuat, yang selalu ceria dan membawa kebahagiaan bagi orang-orang di sekitarnya."
"Aku lelah, Paman."
"Paman tahu, tapi bukan berarti kau harus menyerah. Paman yakin kau bisa melewati ini. Suatu hari nanti kau akan mendapatkan kebahagiaan. Jika bukan dengan mereka, maka kau bisa menemukan kebahagian lainnya."
Andrea melepaskan pelukannya, lalu mendongak. "Benarkah?" tanyanya pelan pada Danu yang mengulas tersenyum ke arahnya.
Danu mengangguk. "Tentu! Paman yakin, kebahagian akan datang padamu. Percayalah!"
Andrea terdiam, tidak membalas perkataan Danu. Ia pun berharap demikian. Hanya anggukan lemah sebagai jawabannya. "Terima kasih karena selalu ada untukku, Paman. Terima kasih karena telah menemaniku di sini. Terima kasih ..."
"Jangan berterima kasih pada paman," ujar Danu menyela perkataan Andrea. "Sudah tugas paman."
Andrea hanya mengulas senyum. Bersyukur ada Danu yang setia menemaninya di sini. Jika tidak, entah bagaimana nasibnya di sini.
Melihat Andrea yang tersenyum, mau tidak mau membuat Danu ikut tersenyum lega. Setidaknya Andrea sudah bisa tersenyum lagi. Ia harap senyum itu tidak hilang dari gadis malang ini. Andrea berhak bahagia. "Sekarang hapus air matamu dan istirahatlah!"
Andrea dengan cepat mengusap jejak air mata yang membasahi pipinya. "Terima kasih untuk semuanya, Paman."
"Sudah paman bilang, jangan mengucapkan terima kasih lagi. Kau ini!" ujarnya seraya menjitak pelan kepala Andrea yang dibalas kekehan oleh gadis itu. "Sudah sana!"
"Jangan memaksa, Paman. Aku belum mengantuk. Lagi pula aku masih harus mengecek kondisi pria itu."
"Tidak perlu! Biar paman yang akan mengecek dan menjaganya malam ini. Kau bisa beristirahat. Bukannya tadi kau mengatakan lelah, hm?"
"Tapi itu ..."
"Hari ini tidak ada bantahan sama sekali."
Mendengar nada tegas Danu, mau tidak mau Andrea menurut. "Baiklah! Tapi jika terjadi sesuatu atau paman butuh sesuatu, bangunkan aku."
"Iya, akan paman lakukan."
Setelahnya, Andrea beranjak dari kursi yang didudukinya. Melangkah menuju kamarnya untuk beristirahat. Sementara Danu hanya menghela napasnya dengan berat. "Maafkan paman, Andrea," gumamnya seraya memandang Andrea dengan sendu.
***"Eh? Andrea?"
"Oh! Apa aku membangunkan paman?"
"Tidak apa-apa. Lagi pula ini sudah pagi."
"Kalau begitu, paman membersihkan diri dan sarapan saja dulu. Makanannya sudah siap di meja makan. Aku akan menyusul setelah membersihkan pria ini dulu," ujar Andrea sembari meletakkan baskom berisi air dan handuk kecil di atas nakas.
Danu mengangguk pelan. "Kapan Dokter Dania akan datang lagi untuk memeriksa keadaannya?" tanya Danu sembari memerhatikan pria yang tergolek lemah di atas ranjang di hadapannya.
"Dokter Dania mengatakan akan datang hari ini. Kemarin dia masih memeriksa beberapa penduduk di desa sebelah."
"Beruntung kau sudah diajari memasang infus, jadi Dokter Dania tidak harus datang setiap hari untuk memeriksanya."
"Beda cerita kalau jarus infusnya terlepas, maka aku tidak akan bisa melakukannya."
"Beruntungnya lagi itu tidak sampai terjadi."
"Haha! Kau benar!"
Andrea merengut mendengar tawa Danu. Ada-ada saja! "Lebih baik paman sarapan sekarang sebelum makananya dingin," ketusnya.
Seketika Danu menghentikan tawanya mendengar nada ketus dari Andrea. "Baiklah! Cepat menyusul sebelum paman menghabiskan makanannya nanti," ujarnya sambil bergurau lalu meninggalkan Andrea.
Andrea hanya menggumam pelan sebagai balasan. Ia sibuk memeras handuk untuk membersihkan pria yang masih tertidur ini. Tangannya mengusap tubuh pria di hadapannya dengan telaten.
Usapan tangannya terhenti, pandangannya tertuju pada wajah pria itu. Andrea memperhatikannya dengan lekat. Hanya dalam hitungan hari, pria ini sudah mengambil alih perhatiannya. Ia sendiri tidak mengerti dengan hal ini, tapi ada sesuatu yang membuatnya terus melihat ke arah pria yang ditolong tetangganya ini. Perasan ini sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya? Kenapa?
Tanpa sadar tangannya yang bebas membelai lembut wajah penuh luka itu. Meski tersamarkan oleh luka, gurat kelelahan tergambar jelas di wajah tampan ini. Entah mengapa ia merasa pria ini sama sepertinya. Sama-sama merasakan kepedihan dan kesepian. Matanya menyendu "Apakah kau sama sepertiku? Sama-sama merasakan sakit? Di sini?" tanyanya sambil meletakkan tangannya di dada priayang masih enggan membuka mata itu.
Sesak kembali ia rasakan, kenapa selalu seperti ini? Tidakkah rasa ini ingin pergi darinya? Kenapa rasa rindu pada mereka, ia rasakan hanya karena menatap wajah pria ini? Pun dengan rasa itu? Rasa terabaikan dan terbuang ini? Kenapa?
Andrea menggeleng berusaha mengenyahkan pikiran yang melayang entah ke mana pun dengan perasaan yang menyusup ke hatinya. Ia menghapus air mata yang entah sejak kapan membasahi pipinya. Ia kembali melanjutkan sisa pekerjaannya. Namun, gerakan tangannya kembali terhenti saat sebuah gelang terlepas dari pergelangan tangan pria itu. Gelang rajut dari rotan yang indah. Ia mengambil gelang itu. Mata bulatnya menyusuri ukiran pada gelang itu sampai ia menemukan satu nama terpatri indah di sana.
"Dimas Ardiantara ...," gumamnya.
***Danu yang merasa Andrea begitu lama membersihkan tubuh pria yang ditolongnya, memutuskan kembali ke kamar yang di tempati pria itu untuk memanggil Andrea. "Andrea! Kenapa lama sekali? Kau ..." Perkataannya menggantung saat mendapati Andrea termenung, tapi bukan itu yang menjadi fokusnya. Melainkan benda yang ada di tangan gadis itu. "Apa yang kau pegang itu Andrea?""Eh Paman? Sejak kapan ada di sini?" tanya Andrea terkejut saat mendengar suara Danu bertanya padanya. "Apa paman sudah selesai sarapan?" lanjutnya."Paman sudah selesai sarapannya. Paman menunggumu tapi kau belum muncul juga untuk sarapan, makanya pamam ke sini untuk memastikan apakah semua baik-baik saja, dan yang paman temukan adalah kau lagi-lagi melamun," jelas Danu. "Apa semua baik-baik saja? Dan apa yang ada di tanganmu?" tanyanya lagi.Andrea hanya tersenyum tipis. "Semua baik-baik saja. Hanya saja aku menemukan ini terlepas dari
"Andrea, kau baik-baik saja bukan?" tanya Danu dengan cemas saat melihat wajah shock Andrea di depan pintu kamar tempat pria yang ditolongnya berada."Wajahmu pucat, apa terjadi sesuatu?" tanya Galang menimpali pertanyaan Danu. Awalnya ia dan Danu berniat menggantikan Andrea untuk menjaga pemuda di dalam sana agar gadis di hadapan mereka ini bisa beristirahat, tapi yang mereka temukan justru Andrea berdiri mematung dengan wajah shock. Ada apa sebenarnya? Apa kondisi pemuda itu menurun lagi seperti minggu lalu? Atau lebih buruk lagi, pemuda itu ....Galang menggeleng, mencoba mengenyahkan pikiran negatif yang menghampiri kepalanya. Tidak! Ia tidak boleh seperti ini. Pasti pemuda itu baik-baik saja. Tangannya bergerak memegamg dan menggoyangkan lengan Andrea. Menyadarkan gadis itu dari keterpakuannya. "Andrea! Semua baik-baik saja, 'kan?" tanyanya sekali lagi.Andrea yang merasakan lengannya digoyang-goyangkan
Dimas mengerjap pelan menyesuaiakan cahaya yang masuk ke matanya. Setelahnya ia mengedarkan pandangannya. Keningnya mengerut melihat kamar yang tampak asing baginya ini. Di mana ia saat ini? Bukankah ia sedang dalam perjalanan pulang, tapi mengapa ia berada di tempat asing ini?"Mama ingin kau pulang hari ini juga! Jika tidak, kau tahu akibatnya!"Dimas mendesah lelah setelah membaca pesan yang dikirimkan oleh ibunya. Ia meletakkan ponselnya begitu saja di jok di samping kemudi. Selalu seperti ini, selalu dihadapkan pada tuntutan yang tidak dapat ia tolak. Kenapa ibunya tidak pernah mau mengerti? Ia hanya ingin menenangkan diri sebentar, menghilangkan penat akibat rutinitas yang dijalaninya. Namun, kenapa sulit sekali untuk mendapatkan hal itu? Kenapa ia tidak bisa tenang sebentar saja? Tidak bisakah lepas dari segala semua yang terasa mengimpitnya selama ini?Sibuk dengan pikirannya, membuat Dimas ti
Pertanyaan yang keluar dari bibir Dimas membuat Danu menghela napas lelah karena sedari tadi berarti penjelasan yang ia jabarkan sia-sia saja. Tidak satu pun didengar oleh pemuda yang baru bangun setelah dua minggu lebih tidak sadarkan diri ini. Namun terlepas dari itu, ia merasa lega di saat yang bersamaan. Ini berarti pemuda yang ia tolong tidak ada kaitannya sama sekali dengan Andrea."Kau benar-benar tidak mendengar perkataan Danu?" tanya Galang dengan suara rendah tapi penuh penekanan. Berulang kali ia mengembuskan napas, guna menahan emosi. Ia sadar, yang mereka ajak bicara adalah orang baru sadar dari tidur panjangnya. Butuh waktu untuk menyesuaikan diri, pun mengembalikan fokus. Namun apa semua yang mereka katakan terlewat begitu saja? Tidak satu pun yang disimak? Termasuk saat Danu memperkenalkan mereka tadi? Setidaknya pemuda ini pasti menyimak saat Danu menyebut nama mereka satu persatu, 'kan?Dimas yang mendengar pertanyaan itu membuatnya merasa bersalah. "
"Bagaimana, Paman?""Mau bagaimana lagi? Sepertinya pemuda itu memang harus tinggal lebih lama di sini," ujar Danu menjawab pertanyaan Andrea. Tidak ada pilihan bagi mereka bukan? Tidak mungkin juga untuk membiarkan pemuda itu luntang-lantung tanpa tujuan sementara pemuda itu tidak mengingat apa pun.Pada akhirnya mereka membawa pemuda itu ke rumah sakit untuk memeriksa dan memastikan kondisinya. Hasilnya pun tidak berbeda dengan yang dikatakan oleh Dokter Dania beberapa hari yang lalu. Pemuda itu benar-benar hilang ingatan. Beruntung kondisi fisiknya sudah membaik. Hanya butuh beberapa hari untuk memulihkan kondisinya seperti sedia kala."Kau tidak keberatan bukan? Dia tinggal di sini lebih lama lagi?" tanya Danu. Meski ia tahu Andrea gadis yang baik dan tidak akan tega menolak permintaannya, tapi ia tetap menghargai gadis ini. Tidak mungkin ia memaksa Andrea untuk terus merawat orang asing, terlebih seorang pria.
"Maaf terlambat. Sudah waktunya makan siang," ujar Andrea mengejutkan Dimas yang duduk bersandar di kepala ranjang. "Oh maafkan aku mengejutkanmu! Aku hanya membawakan makan siang untukmu," tukas Andrea sambil meletakkan nampan di atas nakas di samping ranjang. "Ayo makan dulu. Kau harus minum obatmu," ucapnya lagi sambil menyendok sesuap nasi berisi lauk ke arah Dimas yang masih menatapnya dengan lekat. "Aku ... aku bisa sendiri," ujar Dimas dengan tergugu menolak saat Andrea hendak menyuapinya. "Sudah! Jangan menolak, ayo cepat dimakan." Dimas masih menatap ragu dan diam, enggan membuka mulutnya. Tentu saja itu membuat Andrea jengkel. "Mau sembuh atau tidak?" ketus Andrea. "Ayo buka mulutmu dan makan!" lanjutnya. Mendengar nada ketus dari Andrea membuat Dimas mau tidak mau membuka mulutnya. Menerima suapan dari Andrea. Satu suap, dua suap ... Andrea terus men
Tidak ingin percakapan Dimas dan Andrea semakin dalam, akhirnya Danu dan Galang memutuskan masuk. Mengejutkan Andrea dan Dimasyang masih memaku pandangan dengan dehaman. "Ekhm!" "Eh Paman?" seru Andrea kaget menoleh ke arah kedua pamannya. "Sejak kapan kalian berdiri di sana?" "Cukup lama untuk mendengar percakapan seru kalian! Apa kedatangan kami mengganggu kalian?" tanya Galang seraya memberikan tatapan penuh arti pada Dimas dan Andrea. Dengan cepat Andrea menggeleng. "Tentu saja tidak!" jawabnya mengelak. Apanya yang seru? Ia merasa tidak ada yang seru, justru yang ada sebaliknya, percakapan mereka terasa kaku. "Ini tidak seperti yang kalian pikirkan." "Memangnya apa yang kami pikirkan?" "Maafkan aku, tapi yang dikatakan Andrea benar. Tidak ada pembahasan spesial di antara kami seperti yang paman kira," ujar Dimas menimpali perkataan Andrea sekaligus menjawab pertanyaan Galang. Tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman di antara
Bagaimana keadaannya?"Danu menghentikan gerakannya, ia mengalihkan pandangannya dari tanah yang ia cangkul ke arah Galang. "Dia baik-baik saja."Galag mendengkus "Bukan pemuda itu yang kumaksud, tapi ..." ia menggantung perkataannya dan itu membuat Danu menampilkan senyum sendu saat melihat tatapan ragu Galang menyebut nama nona muda mereka. "Dia pun baik. Tidak sesedih seperti tahun kemarin saat ia melewati hari ulang tahunnya sendiri."Galang menghela napasnya. Tiga tahun selalu seperti ini. Andrea, nona muda yang sebenarnya majikan mereka akan berubah murung dan sedih saat harus melewati ulang tahunnya sendirian tanpa ditemani sanak keluarga. Itulah mengapa ia menanyakan hal ini. Biasanya ia dan Danu akan menemani Andrea melewati ulang tahun gadis itu. Dirayakan dengan tiup lilin ditemani dengan seloyang kue atau nasi kuning yang mereka buat bersama. Namun sayang, tahun ini tidak bisa ia lakukan. Beberapa hari sebelumnya ia harus menemani istrinya untuk menj