Share

2. Private Chat

“Hati-hati di jalan ya!” ucap Amara. Dia mengantar pacarnya sampai gerbang. Bima mengecup kening Amara, kemudian melaju dengan sepeda motornya dalam kegelapan malam. Setelah Bima tidak terlihat oleh mata Amara baru masuk ke dalam rumah kosnya.

Peristiwa tadi masih membuat Amara penasaran. Setelah mendapat panggilan telepon Bima menjawab telepon sambil berjalan ke luar ruangan. Amara hanya terdiam. Dia ingin bertanya, tapi takut suasana menjadi tidak wajar. Setelah panggilan telepon selesai pun Amara tidak bertanya apapun. Bagi pasangan lain mungkin dia akan langsung mengecek handphone pasangannya. Melihat seluruh isi chatnya, tapi tidak bagi Amara. Bagi Amara ponsel adalah milik pribadi, dan dia memang tidak pernah membuka handphone milik Bima. Bima sendiri pun tidak pernah memberikan akses ponselnya ataupun sosmednya kepada Amara.

Untuk menjauhkan pikiran negatif, Amara mendengarkan playlist lagu random di handphonenya. Lagu pertanya yang diputar ternyata lagu Sam Smith – I’m Not The Only One.

You Say I’m Crazy

‘Cause You Don’t think I Know What You’ve done

But When you call e baby

I know I’m not the only one

“Bentar-bentar keknya ada yang salah deh sama lagunya, next!” kata Amara pada dirinya sendiri.

Kuakui ku sangat sangat menginginkanmu

Tapi kini kusadar ku diantara kalian

Aku tak mengerti ini semua harus terjadi

(D’Masiv - Diantara Kalian)

“Next!” kata Amara

Kar’na cinta tak akan ingkari

Tak akan terbagi

Kembalilah pada dirinya

Biarku yang mengalah aku terima

                        (Tangga – Cinta Begini)

Amara mematikan playlist lagunya. Bahkan playlist lagunya pun tidak bisa untuk menenangkan hatinya. Kini dia benar-benar kepikiran siapa sebenarnya Gita? Disaat dia sedang memikirkan Gita, nama Gitalah yang muncul di layar panggilan Bima.

“Lebih baik aku mengerjakan tugas deh!” ucap Amara.

Amara kemudian menyalahan laptopnya, sejujurnya dia sedang tidak mood mengerjakan tugas mata kuliahnya. Tapi apa mau dikata, yang namanya tugas harus dikerjakan bukan? Ternyata laptopnya belum sepenuhnya dimatikan, masih mode sleep. Ah benar, tadi Bima meminjam laptopnya sebentar untuk mengecek pesan masuk.

Ternyata angin baik berhembur ke arah Amara. Bima lupa untuk me-logout sosial medianya di Laptop Amara. Amara menjadi gundah, haruskah dia cek pesan masuknya? Haruskah dia cek siapa Gita dari kacamata sosial media Bima?

Aku cuman buka pesan kalau ga ada pesan dari namanya Gita bakal aku tutup lagi, batin Amara. Akhirnya Amara memberanikan diri untuk mengecek pesan masuk wallbook Bima. Ternyata benar di akhir pesan masuknya ada nama Gita. Karena terlanjur penasaran Amara membuka pesan tersebut.

“HAH!” Amara merinding melihat pesan antara kekasihnya dan Gita.

Selasa, 3 Januari

Jadi ke rumah ka? – Gita

Ini lagi OTW ke rumah kamu, papa ada? – Bima

Ga ada ka, langsung masuk aja – Gita

Rabu, 4 januari

Kamu ga apa-apa kemaren? – Bima

Engga apa – apa ka, cuman itunya masih sakit sih sedikit – Gita

Maaf ya aku aga kasar kemaren – Bima

Iya ka gapapa, aku ngertiin kok, makasih ya itu pengalaman pertama aku sejujurnya – Gita

“Anjirrr, ini apaan deh sumpah!” tanpa sadar Amara berteriak.

“Ra, lu gapapa?” Della, tetangga sebelah kamar Amara berteriak dari luar. Ternyata suara Amara lumayan keras sampai bisa terdengar oleh Della.

“Gapapa Dell!” ucap Amara.

Tubuh Amara bergetar. Otaknya menerka apa yang terjadi antara pacarnya dan Gita. Hatinya sakit membaca pesan keseluruhan dari mereka berdua. Benarkah ini seperti yang Amara pikirkan? Bima adalah sosok yang sempurna di mata Amara. Bima itu baik, cerdas dan memperlakukan Amara selama ini dengan baik juga. Merekapun telah jalan tiga tahun berpacaran. Tapi kenapa?

Amara bingung, haruskah dia diam saja ataukah dia harus bertanya kepada Bima tentang apa yang terjadi? Otak dan hatinya tidak sinkron. Amara bingung, ingin rasanya ia menangis, tapi ia juga dalam keadaan marah. Haruskah dia pura-pura tidak tahu? Kemudian segala Sesuatu seperti sedia kala? Atau haruskah dia mengeluarkan isi hatinya kepada Bima?

Akhirnya Amara menelpon Bima. Setelah beberapa kali bunyi tuttt…tuttt…tuttt…., akhirnya telpon diangkat juga.

“Halo!” terdengar suara wanita dari sebrang telepon.

Jantung Amara berdetak kencang. Pikirannya sempat melayang. Siapa ini? Kenapa kedengeran suara wanita? Kok bukan Bima yang angkat sih? Semua pertanyaan memenuhi benak Amara. Dia juga ragu haruskah ia tanyakan siapa orang yang berbicara di sebrang telepon tersebut ataukah harus ia tutup.

“Ini siapa ya?” akhirnya Amara memberanikan diri.

“Ini ka Winda, de!” jawabnya. Amara sedikit lega. Winda yang dimaksud adalah kakak perempuan dari Bima. Jika beliau yang menjawab telepon tersebut sudah pasti Bima sedang ada di rumah.

“Bimanya mana ya?” Tanya Amara.

“Ah, lagi keluar sebentar dia ke minimarket. Mama nitip sesuatu tapi handphonenya lupa buat dibawa.” Tutur Winda.

“Ah gitu ya ka!”

“Mau aku sampein aja? Nanti kalau dia pulang aku kasih tau!” saran Winda.

Amara ragu. Mana mungkin dia menyampaikan perihal chat frontal adik satu-satunya itu kepada Winda. Dia juga masih menjaga nama baik Bima. “Ah, nanti saja ka aku telepon lagi. Makasih ya selamat malam!”

Amara menutup teleponnya setelah Winda membalas salamnya. Haruskah Ia menunggu kepulangan Bima? Ataukah dia menyampaikan esok harinya? Akhirnya Amara memilih membuka laptopnya. Dia berniat untuk mengerjakan tugas. Tetapi pikirannya masih dipenuhi oleh tanda Tanya. Akhirnya Amara menyerah dan dia membuka kembali percakapan antara Bima dengan Gita.

Lucu sekali, dari fakta yang dia temui Bima dan Gita baru berteman sekitar satu atau dua bulan yang lalu. Tetapi mereka sudah chat sefrontal itu. Bagaimana bisa Bima berbicara seperti itu kepada orang yang baru dikenalnya? Atau jangan jangan mereka ternyata sudah saling mengenal sejak lama? Amara terus diliputi oleh tanda tanya.

Tok…tok…tok….

Amara sedikit terkejut ada yang mengetuk kamar kosanya. “Siapa?” tanya Amara.

“Della, Ra!”

Amara bangkit dari kursi belajarnya. Sambil menghapus sedikit air mata yang sempat keluar dari pelupuk matanya, dia menuju ke arah pintu kamar.

“Kenapa Dell?” tanya Amara setelah membuka pintu.

Della sedikit terkejut melihat Amara. “kamu kenapa? Kok nangis?” Tanya Della.

“Engga kok ini aga flu aja, hehe!” bantah Amara.

“Serius gapapa? Aku minta anterin sebentar ke LFC beli ayam krispi. Laper! Kamu sendiri udah makan?” kata Della.

Ah benar, karena tadi sibuk dengan Bima, dia lupa untuk memberikan nutrisi pada perutnya sendiri. Barulah terasa dirinya lapar. “Aku anter, aku juga belum makan. Tapi udah jam segini. Masih ada yang buka?”

“Masih kok, di deket Balai Kota masih buka harusnya!” kata Della.

“Ga gofood aja?” tanya Amara.

“Mau makan di tempat, sekalian cari angin malem!” jawab Della.

“yaudah, aku pake jaket dulu!”

***

“Tumben kamu cuman pesen roti sama minum aja! Ga laper?” tanya Della sambil membawa nampan berisi dua porsi ayam ke meja resto.

“Ga begitu laper. Kamu sendiri abis segitu? Tanya Amara yang takjub melihat porsi makan temannya.

“Segini biasalah!” kata Della. Della jurusan olahraga, rambutnya yang pendek menandakan kepribadiannya yang sedikit maskulin. Tetapi Della adalah teman satu kosan Amara yang paling dekat. Meskipun terlihat maskulin tetapi Della berwatak lembut hatinya.

Amara meninjau chat dirinya dan Bima. Pesannya belum dibalas juga. Terakhir Amara bertanya di chat, apakah sudah sampai di rumah atau belum. Ceklis tanda terbaca pun tidak. Apa jangan-jangan Bima belum sampai di rumah ya?

“Ra? Bukannya itu cowok kamu!” seru Della sambil menunjuk ke luar jendela di belakang tempat Amara duduk. “kok sama cewek!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status