Amara menolak panggilan telepon dari Bima. Walau bagaimanapun dia tahu diri, perpustakaan melarang pengunjungnya untuk berisik. Apalagi menelpon sepertinya bukan ide yang baik. Mencegah Bima menelpon berkali-kali dibukanya pesan chat Bima. Ternyata sejak tadi Bima terus menerus mengirim pesan chat ke Amara bertubi-tubi.
Teringat kembali kejadian kemarin. Mungkinkah Bima akan menjelaskan perihal Gita? Sehingga ada sekitar sepuluh pesan chat yang belum dibuka oleh Amara. Ah benar juga karena terlalu sibuk hari ini Amara sampai lupa untuk mengecek chat. Bangun kesiangan juga menjadi alasan Amara jika nanti Bima bertanya mengapa chatnya tak kunjung dibaca. Dia kemudian membaca seluruh chat dari Bima.
Pagi sayang – Bima (06.30)
Kamu belum bangun? – Bima (07.08)
Aku ke kosan kamu ya – Bima (07.20)
Kamu ke kampus bukan? – Bima (07.50)
Ada kuliah? – Bima (07.51)
Sayang? – Bima (08.30)
Amara? – (Bima (09.00)
Kamu sengaja ya? – Bima (10.12)
Kamu kenapa sih? – Bima (10.17)
Aku di depan kosan kamu – Bima (11.27)
Amara melihat jam. Tidak terasa ternyata sudah pukul setengah satu siang. Mungkin karena terlalu asik mengobrol dengan Satria. Dia sampai lupa untuk mengecek chat dari Bima. Dia panik karena mengetahui Bima di depan kosannya saat ini juga. Itu berarti dirinya harus pulang.
“Sat!” kata Amara.
Satria menoleh ke arah Amara. Raut mukanya bertanya ada apa. Mungkin saja dia melihat sedikit kepanikan di muka Amara.
“Aku pulang duluan ya, ada yang menunggu di kosan!” kata Amara.
“Pacarmu?” tanya Satria.
Amara mengangguk. Dia kemudian membereskan barang-barangnya. Tak lama kemudian Amara melangkahkan kakinya untuk keluar dari perpustakaan. Menyisakan Satria yang masih duduk di meja perpustakaan.
“Sudah punya pacar rupanya!” kata Satria
***
“Bim!” Amara menyapa Bima sambil berlari.
Bima menoleh, senyumnya terlihat letih. Entah berapa lama dia menunggu. Bima masih menggunakan style khasnya. Kemeja luar dengan kaos dalam warna putih. Dipadukan dengan Jeans hitam dan sepatu convers.
“Kamu nunggu lama?” tanya Amara.
“Lumayan sih hehe!” jawab Bima.
“Maaf ya aku tadi ga ngecek sama sekali, akunya lumayan sibuk hari ini!” Amara terlihat tergesa-gesa berkata.
“Gapapa, aku mau ngajak kamu makan sore. Mau?” tanya Bima.
“Ah aku ganti baju dulu aja gitu. Tunggu sebentar ya!” jawabnya. Dia langsung berjalan menuju pintu kosan.
Bima langsung memegang lengan Amara. Ditariknya sambil berkata, “Gausah pake ini aja ya!”
Amara diam sebentar. Sebetulnya dia tidak nyaman karena bajunya berkeringat sana sini. Style yang digunakannya pun masih style kuliah. Tapi dia mengangguk, Bima sudah menunggunya lama sekali, sangat tidak sopan jika harus memintanya menunggu lagi.
Setelah kesepakatan berlangsung, Bima menggandeng tangan Amara. Menuntunnya ke Mobil yang diparirnya tidak jauh dari sana. Kosan Amara harus memasuki gang jadi butuh waktu berjalan sebentar untuk sampai ke tempat parkir.
“Mau ke mana?” tanya Amara sambil memasang seatbelt.
“Ada Café Coffee tidak jauh dari sini. Tempatnya bagus. Aku pikir kamu pasti suka!” Jawab Bima sambil mulai menjalankan mobilnya.
***
Secangkir Kopi. Nama Café yang tidak asing bagi Amara. Di Café ini dia kemarin menghabiskan waktu untuk menghibur diri. Dia sama sekali tidak menyangka jika Bima akan membawanya ke tempat ini juga.
“Bagus kan tempatnya?” tanya Bima pada Amara.
“Iya bagus, cafenya cantik. Dekorasinya menarik!” jawab Amara.
“Baguslah kalau kamu suka. Mau duduk di mana? Dekat jendela mau?” tanya Bima.
“Boleh!” seru Amara sambil berjalan menuju kursi dekat Jendela. Pemandangan di luar pun bagus sekali. Dekorasinya yang vintage dan sedikit classy membuat Amara menikmati Café ini.
“Kamu tau tempat ini dari mana?” tanya Amara membuka percakapan.
“Ahh, teman!” jawab Bima.
“Siapa?” tanya Amara penasaran.
“Kamu ga kenal!” jawab Bima lagi.
Amara mengangkat alisnya sebentar. Tumben sekali Bima hanya menyebutkan teman. Biasanya dia akan menjawab nama teman kepada Amara. Ataupun mengenalkan temannya itu jika memang Amara tidak mengenalnya. Meskipun Amara penasaran dia menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh.
Amara akhirnya mengalihkan perhatiannya kepada meja barista. Di balik mesin kopi dan jejeran biji-biji kopi terdapat wajah asing yang terlihat. Rupanya Satria sedang tidak ada. Dia pikir akan bertemu Satria juga di sini. Entah mengapa Amara tidak ingin bertemu Satria saat sedang bersama dengan Bima.
“Sedang mencari seseoraang?” tanya Bima.
Amara menoleh, segitu terlihatnya kah dia di mata Bima? Kemudian dia menggeleng, serta menjawab dengan alasan, “Aku sedang melihat menu!”
“Latte di sini enak. Mungkin kamu bisa coba pesan itu! Kalau cake red velvet juga ada, potongan kecil dan harganya pun tidak mahal!” kata Bima.
“Kok kamu tau? Pernah ke sini?” tanya Amara.
Bima tersenyum, lalu menjawab, “Ah rekomendasi dari temanku!” kata Bima.
“Siapa sih temanmu itu? Kok kayanya disebutkan terus!” kata Amara.
Bima kemudian bangkit dari kursinya, “Aku pesan dulu. Sekaligus memesankan satu untuk kamu juga ya!”
Amara semakin curiga. Apakah teman yang dimaksud oleh Bima adalah orang yang sama dengan yang dia pikirkan?. Apa dia harus bertanya pada Bima? Semua ini masuk ke dalam pikiran Amara.
Tak lama kemudian Bima datang. “tunggu sebentar ya, pesanannya sedang dibuat!” kata Bima.
“iya!” jawab Amara singkat.
Mereka berdua terdiam cukup lama. Bima kemudian memperhatikan Amara, tidak biasanya pacarnya yang biasa ceria dan banyak bicara ini diam tanpa berkata apapun di depannya.
“Sayang?” tanya Bima.
“iya?” jawab Amara.
“Kamu kenapa?” tanya Bima.
“Aku gapapa!” jawab Amara.
Bima menghela nafas. Kemudian dia mengambil handphonenya. Mungkin karena kesal dengan sikap Amara, dia mencari kesibukan sendiri.
Tidak selang beberapa lama pesanan mereka tersedia. Pelayan memanggil nama Bima. Di Café tersebut pesanan tidak diantarkan, tetapi pembeli yang mengambil sendiri pesanan saat sudah siap. Bima kemudian bangkit untuk mengambil pesanan.
Rupanya Bima memesankan Latte dingin dan chessecake untuk Amara. Dilahapnya sedikit chessecake tersebut menggunakan sendok yang tersedia. Bima sendiri hanya memesan milkshake oreo. Karena kondisi organ dalamnya Bima memang tidak bisa terlalu banyak meminum cafein.
“Makan yang banyak biar bête kamu ilang!” seru Bima sambil melihat-lihat ponselnya.
Amara berhenti makan sejenak. “Apasih!”
“Kamu lapar kan makannya bete, makan yang banyak biar ga bete lagi!” Bima mencoba menenangkan.
“Aku ga bete karena lapar!” kata Amara.
“Terus kenapa?” Bima sudah diujung emosi. Dia merasa Amara benar-benar menyebalkan.
“Gapapa!”
Bima menghembuskan nafas panjang. Dia kesal dengan sifat Amara yang seperti ini.
“Aku udah luangin waktu buat kamu, ajak kamu makan malam. Terus kamu balas dengan tatapan cemberut dan sifat gajelas kaya gini!” tegas Bima. Nadanya sedikit dinaikan. Membuat Amara sedikit bergetar.
Amara masih diam seribu bahasa sambil memakan hidangannya. Dia bingung, apakah harus bertanya kepada Bima perihal masalah Gita, ataupun temannya Bima tersebut. Ataukah dia harus pura-pura tidak tahu.
“Siapa yang kamu upload di binstagram kemarin?” tanya Amara pada akhirnya.
Jangan lupa untuk mengklik tanda + agar cerita ini masuk ke library ya tinggalkan juga kesan dan komentar kalian di kolom review
"Selamat ya ka!""Akhirnya lulus juga ya!Hari itu kampus dipenuhi oleh orang-orang yang mengenakan toga. Tawa dan senyum terpancar dari wajah mereka. Sanak keluarga pun datang, bahkan tidak segan-segan. Ada yang datang membawa bus bermuatan tetangga dari kampung. Hari itu adalah hari yang berbahagia, hari wisuda.Satria berjalan diarak oleh teman-temannya, junior di BEM. Dia dan Faisal lulus bersama-sama. Gita dan ibunya melihat dari kejauhan. Mereka benar-benar bangga dengan putra sulung mereka tersebut."Pengen nangis, akhirnya seorang Faisal bocah kampung bisa wisuda!" teriak Faisal. Dia tidak henti-hentinya memberikan senyum bangga."Kita yang diancam bakal kena drop out akhirnya lulus juga ya!" tambah Satria. "Bener-bener ga nyangka."Pembicaraan mereka terhenti ketika ada seorang wanita mengenakan toga mendekat. Penampilannya yang dahulu tomboy berubah menjadi feminim akibat balutan kebaya dan sepatu heels tinggi yang dia gunakan.
"Kang!" panggil Danny. Dia berada tepat di belakang Satria. "Situasi udah ga terkendali. Kita butuh instruksi. Gimana ini? Haruskah kita mundur atau tetep maju ke depan maksa buat masuk ke gedung Senayan?" Satria terlihat linglung. Dia memeluk tubuh Amara yang bersimbah darah. Tangannya bergetar hebat. Dia benar-benar tidak menyangka Amara menahan tembakan peluru tersebut dengan badannya. Bukankah dia tidak ikut demonstrasi? Kenapa dia berada di sini? Apa yang harus Satria lakukan saat ini. "Kang Satria!" teriak Galang. Dia memegang kedua bahu milik seniornya tersebut. "Fokus! Semua orang yang di sini butuh instruksi!" "Aku-!" Satria mencoba memahami situasi. Pikirannya kacau. Dia ingin segera membawa Amara ke rumah sakit. Sayangnya posisinya sebagai pemimpin tidak memungkinkannya untuk pergi. Amara membutuhkan pertolongan segera. "Biar Amara dibawa sama tim medis! Akang harus kasih keputusan sekarang!" teriak Galang. Dalam situasi seperti itu
Tok.. tok... tok...Pintu terbuka. Seorang laki-laki berpakaian kemeja putih rapi masuk ke dalam. Di dalam ruangan Rudi sedang berdiri menghadap jendela. Dia melihat ke arah kerumbunan mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi terhadapnya."Kenapa kamu ke sini? Ada sesuatu?" tanya Rudi.Pria itu mendekat. "Maaf pak, saya ingin memberikan pesan. Ada seseorang bernama Bima yang mengaku sebagai kenalan bapak. Katanya ada hal penting yang ingin dia bicarakan."Rudi langsung menoleh. Tatapannya marah. Bima adalah nama lelaki yang menghamili anak perempuannya. Sejak lama Bima menghilang, kemudian dia menghubungi keluarganya dan memberitahukan bahwa Bima harus bertanggung jawab. "Kemarin saja dia tidak terlihat, sekarang situasi sedang seperti ini baru datang. Biarkan dia masuk. Tolong jangan ada seorang pun yang mencuri dengar pembicaraan kami."Pria berkemeja putih itu mengangguk, kemudian dia pergi. Beberapa waktu kemudian dia masuk. Di belakangnya Bim
Senayan berubah menjadi lautan manusia. Berbagai mahasiswa dari seluruh kampus di Tanah Air berkumpul di sana. Mereka mengenakan jaster dari kampusnya masing-masing."TURUNKAN DPR YANG TIDAK PRO RAKYAT!""HAPUSKAN KORUPSI DI NEGARA KAMI!""BIARKAN RAKYAT MENIKMATI HASIL KERINGATNYA DARI FASILITAS YANG DIBANGUN MENGGUNAKAN PAJAK NEGARA!"Di antara kerumbunan masa yang melaksanakan aksi tersebut. Berdiri seorang mahasiswa yang mengenakan jaster berwarna kelabu. Dia adalah Satria, mantan ketua BEM di kampusnya sekaligus anak dari salah satu anggota DPR yang terhormat. Di pinggangnya tersampir pengeras suara. Dengan lantangnya dia berkata, "HIDUP MAHASISWA!"Bersebrangan dengan kerumbunan mahasiswa. Aparat keamanan menggunakan label POLISI berdiri rapi di sana. Tugas mereka adalah mengamankan jalannya aksi demonstrasi agar tertib dan lancar. Namun ada yang berbeda saat itu. Para polisi membawa senjata api dan beberapa peralatan lainnya seakan-akan terj
"Semua sudah menunggu! Kita ga bisa nunggu ka Ical!" desak Galang. Dia mengenakan jaster kampusnya. Mereka berada di depan kampus. Waktu masih menunjukan pukul tiga pagi. Beberapa mobil bus dan truk terlihat sesak penuh dengan para mahasiswa yang akan melaksanakan demonstrasi.Satria masih mencoba untuk menunggu sahabatnya tersebut. Di mana Faisal, sejak malam mahasiswa humoris itu benar-benar tidak terlihat. Dia kemudian menekan nomor di layar handphonenya. Seperti sebelumnya handphone tersebut mati."Ka!" panggil Galang. "Kita gabisa nunggu satu orang lagi! Kita harus berangkat sekarang!""Baik!" ucap Satria akhirnya. Namun dia sempat mengirimkan pesan kepada Faisal, "bro kami tunggu di Jakarta."Satria naik ke dalam salah satu bus yang tersedia. Dia duduk di sebelah Diana. Mahasiswi itupun mengenakan jaster angkatan yang sama dengannya. Galang melihat Diana kedinginan dia langsung mengambil jaket yang disampirkan di kursi penumpangnya kemudian memakaik
Tok.. tok... tok..."Sini masuk!" ucap Satria.Pintu terbuka, Faisal masuk ke dalam. "Gimana ade Gita?" tanyanya. Dia kemudian duduk di samping Satria.Mereka sedang berada di rumah kontrakan. Besok mereka akan berkumpul di tempat perjanjian. Aksi demonstrasi dari seluruh Indonesia akan dilakukan."Baik, sudah beres" ucap Satria. Mood Satria terlihat kurang baik. Nada bicaranya lebih ketus dari sebelumnya.Sebagai sahabat, Faisal menyadarinya. Dia kemudian menepuk bahu Satria. "Ada apa? Ga nelepon Amara? Besok kita pergi loh!""Udahlah!" Satria terlihat malas. Dia sedang tidak ingin membicarakan Amara. "Gausah ngomongin dia!"Faisal menghela nafas panjang. "Berantem lagi nih? Gacape berantem terus kalian itu?""Ternyata selama ini dia bekerja sama dengan mama!" Satria akhirnya memulai cerita. "Mama minta tolong sama dia biar kita gagal aksi.""Eh!" Faisal terkejut mendengarnya. "Amara kenal sama tante Mira?"
"Bisakah kita berbicara sebentar?"Amara mengangguk. Kemudian dia mengikuti Mira ke tempat lain. Perasaannya sedikit tidak nyaman. Terlebih saat terakhir bertemu, Mira meminta pertolongan kepadanya. Sementara dia sudah bilang bahwa dia akan mendukung Satria untuk melakukan demonstrasi.Mereka menuju sebuah bangku yang terdapat di salah satu lorong rumah sakit. Mira kemudian menepuk pundak Amara. "Sini kita duduk sambil berbincang sebentar."Setelah Mira duduk, Amara mulai mengikuti. Dia terlihat cukup gugup. Dia memikirkan kemungkinan bahwa dirinya akan dimarahi oleh Mira karena tidak menahan Satria untuk melaksanakan demonstrasi."Satria dan Gita adalah dua orang anakku yang berharga," Mira membuka pembicaraan. Amara mendengarkan sambil mengangguk. "Satria, adalah anak yang dididik dengan keras. Itulah sebabnya dia menjadi seperti ini.""Dia pria yang baik," sambung Satria."Benar, Saya mendidiknya menjadi seorang laki-laki yang baik," Mira
Kriiitttt....Pintu kamar Gita menginap terbuka. Bima dan Satria masuk ke dalam. Amara melihat bekas pukulan di wajah Bima, dia sudah menyangka bahwa Satria akan melakukan hal tersebut kepada mantannya. Tapi memang Bima pantas mendapatkannya. Apapun alasan Bima melakukannya, merusak anak orang adalah sesuatu hal yang salah."Ra!" panggil Satria."Ya? Kenapa?" tanya Amara.Satria memegang pundak Bima. "Bima bilang ingin ngobrol berdua sama kamu. Akupun ada yang mau diobrolin sama adikku."Deg...Jantung Amara berdetak kencang. Dia terlihat kaku dan gugup. Sudah sekian lama dia tidak berbicara dengan Bima. Pembicaraan terakhir juga tidak menyenangkan. Namun Satria yang memintanya. Alhasil dia mengikuti Bima keluar ruangan. Meninggalkan dua kakak beradik itu di dalam ruangan.Ketika mereka sudah keluar, Gita menatap kakaknya. "Kakak gapapa?""Gapapa dong!" jawabnya sambil tersenyum."Maksudnya aku-!" Gadis itu memperhatikan
Hah... hah... hah...Nafas Satria memburu. Dia telah berjanji di dalam hati bahwa dia tidak akan terbawa emosi. Ternyata menahan emosi tidak semudah ini. Laki-laki yang melakukan tindakan asusila terhadap adiknya ada di depan mata. Dengan dirinya yang sekarang mudah saja untuk menghabisi dia.Bima pun terlihat pasrah. Dia tidak melawan. Dia juga tidak berbicara apapun. Dia sudah siap jika akan dihajar habis-habisan oleh Satria.Satria kemudian mendekat kembali ke arah Bima. Lelaki itu menutup matanya. Bersiap menerima pukulan. Beberapa detik berlalu, tidak ada yang terjadi. Akhirnya dia mencoba untuk membuka mata. Dia sedikit terkejut karena melihat Satria mengulurkan tangan kepadanya."Sini! Dibantu buat bangun!" Satria masih mengulurkan tangan.Bima yang terkapar di tanah masih bingung. Beberapa kali dia terlihat mengedipkan mata. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bukankah Satria mengajaknya ke sini untuk menghabisinya?"