Share

4. Berjumpa

Tangannya menepuk dadanya pelan.

"Tenang.. tenang... Jangan sakit"

Lani menepuk dadanya dengan pelan sambil mencoba menenangkan diri, kemudian segera memasuki gedung apartemen yang sudah dihiasi dengan bunga-bunga dan balon-balon yang meriah, serta ucapan selamat ulang tahun yang begitu besar melengkung di atas pintu masuk.

Lani mengedarkan pandangan, dia melihat teman-temannya memakai pakaian semi-formal untuk laki-laki dan kebanyakan perempuan menggenakan dress. Jika bukan karena nenek pemilik apartemen, sudah dipastikan dia akan menjadi tontonan karena mempermalukan dirinya sendiri.

Lani menghela napas lega.

Seseorang dengan sepatu pantofel hitam mengkilat berjalan mendekati Lani. 

"Kamu Lani, kan?"

Suara berat itu membuat Lani menoleh ke arah sumber suara. Dia melihat sosok laki-laki dengan tinggi sekitar lima cm di atasnya, memakai jas hitam, dan berambut hitam pekat dengan kacamata yang membingkai wajahnya yang cukup rupawan dengan rahang yang tegas di wajahnya.

"Ya" jawab Lani singkat, Josua teman sekelas Lani yang populer. Para gadis di kelasnya sering membicarakan tentang pria ini ketika berkumpul. Ternyata kalau dilihat dari dekat dia terlihat lebih tampan.

"Aku Josua, teman sekelasmu dan teman satu organisasimu"

"Ooohh" Lani tahu itu,tanpa diberitahu Josua secara langsung sekalipun. Karena kehadiran Josua selalu membuat heboh, dan itu membuat Lani merasa sedikit tidak nyaman. 

Lani mengedarkan pandangan dan melihat sekumpulan gadis yang melihatnya dengan tatapan menusuk karena Josua mengajak Lani mengobrol.

"Tadi diantar pacarmu ya ?" 

Pertanyaan Josua membuat Lani mengangkat alis karena terkejut. Apakah seorang bujang yang diantar laki-laki sudah pasti dia adalah pacarnya? Sungguh Lani sepertinya tidak mengerti cara pikir laki-laki di depannya ini.

"Bukan" Jawab Lani singkat, berharap Josua mengerti kalau Lani memang tidak tertarik dengan lawan bicaranya, dan Josua dengan senang hati bisa pergi tanpa harus diusir. 

Lani benar-benar risih sekarang. Ada lebih banyak pasang mata yang melihatnya mengobrol dengan Josua, dan beberapa berbisik-bisik sambil menghujani Lani dengan pandangan menusuk. Dia benar-benar ingin menikmati pesta dengan tenang, tidak terlihat mencolok, dan pulang dengan aman ke apartemennya. 

"Jadi kamu belum memiliki pacar yaa.."

Lani menghela napas dengan kasar. Saatnya dia benar-benar menyudahi percakapan ini. Lagipula topik pembicaraan tentang pacar tidak menarik minatnya sama sekali.

Dia menatap mata Josua lekat-lekat dengan bibir datar tanpa ekspresi sama sekali. Seharusnya dia bakal mengerti kalau Lani ingin Josua pergi, sekarang juga.

Akan tetapi sepertinya maksud dan keinginan Lani tidak bisa berjalan dengan baik. Josua tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke tubuh Lani, dan membisikkan sesuatu.

"Mau jadi pacarku ?" 

Mata Lani terbelalak kaget. Hembusan napas hangat Josua yang berada di sekitar telinganya membuat Lani merinding. Dia berjalan mundur hingga terdapat jarak yang cukup diantara mereka.

Lani melihat Josua dengan tatapan yang serius, sementara Josua menatap Lani dengan mata berbinar. Itu mengingatkannya pada kucingnya di rumah. Menggemaskan. Menyadari pikirannya yang sepertinya mulai sedikit terganggu dengan kehadiran Josua, dia menarik napas panjang, dan menahannya selama 12 detik, lalu mengeluarkannya perlahan. Hal tersebut efektif membuat Lani bisa berpikir rasional kembali.

"Aku ucapkan terimakasih atas tawarannya. Tapi aku belum menginginkan pacar sekarang"

Josua mengedipkan matanya, ekspresinya seperti terkejut. Namun ekspresi itu hanya berlangsung singkat. Lalu berganti dengan senyuman misterius.

"Yah.. sepertinya ini akan jadi penolakanku yang pertama"

Josua terkekeh geli atas penolakan Lani.

"Kabari aku kalau kamu butuh pacar atau kekasih, bagaimana ?"

Josua melihat Lani dengan penuh minat. Lani yang di tatap Josua seperti itu justru penasaran. Karena di kampusnya ada banyak perempuan yang lebih unggul dari Lani, dalam segi apapun itu.

"Apa yang kamu suka dariku?" Tanya Lani

"Hmm.." Tangan Josua memegang janggutnya, terlihat seperti orang yang sedang berpikir. Matanya bergerak mengamati Lani dari atas ke bawah

"Karena kamu cantik, pandai, dan tidak terlihat tenang. Aku sering mengamatimu dari awal masuk kuliah. Karena aku orangnya begini, sepertinya akan cocok denganmu." Josua menggaruk tengkuknya dan tersenyum dan kulit pipinya yang putih pucat itu bersemu merah, seperti orang yang sedang tersipu. Lani mengamati itu semua, dan dia akui, Josua itu memang menggemaskan dan memiliki daya pikat untuk disukai. Tapi tidak untuk menjadi pacar, bagi Lani.

"Apa maksudmu dengan kata 'karena aku orangnya begini'?"

"Ehmm.. yah, maksudku aku mudah sekali terbawa suasana, dan banyak orang memperhatikanku. Jadi lama-lama aku menikmati peran sebagai orang yang cukup populer. Tapi, aku terkadang tidak bisa mengendalikan diri, dan sering menuruti kemauan orang lain. Itu membuatku lelah, jujur saja. Lalu ketika melihat kamu yang bisa hidup sendiri, kemana-mana sendiri, atau terkadang cuek jika ada beberapa orang yang membicarakanmu itu membuatku ingin mengenalmu dan menjadi dekat denganmu"

Lani tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Sekarang tatapan Lani menjadi sedikit lebih ramah. Dia sepertinya paham dengan apa yang Josua maksud. Itu bukanlah cinta, untuk saat ini. Lani yakin itu. Satu hal yang Lani yakini, dalam hukum percintaan adalah tidak ada kata 'karena'. Josua sepertinya hanya kagum dengan Lani atau mungkin hanya ingin dekat dalam lingkup pertemanan.

"Aku pikir, sekarang ini perasaanmu padaku hanya sebatas kagum. Lagipula, memang apa artinya seorang pacar bagimu?"

Josua yang sebelumnya tersenyum perlahan menjadi serius dan menatap Lani.

"Aku..." Ucapan Josua terhenti, dia memegang keningnya, lalu mengusap rambutnya kebelakang. Dia mengalihkan pandangan ke arah lain sejenak lalu kembali menatap Lani.

"Aku selama ini mengencani mereka yang aku anggap menarik perhatianku, karena kita memang sama-sama tertarik. Tapi.."

"Tapi?" 

"Tapi biasanya hubungan kami hanya berlangsung beberapa bulan saja." Josua melihat gelas yang dia bawa di tangannya.

"Aku pikir, seorang pacar atau kekasih itu sangat penting untuk membuatku merasa bahagia. Mereka akan menemaniku saat aku ingin keintiman, kamu tahu kan. Itu akan sangat menyenangkan, apalagi kalau baru jadian, rasanya aku ingin selalu di dekatnya" 

"Apa bedanya dengan teman, dan sahabat? Mereka juga bisa memberikan hubungan yang erat dan hangat, mereka juga bisa menemanimu, dan yang paling penting, putus hubungan dengan sahabat lebih jarang terjadi daripada putus hubungan dengan kekasih"

Penjelasan Lani membuat Josua terperangah. Dia memperhatikan ucapan Lani, dan membuatnya kembali merenungi arti dari sebuah hubungan yang sebenarnya. Diam-diam, logika Josua menyetujui ucapan Lani. Kalau dipikir-pikir, alasan Josua ingin pacar karena ingin memiliki hubungan yang erat, dan hangat, bisa mengerti satu sama lain dengan baik. Tapi sudah berkali-kali berganti pasangan, nyatanya Josua merasa semakin kesulitan mendapatkan apa yang dia inginkan. Entah kenapa, selama ini hubungannya dengan para mantan kekasihnya memang hanya sebatas status saja, dan berkencan seperti untuk formalitas. Dia tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkan dirinya yang sebenarnya, dan selalu melakukan apapun untuk melayani mereka sesempurna mungkin. Itulah yang membuat Josua selalu menginginkan wanita yang lebih sempurna untuk menjadi pasangannya. Dia merasa berhak untuk mendapat yang lebih baik karena dia memang sesempurna itu, dia tampan, kaya, dan terkenal. Jadi setiap ada perempuan yang levelnya di atas pacarnya saat itu, baik dari segi fisik, harta ataupun lainnya, maka dia merasa harus mendapatkan wanita tersebut, dan meninggalkan pasangannya saat itu. Hal itu membuatnya sadar. Alih-alih mendapat kekasih untuk berbagi rasa, dia malah menggunakan mantan-mantannya untuk menaikkan status sosialnya supaya semakin diakui. Dia merasa menyesal.

Tapi, perasaannya kepada Lani berbeda. Lani sangat berbeda dengan mantannya, walaupun secara fisik Lani memang menarik dan pintar, tapi mantannya ada yang levelnya di atas Lani. Tapi kemudian entah kenapa Lani selalu berada di benaknya akhir-akhir ini. Bahkan dia hadir di mimpinya. Josua yakin kalau dia memang mencintai Lani.

"Hah.. ha ha ha" Josua terkekeh.

Lani mengerutkan alis, karena bingung dengan tingkah Josua yang tiba-tiba tertawa, padahal tidak ada yang melucu.

"Padahal kita hanya berbincang beberapa menit, tapi kamu sudah membuatku berpikir.. tidak, bahkan lebih dari itu, kamu membuatku mengenali diriku sendiri dan menyadarkan aku kalau sudah tersesat jauh. Aku jadi ingin memilikimu, Lani"

"Aku tidak bisa jatuh cinta pada orang yang tidak aku kenal dengan baik, Josua. Bahkan aku ragu, apakah aku percaya dengan cinta itu sendiri. Jadi, maafkan aku, aku permisi"

Lani meninggalkan Josua, yang kemudian didekati oleh beberapa perempuan yang sedari tadi telah melihat Josua dengan penuh minat. Lani sadar, kehidupan Josua berbeda jauh dengannya, jadi besar kemungkinan mereka tidak akan cocok satu sama lain. Ibarat ikan yang jatuh cinta dengan makhluk darat, kalau memang perbedaan mereka sebesar itu, lebih baik tidak usah mencoba bersatu daripada menyiksa satu sama lain. Lagipula ada hubungan yang jauh lebih aman daripada pacar, yaitu pertemanan dan persahabatan.

Lani mengedarkan pandangan diantara banyak orang di ruangan itu. Dia mencari Lim untuk segera memberika kado ulangtahunnya, bersalaman, dan pulang. Lani melihatnya, Lim sangat anggun dengan gaun putih gading yang panjang hingga menyentuh lantai, dengan kain kaca yang berlapis-lapis. Dia menawan seperti seorang peri. Beberapa gerombolan laki-laki melihat Lim sambil terenyum dan sesekali melirik Lim. Di sana, Lim berdiri didampingi kedua orang tuanya, yang terlihat serasi sekali, sama-sama berwajah rupawan. Tidak heran anaknya secantik itu, batin Lani. Melihat keluarga Lim, mengingatkannya pada ayah dan ibunya. Kenapa nasibnya tidak seberuntung Lim, pikirnya. Seandainya ibunya masih hidup pasti dia akan mendapatkan kasih sayang yang berlimpah dari ibunya, dan ayahnya tidak akan berpaling pada para wanita lacur yang hanya ingin mengeruk uang di dompet ayahnya. Memikirkan tu membuat Lani sebal sendiri.

Lani segera menyingkirkan pikiran itu dan berjalan menuju tempat Lim berada.

Lim yang melihat kehadiran Lani benar-benar merasa bahagia. Dia memeluk Lani singkat, dan berkata "Terimakasih sudah benar-benar datang"

Lim juga memperkenalkan Lani pada kedua orangtuanya.

"Mama, papa, ini Lani. Teman dekatku"

Orang tua Lim melihat Lani dan tersenyum

"Halo Tante, Om, perkenalkan saya Lani" 

Lani menyalami mereka satu persatu.

Setelah itu mereka mengobrol sebentar dan Lani pamit untuk pulang.

"Kenapa tergesa-gesa mau pulang?" Tanya ayahnya Lim

"Ehh.. emmm..." ketika Lani masih berpikir, Lim segera menyela

"Lani tadi habis mengikuti organisasi sampai sore, dan besok dia harus pergi ke Afrika untuk kegiatan sukarelawan, jadi dia harus pulang ayah, dia kan harus siap-siap dan istirahat jugaa" Jelas Lim, dan membuat Lani mengangguk setuju.

"Benar, om, tante. Maaf saya harus segera pulang"

"Ooohh.. baiklah kalau begitu. Apa kamu tadi membawa kendaraan kesini?" tanya Ibunya Lim

"Tidak, saya tadi diantar ke sini"

"Ayah, sepertinya tadi rekan kerjanya paman ada yang pamit mau pulang, bukankah lebih baik dia mengantar Lani juga? Kebetulan mereka satu arah, tempat tinggal Lani berada di arah yang sama dengan hotel yang ditempati rekan kerjanya paman tadi"

"Benar juga! Aku akan menghubungi pamanmu. Kamu tunggu sebentar disini ya Lani, jangan keburu pulang" ucap ayah Lani, lalu dia segera pergi mencari tempat untuk menelpon.

"Tidak perlu repot Lim, aku bisa memesan taksi kok"

Lani ingin pulang dengan tenang. Lagipula, jika dia bersama rekan kerja pamannya Lim pasti akan canggung. Karena besar kemungkinan itu om-om, jadi dia tidak tahu harus membahas apa selama di perjalanan nanti. 

Tidak lama kemudian Ayah Lim datang dengan muka cerah, dan itu pertanda buruk bagi Lani. Karena... "Dia sudah ada di bawah Lan, mobilnya berwarna hitam, sekarang berada di dekat pintu keluar apartemen." Lani akan menghabiskan waktu selama kurang lebih 45 menit bersama om-om yang tidak dia kenal.

"Buruan Lan," Lim mendorong Lani pergi

"Baik.. saya pamit dulu, om, tante."

"Sampai jumpa dua minggu lagi Lim!" 

Lani keluar dari hall apartemen yang ramai akan teman-temannya yang menikmati pesta itu, dan berjalan menuju pintu masuk untuk mencari mobil hitam yang di maksud Ayahnya Lim.

Lani langsung menemukannya ketika berada di dekat pintu masuk, karena memang hanya ada satu mobil hitam di sana. Ada seorang laki-laki yang berdiri di samping mobil, dengan menyandarkan tubuhnya pada mobil, dan memegang handphone. Sinar dari layar handphone menerangi wajah laki-laki itu. Wajahnya benar-benar terpahat secara sempurna. Dia terlihat masih sangat muda, dengan setelah jas hitam dan sepatu hitam, sangat sesuai dengan rambut hitam laki-laki itu. Tubuhnya ramping, tapi berisi, benar-benar proporsi yang sempurna. Wajahnya terlihat serius menatap layar handphone. Lani tidak ingin mengganggu konsentrasi laki-laki itu, jadi dia akan menunggu sampai urusan laki-laki itu selesai. Lani tidak sadar kalau dia tersenyum melihat laki-laki didepannya tersebut. Hingga laki-laki itu menoleh ke arah Lani yang juga masih menatapnya. Mereka saling menatap, dan mengagumi satu sama lain.

"Apa kamu rekan kerja pamannya Lim?" tanya Lani untuk mencairkan suasana yang aneh itu.

Laki-laki itu yang tadinya bersandar, menegakkan tubuhnya sehingga dia berdiri dengan sempurna.

"Aku tidak tahu nama keponakannya, tapi, aku memang disini menunggu seorang gadis dari pesta ulang tahun itu" ucapnya dengan nada yang ramah. 

Bahkan suaranya saja semenawan orangnya, pikir Lani.

"Yahh.. dan gadis itu, aku, om" 

"Apa aku setua itu untuk kamu panggil Om?" Laki-laki itu berjalan mendekati Lani dengan senyum yang terukir di wajah tampannya. 

"Jadi, aku harus memanggilmu bagaimana?" 

Laki-laki itu mendekat hingga parfumnya tercium oleh Lani.

"Panggil aku Nohan"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status