"Grace, tunggu!"
Kuhentikan langkah dan segera menoleh pada sumber suara. Lagi-lagi, wanita yang sama.
"Ada apa?"
"Bisakah kaupertimbangkan lagi tawaranku tempo hari?" tanyanya yang telah mendekat, sembari mengatur napas.
Terang saja, bisa jadi dari ujung jalan ia membuntutiku sambil berlarian kecil.
"Ah, tidak, Deasy. Tak ada alasan bagiku untuk mempertimbangkannya. Masih banyak, kok, benih model yang lebih mumpuni."
"Ayolah, Grace, kaki jenjang dan tulang selangkamu itu pasti akan sangat begitu menggoda."
Kulangkahkan kaki hendak menjauhi, tapi tekad kembali membawanya berlarian kecil menyamakan langkah. Tingginya yang hanya sepertiga dari tinggi badanku, membuatku sedikit geli. Apalagi rambutnya yang kribo sering mengenai ujung lengan.
"Aku tak tertarik menjadi bagian dalam dunia entertain, Deasy."
"Kau hanya perlu berpose, Grace, lalu pundi-pundi uang akan mengalir begitu saja mengisi hari-harimu."
"Kautahu, aku tak butuh banyak uang. Aku hanya butuh bahagia dengan hidupku, agar kecantikanku tak mudah luntur," ujarku yang menarik simpul senyum.
"Apa salahnya bahagia karena banyak uang?"
"Apa salahnya jika aku menolak penawaranmu?"
Kini, ia menarik lenganku dengan kuat, lalu mendudukkanku di kursi. "Kesempatan tak datang dua kali, Grace!"
"Kesempatan apa maksudmu? Kesempatan untuk terlihat murahan di majalah? Berpose panas ala adegan ranjang sembari memamerkan lekuk tubuh? Atau kesempatan untuk selalu mendapat komisi tinggi saat ada seorang pengusaha yang hendak membayar jasaku untuk sekedar menuntaskan hasratnya?"
Kini, wanita itu membeliak tak percaya. "Bisakah kauucapkan itu dengan suara rendah? Banyak orang di sini!"
"Kau yang memaksaku untuk bersuara keras, Deasy!"
"Baiklah, lupakan! Penawaranku berakhir di sini. Jika saja duniamu telah terbalik, semua uangmu telah habis terbakar angkuh, aku tak akan sudi memberimu kesempatan ini!" Matanya menatapku tajam, lalu berdecak kesal sebelum akhirnya mengentakkan kaki dan melenggang pergi.
Bahkan dunia telah terbalik sejak satu abad yang lalu, Deasy. Kau tak akan pernah tahu rasanya.
Kembali, kulangkahkan kaki mengarungi kota. Mencari segala macam sudut gambar terbaru dengan kamera yang setia menggantung di leher. Topi berwarna jambon pun tak luput dari aksesori yang kugunakan.
Menjadi fotografer di kota sebesar ini, memanglah bukan hal yang mudah. Selain karena banyaknya pesaing, pun karena tanpa kontrak kerja yang mengikat. Beberapa hasil bidikan, terkadang hanya dibeli dengan harga yang sama untuk sebuah sandwich isi.
Beruntung, aku tak terlalu kesusahan untuk masalah keuangan. Hidup selama hampir satu abad, membuatku punya banyak tabungan untuk masa-masa sulit. Selain dari hasil keringat, pundi-pundi uang itu juga berasal dari beberapa pria yang pernah kuhisap gairahnya.
Sebuah toko roti mengalihkan perhatian, saat di depannya banyak warga yang berbondong-bondong mengantre untuk mendapat roti hangat yang nikmat. Seorang pria tua lain tengah mengais kotak sampah di samping toko.
Penampilannya yang kumuh, bahkan terlihat tak terawat serta bau yang menyengat menambah kontras yang sangat memilukan. Segera, kutangkap gambar dari beberapa sudut untuk bidikan terbaik. Malam penuh pesona memanglah waktu yang tepat untuk mencari gambar-gambar yang menyentuh nurani.
Sayangnya, manusia kini tak banyak yang punya hati suci nan bersih. Kuderap langkah perlahan, mendekati sang pria lusuh.
"Pak, kau mau makan?"
Sontak, pencariannya terhenti. Dikeluarkannya tangan dan wajah dari dalam tempat sampah, lalu menatapku tajam. "Iya, aku lapar."
Kusunggingkan senyum, lalu menggamit dan membawanya masuk ke toko kue. "Aku tak punya uang, Nona."
"Aku yang traktir." Entah binar dari mana yang dipetik dan diletakkan dalam kedua matanya saat kukatakan hal itu, yang pasti ada sesuatu yang menghangat di lubuk hati.
Kuambilkan nampan dan memilihkan beberapa roti untuknya. Setelah membayar dan memberikan bungkusan penuh roti, lekas kuderap langkah tergesa sebelum ia kian menamatkan pandangan pada wajah.
Bukan tanpa sebab, hidup yang kujalani mungkin akan sangat lama. Usiaku tak ada batasnya, itulah sebabnya sebisa mungkin orang-orang tak mengenalku dengan baik. Setelah sepuluh tahun, maka aku akan segera pindah dari satu kota ke kota yang lain. Membuat identitas baru, lingkungan, bahkan sikap dan sifat yang berbeda pula.
Kecantikan yang abadi, membuatku mau tak mau menjalani kehidupan terkutuk ini. Selain aura kecantikan yang kudapat secara ilegal, pun makanan juga. Memakan sandwich isi, meski harus menghabiskan sepuluh porsi tak pernah mampu membuatku merasa kenyang.
Untungnya, aku hanya butuh asupan setidaknya tiga hari sekali. Jika aku harus mencukupi asupan selayaknya manusia biasa, sudah pasti dunia akan heboh dengan kehadiran monster cantik.
Kualihkan pandangan ke arah belakang. Kurasa, seseorang tengah membuntutiku sejak tadi. Kulangkahkan jejak tergesa, menyusuri jalanan ramai tengah kota, menghindari rute yang tampak lengang.
Sayangnya, secepat apa pun aku melangkah dan sejauh mana menghindar, sinyal bahaya tak kunjung menghilang.
"Duh, lewat mana, nih," ucapku cemas.
Melewati jalanan tak sesuai rute arah pulang, membuatku kian tersesat. Di depan sana terlihat sebuah taman yang temaram, sekumpulan muda-mudi mungkin tengah asyik memandang bintang. Lekas kudekati, meski tak ada cahaya lampu penerangan.
"Permisi, sepertinya aku tersesat. Bisa tunjukkan padaku Boulevard st.?"
Mereka memandangku lekat bersamaan. Tampaknya, tak ada pemudi di antara mereka. Aroma alkohol pun tercium tak kalah hebatnya.
"Sesuai keinginan kalian, Guys! Mari kita berpesta!"
Kualihkan pandangan pada sosok pria yang menyeru dari arah belakang. Rupanya, mereka satu komplotan. Kurang ajar!
"Kau tersesat, Nona? Kau warga baru di sini, kan?"
Pria putih bertubuh tegap penuh tato itu menyeringai, menampilkan deretan gigi serta bau mulut yang menyeruak ke rongga penciuman. Dasar pemabuk ulung!
"Aku lebih menakutkan dari yang kalian kira," ucapku datar.
"Ohoo, rupanya gadis berponi ini lebih berani, Guys. Tujuh lawan satu, Cantik! Jackpot!" seru pria lain yang mulai mendekat.
Sementara mereka memandangi sekujur tubuh, kuperhatikan tiap sisi bangunan di sekitar. Berharap, tak akan ada kamera pengintai, atau bahkan saksi mata.
"Apa yang kaucari, Nona? Kamera?"
Semuanya terbahak bersamaan, membuatku kian mual menghidu bau alkohol yang menguar pekat.
"Menjijikkan!"
Sontak, mereka berdiri mengelilingiku dalam sekejap. Kini, satu per satu wajah mereka telah mampu kulihat. Kuulas senyum tercantik, memanjakan birahi mereka.
"Lihatlah, kau lebih nakal dari yang kami kira! Seret dia ke gudang!"
"Tak perlu. Aku bisa jalan sendiri jika hanya ke gudang. Sebaiknya kalian bersiap."
Lagi, mereka terbahak kian lantang. Mengapitku dari berbagai arah. Salah satu tangan terasa di belahan daging kenyal belakang, sedang yang satu lagi terasa menari-nari di punggung dan pinggang.
Aku meludah, tepat setelah memasuki gudang yang mereka sebut. Dua di antaranya menutup pintu dan memutar anak kunci, sedang yang lain mulai meninggikan birahi. Kuhidu aroma birahi yang menguar, sungguh besar dan pekat. Begitu lezat.
Kulihat mereka semua telah bersiap untuk membuka celana masing-masing, saat kusulut sebatang rokok yang berada di meja tak jauh dari tempatku berdiri.
"Lakukan yang kalian mau. Tapi setelah sebatang rokok ini habis, maka bersiaplah untuk sebuah kenikmatan yang lain."
Mereka bersorak dan bersiul menanggapi ucapanku. Tanpa menunggu, mereka mulai menjamah, bermain-main dengan gelora nafsu yang membara.
Aku masih menyeringai sembari menghisap lintingan tembakau terbalut nikotin, saat pria pertama mulai rakus pada bagian tengkuk. Aku melenguh sebentar, lalu tanpa gerakan berarti kuhisap semua energi yang menguar pekat secara pelan. Begitu pula pada para pria lain yang bergantian menjamahku dengan gairah besar.
Sedetik setelah rokok telah habis, aku menyeringai. Lantas kupejam mata sembari mengisap banyaknya energi dari semua pria yang hendak menggagahiku secara perkasa. Nyatanya, mereka langsung terkulai setelah kehabisan energi darah. Dalam nafsu yang membara, mereka pun menderita.
Kini, tinggal satu pria yang tak ingin menjamahku bersamaan. Ia terlihat duduk di pojok gudang. Dipeluknya lutut erat. Mungkin hendak menyembunyikan keperkasaannya yang menciut ditelan ketakutan. Kedekati ia pelan, lalu menunduk, memperlihatkan lekuk tubuh agar ia tak lagi diperam gelisah.
"Beri tahu aku, di mana Boulevard st.?" Ia menunjuk ke arah utara, kemudian kuulas senyum sebagai tanda terima kasih. "Kuberi kau dua pilihan. Aku yang akan memuaskanmu atau kau yang akan memuaskanku?"
Lantas, bau pesing menguar, membasahi lantai bahkan bagian bawah sepatu baruku. Kuembuskan napas setelah berdecak kesal, lalu menghabiskan sisa kudapan terakhir hingga tanpa jejak.
Tak perlu waktu lama, ketujuh pria asing itu telah terkapar tak berdaya tanpa busana. Lekas kutinggalkan tempat kejadian perkara, sebelum ada yang melihat. Kini, hingga lima hari ke depan mungkin aku tak akan lagi mencari asupan. Aku begitu kekenyangan.
Halo, Readers 💚 silakan beri aku kritik dan saran ya biar cerita si Grace bisa semangat ku-update. Jan lupa, tinggalin lima bintang 💚 Salam Hisap 💚
"Rosalie monster!""Aku bukan monster!""Kau bahkan lebih buruk dari monster!""Kau jelmaan iblis!""Aku manusia biasa!""Lalu, sayap apa di belakangmu itu? Jika bukan manusia dan iblis, apa kau akan mengatakan bahwa kau adalah malaikat, huh?""Aku tak per--"Aw. Bau anyir menguar dalam sekejap, saat salah satu kawan panti mulai melempariku dengan berbagai benda padat. Lantas, mereka mulai berbaris sejajar untuk berpasang-pasangan. Menenggak gairah yang seharusnya tak disalurkan. Hampir saja, para kawan itu terserap habis energinya, saat seseorang memanggilku lembut."Rosalie ...."Mentari masih bersinar penuh malu, saat kubuka mata perlahan. Silaunya cahaya kembali mengingatkanku bahwa hidup harus terus berjalan. Mengabaikan tiap kenangan kelam yang selalu datang saat mataku tertutup rapat. Meski hendak kuakhiri hidup, tak akan ada yang terjadi. Semua luka perlahan membaik kembali dalam waktu yan
Untuk pertama kalinya, aku harus menghapus banyak rekaman dalam kurun waktu bersamaan. Beruntung beberapa toko dan rumah, penjaganya tak begitu memperhatikan hingga membantuku leluasa menyabotase hasil kamera pengintai. Sayanganya, dari beberapa rekaman, tak juga kutemukan di mana sosok ibu Rose berada.Saat urusanku dengan segala tetek bengek kamera pengintai usai, kuarahkan langkah ke sebuah kafe di seberang jalan. Gadis kecil itu masih setia menanti di depan toko mainan tempat di mana ia percaya, ibunya akan kembali menemui. Ada rasa haru yang merebak dalam dada, saat mengingat hidupku yang tanpa orang tua.Sebelum ke sini, ada keinginan untuk kembali mendekatinya, tapi urung kulakukan. Mengingat umur yang mungkin akan mempertemukan kami kembali suatu saat nanti. Lebih baik, aku tetap di sini. Mengamatinya dalam diam hingga sosok yang dipanggilnya ibu kembali menjemput pulang.Tak terasa, mentari kian beranjak naik. Kupesan lagi sebuah minuman din
Setelah puas mereguk banyak energi dari motel kelas menengah, lantas aku melangkah menuju apartemen. Dalam perjalanan pulang, aku baru ingat bahwa esok adalah bulan purnama pertama selepas tanggal kelahiran. Itu berarti besok waktunya untuk menyerap energi serta darah seorang pemuda hingga tak bersisa. Layaknya kawan lama seperti dahulu kala.Kuputar otak untuk mencari mangsa, setidaknya semoga esok akan ada pemuda yang mendekat. Pernah sekali kulewati bulan purnama pertama selepas tanggal kelahiran. Bukan tanpa sengaja, tapi karena kota baru yang kutempati tak memiliki cukup banyak pemuda. Membuatku tak leluasa memperdaya bahkan menculik salah satunya.Akibatnya, selama setahun penuh aku harus tinggal di dalam hutan, karena sayap dan ekor yang terus muncul dan tak mampu mengendalikan rasa lapar. Meskipun beberapa kali telah kucoba memangsa para pemuda setelahnya, masih saja tak mampu memberiku kendali penuh atas sayap dan ekor yang meruncing. Dalam setahun
Hidup di hutan selama satu tahun penuh memberiku banyak pelajaran. Tentang arti kelaparan yang sesungguhnya, atau selera makan yang mau tak mau harus berubah demi melanjutkan hidup. Yang jelas, tahun ini dan selanjutnya aku tak lagi ingin hidup dalam kungkungan rimba.Sepintas suara bariton itu kembali terngiang, seakan-akan memanggilku untuk mendekat."Hai, Grace!"Lekas kugerakkan tungkai kaki lebih cepat, berharap mampu menghindar sejauh mungkin. Agar suaranya tak lagi berputar dalam telinga, setidaknya biar kujauhkan diri dari segala bayang tentang pria yang baru kukenal."Grace, tunggu!"Kini suaranya kian jelas terdengar, seolah-olah ia benar-benar tak jauh dari tempatku berada. Lantas, kuhentikan langkah sekejap saat tiba-tiba sebuah telapak tangan meraih bahuku erat. Genggamannya terasa begitu kuat mencengkeram."Ini aku, Jonathan."Kuembuskan napas kasar, saat wajahnya telah berada tepat di hadapan. Sama persis de
"Grace!"Kualihkan pandangan pada sumber suara. Di sana, Jo tampak berdiri mengepalkan kedua tangannya. Matanya memerah dengan deru napas yang seolah-olah tengah memburu, menahan amarah. Kudorong pria bertubuh tambun itu menjauh agar terlepas dari kungkungannya. Meski energi gairahnya masih kuisap perlahan. Meski akulah yang memancingnya sedari awal.Jo mulai melangkah, mendekati kami yang sedari tadi telah sibuk mengulur gairah dalam keremangan pagi. Dalam sekian detik, ia melayangkan bogem mentah pada si tua keladi. Tubuh tambunnya meringkuk di tanah, darah segar mengalir dari kedua lubang pernapasan."Kurang ajar!""Kau yang tak tahu diri, Pak Tua!"Otot-otot dari lengan Jonathan yang kekar tampak menegang. Telunjuknya yang mengacung pun terlihat gagah."Siapa kau hingga berani memukulku?" tanya si Tua Keladi yang bangkit sembari membetulkan ikat pinggang.Entah mengapa aku tertawa. Sepertinya akan ada drama kolosal yan
Jam sudah menunjuk ke angka tujuh waktu setempat, saat aku dan Jonathan telah kembali ke kafe miliknya. Setengah jam lagi matahari akan terbenam, sedangkan aku belum juga mendapat alasan untuk mengajaknya pergi hingga tengah malam.Dua gelas smoothie buah telah tandas, saat kupikirkan berbagai alasan. Sayangnya, Jonathan bukan pria sembarang yang mampu kuajak bersenang-senang. Padahal, aku tahu betul, pagi buta tadi ia menatapku penuh minat. Ke mana tatapan penuh pujanya tadi?"Apa lagi yang kaupikirkan, Grace?"Aku membuang muka, menatap ke luar jendela saat suara bariton itu kembali terdengar. Enggan menjawab, aku hanya menggeleng pelan."Kau marah padaku?"Hei, untuk apa aku marah? Untuk gairah yang hanya kau tarik ulur? Atau karena pengakuanku atas kepemilikan pagi tadi hanya sebatas teman? Atau karena ada rasa tak biasa yang tercipta di dada?Argh! Aku tak peduli."Bukan inginku untuk menolak, Grace. Hanya saja, aku t
"Gila! Kau sudah gila, Grace!"Aku berteriak, membanting pintu, mengacak semua benda yang terlihat. Bodoh, aku sungguh bodoh!Bisa-bisanya kulepaskan tiga pemuda yang dengan sukarela memberikan segalanya untukku, hanya karena bayang Jonathan yang terus hadir. Bahkan, melihat wajah para laki-laki muda itu saja, seolah-olah tengah melihat pria yang menguncirkan rambutku dengan tali sepatunya!Jam sudah hampir menunjuk ke angka dua belas, saat tubuhku terasa begitu remuk redam. Inilah mulanya. Jika aku tetap di sini, bisa jadi aku akan berakhir mengenaskan. Antara menjadi objek penelitian manusia serakah atau hidup di hutan untuk waktu yang lama.Sial!Kuraih tas jinjing serta mantel untuk menutupi bagian belakang tubuh. Perlahan, punggungku akan melebar bak bahu kekar lelaki pada umumnya. Belum lagi, jika rambutku berubah layaknya kobaran api yang tak akan padam.Aku hanya punya waktu sejam, untuk menyelesaikan apa yang telah kumul
Kulirik jam tangan yang menunjukkan waktu terakhirku menjaga keliaran. Masih ada seperempat jam agar aku bisa menghisap darahnya hingga tak bersisa. Ya, setidaknya aku harus bertindak cepat.Hampir saja kuhisap darahnya dari leher, saat bayangan Jonathan kembali hadir tepat di sampingku. Aku mendongak, mencoba menanyakan apa inginnya."Kaulupa dengan komitmenmu sendiri? Bukankah kau tak akan membunuh manusia tak berdosa? Atau aku salah telah mempercayaimu?"Aku tergemap. Lantas, menggeleng kuat. Tanganku makin tak terkendali bahkan untuk sekadar memegang setir mobil.Perkataan Cloud seabad silam, ditambah dengan pengulangan janji Jonathan beberapa saat yang lalu membuatku putus asa. Ini sudah hampir tengah malam!Aku tak ingin berada di dalam hutan untuk kedua kalinya. Tak ada siapa pun bahkan sesuatu untuk kupermainkan di sana.Lantas, lintas kejadian mengenai janji terhadap delusi akan sosok Jonathan kembali hinggap. Sesaat set