Kulirik jam tangan yang menunjukkan waktu terakhirku menjaga keliaran. Masih ada seperempat jam agar aku bisa menghisap darahnya hingga tak bersisa. Ya, setidaknya aku harus bertindak cepat.
Hampir saja kuhisap darahnya dari leher, saat bayangan Jonathan kembali hadir tepat di sampingku. Aku mendongak, mencoba menanyakan apa inginnya.
"Kaulupa dengan komitmenmu sendiri? Bukankah kau tak akan membunuh manusia tak berdosa? Atau aku salah telah mempercayaimu?"
Aku tergemap. Lantas, menggeleng kuat. Tanganku makin tak terkendali bahkan untuk sekadar memegang setir mobil.
Perkataan Cloud seabad silam, ditambah dengan pengulangan janji Jonathan beberapa saat yang lalu membuatku putus asa. Ini sudah hampir tengah malam!
Aku tak ingin berada di dalam hutan untuk kedua kalinya. Tak ada siapa pun bahkan sesuatu untuk kupermainkan di sana.
Lantas, lintas kejadian mengenai janji terhadap delusi akan sosok Jonathan kembali hinggap. Sesaat setelah tiga pria muda itu memutuskan untuk pergi setelah menilaiku setengah gila.
"Apa maumu, hah?!" pekikku.
"Kau menyukaiku?"
Aku mengernyit, lalu menyeringai buas. "Kau terlalu percaya diri bahkan untuk seorang manusia kerdil!"
Kulirik, ia tak berkutik. Senyum dalam wajahnya masih sama persis. Kubuang muka sembarang, lantas berjalan bolak-balik di depan sofa. "Dengar! Lebih baik kau pergi dari sini!"
"Kau yang tak memperbolehkanku pergi, Grace."
"Bullshit! Kau gila? Kapan aku melarangmu pergi? Kapan pula aku memintamu untuk tetap tinggal, heh?!"
Napasku terengah, entah kenapa tiba-tiba dadaku terasa sesak. Seolah-olah ada yang menghimpit dari berbagai penjuru arah.
"Di dalam lubuk hatimu, kau menginginkanku lebih, Grace."
Aku melirik, menatapnya tajam. Bisa-bisanya manusia ini menduga-duga akan suatu hal yang mustahil tanpa pembuktian!
"Aku bahkan tak punya hati, Jo!"
"Kau punya, Grace. Sejak awal, hatimu memang sebersih itu. Kau terlalu polos."
Aku mengernyit, lantas mendekati Jo yang tengah melipat tangan di dada. Akan kutunjukkan padanya iblis yang bersarang dalam diri ini!
Kubentang sayap lebar, lalu menyeringai. Namun, ia sama sekali tak terintimidasi. Ia malah mengulas senyum. Cuih!
Kukepak sayap, lantas melesat hendak menikamkan ekor pada Jonathan. Sayangnya, runcingnya ekorku tak mampu melukainya. Aku terkesiap.
"Kau?"
"Sebesar apa pun upayamu, kau tak akan mampu melukaiku, Grace."
Aku mendengkus kesal. "Kau hanya halusinasiku?"
"Aku memang hanya sebuah ilusi, tapi hatimu itu bukanlah ciptaan manusia. Berjanjilah satu hal. Kau akan selalu menjunjung komitmen. Terutama mengenai siapa yang harus kaujadikan mangsa."
"Persetan denganmu! Pergi saja!"
Kukepakkan sayap hingga angin menerbangkan banyak benda. Sebagian dari mereka jatuh dan lebur di lantai, sisanya menembus bayang Jonathan.
"Aku tak akan pergi jika kau belum menjanjikan hal itu, Grace!"
Makin kukepak kencang kedua sayap yang membentang lebar hingga banyak benda terhempas, terjatuh, dan mengalami kerusakan. Namun, ia masih enggan menghilang.
"Aku ada dalam ha--"
"Hentikan! Pergilah! Aku janji, oke? Sekarang, pergi!"
Kulihat ia tersenyum sembari melambaikan tangan. Lantas, perlahan ia mulai menghilang begitu saja. Rupanya ia benar-benar pergi dan aku benar-benar telah berjanji. Sial!
Kutepikan laju roda empat super mewah, lalu mendorong pemuda tadi ke bahu jalan. Hampir saja kuinjak pedal gas kencang saat terdengar suara tembakan. Aku makin menggigil, bukan ketakutan, tetapi keliaran yang makin tak mampu kukendalikan.
Aku menoleh sembari memeluk diri, mencoba menghentikan gigil saat mendapati kaca belakang retak. Sial! Ulah siapa ini?
"Kurang ajar! Apa kalian tak tahu seberapa mahal mobil ini, huh?!" gerutuku seusai ke luar mobil.
Di sana, ada dua pria berbadan tegap tengah menelanjangi badanku yang masih terbalut pakaian tebal. "Apa yang kaulihat?!"
Kulirik jarum jam pada arloji di pergelangan tangan. Lima menit lagi!
Krakk!!
"Aaaargh!"
Punggungku ... terasa kian sobek. Aku berlutut sembari memeluk diri sendiri. Sakit. Sayap yang lebih besar akan segera membentang jika aku tak menenggak darah pemuda. Kepalaku mulai terasa mendidih saat dua pria tadi mulai mendekat.
"Kau sepertinya wanita pesakitan, Nona, biar kuambil alih saja mobil mewahmu ini. Dan kau bisa istirahat di sini bersama kekasih yang hendak kaubuang."
Mereka terdengar kian terbahak saat mendekati mobilku perlahan. Aku menyeringai saat salah satunya telah sampai di sampingku.
Dengan cepat, kutarik kakinya hingga pria pertama terjatuh. Lantas, kugigit lehernya dan menyesap darahnya tak bersisa.
Bersamaan dengan bunyi kerongkongan yang dilegakan dahaganya, beberapa kali suara letupan senjata tertangkap telinga. Akan tetapi, aku tak peduli.
Hingga akhirnya, suara deru mesin motor mengalihkan perhatianku. Cepat kulesatkan sayap, menangkan pria kedua untuk penutup makan malam.
Namun, ia pengendara yang handal. Meski aku telah melesat cepat, ia masih tak mampu untuk kutangkap.
Lantas, kubentangkan sayap lebar dan mengepakkannya dengan kencang hingga kuda besi beroda dua itu terpelanting ke depan. Sementara pengemudinya terguling di jalanan.
Dari jauh sepasang titik cahaya muncul menyilaukan. Lekas kulesatkan badan, meraih pria kedua sebelum mobil itu mendekat. Cepat kubawa ia pergi dan menghisap darahnya hingga tandas.
Setelah itu, aku segera bergegas kembali menjadi gadis yang polos seperti yang dikatakan Jonathan. Mobil yang kulihat, sudah pasti akan menemukan jejak kejahatan karena ada mobil mewah ditinggalkan.
Belum lagi saat melihat ada satu pria yang telah merenggang nyawa, serta yang lain tak sadarkan diri. Pasti, mereka yang telah menemukan akan segera menelepon pihak berwenang. Aku tak mau, mereka menemukan mobil tanpa pemiliknya. Sudah pasti, mereka akan langsung mencurigaiku, 'kan?
Dengan bersedekap, cepat kudekati kejadian perkara dan berpura-pura pingsan tak jauh dari mobil, sebelum petugas kepolisian datang. Tak lupa pula, kulukai area wajah dengan ekor runcing agar mereka tak mampu menelisik wajah ini secara detail.
Tak butuh waktu lama, mataku telah terpejam meski sayup-sayup terdengar suara sirine polisi yang makin lantang. Bersamaan dengan itu, kantuk yang menyerang akibat terlalu kenyang dengan darah tak lagi mampu kutahan. Aku tersenyum sebentar, sebelum semuanya menggelap.
"Kau sedang apa, Rosalie?"
Aku menoleh, mencari sumber suara. Sepertinya, suara ini tak asing bagiku.
Kuedarkan pandang, tetapi tak kutemukan siapa pun. Hanya putih penuh cahaya, tak ada barang lain yang terlihat. Sementara diri ini, terpasung rantai berbau nan busuk dengan pakaian serupa daging penuh belatung.
Hoek!!
"Dengar, Nak, kau adalah keturunan empusa! Tak baik bagimu untuk jatuh cinta! Bukan jalanmu pula memilih-milih mangsa untuk sekadar menjaga janji pada manusia! Kasta kita lebih tinggi dari mereka!"
Kuusap area mulut dengan kasar, lantas berdiri setelah berlutut untuk memuntahkan isi perut.
"Aku bahkan tak pernah meminta untuk dilahirkan sebagai empusa! Lantas mengapa kini kau kembali hadir hanya untuk mengintimidasi?!"
Hening. Tak kutemukan siapa pun di sini. Tak ada jawaban, bahkan tak ada suara sedikit pun.
Detak jarum jam pun mulai terdengar meski samar, lantas makin lantang. Belum lagi ditambah bebauan obat-obatan khas rumah pesakitan terhidu oleh indra penciuman. Aku mengernyit kala seberkas cahaya berusaha masuk ke retina mata.
"Ingat, Rosalie, saat kau jatuh cinta, maka usiamu mulai terbatas. Ketika cintamu tak terbalas, kau akan mati dirundung sepi! Sedangkan saat cintamu tak bertepuk sebelah tangan, ketika pasanganmu berpindah lain hati atau mati, kau pun akan segera menemui ajal!"
Salam Hisap 💚 Ayuk, kasih vote dan komentarnya ya. Jan lupa. Biar makin semangat buat revisi dan update. Hihi
Kulangkahkan kaki dengan tergesa, sembari melirik sesekali ke arah belakang. Entah sudah berapa lama aku menjadi objek penelitian para bedebah di rumah pesakitan. Satu hal yang kutahu pasti, sedikit banyak mereka mengerti akan diri ini yang berbeda dari manusia lain.Beruntung, luka pada wajah akibat ekorku sendiri masih basah. Setidaknya, mereka tak akan mengetahui wajahku seutuhnya. Terlebih, mereka akan terkecoh dengan luka yang bertolak belakang dengan lainnya.Beruntung, rumah sakit itu tak terlalu dijaga dengan ketat. Tangga darurat yang tampak tak pernah dilewati menjadi tempat tujuanku yang pertama.Kuhancurkan semua kamera pengintai sebelum akhirnya melesat secepat kilat ke lantai teratas. Dari sana, aku bisa ke luar tanpa terdeteksi siapa pun.Sayangnya, rencanaku tak semulus sebelumnya. Ada seseorang di halaman atas. Tak mungkin rasanya jika tiba-tiba kubentangkan sayap dan melesat begitu saja. Apalagi, wanita itu melihatku saat lan
Hampir sepekan aku harus bolak-balik ke kantor polisi pascakecelakaan. Seminggu pula aku tak lagi bertemu Jonathan. Entah orangnya atau bahkan bayangnya.Ada sesuatu yang membuatku tak nyaman. Seolah-olah tengah gelisah, mencemaskan sesuatu yang tak kumengerti asalnya. Rasanya, ada yang tak beres dengan pikiranku."Aku sudah lelah, Pak, bukankah sudah kukatakan sebelumnya kalau aku dirampok? Kau bahkan sudah menginterogasi korban pria itu juga, 'kan?"Aku melipat tangan di dada, mendengkus sembari melirik ke arah jendela. Lalu berusaha menggosok talapak tangan bersamaan. Udara makin dingin tanda salju akan turun, meski tak tahu kapan tepatnya."Memang. Hanya saja, pria itu juga tak mengingat apa pun selain saat melihatmu menggigil di bahu jalan. Lagipula, jika memang dirampok, kenapa mobilmu tak hilang?""Kau sudah menanyakan itu ratusan kali, Pak! Aku sudah bosan menjawabnya. Kali ini adalah jawabanku yang terakhir, ok?"Kulihat
Aku mondar-mandir di depan ruangan kepala kafe. Ketukanku sama sekali tak digubris, meski beberapa pengunjung saling berbisik sembari melirik ke arahku.Jonathan! Pria ini membuatku gila!Tok! Tok! Tok!Telepon pada meja bar terdengar menggema kali ini. Entah mengapa, rasanya waktu berjalan amat lambat. Aku tak lagi peduli."Permisi, Nona."Kugigit kuku jemari yang mengepal dan menyangga dagu. Rasanya, ada sesuatu yang buruk. Atau, lebih dari itu. Namun, jika memang Jonathan tahu siapa diri ini, kenapa ia tak melapor pada pihak berwajib?Tiba-tiba, sebuah sentuhan terasa pada lengan. Aku semringah, mengharapkan pemilik manik hazel yang menyapa."Maaf, Nona, Tuan Deers tak ingin menemuimu. Kau bisa datang lagi jika sudah membuat janji."A-apa? Persetan!Kuhela napas panjang, berusaha menahan gejolak amarah. Lalu
"Apalagi yang akan kaujelaskan, Iblis?!"Aku terperangah. Bukan karena kemarahannya, tetapi karena sadar siapa diri ini sebenarnya. Kutelan air liur dengan susah payah saat moncong senjatanya kian dekat hingga tak berjarak dengan pelipis. Jika Jonathan benar-benar menembak, aku tak tahu masih mampukah diri ini selamat dari maut."Jo, ini bukan keinginanku.""Lalu kaukira menjadi yatim piatu adalah keinginanku, Grace?!"Kedua mata Jonathan membeliak. Masing-masing bola matanya seakan-akan memerah, mungkin menahan amarah."Tapi, aku yakin tak ada ya--""Tak ada saksi mata?" Lantas, tawanya menggema memenuhi ruang. Diraihnya bingkai foto yang kugenggam, lalu membelainya perlahan. "Kau ingin menghabisi kami sekeluarga, tapi malam itu, bukan anak mereka yang kau habisi. Melainkan teman yang sedang bermalam denganku."Aku tak terkejut dengan penuturannya. Memang, pagi buta dua puluh tahun silam itu menyisakan sedikit tan
"Kita bisa pergi berdua, Cloud!""Apa maksudmu?"Lekas kudekati ia dan membisikkan banyak kalimat tak terduga. Perlahan, kurasa ia mengangguk. Entah paham atau hanya sekadar respon atas apa yang kukatakan.Seusainya pembeberan rencana, dengan cepat kupeluk ia erat. Setidaknya, untuk beberapa tahun ke depan aku masih punya seseorang untuk kembali pulang. Meski bukan ibu kandung, tetapi Cloud memberi banyak hal layaknya seorang ibu pada anaknya."Idemu boleh juga. Tapi, bagaimana selanjutnya?""Kau tak perlu khawatir, Cloud. Kau tahu, 'kan, aku ini cerdik?" tanyaku sembari menjentikkan jemari hingga berbunyi.Cloud tersenyum lebar. Ada gurat yang tak bisa kuartikan. Juga binar pada kedua matanya yang kian berkaca-kaca.Sama sepertiku, Cloud pasti juga merindu. Tak akan ada orang tua yang rela dipisahkan begitu lama dengan sang anak. Bahkan, untuk mengetahui kabar mereka pun, Cloud
Prang!Keramik yang katanya berseni tinggi itu hancur, lebur bersama dengan amarah yang meninggi tanpa dihibur. Kepakan sayapku dalam apartemen membuat banyak barang pecah belah tak lagi berarti.Bak dikurung, diri ini hanya mampu mengepak di dalam sangkar emas. Ke luar pun sudah pasti akan banyak saksi mata. Dunia tak lagi kerdil, sedangkan aku makin terkucil.Ingin kubentang sayap selebar mungkin, lantas mengepaknya ke arah pepohonan rimbun demi menyaksikan ombak dedaunan yang menyejukkan. Sayang, di mana pun kini banyak mata elang yang mampu mencapai pelosok sekalipun.Terlebih dengan ribuan cahaya lampu, kamera pengintai yang juga digunakan untuk keamanan dan kepentingan para penghuni rimba, tentu saja berdampak dengan kebebasanku sendiri.Napasku terengah saat teringat kembali akan pesan yang ditinggalkan Jonathan pada salah satu gambar yang tercetak. Jean? Kenapa nama itu selalu disebut oleh Jo?Lantas, aku teringat satu ha
"Grace! Jauhi Jonathan!" Aku yang terkejut mendapati bayangan Ibu ada di depan mata pun terjengkang ke belakang. "Ini bukan ancaman atau sebagainya. Tapi, kau boleh menganggap ini sebuah peringatan! Akan ada bahaya yang mengancam!"Aku mengernyit heran, sedetik kemudian bayangan Ibu telah lesap terbawa angin malam. Napasku masih terengah, terlebih bayang perempuan yang melahirkan ku itu datang dengan rupa yang menyeramkan. Lebih menakutkan dari yang pernah kubayangkan."Ha-halo?"Aku mengerjap-ngerjap saat tersadar sosok dari balik telepon memanggil, menanti jawab. "Ya, ada apa?"Kutamatkan suaranya, lalu kembali menatap layar ponsel, mengingat-ingat kapan kali terkahir kuberikan nomor ponsel pada lain orang."Grace Houghlin?" Aku mengangguk, meski tahu ia tak akan mampu melihatku. "Aku mendapat nomormu dari Mea. Katan
"Tunggu!"Pergelangan tanganku dicekal, ditahan sebelum bisa masuk ke gedung Daily News. Kau mengernyit, menatapnya lekat-lekat. Kutamatkan pandangan pada wajahnya yang tampak tak asing, meski lupa di mana mengenalnya."Kau tak ingat?" Kedua alisnya bertaut, lalu kedua sudut bibirnya menyimpul senyum. "Kau putus asa juga?"Aku terperangah, lalu mengangguk pelan. "Kamu?"Hampir saja aku tersenyum, jika saja tak mengingat kejadian lebih dari sepekan yang lalu. Dia mengenaliku!"Ah, maksudku kamu siapa?"Senyum pada wajahnya hirap seketika setelah mendengar pertanyaanku. Ya, begitulah seharusnya.