Share

2. Kejutan

“Cahyo, supirku akan menjemputmu.” 

Suara Johan yang terdengar seperti memerintah kembali menyapa telinga Cahyo, tepat setelah lelaki berusia lima puluhan tahun itu menggeser ikon gagang telepon warna hijau pada layar ponselnya.

“Ayolah, Johan. Aku tidak selemah itu. Aku akan menyetir sendiri ke rumahmu. Apa kamu sudah berada di rumah sekarang?” Terdengar helaan napas Cahyo  yang berat setelah mengakhiri kalimatnya.

“Tiga puluh menit lagi aku akan sampai di rumah. Kalau demikian, kamu berangkatlah sekarang sebelum lalu lintas menjadi semakin macet.” Johan kembali memberi instruksi. Setelah menjawab Johan dengan beberapa kata iya, Cahyo mengakhiri panggilan. Detik berikutnya, Cahyo terlihat mengemasi berkas-berkas yang berserakan di atas meja kerjanya. Ketika pekerjaan merapikan mejanya hampir selesai, Cahyo merasakan dada kirinya kembali nyeri. Perlahan, Cahyo menarik kursinya kemudian duduk. Dengan susah payah diaturnya napas yang sedikit tersengal. 

Kumohon jangan sekarang, Tuhan.

Cahyo memegangi dada kirinya sambil mulutnya tak henti memanjatkan doa. Setelah beberapa menit berjuang, Cahyo mulai merasakan napasnya kembali teratur. Nyeri di dadanya juga telah menghilang. Tak ingin berlama-lama di kantor, Cahyo segera beranjak dari duduknya dan meninggalkan ruangannya. 

*

"Andrew akan datang dua puluh menit lagi. Sebaiknya kita makan malam dulu." Johan mengiringi Cahyo menuju meja makan yang di atasnya telah tersaji dengan beragam hidangan.

"Aku belum lapar." Cahyo mencoba menolak. Ia sangat ingin segera bertemu Dokter Andrew kemudian segera pulang.

"Ini sudah jam makan malam." Johan terdengar enggan mendengar lagi alasan penolakan dari Cahyo.

"Seharusnya kamu makan tepat waktu. Apa Citta mengurusmu dengan baik?"

"Tentu saja." Jawab Cahyo cepat. Ya, Cahyo tidak terima jIka Citta dianggap tidak becus mengurus dirinya. Selama ini, Citta tidak pernah sedetik pun lupa untuk memperhatikannya. Sayangnya, Cahyo sendirilah yang justru abai dengan dirinya sendiri. Cahyo suka tidak jujur pada Citta, terlebih dalam urusan makan. Kebiasaan Citta yang tidak menemaninya makan dimanfaatkan Cahyo dengan baik. Setelah memastikan Citta kembali ke kamarnya, diam-diam Cahyo memanggil petugas keamanan yang berjaga di depan rumah. Piring berisi nasi lengkap dengan lauk serta sayur Cahyo sodorkan pada Pak Edi.

"Pak Edi harus membantu saya menghabiskan makanan di piring ini."

"Tapi nanti Bapak tidak makan." Pak Edi menjawab takut-takut.

"Saya sudah makan tadi, di kantor."

"Itu kan makan siang, Pak. Makan malamnya kan belum."

"Sudah, Pak Edi jangan bicara saja. Cepat habiskan makanannya."

*

"Jo, bisa kita bicara sebentar?" Dokter Andrew memberi kode pada Johan untuk keluar dari kamar tempat Cahyo diperiksa.

"Ada apa, Dokter? Tolong bicara di sini saja. Saya harus tahu apa yang terjadi pada diri saya." Suara Cahyo yang sedikit bergetar karena panik berhasil menahan langkah Dokter Andrew dan Johan. Andrew melihat sekilas pada Johan, meminta persetujuan.

"Pak Cahyo, saya menduga ada luka yang sangat serius pada lambung Anda. Apakah Pak Cahyo selama ini tidak pernah makan dengan teratur?" Tanya Andrew penuh selidik. Anggukan lemah dari Cahyo membuat Andrew dan Johan menghela napas bersamaan.

"Kenapa, Pak?" Andrew menangkap gejala depresi pada diri Cahyo. Sementara Johan menatap sahabatnya lekat, seolah takut melewatkan sebuah kata dari mulut Cahyo.

"Aku masih belum bisa menerima kenyataan bahwa aku telah bercerai. Bahwa Sekar lebih memilih meninggalkanku dan Citta.” Cahyo bicara dengan berbisik kemudian menunduk. Jelas terlihat bahwa ia sangat terpukul dengan keputusan istrinya.

“Selain itu, aku juga memikirkan Citta.”

"Kenapa dengan Citta?" Johan langsung menyambar kalimat Cahyo.

"Citta sangat mencintai belajar. Aku khawatir tidak ada laki-laki yang mau dengannya. Bulan depan ia akan genap dua puluh dua tahun, tapi hingga detik ini Citta belum pernah cerita tentang seseorang yang dekat dengannya."

"Jadi Citta tidak punya teman?" Johan mencoba menegaskan kalimat Cahyo yang baginya masih membingungkan.

"Dia punya sahabat. Ratih namanya. Sepanjang yang aku tahu, hanya Ratih yang menjadi teman Citta."

"Citta normal, kan?" Andrew bertanya dengan suara teramat lirih, khawatir menyinggung Cahyo.

Cahyo tersenyum lebar. Ia tidak marah dengan pertanyaan Andrew. Wajar rasanya bila orang yang belum mengenal Citta mempunyai berpikir jika Citta penyuka sesama jenis. Padahal, Citta terlalu asyik belajar sehingga lupa bersosialisasi dengan lebih banyak orang. Terutama laki-laki. Itulah kenapa Cahyo menyimpan kekhawatiran berlebih jika Citta akan jatuh ke tangan laki-laki yang salah. Cahyo tidak ingin Citta menderita di sisa hidupnya. Terjebak dalam ikatan pernikahan yang seperti neraka.

Seperti dirinya.

Ya, Cahyo menganggap pernikahannya seperti di neraka. Panas, penuh gejolak, dan tiada kedamaian di dalamnya.

Cahyo sangat yakin bahwa dirinya tidak pernah melakukan kesalahan. Ia bertanggung jawab pada istri dan anaknya. Cahyo juga tidak memarahi Sekar, istrinya. Pun ia juga tidak pernah menyakiti Sekar secara fisik. 

Cahyo adalah lelaki yang baik, bahkan bisa dikatakan sangat baik. Sayangnya Sekar terlalu banyak menuntut. Sekar seolah tidak pernah puas dengan apa yang telah diberikan Cahyo. Ia selalu mencari-cari kesalahan suaminya. Mengada-ada tentang kekurangan suaminya pada teman-temannya. Puncaknya, Sekar memilih hidup sendiri. Terpisah dari Cahyo dan Citta. Pada sebuah pagi yang mendung, Cahyo mendapati Sekar telah pergi dari rumah.

*

Citta mengetukkan jari telunjuknya di atas meja makan. Ia sedang berpikir akan membawa apa untuk Johan. Tentu saja Citta merasa malu jika mendatangi rumah Johan dengan tangan hampa. Akhirnya, Citta pun berinisiatif membuat puding. Puding buah-buahan menjadi pilihan Citta setelah melihat buah kalengan yang tertata rapi di meja dapur. Sambil menunggu puding mengeras, Citta mengganti pakaian rumahnya dengan celana jin dipadu kaos lengan panjang warna hitam. Setelah sekali lagi mematut diri di depan cermin di kamarnya, Citta segera memesan taksi online

Mendapati taksi yang dipesannya tak kunjung datang, Citta mengambil lagi ponsel dari dalam sling bag-nya. Ia hendak menelepon ayahnya, menanyakan apakah ayahnya masih di rumah sahabatnya atau sudah dalam perjalanan pulang.

“Halo, Ayah.”

“Ada apa, Citta?”

“Kok suara Ayah berbeda. Ayah kenapa?”

Hening. Citta semakin panik karena ayahnya tidak kunjung menjawabnya.

“Yah, Ayah.”

“Ayah tidak apa-apa, Citta. Tadi ayah baru bersin sehingga hidung Ayah berair.”

Citta menarik napas lega mendengar jawaban ayahnya. Ia benar-benar khawatir jika ayahnya sakit. 

“Citta sedang menunggu taksi online, Yah. Citta akan ke rumah Om Johan sekarang, menjemput Ayah.” Citta meraih tas kertas berisi puding yang telah dimasukkan dalam kardus makanan. 

“Eh, tidak perlu. Ini Ayah mau pulang.” Cahyo berusaha mencegah Citta.

“Citta sudah di jalan, Yah. Sampai nanti ya, Ayah.” 

Tut… tut…

Suara panggilan yang terputus justru membuat Cahyo terlihat panik. Dengan tergesa Cahyo turun dari tempat tidur.

“Ada apa?” Tanya Johan dan Andrew hampir bersamaan.

“Citta sedang menuju ke sini.” Cahyo menatap Johan dan Andrew bergantian.

“Tolong jangan katakan apa pun pada Citta.” Cahyo memohon pada dua orang di depannya. Johan segera mengangguk, tapi tidak dengan Andrew. Dokter itu merasa bahwa Citta sebagai satu-satunya keluarga yang Cahyo miliki harus tahu kondisi ayahnya. Citta harus lebih peduli lagi pada ayahnya.

“Ayo kita ke depan.” Ajak Johan mendahului melangkah menuju pintu. Cahyo mengikuti Johan disusul Andrew yang tampak berpikir keras. Ia benar-benar tengah berusaha mencari solusi untuk masalah Cahyo.

*

“Selamat malam.” William menyapa orang-orang yang tengah berkumpul di ruang tamu. Obrolan ketiga orang dewasa itu pun seketika terhenti. Seperti dikomando, Cahyo, Johan, dan Andrew menatap William bersamaan.

“Selamat malam, William.” Cahyo membalas salam William sambil berdiri. Tanpa segan, Cahyo berjalan mendekati William kemudian mengulurkan tangannya.

“Apa kabar, Will?” Tanya Cahyo basa-basi. William menyambut uluran tangan Cahyo kemudian menjawab pertanyaan lelaki seusia ayahnya itu.

“Baik, Om. Om Cahyo sendiri bagaimana kabarnya?” William balik menanyai Cahyo.

“Om juga baik.”

“William permisi dulu.” 

“Silakan.” Cahyo mengubah posisi tubuhnya untuk memberi jalan pada William.

Johan dan Andrew beranjak dari duduknya kemudian mengajak Cahyo untuk makan malam.

“Ayo, sekarang kita makan.” Ajak Johan. 

“Apa tidak sebaiknya kita menunggu William?” Cahyo melirik ke arah lantai dua.

“Biar Will menyusul.” Jawab Johan.

“Kalau begitu, aku ingin menunggu Citta.” Cahyo menatap Johan, meminta persetujuan sahabatnya. Johan dan Andrew saling pandang hingga kemudian Johan mengangguk.

“Oke.”

William menuruni tangga sambil memasukkan tangannya ke dalam saku. Tepat ketika William menginjakkan kaki pada anak tangga terakhir, terdengar ketukan pada pintu utama.

“Biar Will saja.” Ujar William sambil menggerakkan tangannya, menahan ayahnya beranjak dari duduknya.

“Selamat malam.” Sapa Citta dengan senyum kaku di wajahnya yang tegang. Citta benar-benar tidak menyangka jika William Rustenburg yang membukakan pintu untuknya. 

“Selamat malam.” Jawab William dengan suara datar.

“Saya putrinya Pak Cahyo.” Kata Citta lagi dengan suara bergetar. Sungguh ia benar-benar gagal menutupi kegugupannya.

“Om Cahyo ada di dalam bersama papa dan Om Andrew. Silakan masuk.” William menggeser tubuhnya untuk memberi ruang bagi Citta masuk ke dalam rumah.

“Mereka ada di ruang makan.” William sengaja mendahului Citta untuk menunjukkan arah menuju meja makan. Citta yang berjalan tepat di belakang William merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Aroma sabun dan sampo yang segar khas pria menyergap indera penciuman Citta.

"Ah, rupanya Citta yang datang." Johan beranjak dari duduknya lalu mendekat ke arah Citta.

"Halo, Om Johan. Apa kabar?" Citta segera meraih tangan Johan kemudian menciumnya takzim. Refleks Johan mengelus kepala Citta.

"Om baik, Sayang. Citta sudah dewasa ya sekarang." Pujian Johan membuat Citta tersenyum kikuk. Beragam pikiran berkecamuk di benak Citta. Selama ini pujian yang mengatakan bahwa ia telah dewasa tidak pernah bermakna positif karena ujung-ujungnya pertanyaan kapan menikah atau sudah bekerja di mana selalu muncul. Pertanyaan yang tidak mampu Citta jawab hingga membuatnya jengah.

"Citta sudah 22 tahun, Jo. Sudah tingkat tiga." Cahyo terlihat semangat menimpali pujian Johan.

Tetiba Cahyo seperti mendapat ide setelah melihat Citta dan William muncul bersama. Rasanya Cahyo ingin menjodohkan Citta dengan William. 

*

Makan malam kali ini benar-benar membuat Citta canggung sehingga seringkali bertingkah aneh. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah William. Johan seperti sengaja mengatur tempat duduk Citta dan William agar berdampingan. Andrew yang sangat paham maksud Johan, rela untuk berpindah tempat duduk.

"Seharusnya kita bebas duduk di mana saja kan, Pa." Protes William. Suaranya yang dingin dan datar seolah mampu membekukan Citta di tempat duduknya. 

Selesai menikmati makan malam, Citta menyajikan puding buatannya. Citta yang bersemangat karena akan menyajikan makanan buatannya untuk orang lain pun tidak sadar jika ia kini berdiri di antara William dan Johan. Seharusnya ia memilih sudut lain meja makan di mana ayahnya duduk. Akibatnya Citta kembali terserang gugup ketika memotong puding buah berbentuk lingkaran itu. Alhasil delapan bagian puding yang dipotongnya tidak sama besar. Citta meletakkan setiap potongan ke atas piring kecil. Ia menyerahkan potongan pertama untuk tuan rumah, Johan Rustenburg. Selanjutnya Andrew, William, Cahyo, dan terakhir untuk dirinya sendiri.

"Puding buatanmu lezat sekali, Sayang." Puji Johan tulus. Wajah Citta langsung merona menerima pujian dari Johan. Berikutnya Andrew dan Cahyo juga turut memujinya.

"Will, bagaimana puding buatan Citta?" Tanya Johan sambil melihat ke arah William. Semua mata kini tertuju pada William. Laki-laki itu kemudian memotong bagian ujung puding menggunakan garpu. Setelah bagian kecil puding mengisi mulutnya, semua masih terlihat bersabar menunggu reaksi William.

"Biasa saja. Maaf." Ujar William sambil melihat Citta sekilas.

"Aku tidak menyukai puding buah." Tambah William.

"Kalau begitu kamu suka puding apa, Will?" Tanya Cahyo cepat. William Diam sejenak untuk berpikir.

"Mungkin puding coklat, Om. Entahlah saya sendiri sangat jarang makan puding, Om."

Membingungkan. Kata pertama yang Citta pilih untuk menggambarkan jawaban William.

Jadi sebenarnya kamu suka puding atau tidak? Citta sibuk bertanya pada dirinya sendiri.

"Citta ini pandai memasak, Will. Kalau kamu mau ia bisa membuatkan makanan kesukaanmu."

"Terima kasih atas tawarannya, Om Cahyo."

William melirik papanya sekilas. Ia seperti hendak mengatakan sesuatu pada papanya, namun kedipan mata sang ayah membuatnya urung berkata.

"Maaf, Will ke ruang kerja dulu. Ada yang harus dikerjakan." William meletakkan serbet makan yang berada di pangkuannya ke atas meja. Ia kemudian berjalan menjauh dari meja makan, menuju ruang kerja yang letaknya di dekat tangga.

"Will." Panggil Johan yang serta merta menghentikan langkah William.

"Tolong nanti kau antar Om Cahyo dan Citta." Pinta Johan. William hendak menolak perintah Johan, tapi Citta sudah lebih dulu bersuara.

"Tidak perlu, Om. Saya bisa menyetir kok."

"Tapi ini sudah malam. Kamu pasti lelah."

"Aku juga lelah, Pa. Masih ada yang harus kukerjakan." William mengatakan kata demi kata dengan penekanan yang kentara. William kesal karena papanya seenaknya saja menyuruh dirinya.

"Kenapa tidak minta tolong sopir untuk mengantar?"

"Sopir akan membawa Mobil Om Cahyo. Kamu mengantar mereka dengan Mobil Papa atau mobilmu sendiri." Johan masih teguh pada pendiriannya, menyuruh William untuk mengantar Citta dan ayahnya.

"Ayolah, Will…." Johan merendahkan suaranya. William mendengus melepaskan kekesalan yang terus menghimpitnya.

"Terserah, Papa." Jawabnya sambil berlalu menuju ruang kerja.

*

"Maaf sudah merepotkanmu." Kata Citta setelah William duduk di belakang kemudi. Cahyo yang merasa sangat lelah memilih diam sambil mencoba memejamkan mata.

"Bukan salahmu. Papa memang suka memaksa." William berkata tanpa menoleh ke arah Citta.

Keheningan menyergap mereka berdua. Baik Citta maupun William tidak ada yang berkeinginan untuk memulai lagi obrolan.

"Will, usiamu berapa sekarang?" Suara Cahyo dari arah belakang memecah keheningan.

"Dua puluh enam, Om." Jawab William singkat.

"Sudah punya pacar?" Tanya Cahyo lagi. William mengeratkan genggamannya pada kemudi. Citta yang sedari tadi menyimak melihat sepasang tangan William yang memutih. 

William kesal jika ditanya urusan pribadinya. Citta membuat kesimpulan sendiri setelah melihat perubahan pada sikap William.

"Maafkan ayahku." Bisik Citta. William hanya mengangguk.

"Saya tidak mau pacaran, Om. Lebih enak punya banyak teman yang bisa diajak bersenang-senang setiap hari."

Entah William sengaja menjawab seperti itu untuk membungkam Cahyo atau memang seperti itulah pilihan dan gaya hidupnya. Yang pasti, kini giliran Citta yang wajahnya pucat pasi mendengar jawaban William. Mau tidak mau, kini seluruh otak Citta tengah membayangkan sebebas apa pergaulan lelaki tampan itu. 

Kejutan yang sungguh mengejutkan, Will. Batin Citta sambil kembali melirik William. 

Tetiba Citta teringat Ratih sahabatnya. Dengan gerakan perlahan penuh kehati-hatian, Citta mengambil ponsel dari dalam tasnya. Jemarinya begitu lincah bergerak di atas layar ponsel yang menampilkan deretan huruf dan angka. 

Aku ada berita besar untukmu. Tulis Citta. Setelah memastikan pesannya terkirim, Citta mematikan ponselnya kemudian menyimpannya kembali dalam tas.

***

Halo....

Adakah yang baca cerita ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status