“Citta!” Ratih sedikit berteriak sambil menghambur ke arah Citta yang tengah asyik membaca. Untunglah koridor kampus cukup ramai sehingga teriakan Ratih mampu teredam dan tidak terlalu mencuri perhatian. Suara melengking sahabat Citta itu pastinya sangat memekakkan telinga jika keadaan sekitar lengang.
Setelah mengambil duduk di samping Citta, Ratih pun segera memeluk sahabatnya erat. Pelukan Ratih yang erat sukses mengunci lengan Citta, membuat gadis itu menghentikan aktivitas membacanya.
“Lepas, Ratih. Sesak napas, nih.” Citta berkata dengan terbata-bata. Napasnya benar-benar tersengal karena sepasang lengan Ratih yang melingkari dadanya erat. Sambil terkekeh, Ratih melepaskan pelukannya.
“Maaf….” Ratih meringis melihat wajah tersiksa Citta.
“Oh, mudahnya meminta maaf.” Sindir Citta sambil merapikan kembali kemeja warna pastelnya.
“Kamu marah?” Ratih memasang wajah tidak berdosa. Citta mengepalkan kedua tangannya kemudian bergerak seolah hendak meninju Ratih.
“Aduh, yang kemarin diantar William Rustenburg pulang. Jadi semakin galak saja sekarang.” Ratih sengaja mengeraskan suaranya, terutama ketika menyebut nama William. Sontak Citta membekap mulut Ratih. Bahkan, Citta tidak mempedulikan buku yang ada di pangkuannya telah terjatuh dan sebagian halamannya kusut karena terlipat.
“Ratih!” Seru Citta sambil membelalakkan matanya. Ia benar-benar kesal dengan sahabatnya yang menjengkelkan luar biasa hari ini. Ratih terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi bekapan di mulutnya membuatnya kesusahan bicara.
“Janji dulu.”
Cepat Ratih mengangguk. Citta melepaskan tangannya dari mulut Ratih begitu melihat kesungguhan dari anggukan kepala Ratih.
“Huh.” Ratih terlihat ingin mengumpat, tapi melihat Citta yang mendelik ke arahnya, nyalinya pun ciut juga.
“Seharusnya aku yang marah padamu.” Citta berkata dengan nada datar.
“Iya, iya, maaf.” Ratih mengulangi permohonan maafnya. Untuk sesaat kedua sahabat itu saling diam. Citta memungut bukunya yang terjatuh dalam posisi tertelungkup. Sementara Ratih terlihat memilin ujung kemejanya hingga kusut.
"Ada apa?" Citta memandang Ratih penuh selidik. Yang ditanya hanya memamerkan senyum lebar seperti cengiran kuda.
"Mmm..."
Gumaman Ratih membuat Citta paham. Ia segera beranjak dari duduknya kemudian melihat ratih yang tengah menengadah dengan pandangan penuh tanya ke arahnya.
“Kita cari tempat yang nyaman yuk.” Ajak Citta sambil meraih tangan Ratih tidak sabar. Ratih mengangguk kemudian berdiri.
“Ke samping ruang baca saja. Pasti di sana sepi.” Tawar Ratih yang dijawab anggukan oleh Citta.
“Boleh.”
“Sebelumnya jajan dulu, ya. Beli minum dan cemilan.” Ratih tersenyum sambil menggerakkan sepasang alisnya jenaka. Citta menggeleng melihat tingkah sahabatnya. Namun, bukan Citta namanya jika ia terus memupuk amarah dengan Ratih, satu-satunya teman baik yang ia miliki.
“Oke.”
*
“Sekarang ceritakan padaku.” Ratih mengubah posisi duduknya menjadi agak menyamping. Tangan kanannya memegang gelas plastik berisi jus buah. Citta tidak segera memenuhi permintaan Ratih. Ia sendiri juga terlihat asyik menandaskan jus buah yang tinggal sedikit.
“Citta, cepat cerita.” Ratih terlihat tidak sabar melihat Citta yang masih saja menyedot sisa jus yang menempel di dinding gelas.
“Sabar, Ratih.” Citta bangkit kemudian berjalan menuju tempat sampah terdekat. Tak lama kemudian Ratih menyusulnya untuk melakukan hal yang sama.
“Hmm, aku harus mulai dari mana ya?” Citta menengadah sambil mengarahkan sepasang matanya untuk melihat ke sudut kiri atas. Ia tengah mengingat-ingat rangkaian peristiwa yang baru saja dialaminya tadi malam.
“Ihh…. cepatlah cerita.” Ratih memukul pelan bahu kiri Citta.
“Kemarin aku ke rumah Om Johan untuk menjemput ayah. Ternyata ada William di sana. Dia yang membukakan pintu.”
“Wah…. pasti tampan sekali. Kamu kaget tidak?” Tanya Ratih ingin tahu.
“Biasa saja.”
Bohong. Citta telah berbohong pada Ratih. Citta tidak mengatakan yang sebenarnya pada Ratih bahwa dia sangat gugup ketika pertama kali bertemu pandangan dengan William.
“Ih, kamu pasti bohong. Tidak mungkin kamu biasa saja bertemu dia.” Kata Ratih tidak percaya. Ratih kemudian meneliti wajah Citta, melihat apakah ada perubahan rona wajah atau ekspresi dari sahabatnya. Setelah meneliti dengan cermat, Ratih tampak kecewa karena nyatanya tidak ada perubahan pada wajah Citta.
Fiuh. Dalam hati Citta menghela napas lega. Hampir saja kebohongannya terbongkar.
“Terus, kalian saling bicara?”
“Tidak.”
“Yah, kok tidak sih. Itu kan kesempatan emas, Citta.”
“Tidak ada kesempatan untuk mengobrol, Ratih.”
“Kenapa?”
“Karena Om Johan langsung mengajak semua orang makan malam.”
“Semua orang?”
“Iya. Waktu aku datang, di sana selain ayah, om Johan, dan William ada satu orang lagi.”
“Good looking juga?”
“Emm….” Citta mencoba mengingat-ingat sosok yang dilihatnya di rumah Johan.
“Wajahnya bule juga, sih. Om Johan memanggilnya Andrew. Sementara Andrew memanggil Om Johan dengan Jo, saja. Tapi kalau dari wajah, kelihatannya seumuran William.”
“Oh, sepupunya William mungkin. Bule kan gitu Citta, mau tua mau muda santai aja hanya panggil nama. Bebas. Kalau di kita? Bisa dicap kurang ajar.” Jelas Ratih panjang lebar yang hanya direspons dengan anggukan oleh Citta.
“Andrew ini dokter. Katanya dia diundang untuk memeriksa Om Johan dan ayah.”
“Ayahmu sakit apa?”
“Aku tidak tahu. Ayah tidak mengatakan apa-apa. Kata Om Johan hanya cek Kesehatan biasa.”
“Semoga saja memang tidak ada gangguan Kesehatan apa pun.” Ratih mencoba membesarkan hati sahabatnya.
“Semoga saja karena aku sempat berpikir yang tidak-tidak, nih.” Citta menatap Ratih muram.
“Jangan begitu. Doakan saja ayahmu.”
“Iya, aku takut tidak bisa mengurus ayah dengan baik. Apa aku batalkan saja ya keikutsertaanku pada program fast track?”
“Jangan. Aku yakin kamu mampu mengatasi semua, Citta. Kurasa kamu juga sudah sangat memperhatikan ayahmu.”
“Terus, cerita lagi dong tentang William.” Ratih berusaha mengalihkan pembicaraan ketika didapatinya Citta masih tetap muram.
“Kamu, ih. William terus yang dipikirkan.” Protes Citta.
“Karena William itu idol, Citta. Dia pantas diidolakan, meskipun bukan seorang artis.”
“Yakin?”
“Yakin lah. Memang kenapa? Ada hal yang kamu sembunyikan ya? Ayo, buruan cerita.” Ratih mengguncang bahu Citta karena tidak sabar. Ia benar-benar ingin tahu semua tentang William. Citta yang tubuhnya diguncang sahabatnya lebih memilih diam. Ia memilih untuk tidak menceritakan pilihan hidup William pada Ratih. Bisa-bisa sahabatnya itu akan kecewa dan….
Jangan-jangan Ratih justru berbuat nekat, tapi nekat seperti apa? Entahlah. Citta berusaha menepis pikirannya yang kemungkinan bisa semakin liar.
Mengabaikan perbuatan Ratih yang semakin cepat mengguncang tubuhnya, Citta segera beranjak dan bersiap untuk pergi meninggalkan Ratih. Ratih yang merasa diabaikan sahabatnya pun ikut beranjak dari duduknya. Sebelum mengekor Citta, Ratih berdiri sambil sedikit membuka kaki. Sikap tubuhnya seperti seorang yang akan membaca puisi.
“Oh, William Rustenburg. Kau pria penuh pesona. Kau digilai semua wanita.”
Citta berhenti melangkah. Tawa tertahan menghiasi wajahnya. Ia pun segera berbalik menghadap sahabatnya.
“Tidak semua, Ratih. Buktinya aku nggak tergila-gila padanya.”
Citta melihat jam yang melingkari tangan kirinya sekilas kemudian kembali mengarahkan pandangan pada Ratih.
“Yuk, pulang. Sudah sore. Terlalu lama di sini kamu bisa semakin aneh nanti.”
Citta mendekat ke arah Ratih. Ratih yang mendengar kalimat Citta bergidik ngeri.
“Aneh bagaimana maksudmu?”
“Di sini kan sepi. Kita tidak tahu apakah ada….”
Sebelum Citta menyelesaikan kalimatnya, Ratih buru-buru meraih tangan Citta kemudian mengajaknya pergi. Menjauh dari tempat yang memang sepi karena hari sudah semakin sore.
“Dasar penakut.” Ejek Citta sambil tertawa.
*
Cahyo terlihat gelisah sambil memegang ponselnya. Ia ingin menghubungi Johan untuk menyampaikan keinginannya, yaitu menjodohkan Citta dengan William. Cahyo seperti enggan menunda niatnya ini. Ia seperti dikejar oleh sesuatu yang tidak bisa dia deskripsikan.
“Johan. Kamu sibuk?” Tanya Cahyo setelah akhirnya memutuskan untuk menelepon Johan dan mengatakan hal yang mengganggu pikiran serta hatinya.
“Sedikit sibuk. Ada apa? Aku sebenarnya hendak menghubungimu, tapi nanti setelah dokumen kerja sama kita selesai.”
“Kalau begitu nanti saja kita bertemu sambil membicarakan kerja sama.”
Cahyo merasa sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakan perjodohan. Namun, Johan yang merasa sahabatnya agak aneh, mencoba menahan Cahyo yang hendak mengakhiri panggilan.
“Ayo, kita bertemu. Dokumen kerja samanya sudah siap.”
Johan tidak merasa bersalah meskipun ia telah sedikit berbohong pada Cahyo mengenai dokumen. Sebenarnya, dokumen itu masih jauh dari kata selesai karena catatan perbaikan yang diberikan oleh beberapa pihak terkait proyek kerja sama mereka sangat banyak.
“Baiklah. Kita bertemu di mana?” Tanya Cahyo sambil melihat penunjuk waktu di laptopnya.
“Aku akan memesan private room di tempat biasa sekitar pukul tujuh belas. Yah, sekalian kita makan malam.”
“Oke.”
Tanpa banyak kata, Cahyo mengakhiri panggilan.
Citta, hari ini ayah pulang terlambat lagi karena mengurus dokumen kerja sama dengan Om Johan.
Citta makan malam sendiri ya? Tidak apa-apa, kan?
Dua pesan yang dikirim Cahyo segera mendapat balasan dari Citta.
Oke, Yah. Nanti pulangnya hati-hati ya, Yah.
Cahyo mengirim emoji yang bermakna oke. Tak lupa emoji dengan beberapa gambar hati warna merah ia kirimkan juga. Di ujung lain, Citta tersenyum mendapati emoji yang dikirim ayahnya.
Tumben, ayah mengirim emoji.
Ya, satu lagi hal aneh didapati Citta pada diri ayahnya. Biasanya sang ayah lebih memilih mengirim teks daripada memilih sebuah emoji yang pas.
*
“Apa yang membebani pikiranmu, Cahyo?”
Cahyo terkekeh. Ia mengakui bahwa Johan Rustenburg adalah sahabat sejati. Ia bisa membaca Cahyo dengan baik.
“Ah, seharusnya aku berkata apakah yang kamu ceritakan kemarin masih menghantui pikiranmu?” Johan prihatin melihat sahabatnya. Ia tahu bahwa Cahyo masih bergelut dengan kekhawatiran yang belum mampu ia taklukkan. Cahyo lebih memilih menderita dengan mengenang kegagalannya dalam berumah tangga daripada menjalani hidup tenang dengan melepas pikiran tentang masa lalu.
“Tidak semua yang kuceritakan padamu membebaniku.”
Johan menganggukkan kepala sebagai jawaban. Ia kemudian mengambil gelas berisi air putih yang telah tersedia di atas meja.
“Lalu, apa yang mengganggu pikiranmu?” Johan terus mendesak. Cahyo menghela napas dalam-dalam kemudian memejamkan kedua matanya.
“Citta. Aku mencemaskan Citta.”
“Oke. Kenapa dengan Citta hingga kamu mencemaskannya?”
“Ada satu keinginanku yang belum terealisasi, Johan. Maukah kamu membantuku?”
Bukannya memberi jawaban pada Johan, Cahyo justru menjawab pertanyaan Johan dengan sebuah pertanyaan.
“Dalam hal apa?”
“Tolong nikahkan William dengan Citta.”
Johan terdiam. Ia tampak berpikir. Seingat Johan, ini bukanlah kali pertama Cahyo mengutarakan keinginannya untuk menjodohkan putrinya dengan William. Sebenarnya Johan setuju dengan ide Cahyo. Johan menyukai Citta. Menurut Johan, Citta adalah gadis yang baik. Ia juga patuh dan penuh kasih sayang pada ayahnya. Johan juga menduga bahwa Citta adalah gadis yang mandiri. Ia juga seorang pekerja keras dan pintar.
Johan memang langsung mencari tahu tentang Citta setelah ia mendengar tentang perjodohan yang digagas Cahyo. Memang rasanya terlalu dini untuk memutuskan bahwa Citta adalah gadis yang baik, tapi tetiba Johan mendapat sebuah ide untuk menguji Citta. Dengan menjalankan ide itu, Johan yakin ia akan mengetahui sifat dan karakter Citta dengan baik.
Hanya saja masalahnya adalah William. William pasti dengan tegas menolak perjodohan ini. Terlebih Citta bukanlah tipe wanita yang diinginkan William. Ah, tetiba Johan merasa kepalanya pening. Ia masih belum tahu bagaimana cara menaklukkan William. Membuat putra semata wayangnya berkata mau untuk menikah dengan pilihannya.
“Maukah kamu menolongku?” Cahyo mengulangi pertanyaannya. Johan memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Cahyo.
“Ya, aku setuju. Mari kita nikahkan anak-anak kita, Sahabatku.”
***
“Aku belum pernah berhubungan intim dengan perawan.” Pengakuan William membuat Citta tersipu meskipun ia juga bingung dengan perasaannya. Citta tidak tahu harus senang atau sedih mendengar pengakuan yang keluar dari mulut William. Andaikata senang, maka itu karena kalimat William terdengar seperti pujian. Namun jikalau sedih, tentu itu karena menandakan bahwa William adalah seorang petualang seks. William menatap Citta lekat-lekat. Sedikit heran karena istri keduanya itu tidak menunjukkan reaksi apa pun. “Kau sering melakukannya? Sebelum menikah?” Akhirnya pertanyaan meluncur juga dari bibir Citta. William mendesah, tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu dari Citta. William kembali menatap dalam sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Citta.“Sering.”“Seberapa sering?” William sudah menduga bahwa Citta akan terus mengejarnya tentang topik ini. Dan tentu saja, tanpa merasa terbebani, William menjawab jujur apa adanya.“Aku melewatkan setiap malamku dengan berhubungan seks
William mengulum senyum kala memandangi Citta yang terus bergerak karena kikuk. Gadis di depannya itu sedari tadi sibuk menutupi bagian-bagian pribadinya dengan kedua tangan. Hingga akhirnya William berujar ketika satu tangan Citta menutupi bagian dada dan satu tangan lainnya menutupi area sekitar pangkal pahanya.“Hey, tidak perlu malu.” William perlahan mendekat, memupus jarak antara dirinya dengan Citta.“Aku–aku malu, Will.” Jawaban khas gadis polos yang belum tersentuh, begitu yang terlintas di benak William. William menggeleng pelan, tidak setuju dengan Citta.“Aku suamimu. Dan kamu tidak harus malu di depanku.” William menyingkirkan tangan Citta dari dada dan bagian di bawah perutnya. Ada binar dalam sorot mata William ketika dilihatnya pangkal paha Citta yang ditumbuhi rambut sedikit menyembul keluar. Citta memergoki William. Kemudian pandangan gadis itu ikut turun. Dan kesiap kecil langsung terdengar. Citta terkejut. Sungguh-sungguh terkejut dengan apa yang baru saja dilihatn
Citta masih tidak percaya dengan apa yang ada di hadapannya sekarang. Lingeri dalam enam warna yang berbeda. Pun dengan modelnya yang sudah pasti tidak ada yang sama. Pasti semua lingeri itu akan memberi pemakainya kesan seksi dan menggoda, tebak Citta dalam hati. Ragu-ragu, Citta mengulurkan tangan hendak menyentuh lingeri yang berwarna merah. Sejak tadi, benda itu sudah menarik perhatiannya. Tekstur halus bahan sifon langsung memenuhi indera perabanya. Citta pun tergoda untuk mengambil lingeri merah itu lalu membentangkannya. Lingeri itu memiliki model gaun mini dengan aksen tali spageti di bahu. Potongan dada yang sangat rendah dan berbentuk V terlihat indah dengan tepian renda yang tak kalah halus. William yang sedari tadi mengamati Citta, kini mulai tertarik dan bermaksud menggoda istrinya itu.“Kamu mau memakainya?” William menyentuh punggung Citta lembut. Berusaha tidak membuat istrinya terkejut. Namun tetap saja, Citta sedikit berjingkat karena tetiba suara William memenuhi g
“Will?” Citta terlihat sangat ingin tahu jawaban William atas pertanyaannya tadi. Namun sedari tadi William tetap bergeming. William juga tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Citta mencoba memahami diamnya William dengan menarik garis bibirnya agar membentuk sebuah senyum. Andai Citta tahu, William tidak bisa menjawab pertanyaannya. Dan seandainya William tahu, Citta akhirnya membuat kesimpulan sendiri dengan mencoba mengartikan itu sebagai ketidaktahuan atau mungkin ketidaksiapan William. Citta yakin bahwa William tidak ingin dipandang sebagai laki-laki berengsek. Laki-laki yang sudah menikah, tapi masih berani mencium perempuan lain.“Ayo kita berangkat. Aku hampir terlambat.” Citta mencoba mengalihkan pembicaraan. William masih tidak mengatakan apa pun. Namun kali ini, William mengikuti perkataan Citta. Perlahan, kaki William menginjak pedal gas dan mobil pun menderu tanda mulai melaju.“Pukul berapa aku bisa menjemputmu?” William menatap Citta sambil menunggu jawaban dari istri ked
“Aku akan menyusul William, Pa.” Dhita merasa tidak nyaman hanya makan berdua bersama Johan, mertuanya. Ia juga tidak bisa fokus menikmati makanan yang tersaji di piringnya karena pikirannya sibuk menerka apa gerangan yang sedang dilakukan William dan Citta. Dhita menyumpahi Citta dalam hati. Melontarkan beberapa kata makian yang meskipun ia ucapkan dalam hati, namun ia sangat berharap itu sampai pada Citta. Johan yang sesekali melirik Dhita, mencoba mengecek ekspresi menantu culasnya itu, tentu saja melarang keinginan Dhita.“Bersikaplah dewasa, Dhita. Citta juga istri WIlliam.”“Tapi aku istri sahnya, Pa. Pernikahan Will dan Citta hanyalah main-main!” Dhita sengaja membanting sendok garpunya sebagai bentuk luapan kemarahan. Johan kembali murka dengan sikap tidak sopan Dhita. Ia juga menghardik Dhita yang menyebut pernikahan
Johan heran mendapati ruang makan yang masih lengang. Terasa aneh dan tentu saja janggal karena biasanya semua penghuni rumah tersebut hanya dapat bertemu dan berkumpul di waktu sarapan. Namun kali ini, meja makan kosong tanpa ada yang mengelilinginya. Johan lalu ingat kalau kemarin William mengatakan akan berangkat lebih awal ke kantor, tapi sedari tadi Johan belum mendengar deru mesin mobil William. Itu artinya William masih di rumah.Johan kemudian memanggil bibi dan menanyai perempuan itu. Bibi, dengan suara terbata karena ketakutan, mencoba mengurai kronologi yang terjadi sehingga waktu sarapan pagi ini menjadi berbeda, tidak seperti biasanya.“Kurang ajar!” Johan refleks menggebrak meja. Ia tidak menyangka Dhita kembali ke rumah ini dan membuat keributan. Johan lalu kembali bertanya pada bibi tentang keberadaan Citta. Ya, Johan tentu saj