Share

7. Pelarian

Maura menghentikan langkah dan memasang pendengarannya baik-baik. Ya, benar, para mahasiswa menyebutkan nama David Peters. 

Apa yang membuat David Peters datang lagi ke kampus? Maura bertanya pada diri sendiri. Ingin rasanya ia menanyai semua mahasiswa yang berlalu-lalang, tapi diurungkannya. Maura mencoba menekan rasa ingin tahunya kuat-kuat. Ia tidak mau menjadi bahan ejekan lagi karena bertanya tentang keberadaan David Peters di kampus.

Maura mempercepat langkahnya menuju perpustakaan. Sesampainya di persimpangan koridor arah perpustakaan dan ruang kelas, Maura melihat David Peters melintas. Sontak ia memekik tertahan melihat apa yang baru saja ditangkap matanya. Seorang laki-laki dengan kaos polo, jins, dan topi bisbol yang tidak asing. Maura melihat laki-laki itu di kelas tadi pagi. Ya, David Peters ternyata ada di kelasnya dan menyimak kuliahnya. Kemudian di belakang David, tampak seorang laki-laki dengan penampilan yang sama. 

Itu pasti Matt. Gumam Maura.

*

“Kamu berhasil menciptakan kegaduhan, Dave.” Dekan terkekeh melihat wajah kesal Dave dan Matt. Direbahkan punggungnya pada sandaran kursi yang fleksibel. Lengannya terlipat di depan dada. Mengamati wajah Dave sedari tadi membuat dekan seolah enggan menghentikan kekehannya. 

“Bantu aku keluar dari sini, Dean.” Suara Dave terdengar sedikit memohon. Sebenarnya, Dave sangat anti memohon pada seseorang, biasanya orang yang memohon padanya. Namun kali ini, Dave benar-benar butuh bantuan dekan untuk terbebas dari masalah ini. 

Dekan kembali tertawa. Lalu diambilnya ponsel yang tergeletak di atas meja. Tak lama kemudian dekan melakukan percakapan singkat dengan seseorang di telepon dan diakhiri dengan kalimat bernada memerintah, “Segeralah ke ruanganku!”. Dekan mengakhiri panggilan kemudian meletakkan ponselnya kembali ke atas meja. Sekilas, matanya melirik ke arah Dave. Dave sengaja tidak menatap dekan. ia memilih membuang muka, mengusir rasa kesal yang menghinggapinya.

*

“Ada apa, Dean….” Maura melongokkan wajahnya ke dalam ruangan dekan. Dekan melambaikan tangan, menyuruh Maura masuk. 

“Tutup pintunya, Maura!” Kata dekan. Maura mengangguk tanda mengerti. Dilihatnya Dave dan Matt juga berada di sana. Maura menatap Dave dan Matt bergantian. Tak lupa senyum ia sunggingkan sebagai bentuk keramahan. 

“Maura, tolong kawal Dave dan Matt keluar dari kampus. Setidaknya sampai mereka masuk ke dalam mobil.” Dekan berkata santai sambil tidak mengubah posisinya. Maura kembali melihat Dave dan Matt bergantian. 

Maura menyunggingkan senyum ketika membayangkan situasi seperti apa yang sedang dihadapi Dave dan Matt tadi. Dave yang sedang melirik ke arah Maura mendadak geram. Dave menduga senyum Maura kali ini adalah untuk mengejeknya. Amarah Dave menggelegak. Ia menatap Maura dengan sorot tajam. 

“Berani kamu menertawakanku!” Bentak Dave. Maura terlonjak karena kaget luar biasa dengan bentakan Dave. Senyum di wajahnya pun memudar seketika. Dalam hati Maura bertanya-tanya, Siapa yang menertawakan dia?

“Maaf, Tuan David. Saya tidak bermaksud menertawakan Anda.” Maura menunduk seraya berkata dengan suara lirih. Dekan menghela nafas melihat sikap Dave. Ia tahu Dave tidak pernah bersikap baik kepada orang, terlebih orang asing. Namun membentak orang yang tidak membuat kesalahan adalah sikap yang sangat keterlaluan. Dekan tidak bisa membayangkan jika Maura menolak membantu Dave dan Matt menuju mobil setelah sikap kasar Dave. Sudah tentu tidak ada lagi mahasiswa yang bisa diminta bantuannya. Mayoritas mahasiswa di kampus ini sudah tahu David Peters. Hal itu tentu saja akan menyulitkan mereka berdua untuk meninggalkan kampus dengan mudah.

*

Mereka berempat terdiam cukup lama. Terbenam dalam pikiran masing-masing. Dave yang terlihat paling gelisah. Entah sudah berapa kali Dave mengentakkan kakinya. Ia benar-benar terlihat  ingin menunjukkan ketidaksabarannya. Dekan menanggapi dengan dehaman. Lama-lama dekan merasa kesal juga dengan tingkah Dave.

“Kapan kita akan keluar dari sini?” Dave melotot ke arah Maura. Maura tidak langsung menjawab. Ia sibuk mempertimbangkan sekali lagi rencana yang telah disusunnya sebelum bicara. 

“Mohon bersabarlah, Tuan David. Kita tunggu sepuluh menit lagi. Jadwal kuliah berikutnya akan dimulai lima menit lagi.”

“Kalau seperti itu, kenapa aku harus menunggu sepuluh menit, hah!”

Maura sigap memotong kalimat Dave, “Jangan, Tuan David. Kumohon dengarkan aku kali ini saja. Setelah bel tanda perkuliahan dimulai, biasanya mahasiswa masih enggan untuk masuk kelas. Mereka biasanya baru masuk lima menit setelahnya. Aku khawatir akan terjadi kegaduhan lagi bila kita segera keluar setelah bel perkuliahan dimulai.” Matt mengangguk mengiyakan perkataan Maura, meskipun ia juga tidak yakin. Dave melotot menatap Matt. Yang ditatap kemudian meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Saya akan keluar untuk melihat situasi dulu. Jika memang benar-benar aman, saya akan kembali dan memberi tahu Anda.”

“Kali ini kau harus mengikuti saran Maura, Dave.” Dekan angkat bicara. 

Dave tidak menjawab. Ia hanya menggerakkan alis matanya sebagai tanda ia menyetujuui saran dekan. Maura keluar dari ruang dekan dan duduk di salah satu bangku yang ditata berjajar di sepanjang koridor. Beberapa menit Maura menunggu sambil mengedarkan pandangan. Beberapa titik koridor sudah lengang, namun di beberapa tempat masih ada mahasiswa yang berkumpul dan bersiap masuk kelas. Maura menunggu beberapa menit lagi kemudian ia beranjak dari duduknya. Melangkah kembali ke ruang dekan dengan yakin, tidak ada mahasiswa yang akan mengetahui keberadaan Dave dan Matt.

“Sudah aman, Tuan.” 

“Kau yakin, Nona Maura?” Dave menekankan suaranya ketika menyebut Nona Maura. Maura mengangguk mengiyakan. Untuk meyakinkan Dave, Maura memutar badannya keluar dari ruangan dekan sekali lagi. 

“Benar, sudah aman…. Aku jamin.” Maura berkata penuh kesungguhan. 

Astaga, ternyata orang ini ribet sekali. Maura mengeluh dalam hati. Ia merasa David Peters benar-benar sanagt merepotkan.

Dave menyeringai aneh. Tanpa menunggu lama ia menjabat tangan dekan dan segera keluar dari ruangan itu. Di depan ruangan dekan, Maura meminta Dave untuk berjalan secara wajar, tidak perlu berlari karena akan menimbulkan kecurigaan. Dave pun menurut. Dengan langkah lebar-lebar, Dave bergegas menuju mobilnya yang telah terparkir di depan lobi kampus. Tapi Dave tidak sepenuhnya patuh pada instruksi Maura. Merasa jarak antara dirinya dengan mobil yang terparkir sudah tidak terlalu jauh, Dave mengubah langkah lebarnya menjadi berlari. Akibatnya, ia menarik perhatian beberapa mahasiswi yang sedang duduk di bangku-bangku taman. 

“Kyaaa… itu Tuan David….” Pekik beberapa mahasiswi hampir bersamaan. 

Dave pun mempercepat larinya sambil berteriak marah, “MAURAAA….”

***

Menurut kalian, bab ini ada unsur komedinya gak sih

Yang mau memberi review novel ini juga boleh. ^^ 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status