Share

Bab 3: Sisi lain Ankara

***

Ibu adalah dia yang selalu mengkhawatirkan dirimu, mencemaskanmu, atau bahkan mendikte dirimu bagaimana cara hidup yang menurutnya baik. Begitulah Ankara, ia tumbuh atas perintah Ibunya, membuat lelaki tampan itu tak bebas untuk menikmati hidup.

Ankara masih mengetik di komputernya saat mendapat panggilan telepon dari Ibunya, Inggrid Mahendra. Ibunya memberitahu kalau Paris Mahendra saudaranya pergi dari rumah. Ya, dialah Paris. Tak pernah dipandang sebagai lelaki dewasa. Selalu merepotkan dan hanya merusak nama keluarga Mahendra Orlando.

Mahendra adalah nama kakek mereka dari pihak Ayah, Hermawan Mahendra. Sementara Orlando merupakan nama kakek mereka dari pihak Ibu, Inggrid Mahendra Orlando. Mata Ankara berwarna biru, tak mengusir fakta kalau mereka punya keturunan darah Orlando, mereka blasteran.

"Biarkan saja, Ma. Aku rasa Parro butuh dunianya sendiri. Mama tidak usah mencemaskannya." 

Ankara tak pernah sedikit pun mengadu domba atau bahkan menjadi provokator di dalam keluarganya. Sebisa mungkin ia ingin menjadi pemersatu.

"Dengar, Ankara. Kepergian Paris hanya akan merusak nama baik keluarga. Itu berarti namamu yang baik akan ikut tercoreng, Sayang. Kau masih ingat terakhir kali? Saat dia mengamuk di Duffs? Sampai seminggu lebih Mama tidak bisa tidur dibuatnya." 

Ankara merenung sambil mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu. Paris ditahan petugas keamanan karena memukul seseorang di Duffs, salah satu kafe terkenal di kota itu. Memang orang tua Ankara selalu memperhatikan karir lelaki itu.

Paris juga pernah berkelahi dengan orang kulit hitam, sebab pria itu menyebut Paris orang Asia yang kampungan. Ankara masih memikirkan beberapa kejadian  memalukan yang dilakukan Paris ketika Inggrid ibunya berkata, "Mama pun harus menanggung malu ketika Mona James datang tadi. Dia kecewa tanpa adanya Paris. Mama menyuruhnya pulang tepat saat ia sampai di rumah. Kau tahu betapa malunya Mama akan hal itu?" 

Ankara geleng kepala saat mendengar penjelasan Ibunya. Ia mengerti betul bagaimana saudaranya, Paris. Paris pasti malu dengan kebiasaan Ibunya yang suka menjodohkan--memilihkan pasangan untuk mereka.

"Pantas saja Parro pergi. Mama menyewa gadis online lagi? Mencarikannya kekasih? Kalau aku jadi Parro mungkin aku akan melakukan hal yang sama." 

Paris adalah lelaki bebas. Dia melakukan apa saja yang ia mau sementara Ankara? Dia tidak bisa berkata tidak ke Ibunya.

"Dan kau tidak pernah melakukannya, Ankara. Nyatanya adalah kau memilih wanita pilihan Mama, bukan? Kau mencintai Grace seperti yang Mama inginkan." Grace, istri Ankara memang pilihan Inggrid.

Ankara bergeming bersamaan dengan tangannya mengepal. Selama ini ia terlalu penurut. Berusaha mencintai wanita pilihan Ibunya. Dia tidak pernah bebas, hanya berusaha dewasa dan mengalah, mengabaikan keinginannya demi mewujudkan keinginan Ibunya. Ankara tumbuh seperti robot sama seperti yang diucapkan Paris.

"Ankara, kau masih di sana?"

Pertanyaan Ibunya membuyarkan lamunan Ankara. Dia melepaskan kepalan tangannya, menegaskan sesuatu dalam kepalanya. Dia akan baik-baik saja selama dia menuruti kemauan Ibunya.

"Ya. Aku tetap mendengarnya, Ma."

"Baguslah kalau kau dengar nasihat Mama." 

Inggrid mendengus. Dia menambahkan,  "Cukup rawat Grace dengan baik. Pastikan cucu Mama lahir sehat tanpa adanya cacat. Dan satu lagi, bujuk Paris pulang. Yakinkan dia untuk berkencan dengan Mona. Dia akan lebih baik kalau tetap berada di lingkungan rumah."

Ya, Grace sedang mengandung bayi mereka. Inggrid, Ibunya selalu mendesak Ankara untuk punya anak sehingga Ankara tak ada pilihan lain untuk memprogramkan, memiliki bayi meskipun dia belum siap. Perkataan Ibunya adalah sebuah perintah.

"Ya. Aku akan melakukannya."

Ankara menutup teleponnya setelah mengucapkan itu. Dia masih orang yang sama seperti beberapa tahun lalu. Dia masih orang yang tak bisa membantah ucapan Ibunya. Ankara menghentikan pekerjaannya pada komputer. Lalu mencari Grace di luar ruang kerjanya. Ia menelusuri Apartemennya dengan memanggil lembut istrinya.

"Grace?"

Ankara melangkah menuju kamarnya. Di sanalah ia menyaksikan wanita itu menyetrika pakaiannya. Grace tersenyum padanya saat pandangan keduanya beradu. 

"Apa kau sudah minum vitamin dan susu hamilnya?" Grace mengangguk.

"Aku sudah meminumnya," katanya, Grace mengamati mimik wajah suaminya lalu berkata, "Jangan terlalu mencemaskanku." Grace menenangkan. 

Wanita itu selalu merasa tidak enak bila Ankara menatap pilu ke arahnya seperti tidak ada cinta. Hambar, tanpa rasa manis. Mereka hidup sedatar-datarnya tembok. 

Ankara melepas kancing atas kemeja putihnya kemudian duduk di hadapan istrinya. "Kau tahu bahwa tanpa cinta pun kita bisa hidup bersama. Aku tahu kau masih setia menungguku. Percayalah, aku hanya perlu melupakan dia. Itu saja." 

Ankara menggenggam tangan istrinya. Memberikan binar harapan yang membuat Grace bahagia. Ankara menyebut seseorang dengan kata "dia", dan Grace tidak pernah bertanya.

"Kau tahu, melupakan tidak mudah." Grace memulai kata-katanya. 

"Setia pun tidak mudah. Kita berada di level kesulitan yang sama." Grace muram, memegangi perutnya yang kini membesar. Entah sampai kapan Ankara bisa mencintainya.

"Aku tidak tahu apakah memiliki bayi bagian dari cintamu? Ataukah hanya sekadar untuk menyenangkan kedua orang tuamu? Kau harus tahu, Ankara. Aku tidak sekuat yang kaupikirkan. Ketika aku sudah lelah maka aku akan meninggalkanmu." 

Ankara tidak membalas. Perlahan bibirnya menyentuh kening istrinya. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi, Grace. Sekali pun aku tidak mencintaimu, aku akan tetap mempertahankanmu. Mengejarmu saat kau pergi atau setidaknya memberikanmu harapan untuk tinggal di sisiku," bisiknya pelan. 

Grace meringis, meremas seprei kuat-kuat. Telinganya terasa panas setiap kali Ankara mengatakan tak mencintainya. Seburuk itukah rupanya? Grace tak percaya hidupnya begitu malang. Berakhir dengan lelaki yang tidak mencintainya. Chantelle Grace adalah mantan penari balet terkenal New York, sangat mudah baginya mendapatkan pria tampan seperti Ryan Reynolds, atau model tampan semacam Simon Nessman.

Grace bangkit. "Apa kau benar-benar berpikir aku akan tetap bertahan dengan hubungan ini? Aku bisa saja pergi, Ankara! Aku bisa melakukannya kapan pun aku mau!" Grace nyaris berteriak. 

Ankara berdiri, memegang kedua bahu istrinya lalu memberikan kecupan hangat di pipinya. Grace tak bergerak, membiarkan suaminya menyapu bibirnya. Ankara selalu melakukan itu setiap kali Grace merasa muak akan hubungan mereka.

"...."

"Jangan bahas ini lagi, Grace. Biarkan Ibu dan Ayahku bahagia dengan bersatunya kita. Kumohon, Grace. Mengertilah posisiku. Aku tidak punya ruang bahagia ketika kuputuskan bahagianya Ibuku menjadi bahagiaku. Berpura-puralah bahagia dengan keluarga kita." Ankara meyakinkan istrinya setelah dia berhasil memberikan ciuman ke Grace.

"Sampai kapan kita begini?" 

Grace bertanya lembut, semua kemarahannya sebelumnya padam. Setiap kali Grace marah, Ankara tidak tersulut emosi. Ankara memberikan perlakuan manis. Grace tidak sanggup memarahinya setiap kali mata indah Ankara memelas.

"Sampai suatu hari aku bisa mencintaimu." 

Ankara tidak tahu memberikan jawaban apa. Dia hanya mampu memberi harapan dan harapan semu untuk istrinya. Lagipula, sudah setahun lebih mereka bersama dan mereka baik-baik saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status