Share

Bab 2: Jessica Flowers 2

Paris menghentikan kegiatannya pagi itu. Ia mengambil replika dari gambar Jessica. Paris mengulang-ulang nama gadis itu. "Jessica Flowers, namanya Jessica. Baiklah, Jessica. Aku akan menaklukkanmu. Aku akan mendapatkanmu!" 

Nama wanita itu seindah wajahnya. Jessica seperti bunga mawar merah mekar, sangat sempurna terlahir sebagai perempuan.

Paris bertekad. Ia memilih untuk mengakhiri sesi pengambilan objek lukisan hari ini. Ia terus memikirkan Jessica. Hanya Jessica. Tatapan polos gadis itu, gerakan rambutnya, serta penampilan menawannya tak bisa dihapuskan di kepala Paris. Ia telah jatuh dalam pesona gadis baru bernama Jessica.

Paris pulang. Dia menyadari penampilannya cukup berantakan. Dia mencukur rambutnya dan melihat-lihat pakaiannya. Dia berencana mengajak Jessica berkencan karena sudah mendapatkan nomor teleponnya. 

Tidak ada jas di dalam lemarinya. Jadi, dia berniat belanja di supermarket. Debaran jantungnya tak berhenti berdetak, ia terus membayangkan Jessica tersenyum kepadanya. Paris masih menghayal saat Ibunya muncul dari balik pintu kamarnya.

"Ada apa sekarang?" 

Inggrid Mahendra, Ibunya bertanya dengan nada sarkasme. Ya, baginya Paris hanyalah Anak payah. Ketika Ankara sudah jadi pemimpin di perusahaan perbankan keluarga mereka. Paris malah jadi pelukis keliling yang tak jelas pendapatannya. 

"Lihat. Aku cuma berusaha untuk bebas. Tak mau menjadi robot ciptaan Mama dan Papa." 

Paris mengambil tasnya berencana untuk pergi lagi. Andaikan ia tak usah pulang tadi. Mungkin Ibunya tidak akan melihat dirinya yang mencoba berpenampilan rapi. Saat Paris akan melewati Ibunya, sebuah seruan menghancurkan harga dirinya.

"Mona James." 

Paris memelotot. "Tinggallah di rumah. Mama sudah mengutus gadis untuk kencanmu nanti malam. Mama tidak mau kau berhubungan dengan sembarang gadis. Kau belum dewasa, masih butuh perlindungan Mama. Bayi besar tetaplah bayi. Bagaimana pun Mama menyamakan dirimu dengan Ankara. Kau tetaplah berbeda. Sangat jauh dari Ankara," jelas Inggrid.

Paris marah. Ia benar-benar tersinggung akan ucapan Ibunya. Bayi besar? Apa sebegitu tidak berharganya dirinya sampai dikatakan bayi besar? Berada di level terburuk dari seorang Ankara Mahendra? Paris mengepalkan tangannya. 

"Aku bukan bayi besar!"

"Kalau begitu, tunjukkan. Temukan pasangan hidup seperti Ankara, temukan rumah serta pekerjaan layak. Dewasalah, jangan selalu merepotkan Mama dan Papa," tegas Inggrid. Paris bisa bekerja dengan layak namun dia lebih memilih menjadi pelukis keliling seolah dia tunawisma dari Indonesia.

"Aku merepotkan?" 

Paris sama sekali tidak merasa merepotkan siapa-siapa dalam hidupnya. Dan Ibunya bilang dia selalu merepotkan? Yang benar saja.

"Benar. Kau tak menyadarinya? Kau selalu membuat semua orang khawatir setiap hari. Sifat keras kepalamu itu. Tidak bisakah kau menjadi anak penurut seperti Ankara?" 

Inggrid bersungut-sungut. Andaikan Paris lebih penurut maka Inggrid tidak akan keras terhadapnya.

Selalu Ankara. Jika Paris membenci Ankara, bukankah itu manusiawi. Kenapa Ankara selalu sempurna di mata Ibunya? Apakah dengan memiliki pekerjaan layak dan kekasih, itu dikatakan sukses? Paris murka, mundur mengambil tasnya yang lain. Dia memasukkan beberapa pakaian lalu beranjak pergi. 

"Aku akan temukan rumah lain. Berbahagialah karena bayi besar ini sudah pergi. Tidak usah pikirkan Anak lambat kembang ini." 

Paris sangat kesal. Dia memang seharusnya sudah punya rumah. Dia tidak bisa terus berada di rumah ini.

"Paris, kau...."

Paris tidak memedulikan perkataan Ibunya. Dia sangat marah, meninggalkan Ibunya yang kesal, meninggalkan rumah tempat ia dibesarkan. Ia tidak terima dengan perlakuan Ibunya. Ankara selalu istimewa sedangkan dia selalu jadi petaka. 

Paris kabur bersama mobilnya, melajukannya sekencang-kencangnya. Kenangan demi kenangan masa kecilnya bersama Ankara terputar kembali. Saat itu mereka enam tahun, Ankara juara kelas, ia mendapat pujian dan pelukan dari Ibunya. Sementara Paris memandangi kembarnya penuh kebencian.

"Ankara, kau sungguh hebat, Sayang. Kau yang terbaik sepanjang kota Jakarta," seru Ibunya pada waktu itu. Ankara memang pandai dan Paris tidak seharusnya merasa cemburu.

"Terima kasih, Ma."

Ankara tersenyum bahagia. Mengangkat pialanya dan memperlihatkannya pada Paris yang tengah jengkel. Ankara mendekatinya dan berkata, "Kau akan mendapatkannya juga, Parro. Kau hanya perlu rajin belajar sepertiku. Hanya ikuti perintah Mama dan Papa. Kau bisa, Parro." 

Ankara menasehatinya. Memanggilnya dengan panggilan yang tak disukainya. Parro kependekan Paris Mahendra Orlando, nama yang buruk. Bahkan sangat buruk untuk seekor anjing.

Paris menyeringai. "Aku tak butuh piala semacam itu." 

Ia melangkah menjauh saudaranya dengan sombong. Paris memang tak suka belajar, dia lebih tertarik pada hal-hal yang berbau seni. Saat kecil ia tak memerdulikan pandangan orang tuanya terhadapnya sampai delapan belas tahun kemudian ia mendapat julukan bayi besar. Merepotkan! Dan tidak sesukses Ankara.

"Kau akan mengerti arti dari belajar saat kau dewasa, Parro. Buku memang menyebalkan tapi sangat berguna. Ketahuilah, kita memiliki potensi yang sama. Hanya kau tak menyadarinya."

Perkataan Ankara semasa remaja seolah masih segar di telinga Paris. Membuatnya merasa geli. Menyadari bahwa sekarang sudah 2018. Banyak hal telah berubah tapi ada beberapa yang tak berubah. Buku yang dulu menyebalkan masih saja menyebalkan untuknya. Paris meringis, Ia menghentikan Toyota miliknya di pinggir jalan. Tiba-tiba, ia kehilangan banyak ion positif. Paris berjalan masuk ke dalam minimarket yang tak jauh dari mobilnya. Paris hendak mengambil minuman di lemari pendingin saat seseorang berseru kepadanya.

"Lama tidak bertemu wahai sang Pelukis," seru seseorang.

Paris menoleh dan mendapati ada gadis idamannya di depan mata. Jessica barusaja masuk ke dalam minimarket yang sama. Paris dibuat terkesiap oleh kehadirannya. Denyut jantung lelaki itu berdetak sangat cepat. 

"Oh, ini takdir!" seru Jessica.

"Benar. Ini takdir." 

Paris merasa cukup gugup. Dia mengamati Jessica. Bibirnya masih merah seperti saat pertama kali bertemu.

"Rambutmu sudah berubah. Potongan rambut yang bagus," komentar Jessica. Paris sempat lupa kalau dia habis mencukur rambut. "Memotong rambut sesuatu hal yang rutin dilakukan pria." 

Sebenarnya Paris tidak suka mencukur rambut. Dia merapikan rambutnya hanya karena berencana mendekati Jessica.

"Apa kau bekerja di sekitar sini?" Paris menyadari bahwa Jessica muncul di mana saja. Kenapa gadis itu ada dimana-mana. Paris bertemu dengannya di Antlantic Ave pagi tadi dan sekarang di Fourt Avenue.

"Aku ke sini hanya sebuah kebetulan. Lagipula aku tidak bekerja siang. Kau akan terkejut kalau tahu aku bekerja apa," ujar Jessica. 

Paris sama sekali tidak penasaran dengan pekerjaan Jessica. Dia malah terkekeh pelan. "Aku justru tidak bekerja. Tidak usah merasa rendah seperti itu." Paris mengambil soft drink di lemari pendingin. Kehadiran Jessica membuat amarah terhadap Ibunya mereda.

"Bisa berikan ponselmu? Kurasa aku lupa ponselku." 

Paris melakukan trik murahan untuk menuliskan nomor teleponnya di ponsel Jessica. Ketika mendapatkan hp Jessica, Paris menelepon nomornya. Telepon genggam Paris jelas ada di saku celananya. 

"Maaf. Ternyata ada di kantongku," kata Paris. 

Jessica memutar bola matanya. Dia tersenyum dengan tingkah konyol Paris. "Aku akan simpan nomormu," balas Jessica. Paris merasa sangat bahagia. Dia berencana mengajak Jessica kencan namun sepertinya waktunya tidak tepat.

"Aku akan sering menelepon," kata Paris. Jessica hanya tersenyum, seakan setuju dengan kemauan Paris. Jessica membeli cat kuku, dan minuman beralkohol. Paris memerhatikannya saat wanita itu ketika Paris berhasil membayar minuman soft drink miliknya. Jessica belanja begitu banyak dan Paris tidak punya alasan terus di minimarket.

Paris menunggu di dalam mobilnya. Dia berencana membuntuti Jessica. Dia begitu terpukau akan kecantikan Jessica. Dia sangat ingin memiliki wanita itu. Setelah Jessica selesai belanja, ada dua orang kulit hitam menahan Jessica. Mereka mengobrol cukup banyak. Jessica terlihat tidak menyukai kehadiran dua orang itu. 

Paris keluar dari mobilnya. Dia ingin membantu Jessica. 

"Apa yang kalian lakukan kepadanya? Menjauh dari sana!" teriak Paris. 

Dua orang itu menoleh menatapnya. Mereka memandangi Paris dengan tatapan seakan mengejek lalu kemudian benar-benar pergi.

"Kau tidak apa-apa?" 

Paris berlari mendekati Jessica. Sebenarnya jalanan New York selalu ramai namun semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Kota ini adalah kota yang selalu hidup--kota bisnis. Tidak ada waktu untuk sekadar menolong sesama. 

"Mereka meminta beberapa uang," jelas Jessica menghela napas. Paris ingat wanita itu bilang tidak punya uang waktu dia menggambarnya. Jessica mungkin kehilangan banyak uang. 

"Apa kau mengenal mereka?" tanya Paris. Jessica menggeleng.

"Aku akan antar kau pulang." 

Jessica tidak menolak saat Paris menarik tangannya menuju Toyota miliknya. Paris melajukan mobilnya saat Jessica sudah menyebutkan alamatnya. Jessica tidak banyak bicara saat berada di dalam mobil. Jadi, Paris menyalakan lagu latin milik Maluma berjudul Felices los 4. 

"Maaf mungkin aku tidak sopan menanyakan ini--, apa kau sudah punya kekasih? seperti apa tipe pria idamanmu?" 

Paris membuang segala rasa malunya. Dia akhirnya bisa menanyakan itu ke Jessica secara langsung. "Aku tidak punya pacar," jawab Jessica santai.

Paris cukup terkejut. Jessica punya paras cantik. Setiap laki-laki tidak akan mengabaikan wanita secantik dia. Apalagi dadanya--lumayan. Itu hanya insiden tak disengaja,sebelumnya Paris melihatnya tepat di depan matanya. "Jadi aku boleh mendekati?" Paris menatap penuh harap.

"Tentu saja." 

Untuk kedua kalinya Jessica memandangi Paris begitu lama. Mata biru itu seakan bertautan dengan mata hitam Paris. Ada obrolan di mata biru itu. Seakan-akan ada rasa lama yang tersampaikan, tapi sepertinya bukan rasa lama sebab Paris baru pertama kali bertemu Jessica. Paris mendekatkan bibirnya dengan bibir Jessica. 

Dia nyaris mencium cewek itu sebelum akhirnya Jessica berseru, "Apartemenku ada di sana." Jessica apartemennya. 

Paris tergelak pelan atas apa yang tadi ingin ia lakukan. Jessica pun tertawa kecil. Dia turun sembari memandangi Paris lewat sebuah seringaian. Mereka berdua seperti menemukan sebuah kecocokan sebagai pasangan kekasih. Paris menyaksikan Jessica masuk ke gedung apartemennya. Paling tidak, Paris sudah tahu apartemen milik Jessica.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status