Share

Bab 4: Ternyata Jessica ...

***

Paris pergi dari rumah. Jadi dia tidak punya tempat untuk tinggal. Dia terlalu marah terhadap perlakuan Ibunya. Paris sudah sangat muak selalu dibandingkan dengan Ankara. Pada akhirnya Paris memilih untuk tinggal di rumah kenalannya Travis. 

"Ayolah, Bung. Kau tidak akan menghabiskan waktumu seharian di sofa itu." 

Travis mengajak Paris ke klabmalam. Namun Paris merasa cukup malas. Dia cukup paham dirinya saat mabuk. Paris tidak mau mempermalukan Ibunya seperti bertengkar dengan orang baru, persis yang sering ia lakukan. 

Meskipun dituding selalu membuat masalah, sebenarnya Paris selalu mencoba menahan diri.

"Aku tidak mau merusak nama baik keluargaku," ujar Paris. 

Itu mungkin terdengar lucu karena Travis sudah menertawainya. "Persetan dengan nama baik keluargamu itu. Ayolah, Bung. Neraka tidak akan membeku hanya karena kau mabuk," tegas Travis.

Paris sungguh tidak ingin pergi. Namun karena Travis terus mendesaknya. Paris tidak punya pilihan lain. Paris bangkit dari sofa seraya berkata, "Aku tidak akan minum alkohol." Travis meringis. "Terserah dirimu." 

Travis mengajak Paris ke kelab malam yang belum pernah dikunjungi oleh Paris. Tempat itu sepertinya cukup rahasia. Di dalam sana banyak sekali pria memakai jas seakan tempat itu milik orang kaya dan mafia. 

"Aku bisa saja menciptakan lukisan bagus seandainya aku berada di rumah," decit Paris. Dia selalu ingin produktif. 

Travis menyeringai. "Kau tidak akan menyesal berada di sini," bisiknya. Paris tersenyum miring. Kenapa dia harus bahagia di tempat seperti ini. Paris jelas tidak suka keramaian. 

"Ada banyak wanita penghibur cantik di tempat ini." 

Benar, Paris melihat sekelilingnya dan semua cewek seakan berlomba-lomba memperlihatkan dadanya melalui pakaian seksi.

Paris melihat ke sekelilingnya. Ada banyak penari strip di atas meja. Setiap meja diisi oleh satu penampilan penari wanita seksi. Paris berniat melukis mereka, jadi Paris merekam aktivitas mereka di kepalanya. 

Pandangan mata Paris terhenti saat melihat seorang penari strip yang cukup dikenalnya. Jessica Flowers bergoyang di atas tiang. Jessica adalah penari telanjang. Oh, inilah pekerjaan malam Jessica.

Paris terus memerhatikannya dan Jessica menyadari tatapan pria itu. Jessica terus menari meskipun dia cukup terkesiap akan kehadiran Paris. Jessica berhenti menari saat musik berhenti. Wanita itu melangkah menuju ruang ganti--Paris mengikutinya.

"Jessica!" 

Paris memanggilnya. Namun, Jessica terus berjalan seakan dia tidak mendengarnya. Langkah Jessica sangat cepat dan Paris tidak bisa mengikutinya ketika satu orang berkulit putih mencekal kakinya. "Pengunjung tidak diwajibkan masuk ke ruang ganti."

"Aku mengenal wanita itu." 

Paris berusaha melepaskan diri dari laki-laki itu. Tampaknya pria itu cukup terlatih--dia sangat kuat. 

"Kami menghargai privasi penari kami," tegasnya. Akan tetapi Paris memberontak. Penjaga itu hampir memukulinya sebelum akhirnya Jessica berteriak, "Lepaskan dia!" Penjaga pria itu melepaskan Paris. 

Jessica mendekati Paris dan berucap, "Kita akan bicara di luar. Aku akan mengganti bajuku." 

Paris mengangguk. Jessica kelihatan lelah setelah menari. Namun dia tetap bersedia meluangkan waktunya untuk bertemu Paris.

"Kau pasti terkejut mengetahui pekerjaanku," kata Jessica setelah berhasil keluar dari kelab malam. Jessica memakai blus warna putih dan rok pendek berwarna hitam. Wanita itu menutupi blusnya dengan jaket tebal musim panas bermerek Burberry. 

"Sebenarnya tidak--, maksudku ya." 

Paris memang tersentak mengetahui fakta jika Jessica penari strip. Ada banyak pekerjaan di NYC. Mengapa harus menjadi penari tiang? Tetapi jika Paris memikirkannya lagi, itu tidak terlalu buruk untuk diketahui. "Hidup di kota ini memang keras. Jadi kupikir beberapa orang memutuskan untuk menjadi penari--, aku tidak bermaksud meremehkanmu." 

Paris mengamati Jessica. Mengapa wanita itu selalu terlihat cantik. Mata Jessica seindah mata Ankara--kembaran Paris. 

"Aku paham maksudmu." 

Ada helaan napas sebelum Jessica melanjutkan, "Bagaimana perasaanmu saat mengetahui fakta tentang aku?" 

Jessica menyesap soft drink di tangannya tanpa memerhatikan Paris sedikit pun.

 Paris mengangkat bahu. "Entahlah. Aku tidak tahu seperti apa perasaanku. Sebenarnya aku tidak percaya--. Maksudku kau bisa jadi model seandainya kau mau. Kau secantik Amber Heard." Tidak ada yang bisa membantah paras cantik Jessica.

Jessica tergelak pelan. "Amber Heard jelas sangat cantik. Aku tidak semenarik itu." 

Jessica mengamati Paris. Pria itu memakai kaos oblong dari moschino. Rambutnya sudah rapi akibat bercukur siang tadi. "Ngomong-ngomong bagaimana dengan lukisanmu? Kau pandai melukis." Di pertemuan pertama mereka, Paris menunjukkan bakat melukisnya.

"Sebenarnya aku berniat melukismu lagi. Apa kau bersedia?" 

Paris ingin menjadikan Jessica sebagai objek lukisannya. Sebab baginya wanita itu merupakan pemandangan terindah yang pernah Paris lukis. Jessica tersenyum. "Tentu."

Paris tidak tahu seperti apa hubungan dia dan Jessica. Mereka tampaknya cocok satu sama lain. Mereka seperti magnet saling tarik-menarik. Mereka selalu dipertemukan dalam beberapa momen. Paris merasa mereka berdua disatukan oleh takdir.  

***

"Ini apartemen temanku," jelas Paris saat sampai di apartemen Travis. 

Ketika mereka berada dalam perjalanan ke apartemen, Travis menghubungi Paris, mencari keberadaannya dan Paris bilang dia sudah pulang. Dia meminta Travis menumpang ke teman lainnya untuk pulang. Travis cukup kecewa padanya karena pulang tanpa bilang apa-apa.

"Apartemennya tidak buruk. Aku rasa temanmu bayar uang sewa dengan bayaran mahal." 

Hidup di New York tidak mudah. Dan Jessica sudah merasakannya. Biaya hidup sangat mahal. Hanya orang kaya yang bisa tinggal di tempat ini. Paris membalasnya dengan seringaian.

Paris mengambil kanvasnya dan mulai melukis Jessica. Dia sudah menyetel Jessica berada di pinggir jendela. Nilai seni dari pose itu sangat tinggi. Banyak orang menyukai posisi seperti itu. "Kau tahu, kau mengingatkan aku seseorang," ujar Jessica tiba-tiba.

Paris mendelik sesaat. Dia melanjutkan gambarnya seraya berucap, "Apa kau membicarakan kembaranku, Ankara? Kau mengenal dia?" 

Semua orang kenal Ankara. Dia populer di kota ini sebagai salah satu lelaki muda dan sukses. "Tidak. Aku sama sekali tidak kenal dengan kembaranmu."

Jessica menunduk saat mengatakan itu sehingga Paris tidak bisa melihat ekspresi mukanya. 

"Maksudku, kau seperti--, kau mengingatkan aku akan sosok Chris Pratt." 

Chris Pratt merupakan aktor yang memerankan film Passengers bersama Jenniper Lawrence. Paris tertawa. "Mata Chris Pratt seperti matamu. Dia aktor yang hebat," Paris memiliki mata hitam dan terdengar begitu lucu saat Jessica bilang dia mirip Chris Pratt sebab aktor itu bermata biru. Ankara mungkin lebih mirip Chris Pratt karena matanya biru.

Paris melanjutkan lukisannya, paras menawan Jessica sangat sempurna di atas kanvas Paris. Hidung yang bagus, bibir indah, serta rambut cantiknya. Semuanya sempurna. 

"Sejak kapan kau suka melukis?" tanya Jessica. 

Semua hobi seseorang pasti memiliki asal mula. Jessica yakin itu pun terjadi dalam diri Paris.

"Saat aku kecil aku tidak pandai belajar. Jadi aku menumpahkan kekesalanku dalam gambar. Hingga pada akhirnya, aku tergila-gila akan gambar. Aku jatuh cinta pada lukisanku." 

Jessica mengangguk paham atas penjelasan Paris. Dia terus mengamati lelaki itu. Wajah pria itu sangat familiar di kepala Jessica.

"Dan kau? Bisakah aku bertanya mengapa kau terjun ke dunia itu--, kau tahu maksudku." 

Paris tidak enak membahas pekerjaan Jessica. Namun, dia yakin alasan Jessica melakukannya pasti karena terhimpit masalah uang. 

"Aku berumur 15 tahun saat Dad bangkrut kemudian bunuh diri. Mom  menikah dengan Pria Arab dan menghilang." 

Paris mengiba mendengar cerita Jessica yang cukup menyedihkan. Betapa wanita itu banyak menderita selama hidupnya. "Ibumu seharusnya menyesal telah meninggalkanmu," komentar Paris.

Jessica menyeringai sebelum melanjutkan, "Awalnya aku tinggal di rumah saudara Dad dan bekerja paruh waktu di kafe kecil selama lima tahun. Setelah itu, aku merasa aku butuh uang lebih sehingga aku terjun ke dunia penari."

Jessica sudah bekerja selama hidupnya. Paris tidak tahu apakah dia harus bersyukur hidup di keluarga kaya raya atau tidak. 

"Aku turut menyesal dengan semua kepedihan yang kaualami," tutur Paris tulus. Dia masih terus menggambar Jessica sampai lukisannya berhasil dia buat.

"Apa kau pernah mencari Ibumu?" 

Jika selama sepuluh tahun menghilang, itu perlu dipertanyakan karena di kota besar NY tentu punya kasus kriminal tinggi. Bisa saja Ibunya Jessica menjadi korban pembunuhan apalagi Ayahnya bangkrut dan terlilit hutang. 

"Aku pernah bertemu dia saat aku 18 tahun. Dia bilang sudah menetap di Arab Saudi. Jadi, kami tidak akan pernah bertemu lagi." 

Jessica tersenyum miring, membayangkan betapa tega Ibunya meninggalkan dirinya di NY sendiri.

Paris tidak mau mengorek masa lalu Jessica lebih jauh karena tak mau mengungkit kembali rasa sakit Jessica. Jadi, Paris membuka topik pembicaraan lain. Malam ini, Jessica dan Paris sangat akrab. Mereka mengobrol begitu lama sampai tak menyadari malam sudah larut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status