“Bri-Brian_” Biya menatap canggung wajah Brian yang tampan bak dewa itu.“a-aku em sebentar_” di tarik tangannya yang berada di tangan Brian itu.
Keduanya tengah berdiri di samping pintu yang menjadi ruangan Rudy di rawat. Biya membiarkan kedua tangannya saling meremas gelisah.
“Tarik nafas_buang” Brian mengusap bahu Biya, mencoba membuatnya tenang.“_ada aku bayi, tenang_ semua pasti baik - baik aja..” yakinnya.
Biya menelan ludah, menatap wajah maskulin Brian dengan gugup. Suara dan wajahnya sungguh berbeda.
Tidak akan ada yang percaya kalau wajah tampan namun menakutkan itu memiliki suara yang lembut. Bahkan membuat Biya nyaman.
“Apa ayah_apa ayah tahu aku di rumah kamu?” Biya kembali menelan ludah, sungguh masih butuh waktu untuk biasa dengan Brian.
“Tahu, aku yang bawa ayah kamu ke rumah sakit__” Brian mengusap puncak kepala Biya dengan lembut."waktu mau izin, aku malah ketemu ayah kamu yang lagi kesakitan_" lanjutnya dengan pandangan terus mengamati Biya yang begitu luar biasa di matanya yang tengah di mabuk cinta itu.
Biya menghela nafas pelan, mencoba meyakinkan diri untuk masuk.“Ya-yaudah, aku mau masuk sekarang_”
“Masuk? Apanya?” Brian mengerjap, mengamati sekitar yang ramai itu. Ah! pikirannya terlalu kotor, bajingan sekali pemikirannya!
Fokus, Bri!
***
“Ngapain kamu ke sini?” Rudy memalingkan wajahnya.“puas liat ayah kamu di rawat di sini?” lanjutnya dengan sinis, bahkan masih enggan menatap Biya.
Brian menghela nafas pelan, mencoba menelan emosinya pada pria tua itu. Brian sudah bernegosiasi dengannya agar menyambut Biya dengan baik, bahkan Brian sudah memberikan setengah uang di tabungannya pada pria tua ingkar janji itu.
Brian terkekeh dengan tidak percaya.“Woah, luar biasa_” gumamnya pelan, bahkan di telinga Biya tidak terdengar jelas.
Brian menatap tajam Rudy, mengesampingkan kesopanan. Brian melirik tangan Biya yang gemetar di genggamannya itu, Brian menekan kuat giginya hingga rahangnya mengeras.
“Ah! Lupa_” dengan bodohnya Rudy berseru lalu terkekeh pelan.“sini nak, ayah rindu pada anak gadis ayah_” senyumnya yang pura - pura itu terlihat menyebalkan di mata Brian.
Biya tersentuh, matanya menatap Rudy dengan berkaca - kaca. Biya sungguh menunggu hari ini datang.
“A-ayah, Biya juga rindu ayah..” akunya dengan suara bergetar lirih.
Brian merasa sakit, Biya terlalu lugu di atas dunia panggung sandiwara ini. Tanpa curiga Biya bahkan melepaskan tangannya untuk mendekat ke arah Rudy.
Rudy mengusap tangan Biya dengan memandangnya di iringi senyuman.“Tapi, kamu harus nurut sama pacar kamu, ayah belum bisa hidup sama kamu, ayah masih banyak hutang_” Rudy menatap Brian yang menatapnya tidak bersahabat itu.“dia akan menjagamu, ayah yakin_” senyum Rudy semakin lebar.
Rudy merasa bahagia karena akhirnya dia menemukan bank berjalan. Dengan sedikit ancaman tentang Biya, laki - laki muda itu pasti akan memberinya uang pikir Rudy penuh ambisi.
“Ayah, Biya mau sama ayah_” Biya terisak pelan, membuat Rudy tanpa sadar berdecak jengkel.“Biya akan kerja untuk ayah, Biya akan berusaha cari uang_” yakinnya penuh permohonan.
“Ck! Ayah yakin, pacar kamu akan jaga kamu, bahkan lebih baik dari ayah_” Rudy mencoba menarik nafas, mengatur emosinya.
“Dia bukan pac_”
“Kita pulang Biya, waktu jenguk sudah habis” bohong Brian seraya meraih pinggang Biya, menariknya dua langkah dari Rudy.
“Engga, aku mau sama ayah_” tolaknya dengan berderai air mata, bahkan tangannya berusaha melepas tangan Brian yang kini melilit di perutnya.
Brian berdecak kesal, Biya sungguh bodoh! Di sakiti Rudy masih saja ingin tinggal dengannya.
“Pergi! Ayah engga bisa urus kamu, untuk makan ayah sendiri saja susah_” usir Rudy dengan santai, bahkan kini tengah memakan apel yang tersimpan di nakas.
Brian menggeram tertahan, emosinya sungguh sudah terasa akan meledak di ubun - ubunnya.
Tahukan geng Brian tidak pandang bulu? Maka kalau saja dia terus di sana, mungkin Rudy akan dia hajar sampai habis!
“Ayo!” desis Brian seraya menarik Biya paksa. Bahkan Brian tidak pamit, emosinya takut tidak terkendali.
Biya menolak namun Brian tidak tinggal diam, dia menggendong Biya yang terus berontak itu.
“Jangan bikin aku usir ayah kamu dan berhenti kasih biaya rumah sakit!” bisik Brian penuh ancaman di telinga Biya.
Biya sontak terdiam, hanya isakan yang terdengar. Biya merasa di buang, merasa dunianya semakin hancur.
***
Brian pun memutuskan untuk keluar kamar menuju dapur dengan santai. Suara bel berbunyi, Brian pun membawa langkahnya menuju pintu.
“Hallo, Bro..” Waldi melempar cengiran.
Tangan Angga dan Satria terlihat sibuk membawa cemilan, entah apa saja. Bahkan Brian bisa melihat bir dalam kaleng.
Brian menggeleng samar.“Mau mabok jangan di sini, bunda_”
“Gue tahu kali, bunda lo sama bokap lo lagi keluar kota” celetuk Angga dengan bibir mencibir.
Brian berdecak, dia lupa kalau Angga anak dari rekan bisnis ayahnya.“Yaudah masuk, jangan bikin kekacauan!” tegasnya dengan malas - malasan.
***
Brian menatap Angga tajam.“Gue suruh kamar yang tamu, bukan kamar gue!” bentaknya dengan kesal.
Waldi dan Satria melempar kartu dengan tidak minat, kini minatnya pada Brian dan juga Angga.
“Cewek? Seriusan? Lo sewa cewek? Ga ajak - ajak!” kata Waldi dengan kecewa.
Brian menggeram kesal.“Dia bukan cewek yang suka ngangkang terus di kasih uang! Anjing lo!” semprotnya pada Waldi seraya menampar belakang kepalanya.
Waldi mengusap kepalanya dengan mendengus kesal.
“Terus siapa?” Satria memicingkan matanya.“Biya?” tebaknya dengan ragu.
Angga dan Waldi menatap Satria dengan mulut menganga, seolah baru di sadarkan dengan kedekatan Brian dan Biya.
“Iyah! Itu Biya, gue yakin walau gue liatnya cuma punggung mulusnya sedikit!” seru Angga yang detik selanjutnya mendapat serangan bantal sofa dari Brian.
“Akh! Ampun Bri_ sakit anjig! Udah Bri”
Brian melempar bantal itu dengan nafas memburu.“Hapus ingatan itu! Gue cingcang tu otak baru tahu rasa!” geramnya seraya berlalu menuju kamarnya.
Brian lupa tidak memakaikan baju Biya setelah adegan pemaksaan pada Biya untuk membalurkan salep pada luka - lukanya.
Dengan hebohnya, ketiga laki - laki itu berkumpul. Bergosip ria melebihi Yuna CS. Ketiganya jelas penasaran, selama mereka kenal Brian, tidak pernah laki - laki itu segila itu pada perempuan.
***
“Gue perkosa, lo ga akan bangun kayaknya” lagi Brian menggeleng tidak percaya. Brian mengecup dada yang samar membiru itu.“tuh, lo gue gituin engga terusik sama sekali” herannya.
Brian menghela nafas, jangan sampai Biya tidur di tempat orang lain, apalagi ada laki - laki. Brian harus semakin ketat menjaga bayinya.
“Cepet bangun, makan..” bisik Brian lalu mengecup pipinya.
Brian kembali keluar kamar untuk menghampiri para laki - laki kepo itu. Brian duduk di antara mereka lalu meraih satu kaleng bir di depannya.
“Jadi bener Biya?” todong Angga, membuat Waldi dan Satria juga kepo.
“Hm, cewek gue..” balasnya acuh.
“Cewek gue? Jadian maksud lo?” Satria semakin penasaran.
“Engga juga, pokoknya dia punya gue!” tegasnya namun kembali acuh.
Ketiga laki - laki kepo itu terlihat mengerutkan alisnya. Jadi maksud Brian itu, hubungan tanpa status?
Dengan acuhnya Brian hanya melirik mereka dengan malas.
Brian meraih helm di tangan Biya, menyimpannya lalu bercermin sesaat sebelum menggandeng Biya menuju ke dalam gedung sekolah.“Brian_” Biya melirik Brian dengan ragu dan canggung.“ki-kita pisah aja sekarang..” dengan pelan Biya berusaha menarik tangannya dari genggaman Brian.“Kenapa? Kelas kamu masih cukup jauh..” Brian berujar acuh.“Itu_” Biya mengedarkan pandangannya dengan tidak nyaman.“aku engga nyaman, lebih baik_”“Diem, ngikut aja jangan banyak berpikir, bayi..” Brian berujar santai tanpa menatap Biya, melainkan menatap sekitar dengan memindai tajam.Tak lama, keduanya sampai di depan kelas Biya. Brian melepaskan genggamannya, membuka jaketnya lalu di pakaikan pada Biya.Brian ingin menegaskan kalau Biya itu miliknya, jangan ada yang berani mengusiknya.“Jaketnya kenap_”“Pake aja, sayang..” Bria
Angga, Waldi, Satria sudah berada di ruang inap Biya yang baru di pindahkan pada ruang VVIP itu. Brian terlihat lahap memakan nasi padangnya. Angga memang tahu sekali selera Brian.“Lo gimana sih, masa anak bayi di kasih saos_” setelahnya Angga cekikikan.Waldi mengangguk.“Orang tua macam apa yang nyumpel mulut bayinya pake saos..” sindirnya.Brian mencoba abai.Satria mengamati Biya yang terlelap tanpa terganggu, bahkan tawa menggelegar Waldi tidak membuatnya terusik.Satria menepuk bahu Brian.“Bri, dia masih nafaskan?” tunjuknya pada Biya yang terlelap di atas kasur pasien.Brian mengunyah santai nasinya lalu mengangguk.“Nafaslah bego! Anjing banget pikiran lo!” semprot Brian dengan mulut penuh.
Susilo bersiul, melayangkan tos ria pada Brian yang tengah berkumpul dengan para teman - teman tongkrongannya yang lain itu. Matanya memicing geli, menggoda Brian yang jarang kumpul itu.“Pengantin baru kenapa jarang nongkrong, hm? Ngasik keluar - masuk?”Brian tersenyum kecil, menerima tosan itu.“Dia bukan cewek yang bisa gue masukin, bang__” Susilo pun duduk di samping Brian.“dia cuma bisa bikin gue gemes_” lanjutnya.Angga, Waldi dan Satria sontak bersorak geli paling heboh di antara yang lainnya. Sungguh tidak biasa mereka membahas hal menye - menye di tongkrongan. Biasanya kalau tidak selangkangan ya minuman atau balapan yang di bahas.“Cielah! Anak muda emang beda, dah berumur mana bisa pikirin yang gemes - gemesan__kepuasan sih iyah!” seru Susilo seraya meraih gelas sloki bersih lalu menuangkan minuman beralkohol yang cukup bermerk itu.Brian ha
Brian mengendus leher Biya, mengabaikan ketidak nyamanan gadisnya itu. Televisi di depan mereka tidak berhasil menarik perhatian Brian.“Brian__” Biya menahan wajah Brian dengan tangan mungilnya.“geli, berhenti..” pintanya.Brian mengulum senyum.“Iya, Bayiku sayang..” di kecupnya pipi Biya sekilas dengan kedua tangan masih melilit memeluk Biya.Biya tersipu, jantungnya berdebar. Pengalaman pertama baginya bisa sedekat ini dengan laki - laki.“Bayi, di sekolah kita umumin ya..” Brian kembali mendekat, mengendus leher Biya yang selalu manariknya untuk mendekat. Seperti ada magnet.Biya menggeliat, kembali menahan wajah Brian.“Umumin? Umumin apa, Brian?” tanyanya tidak paham.“Kita pacaran__” Brian mengecup hidung mungil Biya dengan gemas.“aku mau semua orang tahu, kamu punya, Brian Adrazi Rulzein..” bangganya.Bi
Brian masih saja senyum - senyum sendiri. Siswa yang sering Brian bully pun di biarkan hanya lewat. Padahal siswa itu sudah mempersiapkan diri jika Brian menariknya ke belakang sekolah.Bahkan saat Brian berjalan ada yang menyenggolnya, biasa ngamuk kini acuh dengan senyum masih terbit. Efek dahsyat dari cinta.“Bri, gue merasa dunia yang kita pijak itu beda..” Angga memicingkan matanya, menatap Brian ngeri.Brian tidak terganggu.“Kalian emang engga gini ya? Bawaannya kangen, pengen senyum..” di tatapnya mereka dengan heran.“Gitu sih awalnya, tapi dulu pas SMP__lo sih telat, SMA baru pacaran..” Waldi menyahut.Brian mengangguk paham, dia memang telat. Lebih tepatnya, Tuhan baru mempertemukannya dengan Biya sekarang. Di akhir perjalanan SMA.“Biya mana?” Satria bertanya dengan mulut mengunyah.“Masih di kelas, katanya banyak salin catetan..”“Lo y
Seperti niat awal, Brian bermanja - manja pada Biya setelah keduanya sampai di apart Brian. Biya yang awalnya risih dan berdebar pun kini teralihkan dengan hujan di kaca jendela.“Hujan, tapi masih cerah cuacanya..” Biya melirik Brian sekilas.Brian mengamati apa yang sebelumnya Biya lihat lalu mengangguk setuju.“Iyah, ga mendung malah cerah..” herannya, lebih tepatnya baru ngeh. Selama ini Brian mana peka cuaca.“Katanya, mitosnya kalau hujan gini, ada orang meninggal yang belum bisa ikhlas ninggalin orang terdekatnya..”Brian hanya menatap Biya, tidak peduli pada mitos yang di bahasnya. Biya semakin cantik di matanya, sungguh bercahaya.Mungkin inilah alaynya cinta, masa iya wajah Biya bercahaya. Ada lampunya begitu? Brian geli sendiri.“Sayang..” Biya menoleh, membuat Brian menghangat. Biya semakin peka saat Brian memanggilnya sayang.
Biya meniup pelan bubur panas di sendok yang di pegangnya. Brian hanya menatapnya dengan tersenyum kecil. Biya begitu telaten mengurusnya."Kata dokter, lusa pulang.." Biya tersenyum dengan wajah cerah karena senang dengan kabar akan pulangnya Brian.Brian mengangguk seraya menerima suapan dari Biya."Ga sabar pengen nikahin kamu, bayi.." godanya dengan sesekali mengunyah bubur.Brian heran, kenapa bubur di mulutnya masih bisa di kunyah. Brian melirik mangkuk yang di pangku tangan Biya. Ternyata ada wortel dan beberapa sayur, pantesan."Kamu kok ngebet.." Biya tersipu dengan pura - pura fokus meniup bubur di sendok.Brian mengulum senyum gemas."Pengen cari kebaikan sama kamu bareng - bareng, tiap pagi liat kamu, sebelum tidur bahkan kita bisa olah raga bersama.." kekehnya di akhir.Biya sontak menahan nafas sesaat dengan
Brian mengulum senyum, dia sudah benar - benar gila. Si pecandu seks, menyakiti perempuan, ketua geng, brandalan yang seenaknya, pemabuk, pembalap liar. Semua tertinggal di masa lalu. Brian 180° derajat berubah total."Mana bayi gue, Mor?" Brian menoleh pada Amora, senyumnya perlahan luntur saat melihat kondisi Amora."Biya, Bri__" Amora terisak."di culik, Junior lagi kejar, bantuin dia.." suara Amora bergetar hebat.Brian meraih kunci mobil dengan kelabakan, wajahnya menegang. Jangan sampai Biya kenapa - kenapa, tinggal seminggu lagi mereka akan menikah.Amora mengikuti Brian, dia tidak boleh sendirian. Kepalanya masih di perban, kakinya pun masih pincang."Pelan, Bri.."Brian melempar ponselnya ke arah Amora yang sudah duduk di sampingnya.