Share

7-Risih

Elena memandangi pantulan dirinya di cermin, ia memegang dadanya. Ia merasakan hal aneh, ini sungguh menegangkan. Ia akan datang melihat dirinya yang terekspos di khalayak ramai. Entah foto yang mana yang akan diperlihatkan dan sedang mengenakan baju yang mana Elena tak tahu, yang ia tahu saat ini adalah dirinya merasa gugup.

Ting tong! Suara bel apartemenemenemen berbunyi, ia segera keluar untuk membukanya. Ceklek! Seorang laki-laki mengenakan setelan jas berdiri membelakanginya. Elena sangat mengenalinya. Itu adalah Alva. 

Tapi kenapa ia harus memencet bel? Kenapa tak langsung masuk seperti biasanya.

"Alva," panggil Elena. Alva membalikkan badannya. Mata Elena membulat melihat penampilan Alva yang lebih memukau dibandingkan biasanya setelan jas berwarna maroon dengan dalaman kemeja hitam membuatnya terlihat semakin mempesona. Mata Elena kembali membulat, kini ia melihat gaun yang ia kenakan memiliki warna yang cocok dengan pakaian yang Alva kenakan.

"Udah siap?"

"Ya?" Elena sedikit kaget ketika Alva membuka suara. "Oh ya, aku ambil tas dulu."

Perjalanan yang memakan waktu 25 menit itu terasa lebih lama, di sepanjang perjalanan mereka tak membuka suara hanya saling berkecamuk dengan pikirannya masing-masing. Malam ini Alva membawa sopir untuk mengendarai mobil yang bukan biasanya ia gunakan, Elena tahu itu karena warnanya pun berbeda.

Mobil itu berhenti, Alva membuka pintu dan keluar, reporter sudah menyorotnya. Ia Pun mengulurkan tangannya pada Elena untuk ikut keluar. Dengan canggung Elena menerima uluran tangan Alva.

Tubuhnya menegang karena kerlipan blitz kamera menyambut mereka berdua. Apa ini? Aku bukan artis atau orang terkenal kenapa mereka mengambil gambarku? tanya Elena dalam hati. Alva menyuruh Elena untuk menggandeng tangannya, Elena hanya diam Alva pun mendekat.

"Lakukanlah, atau aku akan menggendongmu," bisiknya, sontak Elena langsung menggamit lengan Alva, tanpa Elena ketahui Alva tersenyum merayakan kemenangannya. Ia pun membawa Elena untuk berjalan beriringan. Elena hanya mengangguk. Langkah Alva kembali terhenti. 

"Angkat kepalamu dan tersenyumlah," bisik Alva yang membuat Elena menoleh. Alva tersenyum menatap lekat dirinya. Elena menoleh ke arah depan dan terdapat entah berapa juru foto yang sedang mengambil gambar dirinya dengan Alva. Elena menarik nafas lalu tersenyum, karena ia pun tak ingin wajah yang terjepret kamera adalah wajah kebingungannya. Elena berusaha untuk tersenyum senatural mungkin walaupun dirinya sangatlah gugup. Senyumnya hampir memudar karena ia terlonjak kaget, tangan Alva beralih ke pinggangnya dan kembali membuat Elena menoleh.

"Apa maksudmu?" bisik Elena.

"Lo keliatan tegang banget."

"Dan kamu menambah keteganganku Alva," ucap Elena yang mengundang kekehan Alva.

"Kalian pasangan di sebuah karya fotografi mas Andres benarkan?" tanya seorang reporter.

"Ya," jawab Alva.

"Siapa namanya mas Alva?"

"Elena Honora," jawab Alva.

"Mba Elena apakah anda seorang model."

"Oh bu-"

"Dia baru memasuki dunia permodelan," jawab Alva.

"Apakah hubungan kalian hanya sebatas rekan di dunia kerja? atau ada hubungan khusus?" pertanyaan seorang reporter itu membuat mata Elena membulat, mulutnya ingin segera menjawab tapi entah lidahnya terasa kelu.

Cup! Sebuah kecupan mendarat di pelipisnya dan itu membuat Elena langsung menoleh.

"Apakah itu bisa menjawab pertanyaanmu?" Alva kembali menoleh seraya tersenyum ke arah Elena yang menajamkan tatapannya.

"Apa maksudmu Alva?" sangat jelas terdengar penekanan setiap bisikan Elena. Tapi Alva hanya tersenyum menanggapinya.

"Wah, apa hubungan kalian sudah berjalan lama? Bagaimana hubunganmu dengan mbak Audy?"

"Maaf kami harus segera masuk," ucap Alva yang kini kembali membawa Elena untuk memasuki ruang acara.

"Jauhkan tanganmu dari pinggangku Alva!" suara yang nyaris hanya angin lalu di telinga Alva tetap terdengar penekanan mengintimidasinya.

"Lo gak liat kamera masih ngikutin kita."

"Apa harus seperti ini? Menurutku gak juga."

"Untuk meyakinkan mereka memang harus seperti ini."

Elena mengerutkan keningnya, "Maksudmu meyakinkan hal apa?"

Alva tak menjawab ia hanya tersenyum dan mengedipkan matanya.

Deg! Ya tuhan kenapa Alva terlihat sangat sangat sangat tampan malam ini, Elena mengalihkan pandangannya tak ingin jantungnya semakin bergemuruh.

Elena tak tahu harus apa dan kemana, ia hanya mengikuti Alva karena sedari tadi Alva belum juga menjauhkan tangannya dari pinggang Elena. Mata Elena menangkap lambaian tangan Mei, matanya membulat lalu tersenyum.

"Va itu Nyonya Mei." Baru saja akan melangkah, Alva menahannya.

"Bentar."

"Oh wow siapa dia?" tanya seseorang yang sedang mengobrol dengan Alva.

"Perkenalkan dia Elena Honora." Laki-laki itu mengulurkan tangannya pada Elena, dan Elena menyambutnya.

"Erick."

"Elena."

"Salam kenal Nona cantik." Erick belum juga melepaskan tangan Elena, Elena hanya tersenyum malu.

"Lepasin tangan lo Erick."

"Ops sorry," ucap Erick yang kini mulai melepaskan tangan Elena. Elena merasa lega karena sungguh Ericklah yang menahan tangannya.

"Apa kalian memiliki hubungan khusus?"

"Lo bakal tau nanti," ucap Alva santai.

"Va Nyonya Mei menyuruh kita kesana."

"Ok sayang."

Elena terbelalak, apa-apaan Alva ini, jantungku please biasa aja, dia hanya bercanda.

"Apa lo mau Audy menjerit dan menangis darah?" ucap Erick yang di susul dengan tawanya.

"Gue gak peduli," ucapan Alva kembali mengundang tawa Erick. "Baiklah good luck bro, jangan kasih kendor, kendor dikit gue embat nanti."

"Gue gak bakal biarin."

***

Elena masih sibuk berjalan kesana kemari, dengan tangan yang ia lipatkan di depan dada dan sesekali menggigit jari telunjuknya. Sudah 15 menit ia berdiam diri di dalam toilet, ia belum siap untuk kembali bertemu orang-orang hebat di luar sana. Mereka tak segan menyapa Alva dan otomatis dirinya pun ikut tersapa, dan menjadikan mereka bertanya-tanya tentang hubungannya dengan Alva. Sepenting itukah Alva sampai semua orang ingin tahu tentang Alva dan menyapanya. Entah kenapa ada rasa senang ketika Alva mengatakan bahwa mereka dekat, tapi ada kegelisahan lain yang timbul dalam hati Elena. Tak seharusnya dirinya merasakan itu, harusnya ia tak suka karena sebenarnya mereka tak dekat dan tak memiliki hubungan apa-apa.

Drrrrtt!!

Ponselnya berbunyi, Elena langsung mengangkatnya tanpa tahu siapa itu, karena ia takut mengganggu pengguna toilet lainnya.

"Ya halo."

"Acara akan segera dimulai, lo dimana?"

Alva? Ini nomor Alva? Darimana dia tau nomorku.

"Hei."

"I-iya sebentar." Elena langsung mengakhiri panggilan. Ia bercermin mengecek tampilannya, di rasa tak ada yang keliru, Elena langsung keluar toilet dan kembali ke tempat dimana acara diselenggarakan. 

"Dari mana? Lama banget," Alva yang kini sudah bertemu dengan Elena langsung menggenggam tangan Elena dan mengajaknya untuk segera duduk di kursi yang sudah disediakan untuk mereka. Tak sedikit orang menoleh ke arah keduanya, membuat Elena mengembangkan senyumnya walaupun ia malu dan tak mengenal mereka tapi merasa tak sopan jika hanya melihat tanpa tersenyum.

Acara demi acara berlangsung dan kini Elena mendengar nama Andres di sebut, Andres memberikan sedikit sambutan, betapa senang Elena namanya di sebut Andres pada saat sambutan yang Andres berikan dan membuat tak sedikit orang kembali menoleh bahkan memperhatikan detail Elena dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Alva," panggil Elena. Alva menoleh.

"Hm?"

"Kenapa mereka melihatku seperti itu, aku malu." Alva menoleh pada orang-orang yang dimaksud Elena.

"Tidak ada masalah, mereka mengagumimu."

"Sok tahu kamu Alva, aku malu."

"Yaudah biarin aja, mata-mata mereka lo gak bisa larangkan."

Iya juga, batin Elena.

"Dan tidak lupa saya juga berterima kasih kepada dua orang yang sudah berkenan menjadi model saya, saya persilahkan pada Alva Melviano dan Elena Honora untuk bergabung ke atas panggung." Semua bertepuk tangan dan menoleh ke arah Elena dan Alva.

Elena membelalakan matanya jantungnya sontak berdegup kencang, suara tepuk tangan yang bergemuruh membuatnya semakin gugup. Sampai ia merasakan sebelah tangannya diangkat membuat Elena menoleh.

"Ayo."

"Tapi Va-"

"Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja," ucap Alva. Elena pun perlahan bangkit dari kursinya, berjalan beriringan bersama Alva seraya bergandengan tangan, suara tepuk tangan semakin bergemuruh dan kilatan blitz merajalela.

"Angkat kepalamu dan tersenyumlah," instruksi Alva langsung Elena jalankan. Sepertinya tak ada waktu untuk memikirkannya terlebih dahulu. Ya tuhan, aku sedang apa? Disini? gumam Elena.

"Wah kalian terlihat sangat serasi ya," ucap salah satu MC di acara tersebut.

"Aku tidak salah pilih bukan?" Ucap Andres yang membuat sebagian besar dari mereka mengangguk setuju.

Elena menoleh ke samping merasa ada yang memperhatikan, benar ternyata Nyonya Rosie sedang memperhatikannya. Elena tersenyum dan mengangguk, Rosie membalasnya dengan hal yang sama.

"Aku ingin mengenalnya," bisik Rosie pada Andres.

"Silahkan nyonya," ucap Andres seraya mengedipkan matanya.

Acara demi acara pun selesai, Elena mendekat pada Mei.

"Maaf Nyonya, saya pulang lebih dulu boleh?" 

"Kita makan malam bersama dulu ya El."

"Mm gak usah Nyonya, saya makan malam di apartemen saja.”

Mei menggeleng, "Elena kamu harus ikut ya, Kak Rosie bilang kamu wajib ikut."

Mata Elena mengerjap "Nyonya Rosie?"

Mei mengangguk seraya tersenyum. "Iya, dia mau ngobrol sama kamu katanya." Entah kenapa rasa senang muncul, jantungnya pun berdetak tak karuan.

"Ayo," suara itu berasal dari arah samping, Alva menggamit pinggang Elena membuatnya langsung beringsut sedikit menjauh.

Mei terkekeh melihatnya "Va va kamu ini."

"Kenapa tan?"

"Audy nyariin kamu, dia mencak-mencak gak jelas dari tadi susah banget mau deket sama kamu katanya."

Audy? tanya Elena dalam hati.

"Ck! Tan bantu aku buat gak ketemu dia, malam ini aja." Mei terkekeh mendengar permintaan keponakannya yang lucu di pendengarannya.

"Ya sudah, kamu bisa pergi sama Elena sekarang, kita ketemu di sana."

"Eh, aku bareng nyonya Mei aja."

"Bareng gue," tanpa permisi Alva langsung merangkul Elena dan membawanya pergi.

"Alva kamu apa-apaan sih!" Elena kesal.

***

Mereka tiba di sebuah restoran mewah, Elena memasuki restoran tersebut dengan Alva yang beberapa kali menggamit pinggangnya tapi beberapa kali pula Elena menjauhkan tangan Alva dari sana.

"Kalian ini, pergi paling awal, datang paling akhir." Suara Mei menggantikan kalimat selamat datang.

"Ayolah, apa perlu di jelaskan." Alva mengedipkan matanya, tapi sesuatu membuat senyumnya memudar, keberadaan Audy di sana merusak moodnya.

Elena tersenyum kepada semua yang ada di sana dan berakhir tersenyum pada Mei.

"Duduklah di sini," ucap Rosie yang mempersilahkan Elena duduk di kursi kosong yang ada di samping kursinya.

"Ma-makasih nyonya." Elena duduk dengan sedikit gelagapan, ia tak menyangka akan dipersilahkan duduk langsung oleh seorang pemilik butik terkenal. Alva pun duduk di kursi di samping kursi Elena.

Elena merasa ada yang sedang menatapnya, ia pun menoleh dan melihat wanita cantik yang ada di seberangnya melihat tak suka. 

Bukannya dia wanita yang ada di butik pagi itu, gumam Elena.

"Aku sangat berterima kasih padamu Elena," suara wanita yang ada di sampingnya mengalihkan perhatiannya. "Sudah bersedia menjadi model kami."

"Sa..sama-sama Nyonya, harusnya saya yang berterima kasih karena sudah dipercaya," balas Elena membuat Rosie tersenyum.

"Aku puas dengan hasilnya, dan aku puas melihat hasil anak ini di potretan itu." Rosie menunjuk Alva.

"Bukannya aku selalu memuaskan ma." Alva terkekeh, sedangkan Elena kurang mengerti maksud dari ucapan Rosie.

"Benar, Alva terlihat berbeda dan sangat menjiwai, apakah ini karena wanita cantik yang bersamanya?" Andres ikut bersuara. Semua yang ada di sana tersenyum kecuali Elena dan Audy.

"Syukurlah kalau kau menyadarinya jadi kau tau siapa model wanita yang harus kau pasangkan denganku selanjutnya bukan," tutur laki-laki dengan rambut bergaya man bun. Andres dan Mei terkekeh.

"Bilang aja kamu mau selalu bersama Elena Alva, gitu aja ko repot." Mata Elena mengerjap.

"Syukur kalau dia mau, kalau tidak?" Mei menambahkan.

"Kalau bukan dia, ya aku tidak mau," ucap Alva membuat Andres, Rosie dan Mei geleng-geleng seraya terkekeh.

Audy sungguh tidak suka dengan pembicaraan mereka, ia ingin pergi tapi tak rela meninggalkan Alva yang berdekatan dengan wanita itu.

"Audy cocok juga kalau disandingkan denganmu Alva," ucap Rosie membuat perasaan Audy sedikit membaik.

"Hasilnya tak sememuaskan jika Elena yang bersanding denganku ma," ucap Alva sarkaktis.

"Jangan bercanda Alva, beberapa pemotretan sebelumnya, aku yang jadi pasanganmu dan hasilnya tidak mengecewakan," Audy bersuara.

"Ya, tapi aku tidak suka," jawab Alva.

"Sudah-sudah ayo kita makan dulu, makanan sudah siap," instruksi Rosie menengahi perdebatan Audy dan Alva.

"Makan yang banyak Elena," ucap Rosie.

"I..iya terima kasih Nyonya."

"Jangan panggil aku nyonya, panggil saja tante."

"Mm tidak nyonya, aku tidak enak jika memanggilmu seperti itu."

"Tidak apa-apa santai saja," ucap wanita paruh baya pemilik Rosie boutique tersebut.

Sungguh Audy tidak suka melihat Rosie dan Elena dekat seperti itu, ini menandakan ada saingan baru baginya.

Menyebalkan, gerutu Audy dalam hati.

***

Audy bersikeras meminta Alva untuk mengantarkannya pulang sampai ia merengek. Tapi Alva tetap menolaknya karena akan pulang dan mengantarkan Elena. Padahal Elena sendiri tak keberatan jika pulang sendiri tapi Alva tak membiarkan itu.

"Lo dateng bareng gue, pulang pun harus bareng gue." Alva menarik tangan Elena dan segera membawanya menuju mobil yang terparkir cantik di luar sana.

Audy menghentakkan kakinya beberapa kali, kesal karena Alva memilih Elena untuk ia antar pulang, apalagi kini ia melihat Alva dan Elena berjalan bergandengan tangan. Melihat itu Rosie meminta maaf pada Audy atas sikap Alva padanya.

"Maafkan Alva ya sayang, kamu pulang bareng tante aja gimana?" Audy menganggukkan kepalanya tanda setuju walaupun yang ia inginkan tetaplah pulan bersama Alva tapi tak memungkinkan juga untuknya menolak ajakan Rosie.

Rosie kembali menoleh pada Alva dan Elena yang mulai memasuki mobil. Aku ingin kenal lebih jauh dengan wanita itu, gumam Rosie.

***

Alva dan Elena tiba di apartemen, ada harapan yang sedari tadi Elena panjatkan. Ia berharap Alva tidak bermalam di apartemen lagi. Tidak tahu diri sangat ia sadari, tapi sungguh Elena tak enak ketika tinggal satu atap dengan pria yang bukan keluarganya.

Seharusnya Elena bersikeras pindah saja, dari pada terus tinggal di apartemen milik Alva. Rasa khawatir mamang sedikit ia rasakan, apalagi jika mamanya tahu pasti mamanya sangat marah dan tidak setuju.

Ya, aku harus segera cari tempat tinggal baru.

"Lo mandi duluan aja," ucap Alva yang mulai duduk di sofa.

"I..iya." Elena langsung pergi ke lantai atas untuk mengambil pakaian gantinya dan kembali turun lalu memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri.

Tak lama, Elena kini sudah selesai. Ia pun keluar dan melihat Alva yang masih duduk di sofa. Baru saja Elena akan menaiki tangga suara Alva membuatnya mengurungkan niat.

"Gue pulang," ucap Alva tiba-tiba dan mulai bangkit untuk menghampiri Elena.

"Hati-hati, telepon gue kalo ada apa-apa jangan buka pintu sembarangan kalo ada yang pencet bel. Lo bisa liat dulu di layar samping pintu. Siapa yang dateng," tutur pria bertubuh tinggi itu.

"I..iya," jawab Elena terbata.

"Good night, gue pulang," Cup! Alva mengecup kening Elena lalu berjalan menuju pintu keluar.

Elena mengerjap, ia mencoba untuk menyerap apa yang telah terjadi. Tangannya terangkat memegang keningnya di mana sesuatu baru saja hinggap di sana.

"Di..dia," mata Elena membulat.

"Iiih." Elena langsung berusaha menghilangkan jejak kecupan Alva. Ia pun langsung menaiki tangga dengan hentakan kaki yang bisa dikatakan keras. Sedangkan di balik pintu, Alva mengangkat tangannya mengusap bibirnya, senyum tersungging ketika menyerap kembali apa yang ia lakukan.

***

Pagi ini semua serba terburu-buru dikarenakan dirinya telat bangun. Setelah menyelesaikan rutinitas pagi yang serba cepat kini Elena juga berjalan cepat keluar apartemen. Baru saja akan memesan taksi o****e, sebuah mobil berhenti di depannya. Kaca mobil terbuka dan memperlihatkan sosok Alva di sana.

"Ayo masuk."

"Hah? Tapi.." Eh dari pada nunggu lagi mending sama Alva aja biar lebih cepat, batin Elena. Ia pun bergegas memasuki mobil Alva.

Tumben gak nolak, batin Alva seraya tersenyum senang karena tak perlu berdebat terlebih dahulu.

"Udah sarapan?"

"Hah? Mm belum. Udah telat Va, bisa sedikit cepat kan." Elena menyatukan kedua telapak tangannya, tak lupa ia tampilkan wajah memohon yang membuat Alva gemas.

"Mm," gumam Alva seraya mengangguk.

Hhh syukurlah, batin Elena.

"Tapi kita sarapan dulu," Elena langsung menoleh, dengan mengerutkan keningnya.

Baru saja bernafas lega, Alva sudah membuat Elena terperanjat. "Vaaa aku uda telat ini."

"Sarapan itu penting El."

Elena menghembuskan nafas kasar. "Sarapan di butik aja gimana?"

Alva terlihat berpikir sejenak, beberapa detik kemudian ia mengangguk.

"Pesan sekarang." Elena menghembuskan nafas leganya, Alva tak menolak ajakannya.

"Kamu mau apa?"

"Terserah, samain aja," ucap Alva.

"Bubur?"

"Mm terserah sayang."

"Ck! Apaan sih," Alva terkekeh, ia mengusap kepala Elena sekilas.

Jari yang menari di atas benda pipih itu terhenti, ketika usapan hinggap di kepalanya. Elena berdehem, ia berusaha menormalkan debar jantungnya.

***

Mereka tiba bersamaan dengan seorang kurir yang mengantarkan makanan yang telah Elena pesan. Hendak membayar, Alva mencegahnya.

"Ambil saja kembaliannya mas."

"Terima kasih banyak mas."

"Makasih Va," ucap Elena yang langsung memasuki butik. Ia menyapa beberapa karyawan yang ada di sana.

"Elena," panggil Mei yang baru saja keluar dari ruanganya.

"Nyonya maaf saya telat." Elena menunduk sejenak, meminta maaf.

"Tidak apa-apa Elena, tidak usah terlalu khawatir, saya tahu kamu pasti capek karena acara semalamkan?" Mei tersenyum.

"Mm i...iya Nyonya." Elena mengiyakan karena begitulah adanya.

"Morning." Alva datang dan langsung memeluk Mei.

"Jangan marahi pacarku hm," bisik Alva di sela pelukannya.

Mata Mei membulat. "Tante tidak marah Alva, sama sekali tidak. Eh tadi apa? Kalian pacaran?"

Elena sontak terkejut, ia memberikan penjelasan singkat bahwa dirinya dengan Alva tidaklah memiliki hubungan. Mendengar Mei memukul lengan Alva dan menyematkan panggilan laki-laki halu untuk Alva.

"Usaha tan," jawab Alva ikut terkekeh juga.

Mei melirik kantong yang dibawa Elena. Elena yang mengerti itu memberitahu isi dari kantong yang ditentengnya sejak tadi. Mei pun mempersilahkan Elena dan Alva untuk sarapan terlebih dahulu.

"Thanks tan, bye, ayo ruangan lo dimana?" Alva merangkul Elena.

"Eh Va." Elena ingin menjauhkan tangan Alva dari pundaknya tapi sulit. Mei terkekeh, Mereka ini lucu sekali, sudah seperti sepasang suami istri saja.

"Mei?" suara itu membuat Mei menoleh.

"Alva ada di dalam? Aku lihat mobilnya di depan," tanya Rosie yang baru memasuki butik Mei.

"Mm, ada Kak, dia sedang sarapan katanya," Rosie mengerutkan kening.

"Anak itu, dia buru-buru berangkat dari rumah hanya untuk sarapan di sini?"

"Hah?" Mei terdiam sejenak lalu ia terkekeh.

"Ada apa Mei?"

"Bukan tentang di mana dia sarapan tapi dengan siapa dia sarapan," ucap Mei membuat Rosie kembali mengerutkan kening karena tidak mengerti.

            ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status