Share

15-Akan Tinggal

Keraguan menghampiri Elena yang masih saja berdiri di depan pintu ruang pribadi Alva. Rasanya ia tak berani masuk takut mengganggu pikirnya. Mengingat Alva yang begitu saja melewatinya tanpa mengatakan apa-apa membuat Elena enggan begitu saja.

Ceklek! Suara itu mengagetkan Elena dan membuatnya terperanjat. Begitu juga dengan Alva yang cukup terkejut karena mendapati Elena berada di depan pintu. Berhubung studionya kedap suara menjadikan Alva tak mengetahui jika Elena berada di depan pintu studionya sejak tadi. Jika ruangan ini hanya ruang biasa mungkin Alva dapat mengetahuinya dari sekedar suara langkah kaki yang mendekat atau suara kecil semacamnya.

“Kenapa?” tanya Alva yang sudah meredakan keterkejutannya.

“Mmm...” Elena terlihat bingung atau mungkin ia ragu menjawab apa yang Alva tanyakan. “Sudah larut, kamu harus istirahat,” ucap Elena kemudian sambil berusaha menutupi keterkejutannya.

Alva mengangkat tangan kirinya dan melirik jam yang melingkar di sana. “Hm,kamu harus istirahat, tidurlah,” timpalnya dengan tangan yang mengusap puncak kepala Elena.

“Hah? Mmm aku gak enak kalau tidur duluan karena kamu masih.. ada di sini.” Sungguh berat Elena mengatakan itu, ia merasa sudah tak sopan berbicara seperti itu pada pemilik apartemen sesungguhnya. Kekehan Alva terdengar membuat Elena berani mengangkat wajahnya sekarang membalas tatapan mata Alva.

“Aku akan tinggal untuk beberapa hari ini,” tutur Alva, mata Elena terbuka lebar mendengarnya.

“A.. Apa??” Sungguh? Apa Alva tak lagi bercanda, batinnya.

“Kenapa? Kamu keberatan?” Elena memalingkan wajahnya. Ia sungguh keberatan. Bagaimana tidak? Mereka tinggal satu atap, itu tidak mungkin.

“Va, apa kamu bercanda?” Alva tersenyum, lalu menaikkan kedua bahunya dengan kepala yang menggeleng. Ya tuhan, aku harus bagaimana, batin Elena.

“Aku tak akan macam-macam,” ucap Alva yang kemudian melangkah mendekat dan membisikkan sesuatu tepat di samping telinga Elena. “Jika kamu tak mengizinkan,” tambahnya yang kemudian kembali menjauh dan berjalan melewati Elena menuju tangga.

Elena menelan saliva nya kasar. Hembusan nafas berat pun Elena lakukan. Dirinya sungguh kalut, tak mungkin rasanya melarang Alva untuk tak tinggal karena yang harusnya pergi bukanlah Alva tapi dirinya.

Langkah lemah Elena membawanya ke arah kamar, ia duduk di sisi ranjang menoleh kebelakang dimana ranjang itu berada. Ingin sekali ia segera tidur tapi Alva yang katanya akan tinggal menjadikan Elena kembali enggan untuk menjemput alam bawah sadarnya.

Tok! Tok! Ketukan pintu terdengar. Pintu yang memang belum Elena tutup rapat menampilkan Alva yang berdiri diambang pintu dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku celana dan tubuh yang bersandar pada bingkai pintu.

Alva melangkah masuk sambil bertanya, “Do you want a coffee?”

Elena tak langsung menjawab, ia berpikir sebentar dan akhirnya menggeleng.

“Kamu mau kopi? Mau aku buatkan?” Elena bangkit dari duduknya, tangan Alva memegang kedua bahu Elena dan mendudukannya kembali.

“Gak perlu, biar aku buat sendiri. Kamu harus istirahat, tidurlah biar aku tidur di ruang sebelah,” tutur Alva. Alva kini menatap mata Elena yang mengerjap sangat terlihat lucu di penglihatannya membuat Alva tak dapat menahan senyumnya.

“Bi..biar aku yang tidur di bawah, kamu bisa tidur disini,” balas Elena. Alva menggeleng merespon apa yang Elena minta.

“Ada tempat nyaman untuk tidur di ruang sebelah, aku akan menggunakan itu. Lagi pula aku akan lembur malam ini.” Usapan Alva kembali mendarat di puncak kepala Elena membuat nafas Elena tertahan saja.

“Good night,” ucapan selamat malam Alva layangkan. Ia pun berjalan keluar kamar meninggalkan Elena yang masih terdiam.

***

Mata yang mulai terbuka lebih awal,  tubuh yang terbangun dengan mudahnya. Tak seperti biasanya Elena seperti ini, bangun dan langsung merasakan kesegaran begitu saja. Apa tidurnya tak begitu nyenyak atau sebaliknya? Elena tak yakin akan hal itu. Tapi yang terlintas di benaknya saat ini adalah Alva yang katanya akan begadang dan tidur di studio musik miliknya itu. Elena khawatir Alva tak tidur sama sekali untuk memastikan itu dirinya harus melihat ruang sebelah sekarang juga.

Elena bangkit tanpa mengikat rambutnya terlebih dahulu, ia keluar kamar dan berjalan menuju ruangan sebelah. Elena terdiam sejenak sebelum membuka pintu itu. Rasa penasarannya lebih tinggi membuat Elena tak berpikir panjang untuk membuka pintu. Kepalanya menyembul ke area dalam ruangan. Tak ada aktivitas di dalam sana hanya suara jam dinding yang menguasai sunyi. Perlahan Elena masuk, dikhawatirkan pintu akan tertutup sendiri dan menimbulkan suara keras Elena memilih untuk lebih dulu menutupnya dengan perlahan. Mata Elena menangkap seseorang yang sedang berbaring di atas sofa yang rupanya cukup lebar dan terlihat nyaman untuk ditempati.

Elena melangkah mendekat, ia melipatkan kedua lututnya mensejajarkan badannya dengan Alva yang masih betah menutup matanya. Elena tersenyum, Alva terlihat menggemaskan. Selimut berwarna abu-abu yang hanya sebatas pinggang itu Elena tarik sampai ke dada dengan kedua tangan yang juga Elena tutupi. Ucapan Mei kemarin malam kembali Elena ingat, permintaan Mei agar Elena menjaga Alva. Apa sebenarnya masalah yang sedang Alva alami, ia terlihat begitu terluka dan frustasi.

“Aku akan berusaha menjadi teman yang baik untukmu, Alva.”

Wajah damai Alva yang sedang tidur membuat siapapun akan betah melihatnya. Elena menggeleng seraya tersenyum karena harus segera menjemput kesadarannya. Baru saja akan bangkit sesuatu membuatnya tertahan.

Suara getaran terdengar. Getaran yang Elena ketahui berasal dari benda pipih yang bernama ponsel. Mata Elena mengabsen area sofa, tapi ia tak melihat benda itu di sana. Elena mendengarkan dengan seksama bunyi itu berasal dan sepertinya berada dibawah tubuh Alva.

Apa aku biarkan aja ya? Tanyanya dalam hati. Tapi getaran itu kembali terdengar, Elena khawatirkan ada panggilan penting untuk Alva. Ia pun memberanikan diri untuk membangunkan Alva dengan memanggil dan menepuk pelan lengan Alva.

“Va, Alva ada telpon,” panggil Elena. Alva belum juga terbangun, ia pun mencobanya lagi dan gerakan kecil pun Alva lakukan. Wajah Alva mulai menoleh pada Elena dengan mata yang mulai terbuka sedikit.

“Hm?” Alva bergumam masih dengan mengumpulkan kesadarannya.

“Ada telepon Va, hp kamu mana?” tanya Elena. Alva mengerutkan keningnya, ia pun merasakan getaran dari balik tubuhnya. Alva mulai terduduk dan benar saja ponsel itu ada di bawah tubuhnya selama tertidur.

“Ck!” decakan Alva terdengar ketika melihat panggilan itu.

“Halo,” sapanya mengangkat panggilan tersebut. Alva mengangkat panggilan dengan mata terpejam, Elena melihat Alva yang memegang pelipis seraya menekannya.”Ck!” Alva kembali berdecak dengan ponsel yang ia serahkan pada Elena.

“Eh ini gimana Va, teleponnya belum mati,” ucap Elena yang masih melihat layar ponsel Alva.

“Biarin aja,” ucap Alva begitu saja dan kembali merebahkan dirinya.

“Ta..tapi…” Elena bingung dibuatnya, ia pun mendengar suara yang memanggil Alva.

“Ya, ha..halo.” Sungguh Elena memberanikan diri untuk mengangkat panggilan.

“Halo, siapa ini?” suara laki-laki itu sungguh mengejutkan Elena. Bibirnya terasa kelu untuk bersuara. Tapi keadaan memperangkapnya, suara seseorang di seberang sana terus terdengar dan menuntutnya untuk menjawab.

“Ya ha… halo.” Akhirnya Letta pun menjawab walaupun dengan terbata.

“Dengan siapa ya?” tanya laki-laki yang Elena ketahui bernama Ren, Elena tahu itu karena melihat dari nama kontaknya.

“Mmm Elena,” jawab Elena yang sebelumnya ingin berbohong tapi tak sanggup. Beberapa saat tak ada balasan suara dari seberang sana membuat Elena semakin bingung.

“Elena,” panggilan itu Elena dengar.

“I..iya?” Elena menimpali.

“Aku butuh bantuanmu,” ucap Reno yang membuat mata Elena terbelalak ketika laki-laki itu memaparkan maksudnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status