Share

Nostalgia

Wajah Pril terus terbayang di benakku, mungkin karena aku masih belum bisa melupakannya. Kami sudah berpacaran selama tiga tahun lebih, bukan hitungan waktu yang singkat, jadi wajar aku tak bisa melupakannya begitu saja, aku perlu waktu untuk bisa benar-benar melupakannya. Sebenarnya dihatiku yang paling dalam, aku masih sangat mencintainya, aku ingat saat-saat pertama kami bertemu, di Bali…tepatnya di kuta, saat itu aku sedang berlibur bersama sepupu-sepupuku, kalau tidak salah malam tahun baru.

Malam itu aku ditinggalkan oleh mereka, entah kemana atau sedang apa mereka. Jadi kuputuskan untuk berjalan di pinggir pantai saja, ditengah keramaian lautan manusia yang sedang merayakan pergantian tahun.

Sebenarnya aku sendiri tak suka keramaian, tapi aku tak tahu harus pergi kemana lagi. Aku mencoba menghindar dari kerumunan, aku berjalan kearah tumpukan batu karang, hanya ingin menikmati indahnya lautan di malam hari, mendengarkan suara desiran ombak, dan memperhatikan cahaya bulan yang malam itu sedang bersinar penuh.

Tanpa kusadari ada sosok wanita duduk tak seberapa jauh disampingku, rupanya malam itu bukan cuma aku yang sedang ingin sendiri. Awalnya aku tak begitu memperdulikannya, tetapi lama kelamaan ingin rasanya menegur wanita yang sedari tadi melempar-lemparkan batu ke air, sehingga lamunanku terganggu.

“Lagi kesel ya mbak…” ia tak menjawabku bahkan tidak menoleh kearahku.

“Memangnya salah apa batu nya kok dibuang-buang gitu?”

“Emang batu-batu ini punya kamu ya?” jawabnya dengan nada ketus.

“Ya bukan sih…tapi kan kasihan, siapa tahu mereka nggak bisa berenang, atau nanti kalo batunya kena kepala ikan, ikannya pingsang gimana? kamu mau nolongin, trus kamu mau ngasih napas buatan?, kalo aku sih sudah barang tentu nggak mau, dari pada mencium ikan lebih baik aku mencium gadis cantik… seperti kamu misalnya…hehe becanda non…jangan marah ya.” Bukannya bermaksud cabul, aku hanya ingin mencairkan suasana.

Ia hanya menatap ku dengan wajah kesal, aku tak berani mengeluarkan sepatah kata pun melihat mukanya yang memerah walupun sebenarnya ingin sekali tertawa. Ternyata gadis ini cantik juga, kulitnya putih bersinar terkena pantulan cahaya bulan, rambutnya yang terurai panjang hingga menyentuh punggungnya.

Pandangan matanya yang tajam, SHE IS A’ SMART GIRL. “Pril… ayo…acaranya sudah mau mulai” terdengar suara dari arah belakangku, rupanya teman-teman dari gadis ini. Wanita itu pun pergi mengikuti arah suara itu berasal. Jadi namanya Pril…

“Aku kira kamu hilang ditelan ikan paus…ternyata ada disini, sedang apa sih?” ada yang menepuk bahuku, ternyata sepupuku Adi, “ayo Bim… kita gabung sama yang lain acara puncaknya sudah mau mulai.” Malam itu banyak artis-artis dan band-band ternama bertaburan disana.

Pukul dua belas tepat, bunyi terompet bersautan, lontaran kembang api yang terlihat begitu indah di gagahnya langit malam, wajah-wajah ceria yang diiringi gelak tawa menandakan tahun telah berganti. “Happy new years Bim” seru sepupuku Ando, aku segera mengajak mereka untuk duduk di bar karena aku sudah tak tahan dengan hingar bingar suara yang membuat suara ku sendiri sampai tak terdengar.

Seperti biasanya bila sedang berada di bar manapun di dunia ini, aku selalu memesan minuman kegemaranku ‘white russian’. Kami bertiga (Aku, Adi dan Ando) larut dalam obrolan sesama lelaki, mulai dari masalah wanita, olah raga bahkan tentang otomotif. “Mas minta screwdriver nya satu dong” suara yang sepertinya pernah kudengar di pinggir pantai tadi, ya…benar Pril gadis jutek nan cantik wajahnya itu berada tepat disampingku.

“Hai Pril…”

“Masih marah sama batu?”

“Kamu lagi…kayaknya kamu dilahirkan didunia ini hanya untuk menggangu orang ya?” dengan nada juteknya.

“Lho kok marah-marah sih…aku kan bercanda”

“Iya tapi candaan kamu itu gak lucu tau!”

“Iya deh aku minta maaf…tapi boleh kenalan kan?”

“Untungnya buat aku apa?”

“Emm apa ya? gini deh misalnya kamu mau lempar-lempar batu lagi, dan batunya minta tolong karena nggak bisa berenang, aku deh yang terjun ke air untuk menolongnya, trus kalau misalnya batunya kena kepala ikan, ikannya pingsan aku juga bersedia memberi nafas buatan, gimana?”

Kali ini ia nampak melemparkan senyum kecilnya, “tetap gak lucu…tapi boleh”

“Boleh apa nih, nolongin batu, apa ngasih napas buatan buat ikan?”

“Lho tadi kamu minta apa? kenalan kan?, oke kita kenalan”

“Ooo…trus nama kamu siapa?”

“Bukannya kamu sudah tau?”

“Pril…siapa, masa cuma segitu doang sih, maksudku nama lengkap kamu”

Kulihat ia meneguk minuman yang tadi ia pesan dengan perlahan, terlihat begitu elegan dan sangat feminis, membuatku ingin minum juga. “Aprilia Dita…panggil Pril aja”

“Cantik”

Dengan segera menoleh, ia bertanya “maksud kamu??”

“Iya…nama kamu cantik, tapi agak aneh kamu bukan asli indonesia ya?”

“Ibuku berkebangsaan italia dan ayah ku jawa tulen, trus nama kamu siapa?

“Aku Bimo… Ade Bimo Wijil, kalau aku Japan”

“Oh kamu orang jepang, tapi kok nggak kaya orang jepang?”

“Bukan, maksud aku Japan…Jawa Pantura”

Aku tak tahu kedua sepupuku pergi kemana, mungkin aku terlalu asyik berbicara dengan Pril, kami saling bertukar cerita, dan ternyata ia berasal dari jakarta juga, malam itu adalah malam yang berkesan untukku, selain cantik sumpah Pril adalah gadis pintar, dari nada dan cara bicaranya yang teratur mencerminkan bahwa, ‘she have brain don’t be mess with her’.

Semenjak malam itu kami terus berhubungan lewat telepon dan tak jarang kami bertemu di suatu tempat, kami pun resmi berpacaran sekitar beberapa bulan setelahnya.

Ah kenapa aku jadi memikirkan Pril terus menerus. Apa aku tak rela melepaskan Pril. Tapi ini demi kebaikannya. “Sudah lah Bimo…apa yang kamu lakukan sudah benar dan tepat, jangan disesali lagi.” Aku berkata pada diriku sendiri dalam hati.

Aku segera bangkit dan berdiri. Duduk di pingir jendela kamarku. Kutatap langit yang malam itu sedang terang-terangnya karena bulan sedang bersinar penuh. Kulihat kearah kandang di bawah, kelinci itu masih pada posisi semula saat kutinggalkan. Duduk menatap keluar kandang dari balik pintu kandang berjeruji besi itu. Hati ku terdorong untuk membukakan pintu kandang, dan membawa masuk kelinci itu kedalam rumah. Tapi…tidak pasti ibuku akan marah besar. Bagaimana bila nanti ia kencing atau pup sembarangan.

Tapi bagaimana bila ia ketakutan, atau mungkin kedinginan, mungkin aku bawa masuk saja kedalam rumah. Kuat sekali pergolakan dalam hatiku ini, antara ingin membawa masuk atau membiarkannya tetap diluar. Tidak sekali tidak tetap tidak. Heran kenapa sih tiba-tiba aku memperdulikan seekor kelinci. Ini sungguh bukan diriku. Kututup jendela kamarku. Dan sekali lagi mencoba untuk tidur.

Akhirnya kalian semua akan mengerti bahwa cinta menyembuhkan segalanya, dan cintalah yang terpenting.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status