Share

Penghianatan

Author: Aurora
last update Last Updated: 2021-04-10 16:55:06

Terdengar suara langkah teratur mendekat, dari arah belakangku, “Bim…” aku sangat mengenal suara itu, Aprilia Dita. Ia selalu datang hampir setiap hari. Pada jam segini, ia tahu persis waktu yang tepat untuk muncul. Saat aku di paksa mendengar hal yang tak penting dan hanya menambah penderitaanku. Ia datang untuk menetralkan otak dan pikiranku.

“Rupanya kamu punya teman baru ya?”

“Iya Pril baru saja kutemukan ditaman dekat gazebo tadi, aku sendiri tak tahu dari mana asalnya”

“Oh ya… trus kamu mau kasih nama siapa”

“Wah aku sih belum tahu Pril, aku masih mencari tau siapa pemiliknya, kalau tak dapat ditemukan, mungkin akan kuberikan pada sepupuku Jimmy”

“Kenapa tidak kamu pelihara saja…”

“Pril…kamu kan tahu aku tidak suka kelinci”

“Iya sih tapi kan kasihan, masa kamu tidak tertarik sama mahluk selucu ini”

Sebenarnya sempat terbesit dalam benakku untuk memeliharanya. Tapi rasanya sangat bertentangan dengan diriku selama ini. Kelinci itukan mahluk nggak berguna. Lagi pula aku tak suka dengan bau pesing kencingnya. Bisa mual aku di buatnya.

“Dari mana kamu Pril?”

“Dari kampus, macet sekali dijalanan dua jam aku terjebak macet, badanku jadi pegal semua”

“Lho supir kamu kemana?”

“Sedang antar papa ke luar kota”

“Kamu sudah makan Pril?”

“Sudah tadi, dijalan aku berhenti di McDonald makan nasi sama ayam, kamu?

“Belum sih, aku lagi nggak lapar”

Aku menatap wajahnya yang terkena sinar cahaya bulan. Cantik sekali, matanya yang biru, rambutnya yang berkilau agak sedikit pirang terurai panjang. Beruntungnya aku memiliki dia disampingku.

“Bimo…boleh aku bicara sebentar?”

“Silakan Pril, disini tak ada larangan untuk bicara, memangnya ada apa sih kok serius banget”

“Sebelumnya aku mau minta maaf sama kamu, aku sudah mengecewakan kamu, selama ini aku sudah menghianati kamu, aku sebenarnya…”

Ini dia, inilah saat yang sudah kukira akan terjadi, dan aku tak bisa menghindarinya. “Pril aku sudah tau apa yang ingin kamu bicarakan, aku gak keberatan kok, malahan aku senang, mestinya aku yang minta maaf ke kamu, aku yang salah, aku terlalu dalam terlarut, terlalu jauh terseret oleh masalahku sendiri, aku gak memikirkan kamu, aku egois, aku hanya memikirkan diriku sendiri, tanpa sadar disampingku ada kamu, maaf ya sayang.”

“Tapi Bim…”

“Sssst… kamu kenal jimmy kan?”

”Sepupu kamu itu?”

“Iya…ia pernah datang kesini, Jim juga bilang kalo dia lihat kamu di Umbrella kafe sekitar dua minggu lalu, sama Ryan…betul?”

“Jadi…kamu sudah tau…maafin aku ya sayang”

“Kamu gak salah sayang…”

“Tapi aku yang menghianati kamu Bim…”

Tanpa banyak bicara lagi aku segera mencium kening Pril, “sayang…, aku cuma bisa mendoakan semoga kamu bahagia, karena buatku kebahagian kamu adalah kebahagian aku juga, kamu sudah berbuat banyak untuk aku, tanpa aku bisa membalasnya, satu-satunya penyesalanku adalah bukan aku yang membahagiakan kamu” kulihat Pril menunduk menahan tangis, lalu segera ia bangkit, meninggalkan aku.

“Maafkan aku sayang…” aku hanya bisa melihat Pril dari belakang, mungkin ini terakhir kali aku bisa melihatnya untuk yang terakhir. Tak lama sosok itu pun menghilang di kejauahan, dan aku tak dapat melihatnya lagi.

Ada yang menjilati kaki ku, kelinci itu. Ia menatapku, dalam, seakan ia mengerti akan penderitaanku. Malam itu aku meneteskan air mata, tak banyak hanya sedikit membasahi pipiku. Padahal, selama ini aku bisa di bilang hampir tak pernah meneteskan air mata. Hanya sekali waktu nenekku, oma Wilma meninggal dunia. Apakah keputusanku salah, merelakan Pril begitu saja? Mudah-mudahan tidak.

“Maaf kawan, tapi malam ini kamu harus tidur dalam kandang, aku tak tahu kebiasaanmu di tempat asalmu, tapi yang pasti disini, aku tak bisa membiarkanmu berkeliaran dan buang air sembarangan”.

Setelah meletakkan kelinci itu dalam kandang, dan memastikan pintu kandangnya tertutup rapat. Aku berjalan masuk kedalam rumah. Aku sudah ditunggu oleh keluargaku, membahas hal yang tak penting. Dari jendela dapur, kulihat kelinci itu hanya duduk terdiam dibalik pintu kandang berjeruji besi itu. Sambil mengusap air mataku, aku melangkah ke meja makan.

Disana sudah ada seluruh anggota keluargaku, Rio, Hilda, Putri, Ibuku dan juga tentunya ayahku yang sedang tertunduk layaknya seorang terdakwa yang siap menerima vonis dari majelis hakim.

Di meja makan, tanpa bisa menikmati makanan yang sudah susah payah bi Tina menyiapkannya untuk kami, aku di paksa untuk mendengarkan hal yang setiap hari harus aku dengar. Aku hanya mengaduk-aduk makananku, aku berusaha untuk tak mendengar. Dan berharap aku punya kekuatan supra natural yang bisa menutup kupingku dari dalam.

“Jadi bagaimana menurut kamu Bim?”

“Hei Bim…dengar tidak sih?” tegur kakakku Rio menepuk pundakku.

Sejak lima menit yang lalu aku tak sadar apa yang mereka bicarakan, mungkin sengaja berusaha tak mendengar, kepalaku blank. “Aduh maaf tapi malam ini aku sedang tak ingin terlibat dalam perkumpulan bodoh ini. Aku sudah bosan dengan semua ini. Apa tidak ada hal lain yang bisa kita bicarakan? bagaimana kita menghadapi dan mengatasi masalah yang sedang menimpa kita misalnya.

Aku rasa masih ada masa depan, kalian hanya terjebak di masa yang sudah lalu dan tak bisa diperbaiki. Tanpa sadar ada masa depan yang masih bisa kita raih. Malam ini aku sadar, tetapi sudah terlambat. Aku kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam kehidupanku. Sayangnya aku sadar setelah ia pergi. Maaf tapi rasanya aku sudah tak ingin terlibat, kalian boleh panggil aku lagi jika kalian sudah siap memikirkan masa depan.”

Bukan bermaksud kasar, aku pergi meninggalkan mereka menuju kamarku. Di lantai dua. Disini aku seperti orang kebingungan dan linglung. Aku hanya mondar mandir mengelilingi kamarku. Maka kuputuskan untuk segera tidur saja, setelah berganti pakaian tidur dan menggosok gigi. Aku pun membaringkan tubuhku diatas tempat tidur. Tanpa bisa menutup mataku barang sebentar saja.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Malaikat Bertelinga Panjang   Kegagalan di Tengah Perjalanan

    Di perempatan jalan T. B. Simatupang, aku sedang berdiri menunggu datangnya metromini. Dengan mengenakan setelan hitam-hitam, kemeja putih lengkap dengan dasi berwarna abu-abu. Rencananya hari ini aku ingin mencoba peruntunganku untuk mencari pekerjaan. Aku merasa tak enak, papi dan Rio rela bekerja menjadi supir mobil box dan tukang parkir liar yang tidak dilindungi undang-undang.Hanya agar keluarga kami bisa bertahan hidup. Masa sih sebagai laki-laki yang bertanggung jawab hatiku tidak tergugah, maka bulat sudah tekadku. Apa pun pekerjaan yang kudapat, aku akan melakukannya dengan sepenuh hati dan berusaha keras. Itulah janjiku sebagai pria sejati yang bertanggung jawab.Sudah kira-kira 512 perusahaan yang ada di daerah Jakarta selatan ini aku datangi, tak ada satupun yang mau menerimaku. Mulai dari perusahaan perdagangan, perusahaan transportasi laut, darat dan udara, juga perusahaan advertising bahkan salon sudah kudatangi hasilnya,…Perusahaan perta

  • Malaikat Bertelinga Panjang   Pertemuan Mengerikan (part 2)

    Nomor: Timmat/009/3/14/BIRt-2000Kepada Yth :Kepala operasi 1Ditempat.Perihal:laporan hasil pengamatan dan pengintaian kegiatan pendekatan basi oleh kedua pasangan muda.Dengan hormat,Dalam rangka pelaksanaan tugas pengintaian dengan no surat tugas Kaops/1/234/Timmat/47/ops1/BIRt-2000. Maka saya yang mana sebagai pelaksana harian sekaligus tim pengintai, dengan ini dapat melaporkan bahwa tugas pengintaian yang diberikan berjalan selama empat puluh lima menit, dengan pelaku 1, seorang pria gondrong tampang serabutan, bernama Rio. Pelaku 2, wanita cantik yang tampaknya agak terganggu penglihatannya, bernama Dewi. Dapat diselesaikan dengan cermat dan sukses. Berikut adalah hasil dari pengintaian yang berjalan dengan adanya sedikit gangguan di bawah cuaca buruk:Lima menit pertama :- Pengintai : mengambil posisi tempat pengintaian yang nyaman.- Rio & Dewi : memulai percakapan.- Pengintai : tak dapat mendengar d

  • Malaikat Bertelinga Panjang   Pertemuan Mengerikan (part 1)

    Malamnya. Aku sedang asik bermain gitar. Tentunya di Gazebo. Ketika ada sebuah mobil sedan biru memasuki pekarangan rumah kami. Aku belum pernah melihat mobil ini sebelumnya. Jadi aku menyimpulkan, ORANG TAK DIKENAL. Terlihat dari sisi pintu supir, keluar seorang wanita. Cantik. Dan sepertinya aku pernah melihatnya, tapi dimana yah.Aku pun berdiri lalu menghampirinya. Dengan harapan dia bukan seorang penagih hutang. Wanita itu mengenakan long dress warna hitam…dan kayaknya…benar ia adalah wanita yang sudah menabrakku tempo lalu. Tapi darimana dia tahu alamatku.“Misi mbak…cari saya yah…?” tanyaku, kepada wanita yang aku lupa namanya itu.“Oh nggak…ini mas…saya mau anter Rio…tadi…” belum sempat gadis itu meneruskan. Tiba-tiba keluar dari sisi kanan mobil.“Eh Bim…bantuin gw dong…gw gak bisa turun nih…”Rio sedang berusaha keluar dari mobil

  • Malaikat Bertelinga Panjang   Percakapan minggu siang, di Gazebo

    Minggu siang di bulan April. Seperti biasanya, aku masih diatas tempat tidur. Mengerjakan proyek penipisan springbed dan proyek pembuatan bendungan baru. Setelah memenangkan tender yang diadakan oleh pemerintah daerah DKI Jakarta. Yang notabene akan diresmikan oleh pejabat Gubernur setempat.Ketika terdengar suara bising dari arah halaman belakang. Salahku juga saat aku kecil aku memilih kamar yang tepat menghadap kolam renang. Halaman belakang. Hal itu juga yang membuat selama aku hidup dirumah ini, tidak dapat tidur dengan tenang jika sedang terjadi kerusuhan di belakang sana.Kuperkuat benteng pertahananku. Kututupi telingaku dengan bantal, guling bahkan benda-benda luar angkasa. Tetapi tetap tidak bisa menghalau suara-suara mengerikan itu. Dengan sebelah mata terpejam, aku berusaha keluar dari lubang pertahananku.Setelah tersandung beberapa benda seperti, sepatu butut, sandal bolong, radio rusak, kitab dasar ekonomi yang tebalnya cukup untuk menambal tanggu

  • Malaikat Bertelinga Panjang   Ketika Suara Minoritas Terabaikan

    Kukayuh kembali sepedaku. Pulang. Ini benar-benar hari yang hebat. Benar-benar seratus delapan puluh derajat lain sekali. Sampai di depan pintu rumah. Dengan menenteng sepedaku masuk. Seperti tak ada kehidupan dalam rumah ini. “Kemana semua penghuninya” tanya ku dalam hati.Aku melanjutkan ke halaman belakang untuk meletakkan sepedaku disana. Ternyata semua berkumpul disana disamping kolam renang. Sedang memperhatikan tingkah laku konyol kelinci putih itu. “Ada apa sih dengan semua orang? Apa hebatnya dengan kelinci itu?” pikirku sambil melihat kelinci itu yang rupanya menerima penangguhan eksekusi mati dari Putri setelah mengunyah sendal kesayangannya.“ Oh hay son…how was your day handsome?” tegur mami yang sedang asik tertawa.“Just great mom…excellent” jawabku puas.Disana ada Hilda, Putri, dan mami. Tapi tak kulihat ayahku. Aku tahu ada dimana Rio tapi ayahku…dengan senyum jahil, Pu

  • Malaikat Bertelinga Panjang   Tukang Parkir

    Aku sedang menyusuri jalan ampera ke arah kemang. Hingga tiba di depan sebuah kafe, News kafe. Ada sosok yang sangat kukenal. Sosok yang selama dua puluh tahun lebih lamanya hadir di tiap hari-hariku. Sosok tinggi berkulit putih, rambut hitam legam acak-acakan, berbadan tegap, berparas ganteng (aku bukan gay) layaknya seorang model. Kakakku Rio. Sedang memandu sebuah sedan keluaran eropa terbaru yang berusaha parkir.Agak lama kuperhatikan ia dari jauh. Hingga akhirnya ia terduduk di sebuah trotoar pelataran parkir kafe.Ku hampiri dia. “misi mas…kalau mau parkir sepeda sebelah mana ya?” yang sedang sibuk menghitung lembaran uang seribuan lecek.“Wah sorry mas…disini sepeda nggak boleh parkir” jawabnya tanpa menoleh kearahku.“TAPI KALAU NGELEMPAR TUKANG PARKIR PAKE SEPEDA BOLEHKAN??” dengan nada tinggi.“Jadi lu ngajak…” ia berdiri, melihat mukaku yang ganteng ini lalu ia kembali

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status