Share

Perjalanan Melewati Badai

Setelah selesai merakit sepeda yang selama dua tahun ini hanya aku simpan dalam dusnya. Tak sulit untuku merakit sebuah sepeda, aku sudah terbiasa mungkin karena hobiku adalah bersepeda. Aku mengaduk-aduk isi lemariku. Mencari kostum bersepedaku. Hotpans selutut dan kaos putih bertuliskan ‘BIG IS IMPORTANT BUT SIZE IS NOT EVERYTHING’ kaos kegemaranku. Yang menurut sebagian orang terutama kaum wanita, berbau mesum.

Akhirnya aku menemukan apa yang aku cari. Setelah mengenakan helm dan kit lainnya, aku segera menggotong sepedaku turun dari lantai dua rumah kami. Di bawah, aku bertemu Hilda kakak ketigaku. “Hai my beautiful sister…” belum sempat meneruskan kata-kataku. “Eh Bim jangan macam-macam…aku lagi kesal nih…” ucapnya sewot.

Apa salahku, mungkin tadi dia lewat kuburan di perempatan jalan sana. Tak heran. Memang banyak kejadian, banyak yang kesurupan setelah melewati jalan itu. “Dasar perempuan yang aneh” aku menggelengkan kepala tak habis pikir.

Aku mulai mengayuh sepedaku, melewati tikungan pertama dekat rumahku. Dan bertanya-tanya dalam hati ”kemana papi dan Rio ya? Sepagian ini aku tak melihat mereka” sudah tujuh turunan, delapan tanjakan, dan dua belas tikungan kulalui. “gila capek juga. Sudah setahun lebih aku tak bersepeda. Ternyata staminaku turun drastis.

Biasanya setiap hari aku paling tidak menempuh sedikitnya tiga kilometer. Dengan napas tesenggal-senggal aku berhenti di bawah pohon rindang. Membuka tutup botol minumanku, meneguknya perlahan.

Aku pun melanjutkan perjalananku, ke rumah Jimmy. Ini memang hari yang aneh bagiku. Pertama aku ramah terhadap semua orang. Kedua ini kali pertama aku keluar rumah dalam kurun waktu setahun belakangan ini. Sendirian. Ketiga,…aku berpikir tentang mimpiku itu. Aku sama sekali tak dapat mengerti sama sekali apa maksud semua itu, memang aku bukan seorang tafsir mimpi. Tapi mimpi itu berhasil mencuri pikiranku seharian ini.

“Ciiiiiiiiiiiitt…..Brak….” tersadar aku sudah berada diatas aspal panas…terduduk. Aku melihat ke sekeliling. Tepat di samping kananku ada sebuah lampu besar. Dan…tampaknya ini sebuah mobil. Aku tak dapat melihat keseluruhan mobil itu.

Tapi yang pasti aku telah menjadi korban kecelakaan. Langsung saja aku mengeluarkan umpatan dan hampir menyebut anggota keluarga kebun binatang. “hei buta ya…baru bisa bawa mobil apa…dasar orang…cantik” maksud ku menyebut kampung, tapi secara otomatis berubah setelah ada sosok keluar dari balik mobil.

Tinggi semampai, kulitnya bening, sebening embun, hingga jika mahkluk ini meneguk secangkir kopi, maka terlihat ada cairan hitam mengalir di tenggorokannya. Ia mengenakan rok pendek berwarna peach, blazer hitam dan syal warna cokelat muda. Oh iya satu lagi. Rambutnya hitam legam terurai sampai bahu.

“Mas…mas…mas…nggak apa-apa, aduh sorry mas tadi aku nggak liat kamu lewat. Aku lagi baca sms.” Ucapnya dengan logat jawa yang sudah lama hidup dijakarta.

“Aduh sorry banget mas…aku ini buru-buru…aku sudah telat masuk kantor. Ini ada uang seadanya, ini kartu namaku. Kalau ada apa-apa mas bisa telpon saya.”

Dengan buru-buru cewek itu memberikan uang dan kartu namanya kepadaku. Ia mundurkan mobilnya. Dan melaju secepat kilat. Menghilang di belokan depan.

Aku, aku hanya terpaku dengan kecantikan sesaat. Dasar bodoh aku sudah menjadi korban tabrak lari....

Aku sudah diatas sadel sepedaku lagi, tanpa ada kerusakan berarti, hanya saja ada saraf di kepalaku yang agak sedikit terganggu akibat badai indah yang menerpaku tadi. Mengayuh dan mengayuh.

“Psssssstt…” wah sial ban ku bocor. Wah bisa mati mendorong aku. “Gawat nih kalau di dekat sini tak ada tukang tambal ban” setelah melihat sekeliling, berharap cemas seperti seorang ayah yang menunggu bayinya lahir. Akhirnya, sekitar seratus meter di depan ada tulang…maksudku tukang tambal ban yang bernama tulang. Mungkin.

Untung saja aku di beri uang oleh wanita tadi. Kalau tidak. Ah aku tak bisa membayangkan. Setelah beberapa lama mendorong.

“Ah tulang…tolong aku lah …ban ku kempis ini.” Ucapku sok akrab. Aku menuju ke warung sebelah, membeli teh botol dingin, sebungkus rokok, dan duduk di bangku kayu yang sudah usang. Lebih mirip komik kalau aku bilang.

Disini banyak tulisan dan gambar-gambar. Seperti misalnya,

Inah aku cinta padamu ,aku tak bisa hidup tanpamu

Atau,

I lope yu surti mengapa kau tinggalkan abang

Dan banyak lainnya, bahkan gambar-gambar seperti gambar hati di tusuk pisau dapur, gambar bintang lima seperti gambar logo album Dewa 19, dan ada juga gambar roket berbulu berkepala botak. “Wah gambar apa ya itu.”

Ku hisap batang rokok pertamaku setelah setahun lamanya aku berhenti merokok. Tak lama. “ Hei dek…ini ban nya sudah selesai…semuanya jadi…empat puluh ribu saja lah, sudah termasuk minum dan rokok kau itu.” Dengan logat bataknya.

Aku sadar aku ditembak disini (dipatok dengan harga tinggi) tapi biar lah untung uangku cukup. Setelah menerima enam lembar uang sepuluh ribuan kusut, lecek dan bau sebagai kembalian. Ku habiskan rokokku lalu minum. “Oke terima kasih tulang” pamitku seraya menirukan logat tulang tambal ban. Maksudku tukang tambal ban itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status