Share

Menjaga Amanat

"Ibu … ibu percaya kan sama aku! Kenapa ibu tanya itu lagi?"

"Ibu hanya khawatir. Sil, kamu paham kan,"

"Tentu ibu, aku tahu perasaan seorang ibu seperti apa terhadap anak gadisnya. Tapi, aku tahu batasan dalam pergaulan. Bu,"

"Terima kasih ya. Nak, kamu sudah menjaga amanat ayah dan ibu, untuk menjadi gadis yang baik, meskipun kamu jauh dari pantauan ibu," ucap ibu menatapku, lalu menarik nafas panjang sebelum berucap kembali. Aku hanya diam mendengarkan dengan sungguh-sungguh.

 "Ibu percaya sama kamu, dan ibu yakin kamu tak mungkin melakukan hal serendah itu.  Kadang ibu cemas, mendengar ucapan tetangga yang suka menjelek-jelekkan kamu, melihat perubahan hidup kita yang drastis, mereka mengatakan bahwa kamu di sana bekerja di tempat hiburan malam, menjajakan diri kepada lelaki hidung belang, makanya dalam waktu singkat kamu bisa mengirimi uang pada ibu dengan jumlah banyak," lanjutnya, ucapan ibu membuat dadaku nyeri.

"Tapi, ibu gak percaya dengan orang lain, karena sedari kecil ibu dan ayahmu selalu mendidik dan menanamkan kebaikan dalam diri kamu, di dalam semua agama tak ada yang membenarkan bahwa pergaulan bebas itu boleh dilakukan," ujar ibu panjang lebar.

 Wanita paruh baya yang tengah duduk di sampingku ini menatap mataku begitu dalam, seperti mencari sesuatu di sana. Entah kenapa? Namun, aku merasa ibu sedang menyelidiki dan mencurigaiku, lewat tatapannya yang tajam. Entahlah.

"Ibu, kenapa ibu menatapku seperti itu?" tanya ku jengah. 

"Gak apa-apa, ibu cuma merindukanmu, ibu hanya ingin menatap wajahmu, yang begitu lugu. Tak terasa kamu sudah sebesar ini, Silvi yang dulu imut dan cengeng, tapi sekarang kamu sudah berubah menjadi wanita yang tegar, dan mandiri, ibu bangga dengan bakti kamu kepada ibu," ungkap ibu seraya menangkup kedua belah pipiku lembut.

"Ibu, jangan bicara seperti itu. Aku belum bisa berbakti pada ibu, bahkan seandainya aku memberikan seluruh isi dunia ini, itu tak sebanding dengan kasih sayang yang ibu berikan padaku begitu tulus." Tanganku terangkat dan kupegang kedua tangan ibu. Lalu menggenggamnya erat, ibu menurunkan tangannya seiring dengan tanganku juga turun mengikuti geraknya.

Aku tak sanggup mendengar ucapan ibu, yang begitu mempercayaiku, bahwa aku ini gadis baik-baik, ya Tuhan... ampuni aku karena telah mendustai wanita yang sudah memberikan aku kehidupan, melahirkanku, dan membesarkanku dengan tulus. 

Namun dibalik semua kepercayaan ibu, aku telah menorehkan luka yang teramat dalam, aku sudah merusak kepercayaan nya.  Menyesal. Tentu saja aku sangat menyesal, karena sudah menjual kehormatanku demi uang, meskipun itu bukan inginku, akan tetapi tetap saja itu adalah buah dari kebodohan dan kepolosan ku.

"Silvi, kenapa bengong?" ucap Ibu, menepuk pahaku. Aku terkesiap dan kembali dari lamunan.

"Gak Bu, aku gak bengong." Tatapanku beralih ke arah pria berjaket hitam, yang duduk di kursi, entah sejak kapan dia masuk kembali, sehingga aku tak menyadarinya.

"Eh Mas Alex Maaf ya, dari tadi ya?" tanyaku basa-basi. Mengalihkan pembicaraan agar ibu tak membahas terlalu jauh tentang aku di sana.

Mas Alex balas tersenyum di barengi anggukan, kedua sikunya ia tekuk di atas pangkal dengkul, dengan jemari tangan saling bertautan .

"Baru, aja masuk," jawab Mas Alex.

"Maaf ya, di anggur ini sama kami," ucapku gusar, karena perkataan ibu membuatku tak tenang.

 "Gak apa-apa, malah saya senang melihat ibu dan Silvi begitu dekat, saya memakluminya ibu begitu merindukan putri satu-satunya yang sangat ibu sayangi, saya sangat paham dengan perasaan seorang ibu, dulu ibu saya juga seperti itu, jika saya pulang dari luar kota, saat saya sedang menempuh pendidikan di sana, yang jauh dari jangkauan orang tua, kadang seharian kami mengobrol untuk mengobati kerinduan di hati kami," ujar Mas Alex begitu antusias menceritakan tentang dia dan ibunya.

"Oh, pantesan. Nak Alex dari pas masuk senyum melihat kebersamaan kita. Sil, ternyata Nak Alex juga sering jauh dari orang tuanya," jawab ibu begitu ramah tamah.

"Iya Bu, apalagi ibu Silvi, kan, baru pertama kali ini ditinggal anak gadisnya merantau jauh, kalau saya sih, sudah biasa," ujar Mas Alex lagi. "Oh iya Bu saya harus pergi, saya pamit dulu," ucap Mas Alex, seraya membetulkan letak jaketnya.

Ibu mengernyitkan dahinya, "Loh kok, kan Nak Alex belum makan, nasinya sebentar lagi matang," cegah ibu. Mas Alex tersenyum, dia memang sangat ramah tak seperti Devan pria dingin dan arogan. 

Ya ampun, kenapa bayangan Devan selalu menari-nari di benakku, seringkali aku menangis sendirian, jika teringat kejadian empat bulan lalu, saat Pria itu menodai, merenggut kesucianku, hingga aku tak berdaya dan membawa janin ini.

Mas Alex bangkit dan berdiri tegak. Dia menoleh ke arahku, wajahnya menyiratkan kekhawatiran, mungkin dia khawatir padaku, karena aku akan ditinggalkan dengan keadaan seperti ini.

"Kenapa, Mas? Kok buru-buru amat sih?" tanyaku ingin mencegahnya.

 Ada rasa takut saat Mas Alex berpamitan, entah rasa apa yang ada di hati ini, meskipun aku akan tinggal bersama ibu. Tapi, tak kupungkiri aku tidak bisa tenang jika hidup jauh dari Mas Alex, rasanya tak ada tempat untuk berlindung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status