"Iya Mas, aku akan jaga anak ini demi kamu. Tapi, kenapa Mas, kamu begitu menginginkan anak yang ada di dalam kandunganku ini? Padahal kamu tahu ini bukan anakmu," tanyaku ingin tahu. Mas Alex menyunggingkan senyumnya.
"Karena Mas mencintai kamu, Mas akan menerima dia sepenuh jiwa, sebagai anak Mas sendiri, tak ada alasan untuk tidak menerima kalian berdua," ungkap Mas Alex, tanpa sedikitpun ada keraguan, dari sikap dan semua ucapannya, membuatku semakin yakin pada kesungguhannya.
"Terima kasih Mas, atas cinta yang telah kau berikan padaku, dan segala kebaikanmu."
Aku merasa malu pada Mas Alex, dia sudah memberikan segalanya untukku, kasih sayang dan cintanya yang begitu besar. Dia juga selalu memberikan apapun yang aku butuhkan, memang, aku tak pantas untuknya, tapi, aku begitu mencintainya.
Aku juga merasa malu padanya, karena aku tak bisa menjaga kehormatan, sebagai seorang wanita. Hanya penyesalan yang terus menggelayut di hatiku. Meski sebesar apapun aku menyesali semua ini, itu takkan pernah mengembalikan semua yang telah hilang dari diriku. Dan aku hanya bisa menerima nasibku ini.
Sekelebat bayangan Devan terlintas di benakku, saat dia merampas mahkotaku dengan paksa, ingatan itu membuatku terhenyak. Aku sudah kotor, diri ini bagaikan kertas putih yang tersiram lumpur hina. 'Menjijikkan' itulah sebutan yang pantas untukku.
"Tak usah disesali Silvi! Ini sudah terlanjur, lihat masa depanmu kebahagiaan menantimu, menjalani hidup dengan Mas Alex," ucapku di dalam batin untuk menguatkan hati. Dan mencoba menghibur diriku sendiri, kutarik nafas dalam-dalam menghilangkan semua rasa yang bergumul dalam hatiku.
"Hm. Sil, kok melamun." Mas Alex mendehem seraya menepuk tanganku pelan, membuatku tersentak kaget.
"Oh iya. Maaf Mas," ucapku, terkejut dan kembali dari bayang-bayang Devan yang selalu membuatku gelisah.
"Kamu, gak apa-apa Sil? Ibu hamil, jangan banyak melamun! Tidak baik untuk bayimu," seru Mas Alex dengan senyuman.
"Iya Mas, aku gak melamun kok, hanya lihat anak-anak yang sedang main layangan, aku mencari Seno dan Sandi siapa tahu ada di sana, aku begitu merindukan mereka," kilah ku. Seraya menatap ke seberang jalan, terbentang sebuah lapangan luas, terdapat sekumpulan anak-anak remaja sedang bermain sepakbola dan bermain layangan di sana.
"Jam segini, mereka mungkin lagi asik main, maklum, anak-anak, nanti juga pulang sendiri,"
"Iya kali," jawabku mengangguk, kemudian tatapanku kembali pada Mas Alex.
"Mas berangkat ya," ucap Mas Alex, dengan senyuman yang tak lepas dari bibirnya, "Jujur Sil, begitu berat rasanya untuk meninggalkanmu disini, meskipun ada ibu,"
"Tenang Mas, aku bisa jaga diri. Hati-hati di jalan, ya, salam untuk ayah dan ibumu. Mas!"
"Iya, pasti, akan Mas sampaikan." Mas Alex mengangguk, "Bye ...," lanjutnya dengan seulas senyuman yang dipaksakan terbit dari bibirnya, membuatku sedih karena akan berpisah, entah kenapa hati ini begitu was-was saat mas Alex pergi dari hadapanku.
"Bye, juga," balasku, diiringi senyuman, mobil Mas Alex pun melaju. Kupandangi mobil putih tersebut, hingga hilang dari pandangan yang melaju dan belok ke arah kiri gang.
Aku membalikkan badan mengayunkan kaki, menuju rumah, sambil memeluk si beruang kutub, boneka Bernard bear yang ukurannya dua kali lipat dari tubuhku.
Aku berjalan dengan langkah pelan, ada rasa rindu meski baru beberapa detik saja berpisah dengan Mas Alex. Karena kami tidak akan bertemu satu atau dua hari kedepan.
"Sil. Nak Alex sudah pulang?" tanya ibu saat aku hendak masuk ke dalam kamar. Kuhentikan langkah dan berbalik menghadap ibu yang berdiri di ruang tengah dengan sebuah sodetan di tangannya.
"Sudah Bu, katanya dia ada keperluan penting," jawabku. Ibu menatapku dari ujung rambut hingga kaki.
"Sil, ibu mau tanya?" ucap ibu.
"Silahkan, Bu," jawabku ragu.
"Tapi, kita bicara di dalam kamarmu saja, ya!" ajak Ibu sembari merengkuh pinggangku.
Kubuka pintu kayu berwarna kuning kecoklatan khas cat plitur, dan masuk ke dalam kamar, pandanganku menyusur seisi ruangan ini, sangat jauh berbeda, dari sebelum aku tinggal ke kota, ibu telah mengganti dipan kayu Albasia yang sudah lapuk, dengan ranjang besi juga kasur busa tebal 30 cm di balut dengan sprei merah muda gambar hello Kitty.
"Duduk, Bu!" ucap ku. Ibu dan aku pun duduk di tepian ranjang sejajar.
"Sil." Ibu menarik nafas lalu bibirnya bergerak ragu. "Ada yang ingin ibu tanyakan," ucapnya dengan nada lembut, seraya memegang kedua tanganku.
"Tanyakan saja Bu!" jawabku, dengan perasaan tak menentu, apa yang akan dikatakan oleh ibu.
"Sil, kamu gak sedang hamil, kan?!" tanya ibu lembut, namun di balik kelembutannya membuatku takut, jantungku seakan mencelos mendengar pertanyaan ibu.
"Ibu bicara apa, sih?" balas ku, hati ini tak karuan, gelisah seketika memenuhi ruang kepalaku, jemariku meremas boneka, keringat dingin pun mulai membasahi kedua telapak tangan.
"Jujur sama ibu, nak!" pinta ibu menekanku. Sorot mata ibu begitu tajam seolah mencari jawaban di sana.
"Aku, aku gak hamil Bu, cuma berat badanku saja yang naik, kemarin pas aku timbang, tambah lima kilo Bu" sangkalku tergagap, memberi alasan, semoga saja ibu percaya dengan ucapanku.
"Tapi, ibu lihat, kamu kaya orang hamil, serius kamu gak hamil, Sil?" tanya Ibu lagi menelisik. Namun, dari nada bicaranya seolah mengintrogasiku. Dari tatapan matanya dan dari sikapnya.
"Bu, jangan berpikiran seperti itu! Aku gak hamil. Hamil anak siapa?" elakku. Hatiku kebat-kebit takut kecurigaan Ibu terungkap, lalu aku harus apa jika itu terjadi.
Ya Tuhan … aku hanya meminta pertolongan padamu, untuk menutupi aibku ini dari ibu, atau siapapun.
"Tapi Sil, ibu tuh agak khawatir sama kamu, ibu tak salah lihat kan, tadi Nak Alex mengelus perutmu, jujur sama ibu Nak! Ibu takkan marah, ibu tau, kamu takkan berbuat sehina itu?" ucapan ibu seakan memancing diriku untuk berkata jujur, kemudian ia menggenggam tanganku begitu erat, seraya menatapku dengan tatapan yang amat dalam. Kupalingkan wajahku dari tatapan ibu, menundukkan kepala sembari menggeleng pelan, dan sungguh, aku tak berani menatap mata wanita paruh baya yang duduk di sampingku ini, tatapannya begitu menusuk, membuatku sulit untuk berkilah. "Gak Bu, aku gak hamil, aku bersumpah demi ibu, aku mohon, ibu percaya sama aku! Aku tak mungkin melakukan hal seperti itu," ujarku tanpa menatapnya, tak mampu kupungkiri, hati ini benar-benar tak bisa tenang karena aku menyimpan sejuta kebohongan dalam dada ini. Terpaksa aku berbohong pada ibu, aku takut. Meskipun ibu mengatakan bahwa ia tak akan marah, tapi aku tahu, ia pasti akan sang
"Mas Alex, bagaimana ini? Aku takut, menghadapi Devan, jika tamu itu benar adalah dia?" gumamku sambil duduk di depan cermin merapikan rambut yang agak basah, lalu ku ikat simpul, tak lupa memoles wajah dengan bedak natural white dan lipstik warna alami, agar wajah dan mataku tak terlalu kentara karena aku habis menangis. Kutarik nafas dalam-dalam mempersiapkan diri untuk menemui tamu yang dikatakan oleh ibu. Entah siapakah dia? Aku hanya berharap, semoga saja bukan bajingan itu yang datang menemuiku. Batinku terus saja memohon dengan perasaan yang tak tenang. Dengan hati gundah, kubuka pintu kamar lalu menyibak gorden berwarna merah maroon penutup pintu. Dengan langkah pelan aku berjalan menuju ruang tamu. "Tak ada tamu, mana tamunya?" gumamku sambil mengedarkan pandangan. Apa tamunya tidak diajak masuk oleh ibu? Tapi, itu tidak mungkin, ibu orangnya sangat ramah tamah pada siapapun. Ah, mungkin saja orang itu lebih memilih menungguku di luar menikma
"Silvi, ibu sudah mendengar semuanya." Ibu menggeleng pelan sambil menangis terisak. "Ibu tidak menyangka, apa yang sudah kamu lakukan, ibu sakit hati mendengarnya, Nak ...." Ibu memukul-mukul dadanya yang mungkin terasa sesak setelah mengetahui kehamilanku. Ibu menjeda ucapnya, sambil menyeka air yang terus jatuh begitu deras di pipinya, aku hanya bisa diam dan ikut menangis melihat ibu yang sangat terpukul atas apa yang terjadi padaku, dan apa yang telah aku lakukan. "Bu ...." Aku mencoba menenangkan ibu dengan mengusap bahunya lembut. "Silvi, ibu didik kamu, sekuat tenaga, semampu ibu, menyekolahkanmu, agar kau menjadi orang yang berguna. Setidaknya kamu bisa menjaga kehormatanmu, sebagai seorang perempuan," ucap ibu meremas kerah bajunya, napasnya tersendat-sendat karena tangisnya yang semakin tumpah, tubuh ibu pun luruh terduduk di lantai. "Ibu, maafkan aku, Bu. Semuanya salah orang itu, aku tidak berdaya, Bu ...." Aku menoleh deng
Dengan langkah cepat aku berjalan menuju rumah, menundukkan wajah seraya meremas jemari. Tak enak hati melewati beberapa pasang mata ibu-ibu yang menatapku dengan sudut mata. Saling melempar senyum sinis dan tatapan tak suka.Mereka duduk di teras rumah bercat putih menghadap jalan besar, menatapku dengan tatapan mengintimidasi, mungkin kah mereka sudah tahu keadaanku yang sebenarnya, bahwa aku kini hamil tanpa suami."Pantesan ya. Baru kerja dua bulan saja sudah bisa merenovasi rumah, ternyata dia bekerja sebagai lonte!" ucap ibu bertubuh gemuk yang mengenakan daster batik warna hijau Salem. Tangannya lincah memilih dagangan Bu Tati si rentenir kejam, kini usahanya merambah menjadi penjual baju dengan sistem kredit harian."Iya, Bu-ibu … hutang ke saya aja langsung d
Aku menggeleng sambil memejamkan mata, "Ibu, semua gara-gara kakak. Maafkan kakakmu ini, Sandi. Seno," ucapku penuh sesal, menatap kedua adikku bergantian, "Kalau boleh tahu, ibu di mana? Tolong antarkan kakak!""Apa, yang sudah kakak lakukan pada ibu?" tanya Sandi di bocah berambut cepak berbadan tinggi."Kakak, gak melakukan apapun. Kalian percaya, kan!" jawabku menutupi kebenaran dari kedua adik laki-lakiku. Aku tidak mau, mereka sampai tahu, karena mereka masih terlalu cepat untuk mengetahui kondisiku saat ini."Kalau, kakak tidak melakukan apa-apa? Kenapa ibu bisa menangis?" Seno berucap kembali, menatapku mencari jawaban, tatapan ibanya yang tadi memenuhi ruang di matanya, kini berubah menjadi tatapan menelisik. 
Aku bersyukur, akhirnya ibu berkenan memaafkanku, dan memahami apa yang sudah terjadi padaku. Aku mengandung bukan karena inginku, juga bukan karena sengaja menjual tubuh pada pria hidung belang, seperti yang dilontarkan oleh ibu-ibu kampung. Aku ini hanyalah korban. Korban nafsu lelaki bejat yang tak punya perasaan, dan menganggap semua yang ada di Dunia ini bisa dibelinya dengan uang. Tapi, orang-orang tak pernah ada satupun yang mengerti dan yang memahaminya, kesalahan selalu di limpahkan kepada perempuan, meskipun itu korban pelecehan. Seolah sanksi sosial hanya berlaku untuk para kaum hawa. "Bu, selama aku disana, aku disekap oleh Devan, dia tak pernah memberiku kesempatan untuk pergi keluar. Berbulan-bulan aku dijadikan sebagai budaknya, Bu. Aku benar-benar tersiksa," ucapku dengan derai air mata. Kedua tangan ibu terulur dan merangkulku membawaku ke dalam dekapannya, ia mengusap punggungku dengan lembut. "Ya Tuhan … Silvi, maafkan ibu, na
"Tapi, Bu. Kalau boleh tahu, Mas Alex kemana, kenapa dia tidak datang menemui saya, jika memang akan seperti ini kejadiannya. Kenapa bukan Mas Alex sendiri, yang membatalkan lamaran ini?" tanyaku pada ibu Mas Alex, yang masih berdiri kokoh di teras rumah kami. "Bukan, urusanmu. Lupakan anak saya, dan jangan sekali-kali menghubungi dia! pelacur sepertimu, tidak pantas bersanding dengan anak saya!" tukasnya, Ibu Mas Alex menatapku dengan sudut mata, seraya tersenyum meremehkan. Kemudian, Ibu balas menatap tajam pada perempuan angkuh itu, dengan kedua tangan mengepal kuat, "Tutup, mulut anda!" hardik ibuku, menunjuk jarinya ke mulut ibu Mas Alex, "Tidak sepantasnya, orang berpendidikan tinggi seperti nyonya, berkata kasar dan menghina orang lain, setidaknya anda punya sedikit rasa hormat, sebagai tamu disini!" lanjut ibu dengan napas memburu, yang sudah diliputi amarah sejak tadi, karena penghinaan dari ibu Mas Alex. "Santai saja, Bu! Memang itu kenyataannya buk
POV Alex."Bu … tolong lepaskan, aku! Biarkan aku pergi! Untuk menemui Silvi, Ibu jahat!" ucapku memberontak, tangan dan kakiku terikat, entah sejak kapan aku seperti ini."Lex, maafkan ibu, Nak. Sedikit pun, tak ada maksud jahat padamu, tapi, ibu tidak rela jika kamu menikahi jalang itu!" tukas ibu seraya duduk di tepi ranjang, tatapannya lurus ke arah dinding tembok, tanpa sedikitpun memikirkan perasaan anaknya."Ibu, kenapa ibu berubah menjadi seperti, ini? Kau bukan ibuku yang aku kenal," teriakku, "Ibu benar-benar kejam, menyesal aku datang kesini, meminta restu ibu dan ayah untuk menikahi Silvi, jika kenyataannya akan begini, lebih baik aku menikah diam-diam,""Alex, maaf, jika ibu sudah berbuat kejam padamu! Tapi, Ibu tidak ikhlas kamu bersanding dengan wanita murahan seperti Silvi! Dan ibu juga sudah punya calon istri untukmu, dia putri dari sahabat ibu, dan ayah," ujar ibu seraya mengambil ponsel dari tas kecil yang berada di pangkuannya,