Share

Bekel Jayapati Gugur

JERITAN melolong keluar dari mulut Ki Bekel Jayapati. Golok besar di tangan Ranasura menyambar perutnya. Wajah lelaki paruh baya tersebut seketika mengernyit. Menahan rasa sakit yang amat sangat.

Tubuh setengah tua itu terjajar mundur beberapa langkah. Saat kemudian berhenti, sepasang kakinya yang bergetar membuat Ki Bekel Jayapati berdiri terhuyung-huyung bagaikan orang mabuk.

Didorong rasa penasaran, Ki Bekel Jayapati arahkan pandangan ke perutnya yang nyeri. Saat itu pula ia keluarkan seruan tertahan. Ada luka besar menganga di sana. Ususnya yang putih memanjang terburai keluar.

"Keparat!" maki sang bekel seraya meraba luka tersebut. Darah yang membasahi jari-jemari tangannya terasa dingin.

Di tempatnya, Ranasura tertawa mengekeh. Satu seringai lebar tersungging di wajah bengis si gembong rampok.

"Sudah aku bilang, seharusnya tadi kau serahkan saja barang bawaan kalian pada kami secara baik-baik," ujarnya dengan nada mengejek.

Ki Bekel Jayapati menggeram marah.

"Begal keparat! Kau harus membayar perbuatanmu ini!" bentaknya.

Sembari membentak, Ki Bekel Jayapati melompat ke muka. Kembali lancarkan serangan pada Ranasura. Ia tidak peduli dengan luka menganga di perutnya. Juga dengan ususnya yang terburai memanjang.

Pedang di tangan Ki Bekel Jayapati berkiblat, menyasar batang leher Ranasura. Lelaki paruh baya itu benar-benar ingin menghabisi pemimpin Begal Alas Wengker itu.

Sring!

Gerak sabetan senjata tersebut menyebabkan suara berdesing nyaring. Sementara yang diserang masih tertawa mengekeh.

"Ah, ah, kau ini memang betul-betul bekel bodoh!" ejek Ranasura di sela-sela tawa.

Saat ujung pedang Ki Bekel Jayapati sudah dekat, barulah gembong rampok tersebut gerakkan tangannya dengan cepat. Golok besarnya diayunkan ke depan dada.

Tranggg!

Sabetan pedang gagal menemui sasaran. Golok besar Ranasura tidak hanya menangkis senjata tersebut. Tapi juga membuatnya terpental lepas dari genggaman tangan Ki Bekel Jayapati.

"Sial!" seru sang bekel kesal. Wajahnya berubah tegang.

Tawa Ranasura semakin keras melihat hal itu. Masih sambil tertawa ia balik menyerang. Goloknya bergerak cepat, disabetkan berkali-kali ke arah Ki Bekel Jayapati yang masih berdiri terpaku.

Bekel Panjalu itu sebenarnya sudah tak berdaya. Hanya besarnya rasa tanggung jawab, disertai kemarahan meluap-luap, yang membuat lelaki paruh baya itu masih memaksakan diri untuk bertahan.

Namun kali ini Ki Bekel Jayapati benar-benar tak kuasa menghindar. Kakinya sudah lemas. Tenaganya seolah lenyap bersamaan dengan mencelatnya pedang tadi.

"Ki Bekel, awas!"

Tinggal sejengkal lagi golok besar di tangan Ranasura mencincang tubuh tua Ki Bekel Jayapati, satu seruan menggembor terdengar. Diikuti berkelebatnya sebilah pedang menangkis sambaran golok.

Trangg!

Ranasura terkesiap. Tawanya seketika lenyap. Tangan yang memegang golok terasa bergetar. Pertanda orang yang baru saja menangkis serangannya memiliki tenaga dalam yang tak boleh diremehkan.

"Ki Bekel, harap menyingkir dari sini. Biar aku yang menghadapi gembong begal keparat ini," ujar orang yang baru muncul. Yang ternyata adalah Tumanggala.

Ki Bekel Jayapati tak menyahut. Hanya perdengarkan deru napas yang tersengal-sengal. Setelah memandangi Tumanggala beberapa kejap, lelaki paruh baya itu jatuh duduk di tanah.

"Ki Bekel, bertahanlah!" seru Tumanggala, sembari memegangi tubuh atasannya.

"Jangan pedulikan aku, Tumanggala. Cepat habisi mereka. Pertahankan barang bawaan kita," sahut Ki Bekel Jayapati dengan susah payah.

Tumanggala anggukkan kepala dengan patuh. Namun pada saat bersamaan kebimbangan menghinggapi dirinya.

Ia tak mungkin begitu saja membiarkan Ki Bekel Jayapati yang tengah terluka parah. Orang tua itu harus segera diobati. Namun di hadapannya, Ranasura sudah datang mengancam dengan sabetan golok.

"Prajurit tengik! Besar sekali nyalimu berani lancang di hadapan Ranasura!" bentak pemimpin Begal Alas Wengker tersebut.

Sring!

Golok besar menyambar deras ke arah Tumanggala. Prajurit muda itu menggembor marah sembari berjungkir balik beberapa kali ke belakang. Serangan Ranasura dengan mudah dapat ia hindari.

Pertarungan pun pecah. Dengan kemarahan menyala-nyala Tumanggala meladeni setiap serangan Ranasura. Pedangnya berkelebatan dengan cepat, menangkis sabetan demi sabetan golok besar Ranasura.

Setelah berjalan beberapa jurus, mulai kentara kemampuan Tumanggala masih berada di bawah Ranasura. Lambat laun prajurit muda tersebut mulai terdesak. Hanya dapat menghindar dan menangkis setiap kali si gembong begal menyerang.

Hingga pada satu kesempatan, Ranasura mengirim satu serangan beruntun. Tumanggala yang tengah berjungkir balik, dan kakinya belum lagi menjejak tanah, tak dapat menghindar. Ia hanya berusaha menangkis sebisanya.

Trang! Trang!

Sabetan golok besar Ranasura memang dapat ditepis. Namun itu membuat pedang Tumanggala jadi mental entah ke mana. Lalu tendangan beruntun yang dikirim si gembong begal mendarat telak di dada prajurit muda tersebut.

Des! Des!

Tumanggala mengeluh tertahan. Dadanya seketika menjadi sesak. Serasa dihantam satu balok besar. Tubuhnya yang kekar berisi terbadai jauh ke belakang. Untuk selanjutnya terempas bagaikan sehelai daun kering.

"Huh, rupanya hanya sebatas itu kemampuan seorang prajurit Panjalu," dengus Ranasura mengejek.

Gembong begal itu lantas meludah ke tanah. Golok di tangannya diacungkan ke depan. Siap diayunkan kapan saja Tumanggala bangkit berdiri.

Tapi si prajurit muda Panjalu hanya tergeletak lesu di atas tanah. Napasnya tersengal-sengal oleh dada yang terasa sesak. Tenaganya seolah habis tanpa sisa.

"Kakang, izinkan aku menghabisi prajurit tengik satu ini," ujar salah seorang begal yang tahu-tahu saja sudah berdiri di dekat Tumanggala.

Ranasura gelengkan kepala tanda tidak setuju.

"Tidak perlu. Dia sudah tidak bisa apa-apa lagi," sahutnya tegas. "Sebaiknya cepat kalian bawa gerobak itu pergi dari sini."

"Baik, Kang."

Meski menunjukkan raut muka kecewa, begal tadi berlalu juga. Kemudian bersama empat temannya yang masih tersisa ia merebut gerobak. Sais yang berusaha mempertahankan tali kekang ditendang hingga mencelat jatuh.

Ranasura edarkan pandangan ke sekeliling. Tiga anak buahnya tergeletak bersimbah darah. Sedangkan seluruh prajurit Panjalu juga ambruk tanpa nyawa dengan luka parah.

Yang terlihat masih bergerak-gerak hanya Ki Bekel Jayapati bersama Tumanggala dan Triguna. Itu pun keadaan Ki Bekel Jayapati sangat mengenaskan. Sementara Triguna sudah kehilangan banyak darah akibat luka besar di dada.

"Kita pergi dari sini!" ujar Ranasura kemudian pada anak buahnya yang sudah menunggu.

"Tapi, Kang, apa tidak sebaiknya mereka-mereka yang masih hidup dihabisi sekalian saja?" Salah seorang begal memberi usul.

Ranasura kibaskan tangannya sembari menggeleng.

"Biarkan mereka tetap hidup. Mereka akan menjadi duta yang mengabarkan keberhasilan kita hari ini," sahutnya, lalu diikuti tawa bergelak.

Empat begal lain langsung paham maksud pemimpin mereka. Sontak keempatnya ikut tertawa pula.

Masih sambil tertawa-tawa, kelima begal tersebut bergerak meninggalkan tempat tersebut. Gerobak besar berisi bermacam-macam perhiasan dan kain mahal dibawa serta.

Hutan itu kembali sunyi. Hanya terdengar suara tarikan napas berat lagi tersengal-sengal dari tempat Tumanggala berada.

Setelah beberapa saat, Tumanggala berhasil mengumpulkan tenaganya untuk bangkit. Dengan langkah diseret prajurit muda itu bergegas menghampiri Ki Bekel Jayapati.

"Ki Bekel?" panggil Tumanggala begitu berada di sebelah tubuh atasannya.

Tak ada jawaban. Ki Bekel Jayapati hanya diam, sama sekali tak bergerak. Sepasang mata lelaki paruh baya itu terpejam rapat.

Tumanggala sentuh lengan sang bekel. Saat itu pula prajurit muda tersebut berseru tertahan. Wajahnya yang tegang berubah pucat pasi.

Tubuh Ki Bekel Jayapati dingin laksana es, pertanda sudah mati!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status