JERITAN melolong keluar dari mulut Ki Bekel Jayapati. Golok besar di tangan Ranasura menyambar perutnya. Wajah lelaki paruh baya tersebut seketika mengernyit. Menahan rasa sakit yang amat sangat.
Tubuh setengah tua itu terjajar mundur beberapa langkah. Saat kemudian berhenti, sepasang kakinya yang bergetar membuat Ki Bekel Jayapati berdiri terhuyung-huyung bagaikan orang mabuk.
Didorong rasa penasaran, Ki Bekel Jayapati arahkan pandangan ke perutnya yang nyeri. Saat itu pula ia keluarkan seruan tertahan. Ada luka besar menganga di sana. Ususnya yang putih memanjang terburai keluar.
"Keparat!" maki sang bekel seraya meraba luka tersebut. Darah yang membasahi jari-jemari tangannya terasa dingin.
Di tempatnya, Ranasura tertawa mengekeh. Satu seringai lebar tersungging di wajah bengis si gembong rampok.
"Sudah aku bilang, seharusnya tadi kau serahkan saja barang bawaan kalian pada kami secara baik-baik," ujarnya dengan nada mengejek.
Ki Bekel Jayapati menggeram marah.
"Begal keparat! Kau harus membayar perbuatanmu ini!" bentaknya.
Sembari membentak, Ki Bekel Jayapati melompat ke muka. Kembali lancarkan serangan pada Ranasura. Ia tidak peduli dengan luka menganga di perutnya. Juga dengan ususnya yang terburai memanjang.
Pedang di tangan Ki Bekel Jayapati berkiblat, menyasar batang leher Ranasura. Lelaki paruh baya itu benar-benar ingin menghabisi pemimpin Begal Alas Wengker itu.
Sring!
Gerak sabetan senjata tersebut menyebabkan suara berdesing nyaring. Sementara yang diserang masih tertawa mengekeh.
"Ah, ah, kau ini memang betul-betul bekel bodoh!" ejek Ranasura di sela-sela tawa.
Saat ujung pedang Ki Bekel Jayapati sudah dekat, barulah gembong rampok tersebut gerakkan tangannya dengan cepat. Golok besarnya diayunkan ke depan dada.
Tranggg!
Sabetan pedang gagal menemui sasaran. Golok besar Ranasura tidak hanya menangkis senjata tersebut. Tapi juga membuatnya terpental lepas dari genggaman tangan Ki Bekel Jayapati.
"Sial!" seru sang bekel kesal. Wajahnya berubah tegang.
Tawa Ranasura semakin keras melihat hal itu. Masih sambil tertawa ia balik menyerang. Goloknya bergerak cepat, disabetkan berkali-kali ke arah Ki Bekel Jayapati yang masih berdiri terpaku.
Bekel Panjalu itu sebenarnya sudah tak berdaya. Hanya besarnya rasa tanggung jawab, disertai kemarahan meluap-luap, yang membuat lelaki paruh baya itu masih memaksakan diri untuk bertahan.
Namun kali ini Ki Bekel Jayapati benar-benar tak kuasa menghindar. Kakinya sudah lemas. Tenaganya seolah lenyap bersamaan dengan mencelatnya pedang tadi.
"Ki Bekel, awas!"
Tinggal sejengkal lagi golok besar di tangan Ranasura mencincang tubuh tua Ki Bekel Jayapati, satu seruan menggembor terdengar. Diikuti berkelebatnya sebilah pedang menangkis sambaran golok.
Trangg!
Ranasura terkesiap. Tawanya seketika lenyap. Tangan yang memegang golok terasa bergetar. Pertanda orang yang baru saja menangkis serangannya memiliki tenaga dalam yang tak boleh diremehkan.
"Ki Bekel, harap menyingkir dari sini. Biar aku yang menghadapi gembong begal keparat ini," ujar orang yang baru muncul. Yang ternyata adalah Tumanggala.
Ki Bekel Jayapati tak menyahut. Hanya perdengarkan deru napas yang tersengal-sengal. Setelah memandangi Tumanggala beberapa kejap, lelaki paruh baya itu jatuh duduk di tanah.
"Ki Bekel, bertahanlah!" seru Tumanggala, sembari memegangi tubuh atasannya.
"Jangan pedulikan aku, Tumanggala. Cepat habisi mereka. Pertahankan barang bawaan kita," sahut Ki Bekel Jayapati dengan susah payah.
Tumanggala anggukkan kepala dengan patuh. Namun pada saat bersamaan kebimbangan menghinggapi dirinya.
Ia tak mungkin begitu saja membiarkan Ki Bekel Jayapati yang tengah terluka parah. Orang tua itu harus segera diobati. Namun di hadapannya, Ranasura sudah datang mengancam dengan sabetan golok.
"Prajurit tengik! Besar sekali nyalimu berani lancang di hadapan Ranasura!" bentak pemimpin Begal Alas Wengker tersebut.
Sring!
Golok besar menyambar deras ke arah Tumanggala. Prajurit muda itu menggembor marah sembari berjungkir balik beberapa kali ke belakang. Serangan Ranasura dengan mudah dapat ia hindari.
Pertarungan pun pecah. Dengan kemarahan menyala-nyala Tumanggala meladeni setiap serangan Ranasura. Pedangnya berkelebatan dengan cepat, menangkis sabetan demi sabetan golok besar Ranasura.
Setelah berjalan beberapa jurus, mulai kentara kemampuan Tumanggala masih berada di bawah Ranasura. Lambat laun prajurit muda tersebut mulai terdesak. Hanya dapat menghindar dan menangkis setiap kali si gembong begal menyerang.
Hingga pada satu kesempatan, Ranasura mengirim satu serangan beruntun. Tumanggala yang tengah berjungkir balik, dan kakinya belum lagi menjejak tanah, tak dapat menghindar. Ia hanya berusaha menangkis sebisanya.
Trang! Trang!
Sabetan golok besar Ranasura memang dapat ditepis. Namun itu membuat pedang Tumanggala jadi mental entah ke mana. Lalu tendangan beruntun yang dikirim si gembong begal mendarat telak di dada prajurit muda tersebut.
Des! Des!
Tumanggala mengeluh tertahan. Dadanya seketika menjadi sesak. Serasa dihantam satu balok besar. Tubuhnya yang kekar berisi terbadai jauh ke belakang. Untuk selanjutnya terempas bagaikan sehelai daun kering.
"Huh, rupanya hanya sebatas itu kemampuan seorang prajurit Panjalu," dengus Ranasura mengejek.
Gembong begal itu lantas meludah ke tanah. Golok di tangannya diacungkan ke depan. Siap diayunkan kapan saja Tumanggala bangkit berdiri.
Tapi si prajurit muda Panjalu hanya tergeletak lesu di atas tanah. Napasnya tersengal-sengal oleh dada yang terasa sesak. Tenaganya seolah habis tanpa sisa.
"Kakang, izinkan aku menghabisi prajurit tengik satu ini," ujar salah seorang begal yang tahu-tahu saja sudah berdiri di dekat Tumanggala.
Ranasura gelengkan kepala tanda tidak setuju.
"Tidak perlu. Dia sudah tidak bisa apa-apa lagi," sahutnya tegas. "Sebaiknya cepat kalian bawa gerobak itu pergi dari sini."
"Baik, Kang."
Meski menunjukkan raut muka kecewa, begal tadi berlalu juga. Kemudian bersama empat temannya yang masih tersisa ia merebut gerobak. Sais yang berusaha mempertahankan tali kekang ditendang hingga mencelat jatuh.
Ranasura edarkan pandangan ke sekeliling. Tiga anak buahnya tergeletak bersimbah darah. Sedangkan seluruh prajurit Panjalu juga ambruk tanpa nyawa dengan luka parah.
Yang terlihat masih bergerak-gerak hanya Ki Bekel Jayapati bersama Tumanggala dan Triguna. Itu pun keadaan Ki Bekel Jayapati sangat mengenaskan. Sementara Triguna sudah kehilangan banyak darah akibat luka besar di dada.
"Kita pergi dari sini!" ujar Ranasura kemudian pada anak buahnya yang sudah menunggu.
"Tapi, Kang, apa tidak sebaiknya mereka-mereka yang masih hidup dihabisi sekalian saja?" Salah seorang begal memberi usul.
Ranasura kibaskan tangannya sembari menggeleng.
"Biarkan mereka tetap hidup. Mereka akan menjadi duta yang mengabarkan keberhasilan kita hari ini," sahutnya, lalu diikuti tawa bergelak.
Empat begal lain langsung paham maksud pemimpin mereka. Sontak keempatnya ikut tertawa pula.
Masih sambil tertawa-tawa, kelima begal tersebut bergerak meninggalkan tempat tersebut. Gerobak besar berisi bermacam-macam perhiasan dan kain mahal dibawa serta.
Hutan itu kembali sunyi. Hanya terdengar suara tarikan napas berat lagi tersengal-sengal dari tempat Tumanggala berada.
Setelah beberapa saat, Tumanggala berhasil mengumpulkan tenaganya untuk bangkit. Dengan langkah diseret prajurit muda itu bergegas menghampiri Ki Bekel Jayapati.
"Ki Bekel?" panggil Tumanggala begitu berada di sebelah tubuh atasannya.
Tak ada jawaban. Ki Bekel Jayapati hanya diam, sama sekali tak bergerak. Sepasang mata lelaki paruh baya itu terpejam rapat.
Tumanggala sentuh lengan sang bekel. Saat itu pula prajurit muda tersebut berseru tertahan. Wajahnya yang tegang berubah pucat pasi.
Tubuh Ki Bekel Jayapati dingin laksana es, pertanda sudah mati!
***
KABAR mengenai pembegalan yang dialami rombongan dari Wurawan langsung terdengar hingga Kotaraja. Sore itu juga petinggi keprajuritan Panjalu yang berwenang sudah mengetahui peristiwa tersebut. Adalah sais gerobak yang membawa kabar muram ke Kotaraja. Lelaki berbadan tambun tersebut diperintah oleh Tumanggala. Awalnya ia menolak karena masih gemetar ketakutan. Namun Tumanggala berhasil meyakinkannya untuk pergi. "Tinggal dirimu harapan kami. Jadi, aku mohon pergilah ke Kotaraja. Sampaikan kejadian ini pada Senopati Arya Lembana," ujar Tumanggala sebelumnya. Tepatnya tak lama setelah si prajurit memastikan kematian Ki Bekel Jayapati. Sais gerobak terpekur sejenak. Rasa takutnya belum lagi hilang. Karenanya ia masih tidak dapat membayangkan harus pergi sendirian menembus hutan yang sepi, menuju Kotaraja yang jaraknya tidak bisa dibilang dekat. "A-aku ... aku takut, Tumanggala," jawab sais gerobak akhirnya, berterus terang. "Tidak ada yang perlu
KEESOKAN harinya, pagi-pagi sekali Arya Lembana mendatangi ruang pengobatan istana. Sang senopati ingin menanyai beberapa hal pada Triguna. Begitu Arya Lembana memasuki ruang pengobatan, semua orang yang ada di dalam sana langsung berdiri memberi hormat. Yang dibalas oleh senopati Panjalu tersebut dengan anggukan kepala. Triguna tampak hendak beranjak turun dari tempat tidurnya. Agar dapat memberi hormat dengan sikap sempurna. Namun Arya Lembana mencegah. “Tetap di tempatmu, Prajurit. Kau masih terluka parah,” ujar sang senopati seraya melangkah mendekat. “Terima kasih, Gusti Senopati,” balas Triguna dengan takzim. Prajurit yang sudah berusia kepala tiga tersebut tengah dibaluri ramuan obat oleh seorang tabib. Luka besar di dadanya tak lagi mengeluarkan darah. Namun masih tampak basah. “Bagaimana keadaan lukanya?” tanya Arya Lembana pada tabib. “Sudah lebih baik, Gusti. Kalau aliran darah putih ini sudah berhenti, luka ini akan
UNTUK beberapa saat Tumanggala terdiam. Prajurit muda tersebut benar-benar tak tahu harus menjawab bagaimana. Namun dari pertanyaan terakhir Arya Lembana, ia tahu persis dirinya sedang dicurigai. Ketegangan tiba-tiba saja mengisi ruangan tersebut. Ada rasa tidak nyaman yang dirasakan oleh Tumanggala. Sebab ia tahu sebagai prajurit kedudukannya sangat tidak menguntungkan di saat-saat seperti itu. "Gusti Senopati, sekali lagi saya tegaskan saya memberi usulan-usulan tadi kepada Ki Bekel Jayapati semata-mata agar kami dapat lekas tiba di Kotaraja ini. Sungguh sama sekali tidak ada maksud lain," ujar Tumanggala kemudian. Arya Lembana tampak menyeringai. Tatapan mata senopati Panjalu itu terlihat aneh bagi Tumanggala. "Dengar, Prajurit. Aku sebetulnya tidak ingin mencurigai dan menuduh anggota pasukanku sendiri. Tapi dari keterangan-keterangan yang aku kumpulkan pagi ini, agaknya aku sudah dapat mengambil satu kesimpulan," ujar sang senopati. Tuman
NAMUN agaknya nasib baik masih menaungi Tumanggala. Beberapa saat setelah meninggalkan dirinya dalam ketakutan, Senopati Arya Lembana mengadakan pembicaraan dengan Kridapala. Sebuah pertemuan yang mengubah keputusan sang senopati.Kridapala adalah seorang berpangkat bekel. Sama halnya Ki Bekel Jayapati, orang tersebut merupakan tangan kanan kepercayaan Arya Lembana. Setiap kali menghadapi persoalan pelik, sang senopati akan meminta pendapat pada bawahannya tersebut.Termasuk saat itu. Di mana Arya Lembana sebenarnya diliputi kebimbangan. Ia sebenarnya tidak terlalu yakin Tumanggala terlibat dalam peristiwa pembegalan yang menimpa Ki Bekel Jayapati. Namun dari tiga anggota rombongan yang tersisa, hanya prajurit satu itu yang paling layak dicurigai."Menurut saya, Gusti Senopati tidak dapat begitu saja menghukum prajurit itu," kata Kridapala, menanggapi cerita Arya Lembana."Mengapa demikian, Ki Bekel?" tanya sang senopati penasaran."Bukankah Gusti
KEESOKAN harinya, empat prajurit meminta bertemu dengan Arya Lembana. Ada kabar penting mengenai tempat persembunyian Begal Alas Wengker yang ingin mereka sampaikan langsung pada sang senopati. Tanpa banyak tanya lagi Arya Lembana segera menemui keempat prajurit tersebut. Mereka adalah bagian dari enam belas prajurit yang dua hari lalu dilepasnya untuk melacak keberadaan para begal. Keempat prajurit membungkuk hormat begitu melihat kemunculan Arya Lembana. Sang senopati hanya membalas dengan kibasan tangan. "Apa yang ingin kalian laporkan?" tanya Arya Lembana tanpa basa-basi. Salah satu dari empat prajurit tersebut maju satu langkah. Sekali lagi memberi hormat sebelum buka suara. "Gusti Senopati, kami sudah mengetahui tempat persembunyian Begal Alas Wengker," ujar prajurit tersebut. Arya Lembana angkat alisnya tinggi-tinggi. Meski merasa senang, tapi ia cukup terkejut juga para prajurit tersebut dapat melakukan tugas secepat ini.
ALAS Wengker yang menjadi tujuan penyergapan berjarak hampir lima puluh satu ribu depa dari Dahanapura. Atau sekitar seratus sembilan puluh li jika memakai satuan ukuran bangsa Song. Bukan jarak yang terhitung dekat. Lebih-lebih jalur yang dilalui berupa lereng pegunungan. Sebab antara Dahanapura dan Wengker terpisah oleh Gunung Pawinihan nan menjulang. Karena itu pasukan penyergap yang dipimpin Kridapala musti mengambil jalan memutar. Dari Dahanapura lurus terus menuju Katang Katang. Untuk kemudian berbelok ke barat dan menyusuri lereng selatan gunung. "Apakah kita akan langsung menyergap gerombolan begal itu malam ini juga, Ki Bekel?" tanya Wipaksa kepada Kridapala. Ketika itu rombongan mereka baru saja menyeberangi Bengawan Sigarada. Sebuah parit alam maha luas yang menjadi batas sekaligus pelindung kotaraja. Ditanya begitu rupa, Kridapala tak langsung menjawab. Pandangan lelaki paruh baya itu tampak menerawang ke depan. Menatap ja
MENDENGAR aba-aba tersebut seluruh anggota pasukan sontak hentikan kuda masing-masing. Tempat itu pun seketika menjadi ramai oleh ringkikan nyaring yang saling tindih-menindih. Di tempatnya, Tumanggala tengah berusaha menjinakkan kudanya yang gelisah akibat terkejut. Sembari mengelus-elus surai pada tengkuk hewan tersebut, sang prajurit edarkan pandangan ke sekeliling. Tapi ke mana pun matanya memandang yang terlihat hanyalah kegelapan menghitam. Tumanggala segera maklum, mereka berhenti di jalur yang berada di tengah-tengah hutan lebat. "Tumanggala!" Terdengar Kridapala berseru memanggil. Tumanggala bergegas mengarahkan kudanya ke arah depan untuk mendekati lelaki paruh baya tersebut. "Sendika dawuh, Ki Bekel," ujar Tumanggala seraya memberi sikap menghormat dari atas punggung kuda. "Kau tentu masih ingat di mana tempat rombongan kalian tempo hari diadang gerombolan begal itu, bukan?" tanya Kridapala tanpa tedeng aling-aling.
MALAM dengan cepat berlalu. Tepat pada saat kokok ayam jantan pertama kali terdengar, para prajurit Panjalu yang bermalam di hutan tersebut sudah kembali terjaga.Pagi masih jauh. Bahkan langit di ufuk timur masih hitam kelam. Namun suasana di tempat tersebut sudah terlihat sangat sibuk. Saat itu juga mereka harus bersiap-siap melakukan penyergapan ke Alas Wengker.Tak ada makan pagi. Para prajurit hanya dibekali beberapa macam buah-buahan untuk mengganjal perut. Begitu seluruhnya sudah bersiaga, Kridapala selaku pemimpin rombongan langsung memimpin perjalanan."Ingat rencana yang sudah kita susun, Wipaksa," ujar Kridapala begitu rombongan mereka bergerak melanjutkan perjalanan ke arah timur.Wipaksa hanya mengangguk. Lurah prajurit itu masih ingat betul rencana yang dibeberkan atasannya tersebut kemarin."Empat ratus depa di dekat sarang para begal keparat itu, kita berpencar. Kau dan selusin prajurit terus merangsek ke dalam. Sedangkan aku dan ya