Share

PART _4 SAYEMBARA

Lestari menyambut kedatangan, Ambigu. Wanita tua berkulit kusam keriput, dengan rambut putih digelung itu tampak begitu khawatir, melihat tubuh lusuh cucunya. Bahkan semalam dia tidak bisa tidur hanya karena memikirkan Ambigu. Perasaan takut dan khawatir jika saja cucunya mati di terkam binatang buas dalam tapa bratanya, atau malah tersesat di dunia astral tanpa bisa kembali.

Sekarang sudah lega, cucunya pulang dengan selamat. Lestari memeluk gadis kecil itu erat sekali, kemudian, membimbingnya duduk di balai-balai depan rumah tepatnya di bawah pohon belimbing. Tangannya mengusap pucuk kepala Ambigu penuh sayang.

“Syukurlah, Mbi. Akhirnya kamu pulang,” ucap bibir hitam itu bergetar dengan mata berkaca-kaca menahan haru.

“Jangan menangis, Nek! Mbigu baik-baik saja, hanya sedikit lapar. Perut Mbigu perih, Nek.” Ucap gadis itu sambil memegangi perutnya yang sudah sangat lapar. Keringat dingin mulai berdatangan dan tubuhnya gemetar.

Lestari langsung masuk ke dalam, mengulurkan air putih hangat untuk cucunya.

“Minum dulu, nenek siapkan makanan mu!”

Lestari kemudian kembali ke dapur untuk membawa bakul berisi nasi dan ikan asin bakar sebagai lauknya.

“Makanlah, Mbi! Jangan memaksakan diri. Tidak perlu susah payah ikut-ikutan mereka. Bagaimanapun kita itu debu, Mbi. Sekuat apa pun kamu berjuang hanya di anggap upil. Akhirnya nanti tidak ada yang menghargainya, percayalah sama Nenek!” ucap Lestari menasehati cucunya.

“Tapi kata kakek berbeda, kita jangan mau direndahkan. Harta dan tahta bukan alasan untuk membedakan. Kita punya harga diri, Nek dan  Tidak perlu risau karena kekurangan harta,” sangkal Ambigu sembari menyuapkan makanan itu.

Nasi dingin dan agak keras itu di telannya susah payah mungkin neneknya sudah memasaknya dari subuh, dan ikan asin itu terasa begitu pahit. Mungkin penglihatan Lestari yang mulai kabur sehingga hasil bakarannya gosong semua. Tapi apa pun itu Ambigu tetap menyuapkan ke mulutnya. Tanpa peduli enak atau tidak, yang terpenting bisa menolong perutnya dari rasa lapar.

“Jangan keras kepala Mbi, bisa mati konyol seperti kakekmu nanti,” ucap Lestari menasehati. Mengingat begitu besar perjuangan Wasis yang tidak mendapat penghargaan apa pun dari kerajaan hanya karena mereka miskin.

“Kakek tidak mati sia-sia, dia tetap pahlawan, Mbigu!”

“Astaga!! Kapan kamu nurut sama nenek, Mbi. Dengerin nanti kalau kita sudah mati bahkan di Nirwana tidak ada yang membedakan kita. Tidak peduli harta dan jabatan lagi!”

“Kita hidup sekarang, Nek! Masalah nirwana kita pikir nanti!”

Astaga!

Keesokan harinya Ambigu nekat berangkat lagi ke hutan belantara. Akan tetapi sayang tidak punya alat apa pun untuk di bawa, saat pergi. Sepertinya lestari menyembunyikannya semua benda tajam. Hanya agar ambigu mengurungkan niatnya.

Bukan Ambigu namanya. Jika dirinya menyerah. Dia pun tetap berangkat dengan membawa tas kemarin. Kali ini dirinya mengisi dengan botol minum dan keris yang ia temukan di hutan kemarin.

Semua sudah berkumpul di Medan, ada yang membawa golok , kapak, pedang dan sejenisnya.

“BOCAH!! Punya nyali juga kamu kesini?!” hardik Wagu dengan tersenyum meremehkan. Mendorong tubuh kecil Ambigu hingga Terjerembap ke tanah. Tangan kecil itu membersihkan lututnya, ada sedikit lecet di sana.

“Jangan, cari perkara Paman, tidak ada salahnya jika aku berusaha!” ucapnya menatap badan tinggi besar itu dan segera bangkit.

Wagu tertawa, “Apa yang bisa kau lakukan dengan tubuh kecilmu, lihat saja jika badai datang tubuhmu pasti sudah terhempas ke neraka, menyusul Jadmini. Ha ... Ha ... Ha ....”

Ambigu kesal, tapi seperti kata kakeknya berdebat dengan orang yang tidak punya hati itu akan menjadi percuma. Seperti lingkaran setan yang terus berputar tanpa tahu ujung pangkalnya.

Bocah itu berniat kabur dari hadapan Wagu. Tetapi tertahan ketika tangan besar itu mencekal lengannya. Dan wajah penuh amarah itu mendekat tepat di wajah Ambigu. “Jangan keras kepala, cepat pergi dari sini!” serunya.

“Kita semua berhak di sini, kita sama-sama rakyat di kerajaan Burgundy, bahkan para punggawa saja mengizinkan, apa hak Paman melarangku?!” Ambigu tak kalah tajam menatap mata pria itu meskipun sedikit meringis menahan sakit karena cekalan dilengannya begitu kuat.

Wagu melepaskan cekalan lengan Ambigu tepat ketika, Kyai Nur BEI pemimpin rombongan babat alas sudah tiba.

Pria tua itu tampak berwibawa dan penuh karisma.

“Kita tidak mungkin menyelesaikan pekerjaan ini hanya dengan mengandalkan tenaga manusia, siapa pun yang bisa menumbangkan pepohonan ini akan aku hadiahkan 100 koin emas dan 100 ekor domba.” Ucapnya lantang membuka acara.

Astaga!!

Semua yang mendengarkan terenyak. Satu koin emas itu setara dengan seribu koin perak. Jadi pemenang sayembara akan membawa pulang seratus ribu koin perak.

Para punggawa satu persatu turun ke Medan menawarkan diri untuk terlibat dalam sayembara. Sudah ada sembilan bakal calon kandidat yang ikut sayembara yang di selenggarakan kyai Nur Bei. Tentu saja mereka tergiur hadiah yang begitu besar. Mengingat penghidupan mereka yang teramat sulit.

“Baiklah, sudah ada sembilan peserta yang mendaftar, kita tunggu seorang peserta lagi, jika sudah genap 10 orang kompetisi kita mulai. Jika hari ini semua pohon berhasil kita tebang, dengan segera kita bisa memnyiapkan lahan, dan mendirikan gedung biru!” Ucap kyai Nur Bei menjelaskan.

Para warga saling berpandangan, mereka ingin ikut sayembara tapi tentu saja ragu dengan kemampuannya. Tampak Ambigu berdiri di samping Wagu dengan mata menyipit. Pasalnya sinar matahari begitu terik dan tepat menyorot wajah lugunya, wajah Ambigu begitu kusut dengan lingkaran hitam di kelopak matanya, pertanda anak itu kurang tidur.

“Jika aku memenangkan sayembara ini, nenek tentu bangga. Kakek pasti tersenyum di alam kuburnya. Tapi bagaimana mungkin! Sedangkan kakek saja tidak pernah mengajari apapun tentang ini.

"Kakek payah harusnya jangan buru-buru meninggal dulu sebelum meninggal mewariskan seluruh ilmunya.” Batinnya kesal. Ambigu masih ingat, Wasis pernah berpesan jika suatu hari nanti jika dirinya sudah cukup umur. Wasis akan memberitahu sesuatu. Tapi itu tidak mungkin terjadi. Wasis meninggal ketika Ambigu berusia sepuluh tahun.

“Jangan menunda waktu! Satu peserta lagi silakan maju ke depan,” ucap Kyai Nur BEI.

“Dia peserta ke sepuluh, Tuan!” seru Wagu seraya mendorong tubuh Ambigu hingga dirinya jatuh tersungkur di tengah lingkaran besar itu.

Ambigu tidak menyangka Wagu sekejam itu pada dirinya.

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status