PART_5 BABAT ALAS
“Apa ini? Jangan bercanda Wagu, dia itu hanya anak-anak, lagi pula seorang perempuan, bisa apa dia?”
“Tentu saja bisa nangis.”
“Siapa dia?”
“Dewi Ambigu, cucu Kakek Wasis!”
“Iya, dia satu-satunya peserta perempuan!”
“Jangan-jangan hanya cari mati dia!”
“Benar menyusul kakeknya secepatnya!”
“Astaga!! Apa yang ada di otaknya selama ini?”
Suara-suara rombongan begitu random saling bersahutan meremehkan Ambigu. Wagu tersenyum puas dan mengejek. Pada akhirnya dirinya berhasil mempermalukan gadis itu.
Sementara Ambigu sendiri dalam keadaan malu, semalu-malunya. Bagaimana tidak? Bisa apa dia menghadapi cercaan para pria dewasa itu. Tubuh kecilnya bangkit dalam keadaan sempoyongan, tubuhnya gemetar jantungnya Berdegup kencang.
Tampak Kyai Nur Bei mendekati Ambigu, dan menolongnya berdiri. Pria itu menatap Ambigu penuh tanda tanya.
“Siapa namamu anak kecil?”
“Dewi Ambigu Tuan.”
“Baiklah peserta ke sepuluh kita adalah Dewi Ambigu,” ucap Kyai Nurbei.
Sontak semua yang mendengarnya tertawa. Apalagi Wagu dia yang tertawa puas dan paling keras. Dirinya berharap Ambigu tidak mampu memenangkan Sayembara dan tewas tidak berguna seperti Wasis.
Astaga sejahat itu pikirannya.
Hening, semuanya hening.
Tidak ada satu pun yang berbicara, ketika suara angin menderu begitu kencang. Bahkan Ambigu sempat memegang tangan orang di sebelahnya, takut tubuhnya ikut dibawa terbang tergulung angin.
“Kalian jangan bercanda di tempat seperti ini,” ucap Kyai Nur Bei setelah angin berhenti bertiup. “Masa depan kerajaan harus di perjuangkan, setelah gedung biru di bangun kita akan mengenalkan ilmu perdagangan secara luas, yang bisa mencakup seluruh wilayah kerajaan, maupun di luar kerajaan. Akan ada rahasia besar di dalam gedung itu, yang tidak boleh di bocorkan selain pelaku usaha di gedung biru, apa kalian mengerti dan sanggup menjaga rahasia besar tersebut?!”
“Sangup!”
“Iya Kyai!”
“Siap!”
“Kami berjanji menjaganya Kyai!”
Suara warga saling bersahutan, menyetujui ucapan Kyai Nur Bei.
“Dan kalian semua yang berdiri di sini, kalian adalah orang yang beruntung. Mendapat kesempatan menjadi saksi berdirinya, Gedung Biru. Karena di perkiraan gedung ini akan menjadi simbol kebesaran kerajaan Burgundy, jika gedung ini berhasil berdiri kalian semua akan mendapat pekerjaan.”
Semua warga mengangguk paham. “Babat alas kita mulai,” Kyai Nur Bei memimpin, dirinya duduk bersila dan memejamkan mata membaca mantra-mantra sakral memohon izin kaum astral itu berpindah tempat dan tidak mengganggu, proses penebangan pohon dan pembukaan Lahan. Suasana begitu hening cuaca yang semula panas berganti dan mendung yang begitu tebal.
Peserta pertama sampai peserta ke sembilan telah menguji kemampuannya. Tapi kekuatan mereka tak satu pun mampu menyapu rata hutan belantara itu menjadi tanah.
Ambigu mundur teratur dan menyatakan menyerah tidak sanggup. Orang dewasa saja tidak bisa, apalagi dia hanya seorang anak perempuan.
Kyai Nur Bei menyarankan untuk menyerbu serentak dengan peralatan yang mereka bawa, tapi tak satu pun pohon itu mau tumbang, bahkan kapak-kapak mereka yang sudah diasah dari rumah dengan begitu tajam sampai di sana menjadi tumpul seketika.
Pedang dan golok pun tidak ada gunanya. Sepertinya dayang penghuni hutan itu tidak mengizinkan wilayahnya di porak-porandakan.
Mereka lelah dan menyerah. Ambigu bisa apa lagi anak kecil itu? Selain melihat dan begitu heran kenapa semua orang dewasa itu tidak bisa merobohkan pepohonan yang berdiri dengan tangguhnya.
Mereka terengah-engah kehabisan tenaga.
“MANA AMBIGU!!!” seru Wagu marah dengan sisa-sisa rasa lelahnya. Sontak mengundang perhatian semua mata.
Ambigu begitu ketakutan mendengarnya. Memang dari tadi dirinya tidak melakukan apa pun dan hanya melihat dari kejauhan. Yang pertama karena tidak membawa senjata dan yang kedua memang dirinya merasa tidak mampu. Ambigu semakin berjalan menjauh dan hendak melarikan diri.
Seketika sebuah cekalan di lengannya begitu erat dan melemparnya di tengah-tengah kerumunan.
“AKH ...!!!” teriak Ambigu kesakitan, ketika tubuh kecil itu sudah terhempas di tanah. Hingga tas yang iya bawa ikut terlempar lepas dari tubuhnya.
“Mau ke mana kau!! Yang lain sibuk berusaha, kamu seenaknya sendiri melihat. Mau pergi? Kamu keturunan Wasis pantas saja pengecut!”
“Jangan terus menghina kakekku, Paman. Biarkan dia tenang dialamnya! Kamu yang payah kenapa kakekku jadi ikut salah,”
Wagu menampar Ambigu, “ Jaga mulutmu miskin! Sudah kuingatkan dari kemarin untuk pulang. Kenapa masih ngeyel berada di sini? Di sini pun kau tidak berguna, atau kita jadikan Ambigu tumbal saja, agar penunggu hutan ini mengizinkan keinginan kita? Bagaimana?
“Setuju!”
“Jangan!”
“Kasihan!”
“Nggak apa-apa,”
“Korban satu nyawa demi kemakmuran banyak nyawa,”
Ambigu menutup telinganya tak kuat mendengar semua jawaban orang-orang.
“Tolong jangan!!” ucap Ambigu memelas.
Gadis itu kemudian mengambil tasnya yang tadi terjatuh dan akan segera berlari meninggalkan tempat itu. Tapi sungguh sayang benda yang berada dalam tas itu terjatuh.
Sebuah botol minuman, “akh nggak perlu diambil,” pikirnya. Di sebelah botol itu Keris yang di bawanya tergeletak di sana. Ambigu menariknya sayang sekali malah terlepas dari warangkanya. Ambigu menarik keris itu ke atas dan tiba-tiba saja petir menggelegar.
Semua mata begitu terpana melihat keris kecil itu dengan sinar keemasan yang cukup menyilaukan.
Ambigu sendiri terkejut, “Kakek berjubah putih, apakah keris ini milikmu? Tolong selamatkan Mbigu kek, Mbigu takut!” gumam Ambigu. “Mbigu janji akan kukembalikan keris ini, tapi tolong tebang seluruh pohon di hutan ini dan ratakan dengan tanah,” ucapnya terisak.
Ambigu mengatupkan mulutnya. Seketika keris yang ia pegang terlepas dari tangannya dan terbang mengelilingi hutan itu. Semua pepohonan roboh dan dalam sekejap hutan itu rata dengan tanah.
“Astaga!!”
“Keajaiban!”
“Bagaimana mungkin!”
Semua yang menyaksikan pun terheran-heran. Ambigu pun keadaannya sama tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Lalu ke mana perginya keris itu?
***
BERSAMBUNG
"Kenapa kamu menangis Ambigu?" tanya Lestari. Wanita bungkuk itu segera mendekati Ambigu yang menangis sepanjang jalan, kemudian membawanya masuk ke dalam rumah. Setelah Ambigu duduk Lestari mengambilkan minuman dari kendi. "Ayo minum dulu. Setelah itu katakan pada Nenek. Apa yang sebenarnya terjadi!" tanya Lestari seraya duduk di samping cucunya itu. Ambigu meneguk air pemberian neneknya. "Ambigu di usir, Nek!" ucapnya setengah terisak. "Siapa yang mengusirmu? Apa kamu membuat masalah di gedung itu?" tanya Lestari khawatir."Semua penghuni gedung tidak ada yang mengenaliku. Mereka menganggap aku ini anak kecil," ucap Ambigu dengan suara terisak. "Nenek kan sudah bilang, ke sananya sama nenek saja. Eh ... Kamu nggak nurut!" kesal Lestari. "Iya, Nek. Kalau begitu besok anterin lagi ke sana ya?" pinta Ambigu penuh harap. Kesedihannya sedikit terkikis dan berganti harapan. Jika yang bicara neneknya tentu saja mereka akan mendengar. "Iya, besok, Nenek anterin. Sekarang kamu makan du
Ambigu tidak memedulikan penjaga itu. Dengan melupakan lututnya yang lecet bocah itu mendorong penjaga gerbang dan menerobos masuk ke dalam halaman gedung. Namun apa dikata. Kakinya cukup kecil untuk berlari lebih cepat. Karena langkah penjaga itu lebih lebar dan dengan mudah mengejar langkah Ambigu. Penjaga itu mencekal lengan Ambigu dengan kasar sehingga bocah itu nyaris terpelanting."Hei, mau ke mana kamu?" sentak penjaga itu."Lepaskan aku, Paman!" Lantang Ambigu seraya membelalakan mata pertanda dirinya sangat marah dan kesal pada penjaga itu."Sudah kecil, gembel, nggak tahu aturan! Kamu itu masih kecil dan anak kecil di larang masuk?" terang penjaga itu dengan tetap mencekal lengan Ambigu. Sehingga bocah itu meringis menahan sakit. "Kamu tidak tahu apa-apa, Paman. Pertemukan aku dengan punggawa atau pemimpin gedung. Hanya keputusannya yang aku dengar!" seru Ambigu. Penjaga itu menatap rekannya meminta persetujuan. Setelah rekannya mengangguk barulah tangan kekarnya menyeret
Setelah kekacauan itu Ambigu baru menyadari bahwa keris yang ia temukan itu bukan keris sembarangan. Ada Sukma yang berada dalam keris itu yang selalu menemui Ambigu melalui mimpi. Selanjutnya Ambigu menjaga keris itu baik-baik dan berjanji tidak akan memberikan pada siapa pun. Karena bukan saja akan mencelakai dirinya bahkan keris itu akan membahayakan pemilik barunya. Gadis itu tetap menjalani aktivitas seperti biasa bersama nenek lestari. Satu-satunya orang yang masih hidup dan kasih sayangnya tidak diragukan lagi. Ambigu kecil begitu rajin mencari rumput dan menggembala kambingnya, meskipun hidupnya terus diganggu oleh Wagu akibat rasa sakit hati yang sudah kedaluwarsa itu. Bagaimana dia bisa menyimpan dendam sementara musuhnya sudah menjadi tanah di liang lahat. Sampai suatu hari terdengarlah kabar mengenai sudah rampungnya pembangunan gedung biru. Ambigu sungguh antusias menerima kabar itu. Saat menagih janji pun tiba. Dirinya yakin akan segera merubah kehidupannya bersama
Ketika keluar dari rumah terlihat para warga sedang kerja bakti. Banyaknya pohon yang tumbang sangat mengganggu jalan. Ambigu ke luar dan mendekati mereka. "Semalam sangat aneh, angin datang tiba-tiba dan pergi tiba-tiba pula. Bukan itu saja bahkan purnama ditelan kegelapan malam hanya demi mengantarkan angin itu," ucap salah seorang warga. "Yang aneh lagi Guntur terombang-ambing dipermainkan angin itu. Sekarang tubuhnya sakit semua akibat dihempaskan angin!" sahut warga yang lainnya. "Paman Guntur sakit?" tanya Ambigu demi memastikan informasi yang didengarnya. "Heh ... Ambigu! Iya katanya setelah pulang dari rumahmu dia digulung angin dan dihempaskan begitu saja!" Ambigu menutup mulutnya. Bocah itu segera berlari menuju rumah Guntur demi memastikan informasi yang didengarnya benar. Rumah Ambigu dan Guntur cukup jauh tapi bocah itu tidak peduli, dia terus berlari dan berlari, hingga saat kaki kecilnya sampai di depan sebuah rumah yang cukup megah dibanding rumah kanan kirinya.
"Astaga ternyata aku hanya bermimpi," ucap Ambigu seraya mengedarkan padangan ke seluruh ruangan itu. Namun bagi Ambigu mimpi seperti nyata. Dirinya benar-benar merasa bertemu dengan kakek Tua itu. Tetapi yang terus menjadi pikiran bocah itu adalah mengapa kakek itu selalu menemuinya hanya dalam mimpi saja? Mengapa tidak mendatangi secara langsung ketika siang? Dengan begitu memudahkan Ambigu untuk melihat kakek itu secara terang.Gadis itu bangun kemudian duduk bersandar dinding. Nalarnya mula mengembara bagaimana mungkin sebatang keris itu bisa punya nyawa? Pikiran Ambigu mulai mengembara, menyeretnya ke belakang kala pertama kali bertemu dengan kakek itu.Semenjak menyimpan keris itu banyak kejadian aneh yang di alaminya. Seperti ketika babat alas Liliwung dan beberapa kali pula dirinya ditemui kakek itu dalam mimpi."Ambigu! Mengapa kamu duduk di bawah? Kamu semalaman tidak tidur?" tanya Lestari khawatir."Aku bingung, Nek!" ucap Ambigu pelan. Lestari bangun dari tidur seraya mem
Ketika Ambigu menggenggam gagang keris itu, seketika sinarnya redup. Dengan tangan gemetar, Ambigu membawanya kehadapan sang Nenek. "Nek, kenapa keris kyai Landep pulang kembali. Bukannya aku sudah menyerahkannya pada paman Guntur?" tanya Ambigu heran seraya duduk dan memangku keris itu. Lestari menatap cucunya. "Karena dia tidak mau. Lain kali tanyalah dulu jika mau memberikan pada orang lain. Ingatlah dia bukan sekedar benda tajam tetap punya Sukma!" sahut Lestari. "Sukma? Jadi aku harus bagaimana, Nek?" tanya Ambigu bingung. Nalar bocah itu belum mencapai makna dari perkataan Lestari. "Simpan keris itu dan tidurlah. Besok pagi akan kita tanyakan pada Nyai Silanggeni," jawab Lestari. Nyai Silanggeni adalah tempat satu-satunga bertanya setelah suaminya meninggal. Dirinya pun tidak mengetahui dengan fenomena alam yang terjadi. Dari mana datangannya angin yang tiba-tiba? Kekuatan apa yang mampu meredupkan sinar purnama? Apa ini semua ada hubungannya dengan keris kyai Landep? Ben