Home / Historical / Dewi Ambigu / PART_3 DEWI SUARA

Share

PART_3 DEWI SUARA

Author: ANATA MEGA
last update Last Updated: 2021-12-25 13:44:12

PART_3 DEWI SUARA

“Astaga?! Apa maksud semua ini?” gadis kecil itu bingung, tangannya gemetar memegang benda tersebut. Tanpa berpikir panjang Ambigu menyimpannya dalam tas kain yang ia bawa dari rumah. Barangkali saja nanti dia membutuhkan benda itu.

Ambigu mencoba berdiri, dengan jalan terhuyung-huyung menuju sungai di tepi hutan itu. Kering sekali tenggorokannya, dahaga sudah melanda. Anak itu butuh minum, bukan itu saja dirinya pun sudah mulai kelaparan.

Beberapa kali terjatuh tersandung belukar, Ambigu tetap bangkit. Hingga akhirnya gemericik suara aliran sungai terdengar. Ambigupun lega.

Bocah kecil itu segera meminum air dengan kedua tangannya kecilnya sepuas-puasnya, tak lupa membasuh wajahnya yang terlihat kuyu dan pucat. Ambigu duduk di tepi sungai dalam keadaan yang lebih segar.  Kakinya bermain-main dengan air sungai tersebut.

Sungai itu airnya begitu bening dan batu-batu di dalamnya terlihat. Tampak burung-burung berkicau bersahutan seolah menyambut kedatangan Ambigu.

Namun keindahan suasana alam itu tampaknya harus rusak, dengan munculnya seseorang dari arah belakang.

“Hei. Bocah!! Mau cari muka atau mau apa kamu? Hah!!” hardik Wagu memancing emosi Ambigu.Tangan kokohnya mendorong Ambigu, hingga tubuh kecil itu kecebur ke dalam sungai. Untung saja sungai itu tidak dalam. Hanya menenggelamkan kaki Ambigu sampai lutut.

Ambigu kaget seketika mendongak dan menghapus cipratan air di muka polosnya, memperhatikan laki-laki yang mungkin seumuran ayahnya jika masih hidup, “Maksud paman apa?” tanya Ambigu sama sekali tidak mengerti dengan perlakuan kasar Wagu.

“Kamu itu masih kecil, masih bau bawang! Jangan cari mati ikut-ikutan semedi. Lebih baik pulang sana menyusu lagi sama ibumu!!” seru laki-laki itu.

“Paman mau menghinaku?! Atau paman sudah pikun? Bukankah ibuku sudah meninggal? Bagaimana aku bisa menyusu?!” Mata ambigu membulat sempurna menatap tajam pria itu, ekspresinya menahan marah begitu kentara.

“Itu semua benar, Aku akan segera membuatmu menyusu di neraka, menyusul Jadmini wanita tidak berguna itu!" Wagu tersenyum menghina.

“Astaga!! Paman Wagu. Jangan sekali-kali menghina ibuku! Memang benar mulut itu jauh dari pantat. Kalau ngomong di jaga dong! Jangan asal ngejeplak saja!” tangan gadis kecil itu mengepal menahan emosi.

“Jangan belagu banyak cakap! Kamu sama saja dengan Kakekmu! Miskin tapi sombong!”

“Ada apa lagi dengan kakekku? Kenapa kau membawa-bawa namanya?” tanya Ambigu heran

“AH ...  Sudahlah. Kalian itu kalau takdirnya miskin ya miskin saja.  Nggak usah ikut-ikutan! Mending pergi ke depan kerajaan bawa gayung, siapa tahu ada yang berbelas kasihan memberimu koin,” ucap wagu sarkas.

“Suruh ngemis gitu maksud, Paman? Astaga! Ingat Paman. Keluargaku tidak serendah itu! Kami memang miskin tapi masih punya harga diri!!” Ambigu membenarkan tas Selempang berbahan goni itu yang kini sudah basah, jari kecilnya menyentuh benda keras di dalamnya. Ingin rasanya menggunakan benda itu untuk merobek mulut Sasongko. Tapi bukankah dirinya masih terlalu kecil untuk itu. Bagaimana jika dia kalah? Atau serbuk cabai perlu digunakan lagi?

Ambigu membatalkan niatnya.

Gadis bermanik hitam itu menghela nafas panjang, mengatur nafasnya supaya tidak marah. Mungkin saja orang di depannya ini adalah jelmaan makhluk astral yang sesungguhnya, dirinya kemudian bangkit karena rasa lapar mengingatkannya untuk segera pergi dari tempat itu.

Ambigu melewati jalan di depan Wagu tanpa permisi, dan mendorong tubuh laki-laki itu, hingga Wagu terpeleset dan jatuh. 

“Mau ke mana kau, bocah! Dasar tidak tahu sopan santun!” Wagu memegangi pinggangnya yang terasa nyeri. Penyakit encoknya kumat seketika.

Ambigu tetap saja pergi, ilmu pengendalian diri yang di ajarkan kakeknya harus dia terapkan demi mimpi besarnya. Setelah dirasa jauh dari Wagu. Langkah tertatih Itu mencari apa pun di sekitarnya yang bisa di makan, sekedar mengganjal perut yang berbunyi semakin nyaring.

Apalagi yang bisa dia makan di hutan itu selain buah.

Maniknya bersinar ketika mendapati pohon apel dengan buah yang sangat banyak. Ambigu seperti kesetanan memakannya dengan rakus. Setelah kenyang tiba-tiba rasa kantuk datang melanda dan dirinya tertidur di bawah pohon itu.

Ambigu melihat sinar keemasan yang benar-benar bersinar. Sinar itu benar-benar berjalan dan terus berjalan. Ambigu mengikutinya hingga tanpa sadar berdiri di tepi jurang.

“AWAS!!”

Selangkah lagi Ambigu berjalan maka tubuhnya akan jatuh ke dasar jurang yang teramat curam.

Ambigu berhenti memandangi sekitar, sinar itu kemudian naik semakin tinggi dan semakin tinggi, membuat Ambigu mendongak semakin ke atas.

“Ambiguuu ... Guuuuu ...  Guuuuu ....” suara itu menggaung begitu merdu menelisik telinga Ambigu.

Bibir Ambigu begitu kelu tanpa bisa berucap, dirinya begitu terbuai dengan suara itu.

Hingga dirinya merasa melayang dan terjatuh di dasar jurang itu.

“TIDAAAAAAAK .... !!!” teriaknya sekuat tenaga, kemudian mata itu terbuka sempurna. “Astaga hanya mimpi!” Ambigu mengusap keringatnya.

Mimpi itu seperti nyata menyisakan degup jantung yang bertalu-talu.

Apa benar itu Dewi suara seperti cerita yang pernah dia dengar dari kakeknya. Kakeknya pernah bilang siapa pun yang beruntung mendengarkan suara sang Dewi kelak hidupnya akan beruntung dan mewarisi kekuatan suaranya. Karena tidak sembarang Sang Dewi mengijinkan orang mendengar suaranya. Kecuali seorang yang suci dan mata batinnya sedikit terbuka. Hanya saja jika kelak menyalah gunakan kekuatan itu akan menjadi petaka bagi dirinya sendiri, ketika sang Dewi sudah murka.

Hutan ini cukup Rapat dengan pepohonan tinggi, Ambigu hampir tidak bisa mengira-ira jam berapa saat ini. Akhirnya dia bertekad menemu Kyai Nur BEI sebagai pemimpin rombongan tapa Brata.

Sulit sekali mencari jalan keluar, Ambigu hanya mengikuti bekas semak yang terinjak sebagai petunjuk jalan. Sampailah kaki kecil itu di pinggir hutan.

Ternyata rombongan sudah berkumpul, mungkin dirinya adalah peserta terakhir. Terlambat sedikit mungkin mereka sudah bubar. Pun tidak ada yang peduli dia ada atau mati di tengah hutan. Ambigu hanyalah gadis kecil dari kaum jelata yang tidak di perhitungkan.

Ambigu berdiri di barisan paling belakang, bahkan tubuh kecilnya tidak bisa melihat keberadaan kyai Nur BEI karena tertutup tubuh tegap para pria dewasa lainnya.

“Kalian boleh pulang, beristirahatlah! Besok pagi berkumpul kembali siapkan peralatan kita mulai proses babat alas,” ucap kyai Nur Bei membubarkan barisan.

BERSAMBUNG

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ar_key
Waaauuuw Ambigu kerenn
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dewi Ambigu   PART. 22. Kembali Ke Gedung Biru

    "Kenapa kamu menangis Ambigu?" tanya Lestari. Wanita bungkuk itu segera mendekati Ambigu yang menangis sepanjang jalan, kemudian membawanya masuk ke dalam rumah. Setelah Ambigu duduk Lestari mengambilkan minuman dari kendi. "Ayo minum dulu. Setelah itu katakan pada Nenek. Apa yang sebenarnya terjadi!" tanya Lestari seraya duduk di samping cucunya itu. Ambigu meneguk air pemberian neneknya. "Ambigu di usir, Nek!" ucapnya setengah terisak. "Siapa yang mengusirmu? Apa kamu membuat masalah di gedung itu?" tanya Lestari khawatir."Semua penghuni gedung tidak ada yang mengenaliku. Mereka menganggap aku ini anak kecil," ucap Ambigu dengan suara terisak. "Nenek kan sudah bilang, ke sananya sama nenek saja. Eh ... Kamu nggak nurut!" kesal Lestari. "Iya, Nek. Kalau begitu besok anterin lagi ke sana ya?" pinta Ambigu penuh harap. Kesedihannya sedikit terkikis dan berganti harapan. Jika yang bicara neneknya tentu saja mereka akan mendengar. "Iya, besok, Nenek anterin. Sekarang kamu makan du

  • Dewi Ambigu   PART. 21. DI USIR

    Ambigu tidak memedulikan penjaga itu. Dengan melupakan lututnya yang lecet bocah itu mendorong penjaga gerbang dan menerobos masuk ke dalam halaman gedung. Namun apa dikata. Kakinya cukup kecil untuk berlari lebih cepat. Karena langkah penjaga itu lebih lebar dan dengan mudah mengejar langkah Ambigu. Penjaga itu mencekal lengan Ambigu dengan kasar sehingga bocah itu nyaris terpelanting."Hei, mau ke mana kamu?" sentak penjaga itu."Lepaskan aku, Paman!" Lantang Ambigu seraya membelalakan mata pertanda dirinya sangat marah dan kesal pada penjaga itu."Sudah kecil, gembel, nggak tahu aturan! Kamu itu masih kecil dan anak kecil di larang masuk?" terang penjaga itu dengan tetap mencekal lengan Ambigu. Sehingga bocah itu meringis menahan sakit. "Kamu tidak tahu apa-apa, Paman. Pertemukan aku dengan punggawa atau pemimpin gedung. Hanya keputusannya yang aku dengar!" seru Ambigu. Penjaga itu menatap rekannya meminta persetujuan. Setelah rekannya mengangguk barulah tangan kekarnya menyeret

  • Dewi Ambigu   PART. 20. BERDIRINYA GEDUNG BIRU

    Setelah kekacauan itu Ambigu baru menyadari bahwa keris yang ia temukan itu bukan keris sembarangan. Ada Sukma yang berada dalam keris itu yang selalu menemui Ambigu melalui mimpi. Selanjutnya Ambigu menjaga keris itu baik-baik dan berjanji tidak akan memberikan pada siapa pun. Karena bukan saja akan mencelakai dirinya bahkan keris itu akan membahayakan pemilik barunya. Gadis itu tetap menjalani aktivitas seperti biasa bersama nenek lestari. Satu-satunya orang yang masih hidup dan kasih sayangnya tidak diragukan lagi. Ambigu kecil begitu rajin mencari rumput dan menggembala kambingnya, meskipun hidupnya terus diganggu oleh Wagu akibat rasa sakit hati yang sudah kedaluwarsa itu. Bagaimana dia bisa menyimpan dendam sementara musuhnya sudah menjadi tanah di liang lahat. Sampai suatu hari terdengarlah kabar mengenai sudah rampungnya pembangunan gedung biru. Ambigu sungguh antusias menerima kabar itu. Saat menagih janji pun tiba. Dirinya yakin akan segera merubah kehidupannya bersama

  • Dewi Ambigu   PART. 19. MALAPETAKA

    Ketika keluar dari rumah terlihat para warga sedang kerja bakti. Banyaknya pohon yang tumbang sangat mengganggu jalan. Ambigu ke luar dan mendekati mereka. "Semalam sangat aneh, angin datang tiba-tiba dan pergi tiba-tiba pula. Bukan itu saja bahkan purnama ditelan kegelapan malam hanya demi mengantarkan angin itu," ucap salah seorang warga. "Yang aneh lagi Guntur terombang-ambing dipermainkan angin itu. Sekarang tubuhnya sakit semua akibat dihempaskan angin!" sahut warga yang lainnya. "Paman Guntur sakit?" tanya Ambigu demi memastikan informasi yang didengarnya. "Heh ... Ambigu! Iya katanya setelah pulang dari rumahmu dia digulung angin dan dihempaskan begitu saja!" Ambigu menutup mulutnya. Bocah itu segera berlari menuju rumah Guntur demi memastikan informasi yang didengarnya benar. Rumah Ambigu dan Guntur cukup jauh tapi bocah itu tidak peduli, dia terus berlari dan berlari, hingga saat kaki kecilnya sampai di depan sebuah rumah yang cukup megah dibanding rumah kanan kirinya.

  • Dewi Ambigu   PART. 18. BINGUNG

    "Astaga ternyata aku hanya bermimpi," ucap Ambigu seraya mengedarkan padangan ke seluruh ruangan itu. Namun bagi Ambigu mimpi seperti nyata. Dirinya benar-benar merasa bertemu dengan kakek Tua itu. Tetapi yang terus menjadi pikiran bocah itu adalah mengapa kakek itu selalu menemuinya hanya dalam mimpi saja? Mengapa tidak mendatangi secara langsung ketika siang? Dengan begitu memudahkan Ambigu untuk melihat kakek itu secara terang.Gadis itu bangun kemudian duduk bersandar dinding. Nalarnya mula mengembara bagaimana mungkin sebatang keris itu bisa punya nyawa? Pikiran Ambigu mulai mengembara, menyeretnya ke belakang kala pertama kali bertemu dengan kakek itu.Semenjak menyimpan keris itu banyak kejadian aneh yang di alaminya. Seperti ketika babat alas Liliwung dan beberapa kali pula dirinya ditemui kakek itu dalam mimpi."Ambigu! Mengapa kamu duduk di bawah? Kamu semalaman tidak tidur?" tanya Lestari khawatir."Aku bingung, Nek!" ucap Ambigu pelan. Lestari bangun dari tidur seraya mem

  • Dewi Ambigu   PART. 17. KESEPAKATAN

    Ketika Ambigu menggenggam gagang keris itu, seketika sinarnya redup. Dengan tangan gemetar, Ambigu membawanya kehadapan sang Nenek. "Nek, kenapa keris kyai Landep pulang kembali. Bukannya aku sudah menyerahkannya pada paman Guntur?" tanya Ambigu heran seraya duduk dan memangku keris itu. Lestari menatap cucunya. "Karena dia tidak mau. Lain kali tanyalah dulu jika mau memberikan pada orang lain. Ingatlah dia bukan sekedar benda tajam tetap punya Sukma!" sahut Lestari. "Sukma? Jadi aku harus bagaimana, Nek?" tanya Ambigu bingung. Nalar bocah itu belum mencapai makna dari perkataan Lestari. "Simpan keris itu dan tidurlah. Besok pagi akan kita tanyakan pada Nyai Silanggeni," jawab Lestari. Nyai Silanggeni adalah tempat satu-satunga bertanya setelah suaminya meninggal. Dirinya pun tidak mengetahui dengan fenomena alam yang terjadi. Dari mana datangannya angin yang tiba-tiba? Kekuatan apa yang mampu meredupkan sinar purnama? Apa ini semua ada hubungannya dengan keris kyai Landep? Ben

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status