Share

Ada, Tapi Ada Yang Aneh

Bergetar terus dada ini sejak tadi menepi kenyataan kalau sempak Bang Panjul hilang satu. Sampai-sampai berjalan pun lututku ikut lemas. Aku fasih betul, aku orangnya apik dan dalaman pribadi Bang Panjul itu tidak ada yang hilang sebelum ini. Jumlahnya aku hafal, dia bukan artis yang punya sempak banyak gonta-ganti 30 kali dalam sebulan. Huwh … kuelus dada, berharap sesuatu hal aku lihat untuk memastikan. Tidak mungkin tikus bawa kain segi tiga itu dan kebetulan yang warna itu.

Aku saat ini dari arah dapur, namun agak heran melihat Mbak Widya yang baru saja seperti jalan dari arah kamarku. "Mbak?" Kutegur dia secepatnya. Wajah Mbak Widya biasa saja, sepertinya tidak ada yang aneh. 

"Eh, Nur, kamu di sana? Mbak cariin kamu." Dia menjawab tanpa ada mimik wajah keraguan yang kutangkap.

"Ngapain Mbak cari aku?" Aku masih agak kesal, "nyari aku jam segini 'kan gak mungkin di kamar," sambungku menyanggah.

"Jangan ketus, Nur, Mbak mau pinjam lagi casan hapemu. Oiya, kamarmu lantainya ngeres banget. Kotor. Gak disapuin, ya?" komentar Mbak Widya di akhir. Aku pun geleng-geleng kepala dengan lontarannya barusan. Mana ada kamarku kotor, sudah dipel, sudah disapu juga.

"Jangan hina aku, Mbak, aku tukang bersih-bersih. Sejak subuh tuh kamar sudah aku sapu dan aku pel." Dengan lugas aku protes atas celetukkan Mbak Widya. Memangnya dia?  Si canfik yang tidak suka nyapu lantai. Hemh 

"Heh, bukan ngehina. Coba saja kamu jalan di kamarmu. Mungkin kakimu kurang mulus, Nur, jadi gak kerasa ya. Sekalian pinjam casan." 

Karena aku penasaran masak iya kamar kotor, lekas segera kuinjak lantainya. Eh, iya juga, kok seperti ada debu kasar. Padahal sudah aku sapu dan pel juga tadi. Masak belum satu hari, lantai sudah kotor lagi. Apa kucing tetangga masuk kamar kakinya kotor?

"Iya 'kan? Gak percaya kamu. Sana ambilkan casannya, Mbak tadi mau ke dalam, tapi kaki Mbak yang halus ini jinjit karena kotor. Ah ga jadi aja, Mbak nunggu kamu."

Aku pun hanya mendenguskan nafas. Merasa kesal dengan kucing tetangga yang memang liar. Dia sering masuk, tapi entah kenapa sekotor ini. Atau hama kayu dari kusen menjatuhkan kotorannya yang mirip permifan itu ya? Dan aku cek bukan, itu seperti kotor dari tanah berpasir. Apa aku kurang bersih nyapunya, ya?

"Nih, Mbak," ujarku menyodorkan casan hape. Mbak Widya pun segera pergi setelah menyuruhku sapu lagi lantai kamar.

Tanpa lama-lama aku segera ambil sapu. Kubersihkan lagi lantai dengan sapu dari mulai kelokan ruangan kamar ini. Bahkan, sampai ke bawah risbang baru bawaan seserahan Bang Panjul untukku.

Teg!

Saat kusapu lagi bawah risbang, ternyata wadah benda pusaka suamiku ada tersapu oleh sapu dari berbahan ijuk ini. "Lah, kok bisa? Tadi aku juga nyapu gak ada. Apa kurang dalam ya?" pikirku berkecamuk heran.

Spontan saja telunjuk ini menggaruk pelipisan dan satu tangan simpan sapu, lalu ambil sempak itu. Ah, aku sudah suuzon, ternyata jatuh ke sini sempaknya? Warna dan ukuran juga sama persis seperti yang aku temukan di kamar Mbak Widya. Kubeberkan, baunya menyengat sekali. Uwok, aku jorok sampai mencium baunya. Jelas bau Pesing dan bau alpukat, bukan akan sewngi parfum maskulin.

"Nah, apa itu?" 

Saat keluar hendak cuci dalaman Bang Panjul, Mbak Widya ternyata masih ada di depan kamarku. Mana bisa aku menjawab, batin sudah sur-ser suuzon dan kesal, dan kini Mbak Widya menghampiriku dengan kebodohan yang ada. Aku menduga dia mencuri, tapi ternyata sempak milik Bang Panjul ada di bawah risbang. Hadeuh, aku salah paham.

"Itu kok sempak mirip sama punya Mas Aryo? Oh, jadi itu yang kamu tuding ke Mbak nyuri itu, ya? Nur, Nur, kamu masih saja kurang cerdik, ya? Mana ada orang nyuri daleman kecuali buat pelet. Kalau Mas untuk dipakai, mana mau, jijik. Apalagi katamu si Panjul korengan di dekat pantatnya, ih!" Mbak Widya menggidikkan bahunya jijik. 

Aku yang merasa memang bodoh pun tak mau menanggapinya. Biar saja aku melengos cepat ke ke arah kamar mandi untuk mencuci.

Sembari mencuci, aku berpikir, seharusnya kalau bersih-bersih itu lebih teliti. Dan aku rasa, seperti biasa aku teliti.

Namun, setelah akan menjemur segi tiga kampret yang sempat membuat aku suuzon pun, dengan hafal dan tidak amnesia, aku ingat betul, Bang Panjul pakai lagi sempaknya setelah kami bertempur malam tadi. Ya, aku ingat. Dan tadi subuh, dia seperti biasa, langsung mandi, dan melepas pakaian di WC sana. Dan dengan ini, aku heran, kenapa bisa sempak ada di bawah ranjang, sedangkan aku lihat juga dengan pasti. Tidak ada busana yang ia copot, karena saat dia bangun, aku ada di sampingnya sedang masukkan pakaian untuk ia bawa. Dia langsung gegas, tak terlihat otak-atik bagian bawahnya mencopot sesuatu.

Pikiranku menduga ke arah positif, kalau Bang Panjul bawa lagi sempaknya ke dalam kamar, lalu jatuh. Itu bisa jadi. Tapi sayangnya, aku masih ada di kamar, dan dia hanya kembali seorang diri dengan hanya handuk menempel menutupi area bawah. Handuknya saja aku yang bawakan seperti biasa. Sudah mandi, dia berteriak, "Nur, handuk!" Begitu setiap ada di rumah kalau mandi.

Aneh!

Aku pikir ini benar-benar aneh. Andai aku pintar, punya nilai yang tinggi di sekolah, mungkin logika ini akan jalan. Mikir, Nur, mikir!

"Nur, Mbak mau ke minimarket beli bedak, sudah habis." 

Tiba-tiba Mbak Widya yang masih aku kesalkan itu pun pamit. Karena belum sreg di hati, aku hanya menjawabnya dengan asam. "Hem." Hanya itu.

"Oiya, kamu kalau mau bersih-bersih di kamar Mbak seperti biasa, dengan senang hati, ya. Oiya, Mbak juga 'kan belum nyuci hari ini. Hihi. Kalau kamu mau cucikan, boleh, nanti Mbak belikan kamu mie goreng yang paling kamu suka." Mbak Widya pikir aku bocah?

"Hemh." Hanya itu lagi.

Dan, setelah Mbak Nur pergi dengan pakaian menjiplaknya itu pun aku baru tersadar. Harus aku mencuci pakaian Mbak Widya, dan itu artinya aku akan mencuci juga sempak yang tadi subuh aku lihat. 

Secepat kilat dengan jurus kuyang, eh, maksudnya dengan jurus Sangkuriang, aku langsung ke kamar Mbak Widya untuk menyelidiki segi tiga pertua itu. Kalau ada, itu artinya, memang bukan sempak yang sama. Karena tadi aku teliti betul melihatnya, aku masih ingat bagaimana kebaruan dari si benda wadah pusaka itu.

Kini keranjang cucian Mbak Widya sudah di hadapan. Aku memang acap kali mencuci pakaiannya, lalu dia beri sesuatu untukku. Kan lumayan, tapi sekarang, ada penyelidikan lain. Detektif Nur mulai beraksi.

Awas kamu, Mbak, kalau sampai tidak ada sempaknya, itu artinya memang sempak itu sama. Dan jangan-jangan tadi kamu masuk ke kamarku itu untuk bersandiwara simpan kain itu di bawah risbang. Harkh, kalau sampai ada main antara kamu dengan Bang Panjul, habis bulu matamu itu kubakar!

Teg!

Eh, salah, ternyata segi tiga pengaman yang tadi itu masih ada. Tadinya jantungku sempat berdegup kencang, dag-dig-dug suaranya seperti gendang menabuh peperangan. Tapi sekarang, keningku mengernyit lalu getaran di dada pun melemah. 

"Alhamdulillah …." Dengan mengucap syukur kepada Yang Maha Agung, akhirnya kecurigaanku ini buntu. Bukan buntu, ada buktinya. Hal yang aku duga itu salah. Segitiga dengan warna sama, masih ada di keranjang cucian Mbak Widya. Dan kini, dengan suka hati pun aku segera mengais keranjang itu lalu membawanya keluar kamar.

Tapi …

Tunggu, kulihat kembali segitiga itu. Dengan kekuatan mata kucing, ingusan anjing pemburu, dan rabaan pria tengah malam saat listrik mati, kuambil kusimpan sejenak keranjang cucian Mbak Widya tepat di ambang pintu kamar mandi.

Aku ambil lagi si benda itu meski aku pun jijik. Kuteliti dengan halus lalu mengingat memori tadi subuh saat melihat benda yang sama.

Tegh!

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Try Octaviana
nur bod*k nya berlebihan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status