Namanya Nurul, wanita yang kocak dan bisa dibilang konyol. Memiliki seorang kakak bernama Widya. Mereka tinggal satu rumah dan keduanya sudah menikah. Namun, baru saja Nurul menikah beberapa minggu, kakaknya--Widya malah ditalak oleh suaminya. Entah apa sebabnya, hingga dengan kekocakkan sosok Nurul, ia mampu mengungkap skandal itu. Dan ternyata, suaminya itu telah bermain api dengan Widya, sang kakak. Dengan bekal kekonyolan dan disangka bodoh, Nurul pun mampu menghadapi keduanya. Mengambil semuanya, terutama harta warisan yang selama ini tak ia ketahui.
Lihat lebih banyak"Semoga Mbak tetap tabah ya, Mbak. Nur sangat sedih, Mbak. Nur baru saja menikah belum satu bulan, tapi Mbak malah bercerai dari Mas Aryo. Benar-benar nyesek hati Nur, Mbak."
Kuseka bulir bening yang sudah berjatuhan sejak setengah jam yang lalu. Mendadak dada sesak dan ikut iba karena kakak kandungku Mbak Widya baru saja diceraikan oleh suaminya, Mas Aryo. Tak ada penjelasan detail dari kakak ipar, dia hanya langsung pergi dengan membawa tas hitam berukuran agak besar. Yang sakunya sudah butut sebelah.
"Hiks, Mbak akan menjanda, Nur, Mbak akan menjanda. Hiks." Lagi isakan tangis dan ingus ibaratnya naik turun dari hidung Mbak Widya. Kakak kandungku satu-satunya, dan kami memang hanya hidup berdua setelah orang tua meninggal. Aku dan Mbak Widya masih tinggal satu atap. Karena aku baru saja menikah, Bang Panjul sang suami belum bisa membelikanku hunian. Tapi tidak apa-apa, semoga kedepannya usaha Bang Panjul makin melejit dan legit seperti lapis.
"Rujuk, Mbak, gimana? Kan belum talak tiga. Baru keluar dari mulut saja." Aku berusaha menyarankan walaupun tak tahu badai apa yang sedang mereka hadapi.
"Gak bisa, Nur, rujuk gimana? Mas Aryo sudah pergi!" tangis Mbak Widya lagi. Suaranya itu menimbulkan sayatan tajam di hati yang melekat dengan empedu ini.
Mas Aryo orang Jawa Tengah. Dia bekerja di sana sebagai tukang las gergaji. Aku tidak begitu faham, tapi Mas Aryo sudah menikah dengan Mbak Widya sejak dua tahun yang lalu. Sayang, mereka belum diberikan keturunan oleh Sang Maha Agung.
Selama ini rumah tangga mereka Kupikir baik-baik saja. Mas Aryo pulang sebulan bahkan dua bulan sekali, dan nafkah lahir ia kirimkan lewat no rekening. Mbak Widya punya rekening, sedangkan aku belum punya. Jadi, dia gampang soal transfer-transferan.
Entah mengapa, kali ini Mas Aryo pulang, namun langsung mengucap kata talak. Aku saja tidak tahu ada angin apa, tahu-tahu sudah ambruk bak diterpa puting beliung.
Namaku Nurul Wiranti. Putri bungsu pasangan almarhum orang tua yang nyawanyanya telah terenggut di saat perjalanan menuju tempat ziarah. Innalilahi, Yang Maha Agung menginginkan mereka lebih dini. Sungguh bagiku seperti mimpi. Tapi seiring berjalannya waktu, aku dan Mbak Widya harus menerimanya dengan ikhlas. Tepat hari kemarin, kepergian Ibu dan Bapak sudah genap lima tahun.
Usiaku saat ini 26 tahun. Dipersunting Bang Panjul yang usianya 28 tahun, karena saat itu dia terpincut olehku saat aku sering jualan rempeyek keliling komplek. Dia orang sini, masih satu kecamatan, namun bekerja di luar kota ikut proyek bangunan yang Alhamdulillah dia sudah jadi pemborong kecil-kecilan. Sebenarnya bukan pemborong, hanya saja dia sekarang sedikit demi sedikit telah bekerjasama dengan pabrik kayu di daerah kami untuk suplai barang. Jadi, Bang Panjul sekarang ada penghasilan sampingan sebagai penyedia barang. Kuharap nanti dia bisa jadi pemborong yang sukses.
"Hiks, Nur, Mbak mau ke kamar dulu. Mbak mau coba telepon Mas Aryo. Mbak harap dia bisa tarik kata talaknya tadi." Tangisan Mbak Widya belum berhenti. Aku menanyakan asal mula mereka bertengkar pun, belum berani. Takutnya Mbak Widya depresi. Karena setahuku, dia begitu mencintai Mas Aryo. Sampai-sampai Mbak Widya selalu berdandan super seksi saat Mas Aryo pulang. Ah, entahlah, semoga nanti aku bisa tahu alasan mereka jadi begini. Bagai petir menyambar saja diterimanya di hatiku.
Lekas kupersilahkan Mbak Widya untuk ke kamarnya yang berseberangan dengan kamarku dengan Bang Panjul. Untungnya pintu kamar sudah dibuat pintu, tidak gorden Seperti dulu. Jadi, kalau ada kegiatan wajib malam dengan para suami, kami bisa lebih rapi.
Mas Panjul pergi pagi pulang larut. Kadang, bila harus lembur, dia pulang tiga hari sekali. Selebihnya belum tahu, karena kami baru menikah selama tiga minggu. Tragedi talak ini belum diketahui oleh Mas Panjul, mungkin nanti saja aku ceritakan setelah dia pulang. Karena nanti sore, dia akan segera tiba. Sudah lembur kemarin, dan tidak pulang. Tadi hape layar sentuh milikku namun bukan apel tergigit memberitahukan kalau sang pujaan akan pulang hari ini. Ya, hari ini hari Sabtu, kalau hari Minggu, biasanya memang libur.
Aku diberi nafkah seminggu tiga ratus ribu. Untuk beli beras dan juga kebutuhan sehari-hari. Karena belum ada anak, aku rasa masih cukup. Apalagi makan kami tidak begitu mewah. Sesekali ingin makan daging sapi, paling akan diberi uang lebih oleh Bang Panjul. Aku juga tahu seberapa gajinya sebagai tukang. Aku faham.
Akhirnya kepulangan suami pun sudah pada waktunya. Aku menyambut dia di teras, karena detik-detik kepulangan sudah kuketahui. Motor matic pabrikan Honda itu pun kini sudah terparkir di halaman sempit rumah ini.
"Assalamualaikum, Dek," sapanya manis sembari melepas helm. Dia memanggilku dengan sebutan adik kalau di umum seperti ini, tapi kalau di kamar, dia menyebutku dengan sebutan sayang. Romantis, tapi kalau terdengar orang jadi malu. Makanya kami sepakat, panggil saja abang dan adek saat di luar.
Kulandaskan kecupan dari bibir bergincu merah dari sebuah liptint bau chery yang harganya hanya 20 ribuan, tapi nyaman dipakai. Kalau mahal-mahal seperti merek-merek yang dipakai Mbak Widya, aku belum mampu beli. Maksudnya bukan belum mampu, tapi belum sampai hati. Kebeli lipstik 80 ribu, tapi makan pasti tiga hari hanya dengan kepala ikan asin. Tidak bisa begitu. Andai diberi uang lebih, baru akan membelinya.
"Ayok, Bang, kita makan. Eh, tapi Abang mandi dulu, ya. Nanti Nur siapin makannya." Aku berkata lagi.
"Iya, iya. Mas Aryo di mana, kok sepi? Bukannya hari ini pulang, ya?" tanya Bang Panjul sembari membuka kaos kaki. Lalu tasnya kuraih, sedangkan sepatu sudah dilepas sejak tadi. Bukan gaya-gayaan setelan sepatu pantofel, tapi sepatu sneaker dan kaos kaki ini supaya tidak kedinginan saat berkendara membelah jalan raya.
Aku sempat tersendat saat pertanyaan itu terlontar. Ada irisan luka yang kurasa akan Mbak Widya, namun belum bisa aku jelaskan sekarang. "Nanti aku jawab ya, Bang. Ayok Abang mandi dulu."
Mungkin Bang Panjul heran dengan ekspresi wajahku. "Loh, kok jadi asem?" protesnya.
"Gak apa-apa, Bang, ini sedikit sakit perut. Tadi makan seblak," jawabku konyol. Memang tadi makan seblak Teh Ayu, tapi tidak sakit perut. Hihi.
Hingga pada akhirnya sampailah di momen penjelasan. Bang Panjul sempat heran, kenapa kami makan hanya berdua. Dan kini akan aku jelaskan.
Aku juga tak berani membangunkan Mbak Widya yang tadi sedang lelap. Dia pasti masih sedih, jadi tak tega membuyarkan istirahatnya.
"Bang, jadi … jadi Mas Aryo tadi pulang, tapi … tapi dia langsung jatuhkan talak ke Mbak Widya. Dan Mas Aryo sudah bawa pakaiannya semua."
Bang Panjul yang baru saja meneguk sedikit teh hangat pun kini tersentak kaget. "Apa? Talak?" Bola matanya seperti akan loncat memakan bola mataku.
"Heem." Kujawab dengan bibir merapat diiringi anggukkan kepala.
"Astaga."
"Iya, Bang. Kasihan Mbak Widya. Nur juga gak tahu, apa alasan Mas Aryo sampai langsung berkata talak. Bingung," lanjutku dengan tatapan beralih ke dasar lantai bertehel. Bukan keramik, karena masih peninggalan Ibu dan Bapak dulu.
"Hemh?" Lagi Bang Panjul kaget. Tapi, bola matanya kini gerak-gerak seperti ingin mengungkapkan sesuatu. Ada rona wajah sedikit memerah juga di pipinya seperti dibubuhi blush on kalau bahasa kerennya.
"Kok merah pipi Abang, Bang?"
Setelah jatuh pertanyaan barusan, sontak Bang Panjul tergesa-gesa meraih gagang gelas tinggi hadiah dari sebuah minuman suplemen penyegar tubuh berwarna ungu yang ada gambar kukunya. Singkat Bang Panjul menghabiskan teh hangat tersebut.
Aku pun heran. Tapi berpikir kalau dia pasti kehausan. Menyusuri jalan, dari Bandung kota ke sini itu lama.
"Abang cari angin dulu ya, Dek. Dan lagi butuh pekerja juga nih, Abang, mau cari orang," pamitnya setelah makan.
"Oh, iya, siap, Bang." Aku ikut beranjak.
"Oiya, nanti pakai parfum yang Abang belikan tadi, ya. Ini 'kan malam Minggu. Hihi," pesannya sebelum pergi. Aku pun hanya tersenyum malu. Tadi dia membelikanku parfum kecil nan wanginya semerbak, dan khusus untuk bertempur di ranjang. Ih, aku jadi malu.
"Ehem." Aku pun manggut, karena dia belum pergi dan masih menatap parasku. Akhirnya dia pun kini sudah meninggalkan meja makan jadul ini untuk segera mencari orang yang akan ikut bekerja dengannya.
Soal parfum, katanya itu memang khusus dan ia beli saat lewat di beranda tiktok. Hadeuh, dia memang sering buka-buka aplikasi seperti itu. Sedangkan ku tidak punya, karena memori sudah full. Bagaimana tidak, hanya RAM 1 GB saja.
Semakin hari, rasa cintaku semakin berlebih pada Bang Panjul. Dia itu tinggi, meski hitam tapi manis. Ya, manis-manis gurih. Apalagi membayangkan malam bercandu. Aw, aku suka geli sendiri.
***
Saat ini ada kesempatan Bang Panjul untuk mengurung Mbak Widya di kamar. Dia langsung menguncinya hingga kini suara godor-gedor pintu pun terdengar dari balik kamar pribadi mereka."Bang! Bang! Buka! Buka, eh, buka! Itu di sana ada Mas Aryo yang mau datang untuk mengajak aku jalan-jalan. Kamu jangan terlalu cemburu Bang Panjul, biarkan aku jalan sama dia sekarang. Buka pintu ini! Cepetan muka!"Dari balik kamar sana Mbak Widya masih terus berteriak dan menggedor-gedor pintu. Aku dan Mas Aryo benar-benar jadi bingung untuk membawa Mbak Widya ke psikiater. Kalau dibiarkan pasti gangguan emosinya pasti lebih parah.Kini si Bang Panjul duduk di kursi dengan tatapan lesu dan lunglai. Dia juga mengacak rambut seolah-olah pusing dengan keadaan yang saat ini ia hadapi."Kenapa si Widya jadi begitu? Kenapa dia malah parah seperti ini ya?" Dia bicara sendiri di depan kami berdua."Istri kamu memang gila, Panjul! Pokoknya kamu harus ganti semua barang ibu yang pecah ini. Pokoknya Ibu juga nggak
PoV Nur***"Mau ngapain? Pokoknya aku gak mau, ya? Awas kalau kalian berani bawa aku ke mana-mana. Mati kalian!" Akan dibawa ke psikiater, Mbak Widya malah ngamuk-ngamuk di depan aku dan Mas Aryo, di depan Bang Panjul dan juga ibunya. Dia benar-benar brutal. Baru kali ini aku melihat Mbak Widya sengamuk ini. Betul-betul, otaknya sudah berat sebelah."Ya udah, kalau gak mau ya udah. Jangan kamu rusak semua barang saya, Widya!" Mantan mertua ngomel. Lihat saja apa yang terjadi, Mbak Widya acak-acak isi rumah. Sampai panci, wajan, centongan, semuanya berhamburan keluar. Seperti ada pertempuran antara istri dan selingkuhan suaminya.Brang! BRENG!Pluk!"Sinting kamu, Widya! Apa yang kamu lakukan? Rusak saja barang lain, jangan barang milik saya! Heurkh!"Bu Nengsih murka habis-habisan. Apalagi karena kekacauan ini malah berhasil mengundang perhatian para tetangga. Beberapa warga berhamburan menjadikan rumah Bu Nengsih ini sebagai pusat perhatian.Aku dan Mas Aryo pun bingung harus bag
Semakin aneh lagi Mbak Widya. Jangan-jangan …"Sebenarnya ada apa, Bang?" Aku sangat penasaran dan langsung menanyakan pada si Bang Panjul."Sejak minum baygon sama so Klin lantai, otaknya jadi gesrek, Nur! Abang 'kan pernah cerita sama kamu waktu itu." Bang Panjul menjelaskan dengan fasih."Hah, jadi itu beneran?" Aku kaget, Mas Aryo pun masih ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."Beneran, Nur. Sepertinya kalau tidak keburu dicegah, dia bisa mati. Eh, malah stres!" kesal si Bang Panjul."Astaghfirullahaladzim!""Heh, jangan bilang aku stres ya, Bang? Kurang ajar! Kamu yang stres, kamu gak bisa kasih aku uang banyak! Kamu yang stres!" Mbak Widya nyolot.Aku tak habis pikir dengan tingkah Mbak Widya saat ini. Dia seperti lain, ini bukan dia. Kalau pembahasannya sih masih sama, tapi cara dia tampil dan dia ngelantur, ini beda."Lihat 'kan, Nur? Dia tidak gila semacam amesia, dia masih sadar, hanya kadang ngelantur dan kayak orang gila. Lihat aja, baju dia pakai dobel-dobel kayak gitu
PoV Nur***"Sebenarnya istri saya kenapa, Dok? Kok bisa sampai muntah-muntah begini, ya? Apa asam lambung?" Dokter malah senyam-senyum. "Selamat, Bu Nur sedang mengandung. Sepertinya sudah mau jalan 4 Minggu."Deg!Aku dan Mas Aryo yang duduk di depan dokter, di ruang pemeriksaan ini pun terkaget-kaget sekaligus bahagia. "Yang bener, Dok? Jadi istri saya hamil?"Aku hanya mampu berkali-kali meneguk liur saking terharunya. Kalau ini benar, alhamdulillah, kami memang benar-benar menanti. Itu alasan kenapa aku tidak ikut KB."Betul sekali. Apalagi istri Bapak telat datang bulan, ya?" ucap dokter lagi.Mas Aryo melirikku. "Kamu telat datang bulan?" tanyanya padaku.Aku pun manggut-manggut dengan senyum yang ragu. Memang tadi dokter bertanya mengenai hal itu."Alhamdulillah, jadi beneran hamil, ya?" Mas Aryo memastikan lagi pada dokter perempuan yang tengah memeriksaku.Begitu bahagianya kami. Ini adalah rezeki terindah sepanjang sejarah. Ah, aku hamil? Jadi pusing-pusing belakangan ini
"Ya pakek nomor suamimu lah! Pakek nomor siapa lagi? Lagian, pasti pesannya udah dihapus. Tadi, barusan aja suamimu hubungi aku. Eh, kamu keburu datang aja, Nur. Hemh." Seharusnya ini bisa membangkitkan emosi anak kurang ajar ini. Tapi, bukannya dia marah, wajahnya malah lesu dan malas."Pakai nomor yang mana, Mbak? Pakai nomor yang ini?" Ia merogoh hp dari tas kecilnya, "ini hp Mas Aryo kebawa sama aku waktu tadi Mas Aryo peluk aku dan genggam-genggam tangan aku, kayaknya dia simpan hp di keranjang belanjaan tanpa sadar. Kayaknya gak ada kiriman pesan atau pesan masuk dari kamu deh, Mbak. Atau Mas Aryo pakai nomor mana ya?" Dengan penuh keyakinan dia membuat emosiku berapi-api. Hah? Bagaimana bisa hp Mas Aryo tertinggal di keranjang si Nur? Ah, lalu tertinggal saat si Mas Aryo meluk dia?"Eh, kamu lancang ya bawa-bawa hp suami!" tegurku kesal. Entah kenapa kesempatan membuat mereka adu mulut jalannya sesulit ini. Kenapa kebetulan? Lalu alasan apalagi?"Sudahlah, Wid, kamu pulang sa
PoV Widya***"Eh, eh, eh, apaan ini?"Seorang wanita paruh baya yang kehadirannya membuatku terkejut itu sudah berkacak pinggang. Ia menatapku dengan sengit. Ibu, kenapa mertuaku ada di sini?"Ibu?""Dasar istri kurang ajar! Bilang mau nyari kerja, kenapa kamu di sini? Mau ngapain di sini? Jangan-jangan kalian berdua main di belakang lagi ya?" cerocosnya. Mas Aryo pun bukannya kaget tapi dia malah geleng-geleng kepala. "Jangan asal tuduh, Bu. Lihat menantu Ibu yang menyodorkan dirinya pada saya. Sudah saya suruh pergi malah makin nyosor." Mas Aryo tega seserius itu membicarakan aku.Aku di sini panik."Eh, eh, eh, si Widya ini bikin malu. Sudah lagi perut bunting, sekarang malah begini. Gak waras kamu, ya?" celetuk mertua."Bu, diam dulu. Aku ke mari … aku ke mari karena ada urusan. Iya 'kan, Mas?" Aku melirik Mas Aryo berharap dia mau kongkalingkong. Kukedip-kedipkan mata memberikan kode."Urusan apa, Wid? Kamu mau ganggu aku lagi ya? Aku malu sih pernah jadi suami kamu. Lebih baik
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen