"Maaf, Pak, saya baru ingat," jawab Najwa ramah. Mau bagaimanapun, pria ini yang sudah memberi banyak uang untuknya minggu ini.
"Boleh saya bergabung?"
"Silahkan, saya juga baru pesan," jawab Najwa karena dilihatnya tempat lain sudah penuh.
"Anda tinggal di sekitar sini?"
"Di blok sebelah, apa acaranya masih belum selesai?" Najwa heran, acara di resort sudah selesai tadi malam dan resort cukup jauh dari sini, tapi mengapa pria ini bisa nyasar di sini?
"Saya pulang ke rumah Mama saya, dia tinggal di blok F. Kalau Mbak Najwa di blok apa? Maaf ya saya panggil Mbak aja, kayaknya kita seumuran."
"Oh, nggak papa, Pak. Saya tinggal di blok E."
"Wah, deket dong, ya. Padahal saya sering ke sini kalau weekend tapi nggak pernah ketemu Mbak, ya?" tanya Dafa antusias. Dari awal bertemu memang ada ketertarikan yang Dafa rasakan pada wanita di hadapannya ini, tetapi Dafa tidak berani mendekati karena takut Najwa sudah bersuami.
"Saya jarang keluar rumah kalau nggak kerja, paling kalau minggu gini baru jalan-jalan sambil cari sarapan," jelas Najwa. Najwa memang wanita yang sibuk, selain mengurus anak dan bekerja, dia memang jarang berinteraksi dengan orang lain. Tetangga sebelah rumah saja dia tidak tahu namanya.
"Oh, gitu. Berarti kalau mau ketemu, saya bisa ke sini minggu pagi, dong, ya?" ucap Dafa.
Najwa mengerutkan kening, tanda tidak mengerti maksud Dafa. Melihat reaksi Najwa, membuat Dafa salah tingkah.
"Nanti kalau mau sewa resort lagi, bisa cari Mbak Najwa di sini hari minggu," ucap Dafa meralat ucapannya.
"Semua urusan pekerjaan sudah saya serahkan pada asisten saya, Pak Dafa sudah simpan nomernya, kan? Kalau belum, saya ada kartu namanya." Najwa segera membuka dompet lalu menyerahkan kartu nama Linda. "Ini, Pak, silahkan disimpan nomernya. Semua urusan pekerjaan dia yang urus, saya tinggal terima beres."
"Terima kasih, saya simpan ya." Dafa menjawab dengan kikuk, rencananya untuk pendekatan pupus sudah.
Saat tengah asyik menyantap sarapan, ponsel Najwa berdering. Setelah melihat siapa yang menghubungi, Najwa segera menerima panggilan.
"Mama, cepet pulang. Katanya mau ajak Tasya ke Mall." Rengekan Tasya langsung menggema di telinga Najwa.
"Ini masih jam tujuh, Mall belum buka, Sayang," jelas Najwa setelah melihat jam di tangannya.
"Tapi, kan, Tasya butuh siap-siap. Hari ini Mbak Nia nggak ke sini, katanya ada acara keluarga. Mbok Sani mana bisa dandanin Tasya," rengek Tasya tak sabar.
"Iya, ini Mama mau pulang. Tunggu bentar ya." Najwa segera mematikan sambungan setelah putrinya mengatakan oke.
"Mbak Najwa sudah menikah?" tanya Dafa terkejut.
"Sudah, anak saya sudah besar, Pak" jelas Najwa.
"Saya kira Mbak Najwa masih single, maaf ya Mbak, saya nggak tau." Ada nada kecewa pada ucapan Dafa.
"Nggak apa, Pak. Saya permisi dulu ya, anak saya sudah menunggu."
Dafa mengangguk saat Najwa beranjak dari duduknya lalu berjalan keluar dari warung soto. Wanita mandiri dan tegas di pandangan Dafa memang mengusik hatinya sedari awal berjumpa, cantik tapi dingin membuat ia begitu penasaran pada sosok Najwa, tetapi sayang dia sudah jadi milik orang.
**Ai**
Najwa sampai rumah setelah sepuluh menit berjalan dari warung soto, ia segera membuka kamar anaknya untuk melihat kehebohan Tasya.
"Lagi ngapain?" Najwa melihat putrinya tengah sibuk memandang baju di lemari, seperti seorang wanita yang bingung memilih baju saat diajak kencan pacarnya.
"Bingung mau baju yang mana, nanti, kan, di sana ketemu Bian. Masak aku pakek baju yang udah pernah dia liat, kan, malu, Ma," ungkap Tasya.
"Kenapa malu? Bian juga suka pakek baju itu-itu aja, tapi nggak malu." Apakah anak kecil sekarang memang lebih cepat besar dalam segala hal? Seingat Najwa, dulu ia tidak pernah bingung memilih baju kalau hanya bermain bersama temannya.
"Dia, kan, cowok, Ma, beda." Tasya masih sibuk memilah baju yang akan dipakai. " Lagian nanti katanya Erlin mau ikut, Mama, kan, tau kalau Erlin itu resek."
"Itu, kan, ada baju yang bulan kemarin dibeli sama Papi, pakek itu aja. Kan, cuma pernah dipakek sekali dan nggak ada Bian sama Erlin di sana," putus Najwa pada akhirnya, karena Tasya akan tetap memilah baju kalau tidak di beri alasan yang masuk akal. Sifat perfeksionis yang menurun dari Papinya kadang membuat Najwa pusing sendiri.
Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya Tasya setuju dengan pilihan mamanya.
**Ai**
Tiba di sebuah mall, Tasya segera berlari menghampiri kedua temannya yang sudah menunggu, sementara Najwa memilih duduk bersama Ibu Bian dan Erlin.
Mereka membahas perkembangan anak masing-masing. Saat tengah asyik mengobrol, tiba-tiba ada suara yang menyapa Najwa.
"Mbak Najwa."
Dia lagi? Kenapa harus berurusan dengan orang yang ingin ia hindari, takdir memang kadang serumit ini.
Tasya dan Bian menoleh, ternyata Dafa sudah berdiri di ambang pintu."Om." Bian mendekat, ia lalu mencium tangan Dafa."Baru nyampek, Pa," jawab Tasya seraya mendekati papanya."Mau masuk dulu?" tawar Dafa.Sebenarnya Bian tidak enak hati untuk menolak, tetapi ia harus segera pulang. Besok pagi sekali dia harus kembali ke kota sebelah untuk mengumpulkan rupiah."Lain kali aja, Om. Ditungguin mama," tolak Bian. "Kalau gitu Bian pulang, ya, Om. Salam buat mama Najwa sama Davin."Bian berjalan keluar gerbang, Dafa mengikuti untuk menutup gerbangnya. "Udah makan?" tanya Dafa seraya merangkul pundak anaknya, lalu mereka masuk bersama."Udah," jawab Tasya. "Mama sama Davin mana?" Dilihatnya tidak ada orang selain Dafa."Davin lagi ke rumah temennya. Kalau mama ada di kamar. Mau dipanggilin?"Tasya menggeleng. "Papa kalau udah capek istirahat aja, Tasya mau ke atas," ujar Tasya. Ia kini berjalan meninggalkan Dafa."Sya."Tasya berhenti saat papanya memanggil. Lama Tasya memperhatikan papany
"Kapan nih, nikah? Tante udah nggak sabar lihat kalian di pelaminan," tanya Rania. Kini acara susah selesai. Selain keluarga inti Bian, tinggal Tasya dan Rania beserta keluarganya.Mereka tengah berkumpul di ruang tengah. Saat ini Tania sedang berganti baju, tinggallah Rania dan Tasya di sana."Doakan saja, Tante," jawab Tasya. Semua masih rencana, tidak baik untuk diutarakan."Anak Tante sebenarnya juga udah waktunya nikah, tapi sampai sekarang anteng-anteng aja. Nggak tau maunya yang kayak gimana," ujar Rania. Usia anak sulungnya selisih tujuh tahun dari Bian dan Tasya. Harusnya Revan sudah menikah dan Rania susah menimang cucu. Tapi apalah daya, anaknya masih betah sendiri hingga usia tiga puluhan."Mungkin memang belum ketemu jodohnya, Tante," jawab Tasya. Tidak mungkin ia mengatakan karena anak Rania itu memang sombong, jadi susah mendapatkan pasangan. Pasti Rania akan marah padanya."Mbak Tasya, mau minta foto." Radea, anak kedua Rania datang menghampiri."Boleh," jawab Tasya.
"Ma, aku mau berangkat dulu, ya," pamit Tasya pada ibunya.Tidak terasa waktu berjalan dengan cepat. Tasya kini sudah beranjak dewasa. Ia bahkan sudah menjalin kasih dengan Bian, sahabat yang dipuja Tasya sejak kecil."Iya, salam buat mama Tania, ya."Najwa masih sibuk di dapur untuk membuat makan siang. Dafa masih bekerja, sementara Davin belum pulang dari sekolah."Siap, Mamaku yang paling cantik."Tasya mencium pipi mamanya, setelah itu Bian bersalaman dengan Najwa untuk berpamitan."Bian pergi dulu, ya, Ma. Nanti Tasyanya Bian anterin agak malam. Setelah acara selesai," ujar Bian pada Najwa."Iya, Sayang. Mama nitip Tasya. Nanti kalau rewel kamu jewer aja.""Ih, Mama. Tasya udah gede, ya. Nggak ada rewel-rewel segala," protes Tasya yang membuat Najwa dan Bian tertawa.Tasya dan Bian menaiki mobil. Mereka akan pergi ke rumah Bian untuk menghadiri acara keluarga. Sudah beberapa kali Tasya menghadiri acara keluarga di rumah Bian, begitu pun dengan Bian yang juga sering ikut saat ada
Tidak terasa waktu berjalan dengan cepat. Kedekatan antara Ferdi dan Rina akhirnya berakhir ke pelaminan.Saat ini Najwa dan Dafa tengah mempersiapkan perjalanan menuju rumah Ferdi, sementara Tasya sudah di sana sejak beberapa hari yang lalu."Udah masuk semua?" tanya Dafa. Sedari tadi ia sudah memasukkan beberapa tas ke dalam bagasi mobil."Udah kayaknya," jawab Najwa seraya melihat barang-barang yang sudah masuk.Rencananya Najwa dan Dafa akan menginap selama dua hari, sementara Tasya akan menginap selama satu minggu."Aku ganti baju dulu, Davin masih tidur di kamar bawah," ujar Najwa seraya meninggalkan Dafa yang tengah memanasi mobil.Najwa tidak langsung memakai baju untuk acara, tetapi ia memakai baju biasa dulu. Mengingat perjalanan dari rumahnya menuju rumah Ferdi cukup jauh.Mereka berangkat setelah semua sudah siap. Davin masih terlelap saat mereka memulai perjalanan.Sesampainya di rumah Ferdi, suasana sudah sangat meriah. Pesta akan dilaksanakan di rumah Ferdi saja karena
"Rudi yang bilang, Ma?" tanya Dafa pada ibunya Nila. Mereka sudah sangat akrab dari Dafa kecil, jadilah Dafa memanggilnya mama juga."Iya," jawab Lastri. "Mama mau minta maaf atas nama Nila dan Rudi. Selama ini mereka sudah nyakitin kamu. Mama masih punya banyak uang untuk membayarnya dan itu juga bukan tanggung jawabmu," lanjut Lastri.Sejahat apa pun Nila dan Rudi, Dafa tetap menyayangi Lastri. Baginya, Lastri tetaplah ibu yang baik."Dafa emang pengen ngasih, tapi bukan paksaan dari Rudi juga. Ini murni keinginan Dafa. Mama terima, semoga bisa membantu." Dafa menyerahkan amplop pada Lastri. Sebelum ini, ia sudah berbicara pada istrinya dan mereka sepakat untuk memberi sumbangan."Jangan, Nak. Mama nggak mau bebanin kamu," tolak Lastri seraya mengembalikan amplop itu pada Dafa."Dafa ikhlas, Ma. Nggak banyak, tapi semoga bisa bermanfaat. Terima ya, Ma." Akhirnya Lastri mengalah. Ia menerima uang pemberian dari Dafa seraya mengucap terimakasih.Hingga sore Dafa dan Najwa masih berad
"Ada apa?" Najwa bertanya saat dilihatnya suaminya hanya diam seraya menatap ponsel yang menyala."Lihat ini." Dafa memberikan ponselnya pada Najwa.Najwa menggelengkan kepalanya. Merasa heran karena masih ada orang yang tidak tahu malu macam Rudi."Kamu nggak perlu menanggapinya. Ini bukan tanggung jawabmu, Mas."Najwa menyerahkan kembali ponsel Dafa, ia lalu meraih Davin untuk memandikan anak itu.Dafa memilih memblokir nomor Rudi. Ia tidak ingin rasa sakit hati mempengaruhi kehidupan rumah tangganya. Rudi sudah sangat dewasa untuk mengatasi masalahnya sendiri."Aku mau beli nasi goreng dulu, ya," pamit Dafa."Iya," jawab Najwa dari kejauhan. Ia sudah bersiap untuk melepas baju Davin.Davin sudah wangi dan tampan. Rambutnya yang lebat dibelah pinggir. Pipi besarnya membuat siapa pun pasti gemas saat melihat Davin.Davin kini sudah kembali bermain, sementara Najwa mengambil piring untuk menikmati nasi goreng yang dibeli Dafa."Mama tadi kirim pesan," ujar Dafa seraya menyuap nasi gore