Share

BAB 3 | Kasih Sayang yang Tenggelam

“Beberapa perpisahan tidak ada kata selamat tinggal di dalamnya.”

~Rania

“Rania welcome!” Seru Mama Rania dari dalam rumah.

Di samping wanita paruh bayah yang berwajah teduh itu terdapat wanita yang berusia sebaya dengan sang kakak, memakai baju polisi dengan pangkat balok dua di pundaknya. 

Wanita itu adalah calon kakak ipar Rania. Saat ini, adalah hari pertama sang kakak membawa kekasihnya ke rumah secara resmi untuk membicarakan pernikahan, padahal sudah hampir 8 tahun sejak mereka pacaran.

Rania, di dalam pikirannya bergelut bahwa sang kakak sengaja menunda pernikahan karena mengkhawatirkan kondisinya. Rania membenci itu, dia ingin bilang bahwa ia tidak ingin menjadi orang yang banyak menghalangi keadaan.

Jovan, sang kakak memperhatikan ekspresi Rania. Harapan untuk mengembalikan hasrat hidup adik yang ia sayangi tak pernah pudar. Saat tiba-tiba ingin menyerah, dia melihat ke wajah berharap orang tuanya yang tak pernah pudar, atau kepada wanita yang sangat ia cintai, Siska

Wanita itu rela menunggu dan memberi perhatian penuh kepada keluarga Jovan yang bahkan belum resmi menjadi keluarganya. Lihatlah sekarang Papa, Mama, dan Siska yang masih memakai pakaian dinas mereka masing-masing, pukul 8 malam, sudah menyiapkan acara kecil yang cukup mewah ini sendirian.

Pasti sangat melelahkan, selesai kerja langsung memikirkan acara, makanan, perasaan, harapan, bahkan ekspresi yang harus mereka pasang. Alasan utamanya, tak lain tentang harapan mereka agar hasrat hidup gadis kecil mereka yang hilang sejak 6 tahun silam, kembali lagi.

Jovan merangkul Rania hangat dari samping. Gadis itu memang kehilangan hasrat hidupnya, tapi dia juga tak pernah tidak menghargai pemberian mereka. Yah walaupun tanpa ekspresi sumringah seperti yang diharapkan sebelumnya, tapi mereka tetap bahagia dan selalu berkata bahwa kesempatan di hari esok akan datang lagi seperti biasanya.

Mereka duduk di meja makan. Tanpa melepas seragam kerja masing-masing, keluarga itu duduk dan makan setelah mencuci tangan. Seperti biasa, sang Papa mulai mengambilkan ikan untuk Rania. Sejak kecil, Rania selalu makan ikan yang sudah dibersihkan durinya. Ayah dan Ibunya selalu membuat ia makan tanpa harus ada hambatan lagi.

Ikan yang durinya sudah dibersihkan, air putih di samping pirin, sendok di atas meja, lauk yang gampang digigit, buah yang sudah dikupas, hingga tisu kering di tengah meja. Rania selalu merasakan bentuk kasih sayang yang seperti itu sejak kecil.

Hingga saat itu, ia bertengkar dengan sang ayah. Baru pertama kali dirinya bertengkar dan itu hanya karena hal sepele. Saat itu mama Nilam menelpon bahwa Nilam tidak pulang lagi ke rumah. Sudah hampir 45 jam dan mama Nilam sudah berada di kantor polisi untuk persiapan membuat laporan. Rania tahu kemana Nilam pergi biasanya karena itulah mamanya menelponnya.

Kejadian itu sudah berulang kali terjadi dan Rania langsung menghampiri Nilam yang ada di rumah salah satu teman fotografinya yang dipakai untuk markas organisasi mereka. Rania tidak meminta izin untuk keluar pada ayahnya, sehingga saat ia kembali, sang ayah langsung memarahinya habis-habisan.

Padahal biasanya, jika Rania keluar dengan alasan Nilam, ayahnya akan pengertian. Toh ia keluar tidak sampai 4 jam, tapi sangat marah seolah dirinya berbuat salah apa. Hari itu ayahnya sangat temperamen, apa-apa saja dikomentari. Pakaian, cara jalan, riasan wajah, bahkan cara dia makan. Tiba-tiba ayahnya memarahinya habis-habisan,

“Kamu ini manja banget seh, Ran!” Bentak sang Ayah tiba-tiba.

Ibunya yang merasa suasananya tidak enak menyenggol bahu suaminya untuk segera berhenti dan makan karena gadis itu sudah banyak dimarahi sejak pagi. Tapi rupanya Rania tidak, dia sudah terlanjur tersulut emosinya. Dimakannya ikan di hadapannya dengan asal yang berujung tersedak duri.

Semua orang tahu bagaimana rasa sakit sekaligus trauma yang ditimbulkan saat tersedak duri. Tenggorokannya sangat sakit seperti ada yang mengganjal sambil menggores dinding kerongkongan. Dibawa batuk sakit, dibawa menelan juga sakit. Akhirnya Rania memegangi erat tenggorokannya dan menangis menjadi-jadi.

Andai saja ia tahu bahwa hari itu adalah hari terakhir ia bertemu sang ayah, sudah pastilah dia akan mengalah.

Tapi sayang, beberapa perpisahan tidak ada kata selamat tinggal di dalamnya.

***

Setelah berakhirnya acara di malam itu, Rania segera membuka laptopnya. Dia membuka browser dan melihat tab pencarian yang sudah ia pin sebelumnya. 

Carrier in South Korea

Disandarkan punggungnya ke kursi. Sudah sejak lama ia memikirkan karir ini. Sudah cukup dirinya menjadi penulis belakang layar yang hanya dikenal crew saja. Dia ingin mencapai cita-citanya yang ini.

Tiba-tiba pintunya diketuk. 

“Rani, Papa sama Mas boleh masuk?”

Itu suara Papa!

Segera Rania menggeser-geser mouse, mencari dan menekan tombol close di pojok kanan atas. Ia kemudian berdehem mengiyakan panggilan itu.

Rania duduk di ranjang dan Papa nya duduk di sofa di depannya. Kemudian kakak nya ke dalam sambil membawa kopi kemasan kaleng di tangannya lalu menutup pintu.

“Rani, kamu masih nyelidikin kasus kecelakaan keluarga kamu?” Ucap sang Papa to the point.

Rania menatap wajah mereka segera tanpa menjawab apapun.

Kakaknya menyerahkan flashdisk ke atas meja.

“Orang punya toko yang CCTV nya ngerekam kejadian 6 tahun lali tadi nyerahin ini ke Papa. Katanya kamu yang minta.” Timbal sang Kakak.

Rania menunduk tidak menjawab lama.

“Aku.. Aku cuma pingin punya videonya aja, kok! Meskipun aku tau kepastian kematiannya, mereka tetep nggak akan kembali.”

Hening sejenak, hanya terdengar suara nafas mereka bertiga yang mulai memberat. 

“Begini, Papa nggak halangin Rania untuk selidikin sedalam apa kematian mereka. Lakukan apa yang menurut kamu emang perlu dilakukan. Kalo kamu emang merasa ada yang aneh pada kematian mereka, lakuin apa yang Rania mau. Yang perlu Rani inget, Papa selalu ada di samping Rania kapanpun Rania butuh. Jangan sungkan buat hubungin Papa.”

Jovan menoleh pada sang ayah. Bagaimana dirinya sesabar ini? Mengapa menawarkan hal seperti itu pada Rania? Bukankah ia bisa melakukan hal yang lebih dari itu? Kecelakaan itu hanyalah tragedi ringan yang dengan gampang dapat di atasi oleh petinggi militer yang punya banyak koneksi di kepolisian seperti dirinya.

Bukankah itu sama saja merendahkan posisinya? Ia tidak tahan dan akhirnya menyahut,

“Penyelidikan seperti itu bisa dengan mudah kita lakuin, Ran. Kenapa kamu nggak minta kita aja?”

Rania menunduk dalam dan memainkan ibu jarinya. Batinnya mulai merasa tak enak akan perkataan sang Kakak. Omongannya ada benarnya juga, tapi entah kenapa Rania belum siap untuk mengandal orang lain lagi. Bahkan Papa dan Kakak nya sendiri.

Setelah keluar ruangan Rania, Jovan malah merasa bersalah telah mengatakan hal itu tadi,

“Maaf, Pa, Ma. Tadi Jovan kelepasan.”

Orang tuanya hanya diam dan bernafas berat di depannya. 

“Lain kali biarin dia lakuin apa yang dia suka dan mau dulu. Sudah sejak lama adikmu tidak berhasrat melakukan apapun, hal ini adalah satu-satunya hal yang ia ingin lakukan sejak 3 tahun silam. Biarkan dia, yang paling penting kita selalu ada di sampingnya.” Jelas sang Mama.

“Mamamu benar. Saat itu dia seperti hidup tanpa harapan. Baru 3 tahun setelahnya ada keinginan dalam dirinya untuk melakukan sesuatu.”

Rania mendengar dari balik pintu kamarnya. Pikirannya mulai mengatakan bahwa dirinya adalah kesusahan bagi mereka. Dia tidak suka kondisi seperti ini, seolah-olah dia sedang dikasihani saja. Rania ingin mereka melakukan apapun tanpa berpikir bagaimana dirinya. Bukan seperti ini yang namanya bersikap biasa saja. 

Ia pun berlalu menenggelamkan wajahnya di bantal kasurnya.

.

.

“...Kita melakukan ini bukan karena kasihan dan menolong Rani. Tapi kita menyayanginya, sebab itu kita semua harus melakukan ini.” Lanjut sang papa yang sudah tidak terdengar oleh Rania.

Terkadang kasih sayang yang sebenarnya banyak tertutup oleh keraguan pribadi manusia, sehingga kekuatan asli kasih sayang itu terlihat redup, padahal aslinya sangat terang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status