Terdengar langkah kaki menuju dapur, membuat Lastri dan Parjo dengan cepat melirik ke luar secara bersamaan. Dari jauh, terlihat Mbok Darmi datang memondong beberapa kayu bakar kering. Lastri dan Parjo mulai menjaga sikap dan terlihat biasa-biasa saja. Parjo lalu berjalan mendekati Lastri dan berbisik pelan, sambil menepuk-nepuk pundak janda tiga puluhan tahun itu.“Kau pikir-pikir saja, dulu. Jangan coba mengadu pada Juragan Karta, atau aku langsung melapor pada Ndoro Putri!” bisik Parjo penuh ancaman, bergegas pergi meninggalkan dapur.Lastri terdiam tak bisa menjawab, dia meremas-remas ujung jariknya bingung harus bagaimana.“Jo, sebentar lagi sayur lodehnya matang, apa kau tak mau menunggu?” sapa Mbok Darmi saat berpapasan dengan Parjo di pintu keluar.“Nanti saja, Mbok. Saya mau ngarit dulu,” jawab Parjo tersenyum sambil melirik nakal ke arah Lastri yang masih gugup terdiam.“Ha ha, tumben-tumbenan.”Mbok Darmi melangkah masuk ke dapur memondong kayu kering, melemparkannya ke sam
“Kang Mas, kenapa? Aku melihat, Kakang beberapa hari ini sering melamun,”Teguran dari Anjani itu membuat Juragan Karta yang sedang duduk termenung di bale-bale, memikirkan cara menutupi perselingkuhannya itu tergagap, kaget. Tahu-tahu sang istri sudah ada di sampingnya, menepuk pundaknya.“Oh, Diajeng,” jawabnya geragapan. “Kakang ada masalah apa, sebenarnya?” desak Anjani kembali bertanya. Firasatnya sebagai perempuan merasakan ada yang berbeda dari suaminya. Meski sebenarnya masih khawatir dengan ramalan sang Resi, Anjani sudah membuang jauh rasa itu dan kembali melayani suaminya seperti biasa. Tapi hal itu seperti tak banyak mengubah keadaan. Suaminya memang tak lagi uring-uringan, berganti jadi sering melamun sendiri. Suaminya juga tak lagi menjamahnya setelah malam pertama Anjani menyerahkan dirinya.“Kakang hanya capek saja, dan tak sabar menantikan kelahiran jabang bayi ini,” jawab Jurag
“Haaaa!” jerit Lastri melihat tubuh Juragan Karta bersimbah darah di samping mayat Parjo yang sudah terbujur kaku. Lastri sudah punya firasat tidak baik saat Juragan Karta bergegas pergi dengan wajah penuh amarah setelah mendengar ceritanya tentang ancaman Parjo. Lastri pun mengikuti Juragan Karta, dan benar saja, Juragan Karta telah membungkam mulut Parjo untuk selamanya. “Oh Dewa, apa yang telah Kakang lakukan? Ohhh….” Lastri membekam mulutnya menahan haru. Parjo memeng telah menghinakannya dan membuat dia berada dalam situasi yang sulit. Tapi, melihat mayat Parjo yang terbujur kaku, Lastri juga merasa tidak tega. Dia tak menyangka kalau Juragan Karta akan bertindak sejauh ini. Juragan Karta yang masih duduk terpekur menatap mayat Parjo, buru-buru menyarungkan keris pusakanya ke dalam warangka, lalu menyelipkannya ke pinggang sambil berdiri. “Dia pantas mati, Lastri! Mulutnya telah terbungkam selamanya. Lekas bantu aku menguburkan pria tak tau diri ini, sebelum ada yang melihat,
Roh Panglima Tiang Feng masih termenung memikirkan kehidupan ketiga ratus tiganya. Gambaran kehidupan yang akan dia jalani sudah terlihat jelas. Dia akan mengalami banyak kesialan dan berkali-kali merasakan derita cinta dalam satu kehidupan. Karma buruk akibat melanggar aturan langit saja sudah cukup berat, di tambah dia harus menanggung beban karma buruk akibat dosa yang diperbuat oleh kedua orang tuanya, makin membuat Panglima gelisah. Meski Raja Akhirat telah berjanji akan membantu mengurangi derita asmaranya, roh Panglima tetap tak yakin akan sanggup mengubah nasib buruk di kehidupan ke tiga ratus tiganya.“Waktumu telah tiba, Panglima….” Raja Akhirat mengingatkan Panglima untuk bersiap menuju gerbang reinkarnasi.Roh Panglima Tiang Feng menoleh pelan, ke arah Raja Akhirat. Tak seperti beberapa hari yang lalu, roh Panglima Tiang Feng kini sudah bisa tenang dan tak lagi berteriak dan meraung-raung minta dijebloskan ke neraka, meski tahu kalau kehidupan ketiga ratus tiganya akan leb
Owew owew owewTangisan bayi yang baru lahir itu memecah keheningan malam saat keluar dari rahim sang ibu. Dukun bayi mengangkatnya tinggi-tinggi lalu buru-buru membersihkannya. Meski masih merah, Dukun bayi bisa merasakan aura yang berbeda pada bayi yang baru lahir itu. Bayi itu terlihat gagah dan rupawan memancar aura yang memikat.“Hmm, bayi laki-laki yang tampan. Entah berapa gadis yang akan terpikat olehnya nanti,” gumam Dukun mengelap-elap tubuh bayi mungil itu.Mbok yam ibu dari Lastri tersenyum bahagia melihat bayi yang masih merah itu terlahir dengan selamat. Mbok Yam menyambut dengan senyum haru cucu laki-lakinya itu, Mbok Yam untuk sejenak melupakan rasa marahdan kesalnya pada Lastri yang tiba-tiba pulang dalam keadaan hamil. Berkali-kali Mbok Yam mempertanyakan tentang laki-laki yang telah membuatnya mengandung. Setiap kali hal itu ditanyakan, Lastri selalu menjawab kalau lelaki itu akan bertanggung jawab dan menjemputnya di desa. Tapi nyatanya tak kunjung datang.“Cucuku
“Lepaskan, Ndoro Ayu!” teriak Mbayang Pranaya lantang tanpa rasa takut mengacungkan sabit di tangannya. Matanya berkilat tajam memandang ke arah gerombolan pemuda yang mengganggu gusti ayunya. Meski seorang diri, dia sama sekali tak gentar menghadapi berandalan-berandalan itu. Empat orang pemuda yang tadi menggoda Cadrawati tersentak kaget mendengar suara Mbayang Pranaya yang menggelegar. Meski mereka berempat, mereka nyatanya keder juga melihat tatapan elang dari Mbayang Pranaya. Saat ke empat pemuda yang tadi menggodanya itu masih kaget dengan kedatangan Mbayang Pranaya, Cadrawati menarik tangannya dari berandal-berandal yang mengganggunya lalu berlari ke arah Mbayang Pranaya. “Hay!” jerit salah seorang pemuda yang tadi mengcengkram tangan Candrawati, saat menyadari tangan gadis ayu itu lepas. “Huh, Hajar mereka Mbayang, mereka berani menggangguku!” sungut Candrawati mengadukan tingkah kurang ajar pemuda-pemuda itu pada Mbayang Pranaya. Wajah putih bersih Cadrawati memerah menaha
Mbayang rebah di atas rerumputan dengan luka memar di sekujur tubuh. Meski dia harus babak belur dan mukanya biru-biru, dia akhirnya berhasil mengusir berandal-berandal yang mengganggu Ndoro Ayu. Mbayang seperti tak punya rasa sakit dan lelah, dia terus bangkit dan berdiri membalas setiap pukulan dan tendangan yang dia terima seperti orang kesurupan, yang membuat berandal-berandal itu kewalahan dan akhirnya memilih kabur. Barulah setelah berandal-berandal itu pergi, sekujur tubuh pemuda lima belas tahun itu merasakan nyeri dan perih yang luar biasa.“Kau tak kenapa-napa?”Mbayang membuka matanya, melihat Candrawati duduk di samping. Wajah putih dan mata indah itu nampak tersenyum bangga melihat Mbayang berhasil mengusir pengganggunya. Sebaliknya, Mbayang tersenyum kecut mendengar pertanyaan dari junjunganya. Bagaimana Candrawati bisa bertanya hal seperti itu sedangkan dia melihat sendiri tubuh dan wajahnya tak biru-biru terkena tendangan dan pukulan.“Hhhhm, coba saja Ndoro menuruti p
“kakang selalu membelanya, huh!”Juragan Karta menghela nafas panjang, baru saja kakinya melangkah ke dalam kamar, dia sudah disambut dengan ucapan ketus dari Anjani Istrinya. Bukan hanya kata-kata ketus, dia juga disambut dengan wajah cemberut penuh amarah dari sang istri.“Aku tak membelanya, dia memang tak salah,” jawab Juragan Karta sambil berjalan mendekati.“Tak salah bagaimana, hah? gara-gara dia putri kita hampir celaka,”sengit Anjani matanya melotot lalu membuang muka ke samping.Juragan Karta berusaha menenangkan Anjani yang terbakar emosi dengan menyentuh pundaknya. Tapi Anjani buru-buru menepis tangan Juragan Karta yang menjamahnya. Juragan Karta tak berkata-kata lagi. Dia merebahkan diri di ranjang mengingat kemabali peristiwa lima belas tahun yang lalu. Sebuah peristiwa yang mengubah sikap Anjani yang dulu lembut kini menjadi pemarah.Waktu itu, Juragan Karta sedang menemani Anjani menyuapi Candrawati di teras rumah. Candrawati yang tumbuh dengan sehat dan baru bisa berj