Arum menyodorkan sebuah kertas dengan lukisan seorang ibu dan anak kepada Ratih, saat jam istirahat tiba.
"Ini. Bagus, ndak?" Matanya menatap dengan harap-harap cemas.
Ratih meraih kertasnya dan melihat dengan teliti. Sahabatnya itu memang lemah di beberapa mata pelajaran umum, namun mendapat nilai yang cukup baik di pelajaran kesenian.
"Kataku kurang greget, Rum," ucap Ratih sembari memutar gambarnya dan melihat ulang.
"Apanya yang kurang?" tanya gadis itu kebingungan.
Selama dua hari ini, diam-diam Arum membongkar semua album foto lama dan memilih beberapa kenangan saat bersama ibunya dan mulai menggambar. Hanya dasarnya saja, nanti dia akan menyempurnakannya lagi saat lomba dimulai.
"Gambar ibu dan anak ini sudah bagus, Rum. Mungkin latarnya yang kamu tambah, misalnya di mana begitu," saran Ratih. Tangannya sibuk menyeruput es dawet dan menyuap sepotong kue bolu.
"Kalau begitu nanti aku perbaiki," kata Arum
Ratih menggenggam tangan Arum yang berkeringat karena gugup."Kamu pasti bisa," bisiknya memberikan semangat."Aku lolos tidak, ya?" tanya Arum khawatir."Semoga saja. Yang penting kamu sudah berusaha," katanya meyakinkan.Ketika suara MC terdengar, dua gadis itu segera duduk dan menunggu acara dimulai. Ada beberapa guru yang mendampingi siswa yang ikut perlombaan. Arum sendiri ditemani oleh Ratih, karena Ayu dan ibunya tidak datang. Gadis itu meminta kepada Ibu Guru Kesenian untuk merahasiakannya.Gilang yang tadinya mengatakan akan ikut menemani membatalkan janji setelah Arum menolaknya untuk ikut. Akhirnya, anak laki-laki itu mundur secara perlahan untuk mendekatinya, karena kecewa.Lalu, di mana Arjuna? Dia masih berada di lokasi tanggul karena lomba diadakan di hari kerja. Arum sudah mengabarinya lewat surat yang dititipkan ke penjaga sekolah."Baiklah. Acara kita mulai dengan sambutan dari Kep
Tak terasa waktu berlalu. Hari demi hari Arum lewati dengan penuh perjuangan, hingga ujian kelulusan sudah di depan mata. Rasanya dia sudah tidak sabar ingin semuanya selesai dan pergi dari kampung ini untuk mengadu nasib."Gimana, apa kamu sudah mengerti?" Ratih melirik sahabatnya yang sejak tadi serius menyimak penjelasannya."Sedikit. Masih bingung di bagian ini." Arum menunjuk beberapa rumus matematika yang membuatnya pusing tujuh keliling.Ratih menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Mungkin, Arum memang sulit memahami pelajaran ini sehingga tidak bisa dipaksakan."Ya sudah. Nanti kita sambung lagi. Aku pulang dulu." Ratih membereskan bukunya dan berpamitan.Saat Arum bercerita bahwa Ayu merebut hadiahnya, Ratih memutuskan bahwa setiap hari Minggu, mereka akan belajar bersama.Dengan meminjam motor bapaknya, Ratih menyusuri gang dan harus menerima sindiran Bu Lastri juga Ayu. Namun tekadnya untu
Dengan langkah tertatih, Arum berjalan menyusuri gang sembari membawa rantang yang isinya sudah dingin. Matanya menatap jalanan dengan hampa, hingga mengabaikan sapaan dari para tetangga. Sejak tadi, dia sudah ingin luruh dan menumpahkan tangis, tetapi masih berusaha sekuat tenaga untuk menahannya."Assalamualaikum," ucap Arum sembari mengetuk pintu. Hari sudah siang dan masih punya pekerjaan rumah yang belum diselesaikan."Baru pulang?" tanya Lastri saat Arum masuk ke dapur dan menyerahkan rantang berisi titipan ibunya Ratih."Nggih, Bu.""Banyak yang dimasak?""Lumayan, Bu," jawabnya singkat.Arum berjalan ke kamar mandi dan mengambil handuk, membasuh wajah, juga tubuhnya hingga bersih. Bekas sentuhan Arjuna masih terasa, sehingga dia membilasnya berkali-kali. Gadis itu merasa begitu kotor dan sudah tak berharga lagi."Kamu sudah dapat bagian, kan? Jadi yang ini buat Ibu sama Ayu saja, ya," kata Lastri
Bunyi ALARM yang memekakkan telinga membangunkan Arjuna dari tidur lelapnya. Laki-laki itu duduk bersandar di heard board ranjang sembari memegang kepala yang terasa berat dan mematikan benda itu. Dengan malas dia berjalan menuju kamar mandi.Arjuna membuka tutup sabun dan menuang isinya ke sponge dan mulai membersihkan diri. Dalam sekejap, aroma lavender menguar di ruangan itu.Setelah membasuh tubuh dengan air yang ke luar deras dari lubang-lubang shower, dia mengambil handuk, melilitkannya di pinggang dan melangkah keluar.Sebenarnya jika dilihat dari dekat, Arjuna tidaklah terlalu tampan. Hanya saja, laki-laki itu memiliki rahang yang kokoh dengan bulu mata lentik. Wajah balsteran dengan mata cokelat itu didapatnya dari sang papa, yang menikahi seorang gadis biasa dari tanah Jawa."Halo?" ucapnya saat menjawab panggilan. Kali ini dering ponsel yang berbunyi."Kamu bisa pulang sekarang?" tanya suara di seberang sana dengan pani
Arum berlari ke kamar mandi saat mencium bau tumisan bawang, yang sedang dimasak oleh ibunya untuk sarapan mereka. Seketika perutnya menjadi mual dengan kepala yang terasa berputar.Sudah satu bulan sejak kepergiaan Arjuna, Arum lebih banyak berdiam diri di rumah. Gadis itu lebih tekun belajar karena ujian kelulusan sudah di depan mata.Bunyi muntahan yang terdengar nyaring membuat Lastri kaget dan mematikan kompor, lalu mengetuk pintu kamar mandi. "Kamu kenapa lagi, Rum?"Bukannya menjawab, Arum justru mengeluarkan semua isi perutnya hingga lambung terasa begitu perih."Rum, Rum!" panggil Lastri lagi.Teriakan itu membuat Ayu yang sedang berada di kamar langsung berjalan menuju ke dapur."Ada apa sih, Bu? Berisik sekali pagi-pagi," katanya dengan wajah kesal. Entah mengapa semua yang berhubungan dengan Arum selalu membuatnya malas."Itu Arum muntah-muntah," tunjuk Lastri ke pintu yang dikun
Desain kamar itu terlihat cukup mewah dan nyaman untuk ditempati, dengan hiasan wallpaper minimalis, cat berwarna putih juga perabotan yang terbuat dari kayu mahal. Empat orang yang berada di dalamnya saling bertatapan dengan lekat sembari membahas sesuatu hal yang cukup penting."Juna, kamu semakin dewasa. Usia juga sudah cukup matang untuk membina rumah tangga," ucap seorang laki-laki paruh baya seraya menatap putra sulungnya dengan tenang.Sudah beberapa minggu ini dia terbaring di kamar setelah kepulangan dari rumah sakit karena mendapat serangan jantung. Untunglah, nyawanya masih bisa diselamatkan, hanya perlu bedrest total untuk pemulihan."Iya, Pa," jawab Arjuna dengan tegas. Kali ini, dia siap jika diminta untuk menikah karena telah memiliki seorang kekasih. Arum, sang gadis desa sederhana yang membuatnya mabuk kepayang."Syukurlah. Berarti keputusan Papa sama Mama untuk menjodohkan kamu dengan Sasya gak salah. Kita bisa mengadak
Pagi itu cuaca cukup cerah dengan teriknya matahari yang bersinar. Lastri mengambil keranjang baju kotor dan mulai memisahkan satu per satu. Ayu dan Arum akan mencuci bajunya masing-masing.Sejak tadi dia mengetuk pintu kamar kedua putrinya namun belum ada yang keluar. Sepertinya setelah subuh, Ayu dan Arum kembali tidur karena kelelahan.Ketika mengangkat baju seragam sekolah yang berwarna putih, sebuah benda terjatuh dari sakunya. Mata Lastri terbelalak saat melihatnya. Sebuah alat tes kehamilan dengan garis dua garis merah. Tangannya gemetaran saat memegang benda itu, lalu wanita itu berlari ke depan."Arum, bangun!" teriaknya menggedor pintu. Itu membuat beberapa tetangga keluar dari rumah untuk melihat apa yang terjadi, karena terdengar cukup keras."Arum! Buka pintu!" teriak Lastri lagi. Dadanya bergemuruh oleh amarah, sehingga sudah tak peduli ada banyak mata yang diam-diam mengintip."Arum!" Kali ini gedorannya semakin kua
"Usir! Usir dari kampung!"Begitulah teriakan dari beberapa warga ketika sebuah mobil berhenti di depan rumah Lastri. Wanita itu terkejut dan segera membuka pintu rumah lalu menyuruh kedua putrinya masuk."Ada apa ini?" tanya Lastri saat kerumunan orang mulai memenuhi halaman rumahnya."Suruh anakmu pergi dari kampung ini, Mbakyu. Bikin malu!" ucap salah seorang warga yang membuat Lastri kaget sekaligus ketakutan."Memangnya anakku kenapa?" tanya Lastri dengan lantang."Alah, jangan pura-pura, Mbakyu. Kami tau apa yang terjadi tiga hari yang lalu. Arum pingsan dan dibawa ke rumah sakit karena keguguran," jawab yang lain.Lastri menutup mulut karena tak tahu harus menjawab apa. Tadi mereka meminjam kembali mobil Pak RT untuk menjemput Arum pulang setelah pemulihan. Gadis itu diberitakan anemia dari dokter di surat keterangan sakit untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi."Tenang semua. Kalian jangan asal menuduh. Arum ba