Arum, gadis desa yang polos, sering mendapatkan perlakuan tidak baik dari ibu dan saudara sambungnya. Pada suatu hari, dia harus terusir dari kampung karena hamil di luar nikah oleh perbuatan seorang laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Bagaimanakah kisah hidupnya?
Lihat lebih banyakPukul tiga pagi, suara kentongan besi di pos jaga yang biasanya digunakan untuk membangunkan warga, menggema dan bersahut-sahutan seantero kampung.
"Banjir, banjir! Air sungai meluap."
Sebagian penduduk desa yang mendengar teriakan itu, BERLARI keluar rumah dan berusaha menyelamatkan diri. Sebagian lagi, ada yang masih terlelap dan bergelung di balik selimut.
"Pak! Pak, bangun!" Retno mengguncang tubuh suaminya yang masih terlelap.
"Ada apa, Bu?" Darman menggeliat malas dan enggan membuka mata.
"Banjir. Cepat, Pak! Kemasi barang-barang kita. Ibu mau bangunkan Arum."
"Astagfirullah."
Mereka mengemasi barang-barang yang layak dibawa. Curah hujan memang deras tahun ini, ditambah dengan penebangan hutan untuk pembangunan perumahan di daerah sekitar kampung, membuat air sungai meluap karena tanah tak mampu meresap air.
Para pengembang dan pemegang proyek sudah diingatkan untuk membuat saluran air kotor yang benar namun beberapa justru mengabaikan, malah meninggalkan lokasi begitu saja setelah perumahan selesai dibangun, serta akad jual beli ditanda-tangani.
"Arum! Bangun, Nak!"
"Apa, Bu?"
"Rumah kita kebanjiran. Ayo, kita harus mengungsi!" ajaknya.
"Tapi sekolahku, Bu."
"Sudah jangan dipikirkan. Ayo cepat. Lihat, airnya sudah masuk. Nanti lama-lama kita bisa tenggelam."
Arum segera bangun dan membuka lemari untuk mengambil beberapa barang yang menurutnya penting. Air mata gadis itu bercucuran saat memasukkan buku-buku ke dalam kotak.
"Itu jangan dibawa. Berat. Ditinggal saja. Ambil baju-baju kamu."
"Tapi, Bu ...," katanya.
Arum akan mengikuti ujian akhir sekolah menengah pertama tahun ini, karena itulah rasanya berat hati jika harus meninggalkan sumber ilmu yang telah menemaninya selama tiga tahun. Mereka bukan dari keluarga berada, sehingga untuk membeli buku pun harus menyisihkan uang dan rela tidak jajan.
"Kita ndak mungkin bawa buku itu ke penampungan. Air sudah mulai tinggi. Ayo cepat. Bapakmu sudah menunggu di motor. Kalau telat, nanti bisa ikut hanyut."
Arum meletakkan kembali kardus yang sudah dia siapkan tadi, lalu mengambil sebuah tas dan mengisinya dengan beberapa helai baju.
Tangannya ditarik dengan begitu kuat sehingga menimbulkan rasa sakit.
"Ayo, naik!" titah Darman yang sejak tadi sudah menghidupkan mesin dan siap melaju.
"Kamu duluan, Rum," kata Retno.
"Ibu?" tanya gadis itu, merasa heran mengapa ibunya malah menunda berangkat.
"Nyusul. Ada yang kelupaan Ibu ambil."
"Sudah nanti saja. Itu lihat sudah tinggi. Kalau telat, motor Bapak bisa mogok terendam air," kata Darman setengah membentak.
Mereka bertiga duduk berdempetan di motor. Bapak dengan cekatan melajukan motor di tengah hujan deras menuju gerbang depan. Ada sebuah dataran tinggi di ujung kampung yang biasanya digunakan untuk posko penampungan.
Banjir di kampung ini sudah menjadi langganan setiap tahun. Namun, kali ini sepertinya lebih besar dari tahun sebelumnya. Penduduk yang tinggal di pinggiran sungai sudah terbiasa dengan keadaan ini, tapi tetap saja kepanikan melanda. Mau bagaimana lagi, mereka tak punya uang untuk membeli tanah. Akhirnya membangun rumah di bantaran sungai.
"Alhamdulillah."
Darman langsung terduduk ketika mereka sampai dan bergabung dengan warga yang lain. Mesin motornya bahkan belum dimatikan. Lutut mereka lemas seketika saat melihat air deras yang menggulung tanah kampung.
Air mata ibu dan Arum bercucuran, antara sedih dan senang. Sedih karena harta benda yang mereka kumpulkan dengan susah payah harus dilepas begitu saja. Tak hanya itu, mungkin akan ada banyak korban yang hanyut, hanya saja tak mengetahuinya. Senang karena mereka sekeluarga masih bisa selamat dan berkumpul.
"Anakku. Anakku. Tolong!" teriak seorang wanita.
Sebuah boks plastik mengapung. Di dalamnya ada seorang bayi yang menangis kencang. Tadi wanita itu sengaja memasukkan bayinya ke dalam tempat mandi agar tak terbawa arus. Namun, tangannya tak kuasa menahan karena sulit untuk berjalan sambil menerobos banjir.
"Pak! Pak, tolong itu!"
Darman dengan sigap berusaha turun bersama yang lain untuk menyelamatkan si bayi dan ibunya. Air sudah sampai sepinggang orang dewasa.
Bantuan dari pihak manapun pasti akan datang, tapi bisa dipastikan penyalurannya lambat. Sebisa mungkin, mereka akan melakukan apa saja untuk menolong orang-orang yang bisa diselamatkan.
"Ambil ini, Bu." Darman menyerahkan boks itu kepada istrinya.
Arum membantu ibunya mengangkat boks dan langsung membawa bayi itu menuju tenda. Dengan cekatan Retno membuka kain yang menutupi tubuh mungil itu dan menggantinya dengan batik yang mereka bawa dari rumah. Tangisan yang tadinya terdengar kencang, kini berangsur mereda.
"Dia haus," kata Retno saat melihat bibir si bayi berdecap.
"Mana ibunya?" tanya Arum sambil melihat sekeliling, lalu tak mendapati orang yang dimaksud.
"Tadi bukannya lagi dibantuin sama Bapak buat naik ke sini?" tanya Retno keheranan.
Arum masih mencari dan mendapati bapaknya yang sedang berenang sambil memegang seorang wanita.
"Itu, Bu. Itu mereka!" Dia berlari menuju ke arah dua orang itu dan mencoba membantu.
"Alhamdulillah, terima kasih, Nak," kata wanita itu sambil memeluknya.
Dengan kondisi tubuh yang lemas, mereka menuju tenda.
"Anakmu haus," kata Retno kepada wanita itu.
"Gantikan bajunya dulu. Baru beri susu," usul Darman. Lalu dia kembali membantu korban yang lain.
Arum membuka tas dan mengambil baju ibunya untuk diberikan kepada wanita itu. Seingatnya, mereka tidak bertetangga karena belum pernah bertemu sama sekali.
"Cepat ganti baju, kasihan anakmu," kata Retno.
Arum membantu membentangkan kain saat wanita itu berganti pakaian, agar tak terlihat siapa pun.
Ketika bayinya diserahkan, air mata wanita itu kembali luruh, dan mengucap hamdalah berulang kali karena mereka bisa diselamatkan.
"Namamu siapa?" tanya Retno ketika si bayi sudah terlelap dan mereka duduk sambil berbincang. Entah apa yang ditunggu, sepertinya hujan juga tidak akan kunjung reda.
"Lastri."
"Rasanya kita belum pernah ketemu, ya. Kamu tinggal di sebelah mana?"
"Saya baru pindah satu minggu ini. Saya sudah ... bercerai. Anak saya yang pertama dibawa ayahnya. Seumuran dia," Lastri menunjuk Arum dengan mata berkaca-kaca.
Arum dan ibunya saling berpandangan karena tak tahu harus menanggapi apa.
"Ya sudah kita tidur saja. Kalau lapar baiknya ditahan. Ndak ada makanan kalau sudah banjir begini. Paling besok pagi kalau relawan datang."
Mereka bertiga merebahkan diri di tanah kosong yang dialasi terpal. Arum sulit memejamkan mata. Rasanya kasur kapuk di rumah lebih nyaman. Bapaknya entah kemana, mungkin masih membantu korban yang lain.
"Baca doa, Nak. Lalu pejamkan mata. Nanti lama-lama juga ngantuk," bisik Retno.
Arum menggeser posisi tidur dan memeluk ibunya dengan lelap. Tak lama dengkur halusnya terdengar.
***
Arum membuka mata saat sebuah guncangan di tubuhnya semakin kuat. Hari masih gelap dan dia masih mengantuk.
"Ayo bangun. Bantuan sudah datang."
Matanya terbelalak saat melihat posko yang tiba-tiba berubah drastis. Orang-orang berlalu lalang melakukan aktivitas. Ada yang membagikan makanan dan minuman, selimut, juga bantuan yang lain. Ada juga yang sibuk memasang kompor untuk memasak.
"Lastri. Ambil ini untuk anakmu." Retno membawa sekantong besar berisi popok dan susu.
"Nak, ambil nasi bungkus buat Bapak sama yang lain. Kasihkan ke sana," tunjuk Retno kepada sekumpulan laki-laki yang sedang membangun tenda tambahan.
Arum mengambil nasinya dan menyerahkan itu dengan cepat, lalu kembali ke tenda mereka.
"Lapar, Bu," rengeknya. Untuk gadis yang masih berusia lima belas tahun dia cukup manja, apalagi anak tunggal.
"Ayo makan." Retno menyodorkan beberapa bungkus nasi dan mereka makan bertiga. Lastri duduk didekat Arum karena tak begitu kenal dengan yang lain.
"Nanti kalau banjir sudah reda, kalian boleh tinggal sama kami sementara waktu. Mudah-mudahan rumah kita ndak roboh," tawar Retno.
"Makasih. Mbak sekeluarga baik sekali," kata Lastri haru.
Mereka sedang asyik makan sambil bercerita, ketika tiba-tiba saja terdengar suara dari ujung sana.
"Perhatian semua! Ini ada bantuan datang dari pengembang perumahan!" Teriakan salah satu warga membuat mereka berhenti makan.
Tampaklah seorang laki-laki dengan penampilan klimis sedang membagi-bagikan kardus yang isinya bahan makanan.
"Sana, Rum. Ambil dua ya, buat kita sama Mbak Lastri," kata Retno. Putrinya sejak tadi sudah selesai makan, sehingga dia yang dimintai tolong.
Arum segera mencuci tangan dan berjalan cepat untuk mengantre bantuan.
"Saya dua ya, Om. Buat Ibu sama Mbak Lastri," katanya sambil menunjuk ke arah tenda.
"Kamu bisa bawanya? Kardusnya berat, loh."
"Bi-sa," jawabnya gugup.
"Siapa namamu?" Laki-laki itu menunduk agar wajah mereka sejajar.
"Arum," jawabnya.
"Anak pintar."
"Om siapa?" tanya gadis itu.
"Arjuna."
Arum terbelalak karena kaget. Arjuna itukan ... nama tokoh wayang? Seingatnya, dulu dia pernah membaca buku itu di perpustakaan sekolah.
"Kita foto dulu, ya."
Arjuna melambaikan tangan dan meminta juru foto mengambil gambar mereka. Dia berpose sedang memberikan kardus dan diterima oleh Arum, untuk nanti diserahkan sebagai laporan bahwa bantuan telah disalurkan kepada korban bencana.
Pihaknya merasa ikut andil atas banjir yang melanda kampung. Juga untuk mengambil hati warga karena proyek besar-besaran akan kembali diadakan beberapa tahun ke depan.
"Om."
"Ya?"
"Itu ... nanti boleh ndak aku minta fotonya untuk kenang-kenangan," katanya polos.
Arjuna tergelak dan mengangguk, lalu menyuruh seseorang untuk membantu Arum membawa dua kardus menuju tenda, dan melanjutkan pemberian bantuan kepada yang lain.
"Saya terima nikahnya Arum Kinasih binti Darman Prabowo dengan mas kawin sebuah cincin emas dibayar tunai!""Sah?""Sah!"Alhamdulillah. Baarakallaahu laka, wa baarakallahu 'alaika, wa jama'a bainakuma fii khaiir.Doa untuk kedua mempelai dibacakan. Semua orang mengangkat tangan dan mendengarkan dengan khusyu'. Juga mengaminkan agar mereka berdua mendapat limpahan berkah, rumah tangga aman tentram, langgeng hingga kelak maut yang memisahkan, dan berkumpul kembali di surga.Arya, suamimya Ayu menepuk bahu Arjuna, setelah iparnya itu mengucapkan ijab kabul dengan lancar. Hanya dalam sekali ucap dan tarikan napas, lelaki itu melakukannya.Ajuna sudah berlatih seminggu ini, mengahafal sebaris kalimat yang pendek tapi sangat menengangkan sewaktu diucapkan. Syukurlah, ketika tiba saatnya, dia dapat mengucapkannya dengan fasih. Padahal dulu dia pernah melakukan ini saat menikah dengan Sasya, tapi tetap saja gugup.Sementara itu,
Hari berganti dan waktu pun terus berjalan. Setiap detiknya berpacu dengan kehidupan. Begitu pula dengan roda kehidupan yang terus berputar.Arum yang tadinya menjadi asisten, kini memegang toko sendiri. Kejujuran dan kerja kerasnya selama ini, membuat pemilik butik memberikan kepercayaan kepadanya untuk mengelola cabang baru.Lima tahun berjalan dengan cepat tanpa terasa. Arum begitu menikmati pekerjaannya yang kini mulai menghasilkan. Pemilik butik memberikannya modal untuk mengembangkan usaha, dengan catatan dia tak akan pergi karena desainnya begitu digemari.Kini, sebuah mobil sederhana menjadi teman Arum setiap berangkat kerja sekalipun dia masih tinggal di butik untuk menghemat biaya sewa. Rasa syukur tak hentinya dia ucapkan karena telah dipertemukan dengan begitu banyak orang baik, setelah badai menerpa.Arum, di usia yang masih muda ditempa menjadi sosok wanita kuat dan tangguh demi kehidupan yang lebih baik. Dia terlihat dewasa deng
Suasana di gudang menjadi riuh ketika pemilik butik masuk bersama dua orang karyawan laki-laki baru. Arum bersama tiga orang yang lain segera menyambut mereka dan mendengarkan pengarahan."Mulai hari ini, kalian semua pindah ke bagian depan, biar para laki-laki yang menjaga gudang," jelas pemilik butik yang langsung disambut antusias oleh Arum dan teman-temannya."Baik, Bu," jawab mereka serentak."Untuk sortir tetap kalian yang bantu karena yang laki-laki biasanya kurang paham. Jadi nanti saya akan memindahkan barang yang belum disortir ke ruangan sebelah. Jadi di sini khusus untuk barang yang sudah siap di display," jelas si pemilik butik lagi.Semua orang mendengarkan pengarahan dengan serius. Setelah selesai, pemilik butik meminta karyawan wanita untuk membereskan barang-barangnya dan pindah ke ruangan sebelah, di mana pakaian yang baru datang dari tempat produksi menumpuk untuk disortir kembali."Ini apa?" tanya pemilik butik
Arjuna menatap lekat wajah cantik itu dengan perasaan bersalah. Rasanya dia tak tega hendak menyampaikan maksud, karena Arum pasti akan kecewa.Hampir tiga bulan ini Arjuna berusaha untuk merebut kembali hati Arum dengan berbagai cara, salah satunya dengan mengunjungi butik setiap makan siang.Mereka akan menghabiskan waktu dengan berbagi cerita sembari makan siang di sekitaran lokasi butik. Setelahnya, Arjuna akan kembali ke kantor dan menghubungi Arum di malam hari saat pulang bekerja."Aku mau minta maaf atas apa yang pernah aku lakuin sama kamu dulu," katanya dengan tulus. Merusak masa depan seorang gadis sekalipun dengan alasan cinta tetap saja tak dibenarkan.Arum tertunduk sembari menatik tangan. Hatinya bisa goyah jika Arjuna merhayu kembali, sementara dia sudah ingin membuka hati untuk Erlangga."Ya, Mas.""Aku juga mau bilang kalau selama ini belum bisa jemput kamu karena papa gak kasih izin." Arjuna menatap wajah
Setelah pertemuan kemarin, esoknya Arjuna kembali menemui Arum di butik saat makan siang. Inilah kesempatannya untuk menjelaskan kesalah pahaman yang dibuat oleh Sasya."Arum ada?" Arjuna bertanya saat memasuki butik dan tak mendapati sang pujaan hati di sana."Di gudang," jawab salah seorang karyawan."Bisa panggilkan?"Dalam sekejap, si pelayan butik bergegas ke belakang dan memanggil Arum. Sementara itu, Arjuna menunggu di sofa dengan hati berdebar."Mas."Arjuna mengangkat wajah saat melihat sang pujaan hati berdiri di hadapannya. Mata laki-laki itu berbinar dan langsung meraih jemari Arum kemudian menggenggamnya erat."Rum, aku ....""Mas ngapain ke sini?""Aku mau bicara. Berdua," pinta Arjuna sembari menatap sang kekasih dengan lekat.Arum menatap sekeliling di mana beberapa karyawan butik sedang memperhatikan mereka, lalu berkata, "Tapi aku izin dulu ya, Mas. Tapi bisanya cuma sebentar. Selesai jam m
Karena rinduku tak cukup jika hanya diucapkan, tapi ingin dihadiahkan pertemuan juga ~Rini Ermaya***"Mas Juna?" Sasya terbelalak saat melihat sang pujaan hati sedang duduk di sofa sembari berbincang dengan seorang wanita yang memakai pakaian seragam butik.Siapa dia? Apa Arjuna mengenalnya sehingga mereka terlihat begitu akrab? Batin Sasya meronta sehingga gadis itu nekat menghampiri mereka."Eh, udah selesai?" tanya Arjuna tanpa melepaskan genggaman tangan di jemari Arum."Sudah, Mas. Ownernya ngasih aku model gaun terbaru. Padahal mau launching bulan depan," jawab Sasya sambil melirik sinis ke arah Arum."Oh, syukurlah. Jadi bisa pulang sekarang," kata Arjuna santai sembari berdiri."Kamu siapa?" tanya Sasya seraya menatap Arum dengan sengit. Panas di hatinya semakin membara setelah melihat perlakuan Arjuna kepada wanita itu."Arum," ucap gadis itu memperkenalkan diri sembari mengulurkan tangan.Sasya sen
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen