Share

BAB 8

Author: rara elhasan
last update Huling Na-update: 2020-08-23 13:30:09


B a y i   B u n g k u s  (11)
True Story

Dear Diary,

Hari ini 10 Juni 2020.

Hai, apa kabar?

Kau tetap saja menggairahkan untuk kujamah.  Aku terus membawamu kemana-mana, meski tak juga kugoreskan setitik tintah pun pada tubuhmu.

Lelah yang mengakumulasi. Ya, kondisi tubuhku sedang tak baik. Sepertinya perubahan cuaca di sini, membuat fisikku yang selama ini ditempa dengan pencemaran udara dan panas yang begitu terik, tak bisa beradaptasi dengan cepat.  Namun aku memaksakan diri menceritakan ini padamu. Baru saja sebuah panah melayang tinggi, tertangkap jangkauan mataku. Saat kutanyakan hal itu pada suami. Kau tahu? Aku tercengang ... itu teluh. Itu santet.

Mengetahui kebenaran itu, aku pun jadi teringat pada kejadian bertahu-tahun lalu. Mata ketigaku masih tertutup. Benda itu tak hanya aku yang melihatnya, tetapi ibuku juga.

***

B O L A   A P I

"Tiara sudah selesai memasukkan toples es-nya?" tanya Sri, sembari menggulung tikar tempat duduk.

"Sudah, Bu. Bapak mana, ya? Kok nggak datang-datang?" Toples terakhir sudah berjajar dengan rekan lainnya di ruang penyimpanan di dalam gerobak.

"Sebentar lagi, Bapak masih Lembur kerja, Nak," jelas Sri.

Sembari membawa putra yang kini berusia delapan bulan dalam gendongannya, Sri meletakkan tikar ke atas gerobak. Pukul dua belas malam, setidaknya itu yang Tiara mau pun Sri yakini. Mereka tak memiliki penanda waktu. Kereta bahan bakar milik pertaminalah yang menjadi patokan. Kereta itu rutin melintasi rel---tak jauh dari lokasi Sri memarkir gerobaknya---setiap jam dua belas malam.

Menunggu sembari mengamati jalan yang semakin lengang---bahkan Tiara sudah membayangkan jalan beraspal halus itu bisa dijadikan tempat bermain bola---Sri mendekap putranya posesif, meski jaket tebal telah membungkus tubuh putranya itu. Udara malam tak baik untuk kesehatan, apalagi untuk anak-anak. Namun bagaimana lagi, setiap hari perut keluarganya butuh diisi. Tak ada kata gratis di kota besar begini. Melangkah ke mana-mana harus dengan uang.

"Ngantuk, Nak?" tanya Sri yang tak sengaja melihat Tiara menguap dengan lebarnya.

Putrinya itu buru-buru menggeleng dengan mulut masih terbuka lebar. Setetes air mata meluncur dari sudut matanya. Diusapnya dengan punggung tangan dan dilengkungkan senyum simpulnya kemudian---pertanda watt netranya masih lumayan.

"Sebentar lagi Bapak datang, sabar, ya?"

Tiara mengangguk. Kembali memandang sekeliling. Tetangga depan, kanan, dan kiri juga mulai berkemas. Penjual nasi pecel, martabak dan roti bakar. Biasanya dua ibu rumah tangga dan mas-mas remaja itu bakal pulang kalau Sapardi sudah datang.

"Bu?"

Sri menoleh.

"Bau orang memanggang roti, ya? Hmm---" Tiara menyesap aroma itu dalam-dalam, "Enak, Bu. Siapa ya, yang bikin roti tengah malam begini?"

"Hust!" Sri meminta Tiara diam. Aroma seperti ini sering tercium. Padahal tempat jualan Sri di bawah play over atau jembatan layang. Rumah terdekat pun jaraknya berpuluh meter.

Tiara diam, ia lebih memilih bermain-main dengan kucing remaja yang mampir untuk mengais sisa makanan. Mengeong dan mengusap-usapkan kepalanya ke tulang kering gadis itu.

Lalu,

"Bu ... Bu?" panggilnya lagi.

Ah, anak ini penuh rasa ingin tahu. Kalau Sri menjawab  yang sebenarnya, takut-takut makhluk penunggu area ini curi dengar dan saat mereka pulang melintasi jalan di bawah jembatan yang sepi, akan ada penampakkan tak diinginkan.

"Apalagi, Tiara. Ibu, kan, sudah bilang. Tiara diam saja." Sri melirik kucing belang di kaki Tiara. "Main saja sama kucingnya sambil nunggu Bapak."

Tiara mencebik. Tak peduli larangan Sri, ia mengutarakan apa yang menjadi pertanyaan di pikirannya.

"Memang Ibu nggak mencium bau ini juga. Sekarang bau orang masak sayur, loh, Bu. Itu---" Tiara mengingat-ingat, "Itu baunya kayak sayur yang ibu masak tadi pagi," lanjutnya.

Lodeh. Sri mencium aroma itu. Tajam, bahkan mampu membangkitkan napsu makan. Namun ia tahu, aroma ini pastilah dari dimensi lain yang terbawa ke dimensinya. Lagi-lagi Sri meminta putrinya itu untuk tutup mulut.

Beberapa saat kemudian, Sapardi datang bersama motor bebeknya. Seragam hijau pupus berlogo perusahaan kayu itu masih melekat di tubuh. Wajah lelahnya tersembunyi di balik senyum. Tiara beranjak dari duduknya. Menghampiri Sapardi antusias. Seperti biasa, Sapardi tak akan pulang dengan tangan kosong. Sekotak biskuit pemberian rekan ia hadiahkan pada Tiara.

"Sudah diberesin semua, Bu? Nggak ada yang ketinggalan?"

Sri beranjak dari duduknya. Sebelumnya ia dan Tiara duduk di tepi trotoar.

"Sudah, Pak."

Beralih kendaraan, Sri menaiki motor bebek dengan Tiara membonceng di belakangnya. Ia tak lagi memaksakan diri mendorong gerobak seperti saat mengandung si bungsu. Sapardi mengultimatum kalau Sri sampai nekat mendorong gerobak itu pulang, istrinya itu tak lagi diberi izin berjualan. Ya, meskipun roda pembantu sudah di pasang pada bagian depan gerobak. Sempat juga menitipkan gerobak ke ponten. Sri harus merogoh kocek lumayan besar untuk membayar jasa penitipannya setiap bulan. Bukan malah aman, banyak barang pecah belah yang hilang.

Sebelum menyalakan kembali mesin motor, Sri merapatkan gendongan. Menaikkan standart, kemudian meminta si sulung mememeluk pinggangnya erat-etar. Memutar balik arah dengan hati-hati. Memacu motor dengan kecepatan tak lebih dari dua puluh kilometer perjam.

Tak ada yang aneh sejauh ini. Angin dan mesin motor menjadi peneman selama perjalanan. Selain celotahan Tiara yang mengomentari segala hal yang menarik perhatian, tak ada suara lain.

"Loh, Bu ... lampu di bawah jembatannya mati lagi," pekik Tiara sembari menunjuk lorong pendek, gelap dengan dedunan rambat menjuntai seumpama tirai.

Sri mengangguk. Ia ingat baru dua hari lalu lampu jalan di bawah jembatan diperbaiki. Sekarang sudah padam lagi.

"Bu, lihat itu. Ada bola api!" seru Tiara. Kali ini jari telunjuk gadis itu terarah ke atas.

Sri juga melihatnya, bola api itu terbang rendah. Lurus. Dengan gerakan tak seimbang. Oleng ke kanan dan ke kiri. Besarnya seukuran bola plastik yang biasa anak-anak mainkan. Tubuh bola itu terselubung api dengan warna oranye pekat. Ujung api itu mengepulkan asap keabuan. Cukup jelas dan besar untuk tetangkap mata orang awam sepertinya.

"Bu, itu jalannya makin perlahan."

Tak menaggapi ujaran Tiara, Sri terus menatap bola api itu sembari melantunkan doa. Banaspati. Sri mengenalnya dengan sebutan banaspati. Roh jahat atau hantu dengan ilmu hitam tinggi yang berelemen api.

"Ya, hilang, Bu, bola apinya."

Sri mempercepat laju motornya.

"Lihat apa, Ibu nggak lihat apa-apa."

Setelah mendapat jawaban dari Sri, Tiara menangis sejadi-jadinya. Berulang kali menyeburkan nama bola api. Sri yang diliputi perasaan cemas, buru-buru meminta Tiara diam. Tak baik membagas bola api itu dan terus menangis.

Ada yang pernah mengatakan padanya, jika melihat bola api, atau orang jawa menggenalnya dengan santet banaspati, lebih baik diam. Tak menceritakannya pada siapa pun. Bisa terkena sial.
***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Bayi Bungkus (Aku Terlahir dengan Mata Batin) (INDONESIA)   Akhir Mata Batinku

    Tiara duduk di tepi ranjang mengusap perutnya yang kian membesar. Basri di sampingnya membuat racikan berupa spirtus dan jahe. Kaki Tiara mulai bengkak. Usia kehamilannya memasuki bulan ke delapan. Waktu menanti kelahiran sudah di depan mata. Dan, ramuan itulah yang dipercaya bisa mengempiskan bengkak kakinya. Selain bengkak rasanya sakit sekali. Tiara kesulitan berjalan dengan kaki seperti itu. Alas kaki tak ada yang muat. Menarik rambutnya ke belakang dan membuat sanggul kecil, lalu menyisipkan bulu landak untuk mengencangkan. Bulu landak penangkal makhluk halus. Pemberian ayah mertuanya. Seperti itu kepercayaan orang di sini. Tiara tak boleh meninggalkan bulu landak itu jika ingin berpergian kemanapun—kecuali ke kamar mandi. "Angkat kakinya," pinta Basri.Tiara mengangkat kedua kakinya yang bengkak ke atas ranjang. Sebelumnya Basri telah mengalasi kaki Tiara dengan kain yang tak dipakai. Basri mengoleskan ramuan itu di sekujur kaki Tiara. Rasanya dingin lalu hangat. Entah ini ber

  • Bayi Bungkus (Aku Terlahir dengan Mata Batin) (INDONESIA)   Bab 90

    Undangan dari sahabat baik Basrilah yang membuat Tiara dengan perut buncitnya karena hamil pergi di malam hari. Tradisi di sini, jika masih hamil muda, tidak diperbolehkan keluar malam tanpa perlindungan. Tiara tak memiliki bulu landak yang menjadi keyakinan orang di desa Basri. Bulu landak itulah yang menjadi penangkal dari gangguan sihir dan makhluk halus. Adzan isya telah bekumandang. Motor Basri berderu menembus kelengangan. Sesaat lalu baru saja turun hujan, saat Tiara berangkat rintik kecil masih tertinggal—tetapi tak begitu mengkhawatirkan. Hujan itu tidak akan menjadi besar lagi, karena bintang-bintang mulai bermunculan di langit.Berbekal jaket tebal yang membungkus tubuhnya, Tiara melindungi calon bayi dalam perutnya agar tetap hangat. Mantra doa dan dzikir yang dia lantunkan sebagai tameng pribadi. Banyak cerita yang beredar, jika wanita hamil tanpa bulu landak sama saja cari mati. Ada yang mengatakan bayi dalam perut akan lahir dengan membawa godaan da

  • Bayi Bungkus (Aku Terlahir dengan Mata Batin) (INDONESIA)   Bab 89

    Malam selanjutnya, setelah pembahasan tentang makhluk astral semalam, Basri jadi takut ke kamar mandi sendiri. Basri membangunkan Tiara yang lelah seharian bekerja rumah tangga, setelah mengajar di pagi harinya. "Kamu nggak mau ke kamar mandi?" tanya Basri langsung sesaat setelah Tiara terjaga dari tidur."Kan, tinggal ke kamar mandi?" Tiara tahu Basri takut. Saatnya balas dendam. Kemarin, saat Tiara meminta Basri mengantarkannya ke kamar mandi karena lampu kamar mandi sedang mati, Basri tak mau mengantarkan. Alasannya mengantuk. Tiara berakhir ke kamar mandi seorang diri. Hampir terpeleset karena tak ada penerangan sama sekali. Untung saja Tiara sigap, berpegangan pada pinggiran kamar mandi. Kalau sampai jatuh, kepala Tiara pasti berakhir membentur sumur.Sekarang giliran dia yang balas dendam. Tiara mendengar permintaan Basri itu, tetapi Tiara pura-pura tidak mendengar. Tetap memejamkan mata meski Basri memohon untuk diantar.

  • Bayi Bungkus (Aku Terlahir dengan Mata Batin) (INDONESIA)   Bab 87

    Tiara baru saja sampai rumah, ketika ada dua orang yang duduk di ruang tamu, bersama nenek Basri. Itu paman Basri bersama istrinya. Tiara bergabung dalam obrolan. Duduk di sofa. Nenek Basri pergi ke dapur untuk menyiapkan makan. Adat di sini, ketika ada tamu yang berkunjung, mereka akan dijamu bak raja. Diperlakukan dengan sangat baik.Dua teh masih mengepul—pertanda jika mereka baru saja duduk. Sepiring roti rasa durian menjadi peneman mengobrol sembari menyesap minuman. Paman Basri merokok. Tembakau. Ini pertama kalinya Tiara mengetahui jenis rokok seperti itu. Rokok tembakau yang sebelum dinikmati, harus dibuat sendiri. Kata Basri, karena Tiara banyak melihat penjual tembakau itu di jalan-jalan, harga tembakau lebih murah dibandingkan rokok produksi pabrik.Obrolan berlanjut. Terkait bagaimana Tiara. Apakah nyaman di kota barunya. Tiara menjawab dengan senyum. Belum terbiasa jauh dari orang tua. Merasa rindu. Ada rasa canggung. Sedikit rasa tak nyaman. S

  • Bayi Bungkus (Aku Terlahir dengan Mata Batin) (INDONESIA)   Bab 86

    B a y i B u n g k u s Makhluk di Tepi Jalan-------- ------- -------- -------------"Kita nggak mau pulang?" Pertanyaan itu Basri lontarkan pada Tiara yang masih asyik berkeliling alun-alun. Sudah beberapa kali Basri mengingatkan jika di sini berbeda dengan kota yang Tiara tinggali. Pulang terlalu malam akan sangat berbahaya. Jalanan sepi. Beberpa sudut jalan pun gelap.Tapi himbauan Basri itu tak Tiara gubris. Dia tetap saja asyik menikmati suasana yang baru yang dia jajaki. Hingga waktu menunjukkan pukul sebelas malam barulah Tiara meminta pulang. Dia sudah lelah bekeliling. Bahkan, matanya kini sudah mengantuk. Basri sempat mendumal dan terlihat kesal. Tak ada pilihan lain selain melewati jalan yang terkenal sepi. Coba Tiara bisa di

  • Bayi Bungkus (Aku Terlahir dengan Mata Batin) (INDONESIA)   Bab 85

    B a y i B u n g k u s Kehidupan Baru-------- ------- -------- -------------Bulan memangkas hari dengan cepat. Tahun berlalu tanpa menunggu siapapun. Tibalah pada hari yang sangat Tiara dambakan. Pernikahan. Satu jam lalu, Tiara resmi menjadi istri Basri. Pria yang telah bersamanya sejak semester pertama masa perkuliahan. Lika-liku percintaan, sampai drama kurang setuju keluarga Basri karena Tiara berasal dari kota, hampir saja membuat hubungan Tiara dan Basri kandas di tengah jalan.Pesta pernikahan dua hari dua malam selesai digelar. Tiara tinggal bersama keluarganya satu minggu lagi sebelum akhirnya ikut Basri pulang. Sesuai perjanjian awal, Tiara akan diboyong ke kota Basri untuk akhirnya tinggal di sana.

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status