Satu minggu setelah kecelakaan yang menimpa Sapardi dan Sri, kondisi keduanya makin membaik. Sapardi yang hanya mengalami lecet-lecet di tangan dan kaki---luka itu mulai mengering. Alif yang setelah kecelakaan demam tinggi, kejar-kejaran bersama anak Dagio---pertanda kondisinya sudah baik-baik saja. Bagian kepala motor Dagio yang remuk, sudah diperbaiki. Saatnya pulang ke Sidoarjo dan memulai aktifitas seperti biasa.
Kondisi lengang. Rembulan mulai merangkak naik. Malam pekat karena terselimut mendung. Dingin. Beberapa saat lalu hujan baru saja angkat kaki. Seharian desa yang sudah dingin, berubah jadi lemari es dadakan. Tak ada yang bersedia keluar rumah. Bocah-bocah mengekspansi setiap sudut jalan. Mandi hujan, main prosotan di jalan yang menurun. Hanya tampak satu dua orang dewasa berlari dengan menggigil kedinginan.
Sri yang sibuk memindahkan pakaian dari lemari ke tas jinjing besar, mengernyit dan merintih samar beberapa kali. Bekas j
BAYI BUNGKUS*Semakin Peka*Pagi itu semua tampak biasa. Tak ada kejadian aneh yang menurut Sri atau Sapardi pantas untuk dikhawatirkan. Tiara berangkat sekolah seperti biasa. Sapardi berangkat bekerja seperti biasa. Bahkan Sri berangkat berjualan bersama Alif yang kini sudah berusia lima tahun pun seperti biasa. Waktu berjalan begitu cepat. Bulan merangkum hari demi hari tanpa terasa. Dua bulan telah berlalu sejak kejadian kecelakaan di Yogyakarta. Luka jahitan Sri telah sembuh sepenuhnya. Hanya meninggalkan bekas sebagai bukti kejadian di masa lalu.Pukul sepuluh pagi, Tiara yang sudah pulang dari sekolah setelah berganti pakaian langsung ke tempat Sri untuk membantu berjualan. Tak begitu banyak pembeli, hanya sepasang suami istri, dua pelajar SMA berjenis kelamin perempuan, serta seorang lelaki paruh baya yang sedang mengobrol santai dengan Sri. Saat Tiara menanyakan siapakah lelaki paruh baya itu, Sri menjawab diiringi tersenyum."Paklik D
"Tiara tidak tahu, Paklik. Hanya saja, Tiara melihat warna merah yang pekat sekali di area perut. Jika warna seperti itu, biasanya akan sulit untuk disembuhkan. Tapi, benar apa kata, Paklik. Selama masih bisa berusaha, kemungkinan sembuh bisa saja terjadi. Toh, yang punya takdir bukan kita, tetapi Tuhan." "Tiara, Ainun adalah putri satu-satunya, Paklik. Paklik pun tidak akan berhenti berusaha agar Ainun bisa sembuh." Tiara mengangguk paham. "Makanya Paklik ke sini. Paklik dengar Bapakmu punya guru yang hebat. Yang bisa mendeteksi penyakit, bahkan bisa menyembuhan." Tia manggut-manggut. "Bapak belum datang, Paklik. Mungkin nanti sore." Sri bersama Alif menghampiri Tiara dan Darmaji. Jelas terlihat rasa lelah itu. Usiannya yang terbilang masih mudah tak sesuai dengan perawakan dan raut wajahnya. Hidup telah menggerus wajah cantik dan menyusutkan tubuh sintal Sri. "Jangan ditelan mentah-mentah, Lek, omongan Tiara. Bias
Tiara sempat terdiam. Tak mengikuti Samantha yang sudah berjalan di depannya. Ia fokus pada suara-suara aneh yang didengarnya. Sampai, seseorang tiba-tiba menepuk bahunya dari belakang. Anehnya, tangan itu milik Samantha. Padahal, jelas-jelas tadi Samantha sudah menuruni anak tangga di depannya. Dan, Tiaralah yang bejalan paling akhir. Bagaimana mungkin Samantha yang seharusnya ada di depannya bisa tiba-tiba berada di depannya."Ayo, jangan melamun. Kalau kamu tepisah dariku. Aku tidak bisa menjagamu. Tugasku di sini menjaga dan mengarahkanmu," ucapnya.Dan Tiara menganggut. Ucapan Samantha seperti titah untuknya. Setelahnya, Tiara hanya fokus berjalan mengikuti Samantha. Setiap suara asing yang didengarnya, ia acuhkan saja. Berbekal jaket parasit membalut tubuh dan senter, Tiara berjalan berteman malam. Sinar bulan benderang. Sunyi. Tak ada musik penyambutan dari serangga. Saat ini pun, udara beku dini hari telah merasuk dalam tulang-tulang. Ngilu.
"Sam, hentikan. Salah-salah malah kenak makhluk tak kasat mata."Samantha terkekeh. Dia seolah tak memperdulikan larangan Tiara. Gadis perperawakan ramping berwajah cantik itu terus saja melempar. Tak takut apa yang dilakukannya akan memperburuk kondisi. Malam begitu mencekam. Suara burung yang entah dari mana asalnya terus berbunyi. Berdengung. Bahkan seakan-akan berbicara lewat kicauannya itu. Angin yang bertiup menjadi saksi betapa bulu kudu Tiara tak kunjung tidur."Sama hal begituan nggak usah takut. Satu lagi," ujarnya, lalu melempar batu terakhir. "Kamu harusnya lebih takut padaku. Bisa jadi aku yang lebih menakutkan dari mereka." Setelahnya Samantha terkekeh amat kencang. Bahkan kekehan suaranya itu membuat denging di telinga Tiara. "Ini sudah tidak beres," ucap Tiara dalam hati.Samantha yang ada di depannya ini barang tentu bukan Samantha teman baiknya. Kakak kelas yang sangat dia kenal.Tiara mencoba mengambil jara
Seketika itu juga Tiara beralih pandang ke arah Samantha, berniat mengajak perempuan itu pergi. Tak beres. Kondisi sudah tak beres kali ini. Namun niat itu urung ketika dilihatnya sosok Samantha telah beruba rupa menjadi nenek-nenek bongkok dengan deretan gigi menghitam. Tertawa kecil. Menunjuk-nujuk Tiara dengan telunjuk tangan kanannya yang bebas. Tangan yang satu lagi menggenggam tongkat penyangga tubuh."Astagfirullah!" pekik Tiara, lantas segera berlari meninggalkan tempat.Tak tahu mau kemana, yang pasti dia harus secepatnya pergi dari tempat ini terlebih dahulu. Menyusuri jalan yang dia lewati tadi. Tak lagi menoleh meski kikik nenek itu seolah mengikuti. Lagi, seperti sebelumnya perhatian Tiara teralih pada makan merah berpayung kuning khas pengantin jawa dengan juntaian mawar melingkar di atas batu nisan. Dia mengernyit heran, tadi tak ada payung dan rangkaian bunga melati itu. Pun tak tercium aroma wangi yang menguar seperti sekarang ini. Tiara me
B a y i B u n g k u s ( 4 )K E S U R U P A N M A SAL-------- ------- -------- -------------Dear Deary,Saat itu tahun 2008. Begitu jelas di ingatan. Betapa suasana mencekam yang menyelimuti sekolah semasa SMP-ku. Memang, aku bukan masuk.dalam bagian mereka-mereka yang terlibat atau terdampak. Namun, sepanjang saat itu. Aku merasakan hal aneh di tubuh. Aku mendengar bisikan-bisikan yang seolah ingin berbicara dengankunAkan tetapi. Aku begitu ingat pesan ibuku saat itu. Jangan hiraukan mereka, Nduk. Jika di luar rumah, kamu anak biasa tidak tahu hal-hal seperti itu. Jika mereka mengganggu acuhkan. Jika mereka ingin berkomunikasi denganmu jangan tanggapi. Dan, jangan sampai ada yang tahu, jika kamu dapat melihat mereka.***Matahari s
Hari pemberangkatan tiba. Tiara yang tak masuk dalam rombongan melihat teman-tenannya yang berjumlah sepuluh orang naik ke atas truk biru milik angkatan laut bersama beberapa alumni, pembina pramuka, serta dua dewan guru laki-laki dan perempuan. Tenda dan peralatan memasak juga turut dibawa dalam rombongan.Mereka sumringah, antusias, bahkan terkesan tak sabar untuk secepatnya berangkat. Lambaian tangan serta canda tawa menjadi pemanis saat mobil itu berderu, bergetar, lalu berjalan meninggalkan tempat. Tak ada rasa iri sedikit pun dalam diri Tiara. Keberangkatan mereka seolah akan membawa pulang hal yang tak diinginkan nantinya.Sesampainya di rumah setelah pulang sekolah, Tiara menceritakan tentang burung hantu yang ia lihat tempo hari di atap salah-satu kelas di sekolahnya. Pun dengan keterkaitan kemunculan burung hantu itu dengan keberangkatan teman-temannya ke kemah"Jangan kasih tahu siapa-siapa terkait hal itu Tiara. Biarkan itu me
Hujan tak kunjung reda meski telah menguyur berjam-jam. Sekarang pukul setengah delapan. Kondisi sekolah tak lagi sepi. Siswa-siswi mulai berdatangan. Bermantel, menggunakan payung, bahkan ada pula yang nekat menerobos hujan. Akibatnya baju mereka sedikit basah. Rata-rata siswa yang datang tak memakai sepatu. Mengingat kondisi lapangan sekolah yang selalu banjir sepergelangan kaki jika hujan, memakai sandal menjadi pilihan terbaik.Tiara memilih mengamanti hujan secara langsung. Duduk di depan kelas. Bangku panjang dari semen yang dilapisi keramik. Setiap kelas memiliki bangku ini untuk tempat duduk kala jam istirahat. Dia tidak sendiri, beberapa teman lain pun di sana, menikmati waktu kosong sepertinya. Pembelajaran belum dimulai dan sengaja diundur karena dewan guru banyak yang terjebak hujan.Tiara menoleh. Mendapati Santi dan Aisyah tengah mengobrol santai. Obrolan tentang rombongan yang akan pulang siang ini. Mereka tak sabar mendengar cerita keseruan