Samantha terkekeh. Dia seolah tak memperdulikan larangan Tiara. Gadis perperawakan ramping berwajah cantik itu terus saja melempar. Tak takut apa yang dilakukannya akan memperburuk kondisi. Malam begitu mencekam. Suara burung yang entah dari mana asalnya terus berbunyi. Berdengung. Bahkan seakan-akan berbicara lewat kicauannya itu. Angin yang bertiup menjadi saksi betapa bulu kudu Tiara tak kunjung tidur.
"Sama hal begituan nggak usah takut. Satu lagi," ujarnya, lalu melempar batu terakhir. "Kamu harusnya lebih takut padaku. Bisa jadi aku yang lebih menakutkan dari mereka." Setelahnya Samantha terkekeh amat kencang. Bahkan kekehan suaranya itu membuat denging di telinga Tiara. "Ini sudah tidak beres," ucap Tiara dalam hati.
Samantha yang ada di depannya ini barang tentu bukan Samantha teman baiknya. Kakak kelas yang sangat dia kenal.
Tiara mencoba mengambil jara
Seketika itu juga Tiara beralih pandang ke arah Samantha, berniat mengajak perempuan itu pergi. Tak beres. Kondisi sudah tak beres kali ini. Namun niat itu urung ketika dilihatnya sosok Samantha telah beruba rupa menjadi nenek-nenek bongkok dengan deretan gigi menghitam. Tertawa kecil. Menunjuk-nujuk Tiara dengan telunjuk tangan kanannya yang bebas. Tangan yang satu lagi menggenggam tongkat penyangga tubuh."Astagfirullah!" pekik Tiara, lantas segera berlari meninggalkan tempat.Tak tahu mau kemana, yang pasti dia harus secepatnya pergi dari tempat ini terlebih dahulu. Menyusuri jalan yang dia lewati tadi. Tak lagi menoleh meski kikik nenek itu seolah mengikuti. Lagi, seperti sebelumnya perhatian Tiara teralih pada makan merah berpayung kuning khas pengantin jawa dengan juntaian mawar melingkar di atas batu nisan. Dia mengernyit heran, tadi tak ada payung dan rangkaian bunga melati itu. Pun tak tercium aroma wangi yang menguar seperti sekarang ini. Tiara me
B a y i B u n g k u s ( 4 )K E S U R U P A N M A SAL-------- ------- -------- -------------Dear Deary,Saat itu tahun 2008. Begitu jelas di ingatan. Betapa suasana mencekam yang menyelimuti sekolah semasa SMP-ku. Memang, aku bukan masuk.dalam bagian mereka-mereka yang terlibat atau terdampak. Namun, sepanjang saat itu. Aku merasakan hal aneh di tubuh. Aku mendengar bisikan-bisikan yang seolah ingin berbicara dengankunAkan tetapi. Aku begitu ingat pesan ibuku saat itu. Jangan hiraukan mereka, Nduk. Jika di luar rumah, kamu anak biasa tidak tahu hal-hal seperti itu. Jika mereka mengganggu acuhkan. Jika mereka ingin berkomunikasi denganmu jangan tanggapi. Dan, jangan sampai ada yang tahu, jika kamu dapat melihat mereka.***Matahari s
Hari pemberangkatan tiba. Tiara yang tak masuk dalam rombongan melihat teman-tenannya yang berjumlah sepuluh orang naik ke atas truk biru milik angkatan laut bersama beberapa alumni, pembina pramuka, serta dua dewan guru laki-laki dan perempuan. Tenda dan peralatan memasak juga turut dibawa dalam rombongan.Mereka sumringah, antusias, bahkan terkesan tak sabar untuk secepatnya berangkat. Lambaian tangan serta canda tawa menjadi pemanis saat mobil itu berderu, bergetar, lalu berjalan meninggalkan tempat. Tak ada rasa iri sedikit pun dalam diri Tiara. Keberangkatan mereka seolah akan membawa pulang hal yang tak diinginkan nantinya.Sesampainya di rumah setelah pulang sekolah, Tiara menceritakan tentang burung hantu yang ia lihat tempo hari di atap salah-satu kelas di sekolahnya. Pun dengan keterkaitan kemunculan burung hantu itu dengan keberangkatan teman-temannya ke kemah"Jangan kasih tahu siapa-siapa terkait hal itu Tiara. Biarkan itu me
Hujan tak kunjung reda meski telah menguyur berjam-jam. Sekarang pukul setengah delapan. Kondisi sekolah tak lagi sepi. Siswa-siswi mulai berdatangan. Bermantel, menggunakan payung, bahkan ada pula yang nekat menerobos hujan. Akibatnya baju mereka sedikit basah. Rata-rata siswa yang datang tak memakai sepatu. Mengingat kondisi lapangan sekolah yang selalu banjir sepergelangan kaki jika hujan, memakai sandal menjadi pilihan terbaik.Tiara memilih mengamanti hujan secara langsung. Duduk di depan kelas. Bangku panjang dari semen yang dilapisi keramik. Setiap kelas memiliki bangku ini untuk tempat duduk kala jam istirahat. Dia tidak sendiri, beberapa teman lain pun di sana, menikmati waktu kosong sepertinya. Pembelajaran belum dimulai dan sengaja diundur karena dewan guru banyak yang terjebak hujan.Tiara menoleh. Mendapati Santi dan Aisyah tengah mengobrol santai. Obrolan tentang rombongan yang akan pulang siang ini. Mereka tak sabar mendengar cerita keseruan
Di tengah pengarahan itu, tiba-tiba beberapa siswi jatuh pingsan. Lalu siswi lain berteriak histeris. Di susul tawa yang menggelegar. Korban kesurupan yang tadinya hanya lima orang kini bertambah. Siswa siswi yang beberapa saat lalu mulai dapat dikondisikan kembali panik. Kocar-kacir menjauhi teman-teman yang mengalami kesurupan. Komat- kamit merapal doa perlindungan untuk diri sendiri.Tiara mencoba membuat tameng pertahanan. Jelas, dia melihat mereka berlarian masuk ke dalam tubuh teman-temannya. Dia mencoba tak mengamati, seolah-olah dia tak dapat melihat kehadiran mereka. Doa yang diajarkan bapak tak henti terapalkan baik di lisan dan hati. Sesungguhnya, tak ada penangkal paling mujarab kecuali doa kepada sang pemilik seluruh Makhluk.Ketika situasi tak kunjung membaik, kepala sekolah membuat keputusan untuk memulangkan seluruh siswa. Mengantisipasi agar jumlah siswa yang mengalami kesurupan tidak terus bertambah.Berbondong-bondong mereka
"Ada kesalahan yang telah dilakukan anak-anak di dalam rumah yang bukan milik mereka. Saya tidak tahu kesalahan apa, yang jelas mereka murka. Mereka meminta pembersihan. Dan ... pembersihan macam apa yang mereka inginkan, itu yang masih saya cari tahu. Saya tidak bisa mendapatkan hasil apapun hari ini. Karena mereka bungkam. Bukan saya menakut-nakuti atau membuat tidak tenang, tetapi bisa saja mereka akan mengganggu lagi besok. Berhati-hati dan jangan biarkan siswa dan siswi yang kerasukan hari ini pikirannya kosong."Perkataan sesepuh desa itu terpatri di ingatan. Mengganggu konsentrasi belajar. Pun membuatnya tak bisa tenang. Sorot mata Tiara tak henti melirik ke arah Vera. Gadis itu duduk di seberang baris pertama. Sejauh ini tak ada tanda-tanda Vera akan mengalami kerasukan. Namun, mengingat kejadi kemarin, Vera mulai menunjukkan tanda-tanda kerasukan ketika jarum jam menunjukkan pukul sembilan. Sekarang masih pukul delapan. Apakah akan terjadi di jam yang sama?Ti
Kian hari kondisi makin memburuk. Jumlah siswa dan siswi yang mengalami kerasukan terus bertambah. Hari ini hari ke tujuh, dan di hari ini pun kerasukan massal itu masih terjadi. Tempat penyembuhan pun dialihkan dari yang awalnya di mushala menjadi di aula. Jam pelajaran di biarkan kosong. Siswa dan siswi di beri tugas di dalam kelas. Tak dibiarkan melihat proses penyembuhan atau keluar kelas. Jam sekolah tak sampai siang. Ketika bel istirahat berbunyi mereka di perbolehnkan pulang.Tiara mendatangi meja ketua kelas untuk meminta izin ke kamar mandi. Sedari tadi dia menahan buang air kecil. Awalnya ketua kelas tak mengizinkan. Pesan dari wali kelas untuk tidak membiarkan siapa pun keluar kelas tanpa tujuan penting."Tapi ini penting. Aku sudah menahannya sejak tadi. Lagi pula kamar mandi hanya di samping kelas ini.""Ya, sudah ... cepat! Jangan lama-lama."Tiara mengangguk lantas bergegas
Pagi itu semua tampak berbeda. Langit kelabu hanya di daerah sekolah. Udara mendadak dingin menusuk tulang. Benar musim hujan, tetapi suasana yang tercipta sungguh berbeda. Matahati malu-malu menerangi muka bumi. Langit memuran sama seperti suasana yang menyelimuti. Tikar-tikar digelar memenuhi lapangan. Pengeras suara yang jumlahnya dua buah berukuran kecil berdiri di sudut kanan dan kiri lapangan. Langkah kaki berderap. Tikar tersikap sana-sini. Tubuh-tubuh kecil duduk gelisah. Mukenah membalut tubuh mereka. Warna-warni layaknya pelangi. Baju putih bersih berkeliteran. Menara-menara hitam membungkus kepala. Serasi dan teratur. Baris depan di isi siswa dan baris kedua diisi siswi. Berhadapan dengan mereka dewan guru serta ustadz yang diundang langsung pihak sekolah.Tiara duduk paling depan baris perempuan. Mukena katun berenda putih polos pemberian Sri dengan bangga dia kenakan. Mukenah itu baru, aroma mesin masih menguar. Di sampingnya Vera dan Aisyah mengenaka