Ya, sekolah Vera baru pertama kali mengutus delegasi. Jika bisa menyabet pemenang, pasti sangat diperhitungkan.
Sembari menikmati makan siang sebelum kegiatan pembukaan di buka, mereka mengadakan rapat kecil untuk menyusun strategi agar bisa menjadi pemenang di setiap misi. Persiapan harus matang. Tidak boleh memalukan.
Ekstrakulikuler pramuka di sekolahnya pun, merupakan ekstra unggulan. Jadi, membawa penghargaam dan status sebagai pemenang wajib hukumnya. Aaplagi jika mereka berhasi menyabet juara, kesempatan naik tingkat dan dapat menjadi pembimbing teman-teman lain di sekolah terbuka lebar, kapan lagi seangkatan, tingkatan mereka lebih tinggi. Pikiran itu memenuhi otak mereka masing-masing.
Hari pertama terlalui, tinggal dua hari lagi. Malam puncak berada di malam kedua, sebelum kemudian berkemas di keesokan harinya. Penjelajahan dilakukan setelah beberes. Lalu, setelah penjelajahan, makan siang yang disediakan panitia, sesi kenang-kenangan, penyebutan
"Aku melihat seorang nenek-nenek di belakang pohon itu, Ve," ujarnya sembari menunjuk pohon tak terlalu besar yang berada di sisi kiri tak jauh dari tempat mereka."Mana? Nggak ada apa-apa itu di sana. Coba kamu lihat. Nggak ada apa-apa, Sar.""Nggak. Nggak. Aku nggak mau lihat. Takut. Ayo, deh, jalan lagi aja," ujarnya, sembari berbalik badan. Kemudian meminta perjalanan dilanjutkan.Tak ada yang berani bertanya lagi terkait dengan apa yang telah dilihat Sarah. Entah untuk membuat Sarah tak bertambah takut, ataukah mereka sendiri pun takut. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain terus berjalan untuk mencari rute yang benar.Pohon itu menjulang tinggi. Seakan mengapit dua jalan. Rombongan mereka memutari pohon itu kemudian mengambil jalan yang berlawanan dari jalan yang mereka ambil sebelumnya. Dan benar saja. Tak lama jalan setapak itu mereka temukan. Dari kejauhan tampak rombongan lain yang sudah berjalan jauh di depan mereka. Rasa se
S E R U P A Based True StoryB a y i B u n g k u sMalam memekat. Penerangan alam menggantung putus asa, redup dengan bentuk tak lagi bulat sempurna. Manik berkilau yang jumlahnya milyaran lenyap dari pengawasan teropong ciptaan Maha Kuasa. Sebagian dari mereka memilih tidur berselimut bulu keabuan hangat. Sebagian lagi tetap pada tugasnya meski berpendar tak berdaya.Di antara kekhusyukan yang bersebati. Kesegaran menitik dari selimut langit. Gerakannya cepat. Berhamburan ke sana-ke mari. Menempati wadah-wadah berlainan. Terkadang muka bumi. Terkadang kain yang melapisi tubuh-tubuh anak Adam. Terkadang dedaunan hijau yang menanti kehadiran mereka dengan ceria.Meski tak menyerbu bersamaan, para tubuh milik Allah itu tetap saja meracau, mendengkus, bahkan merutuki kesegaran penyambung napas mereka.Namun, dari sekian banyak anak Adam yang mulai berte
Suara kereta terakhir di malam ini menandakan saatnya Sri kembali ke peraduan. Raut wajahnya tampak lesu. Ekspresi inilah yang rajin Tiara lihat hampir satu minggu belakangan ini. Tak ada rona ceria. Sri pun jarang bicara. Di lain waktu Tiara sering mendapati Sri duduk termangu. Entah apa yang sedang mengggelayuti pikiran sang ibu, Tiara tak berani menanyakannya. Jika menilik dari gairah Sri yang tak seantusias biasanya dalam berdagang, pasti permasalahan yang mendera tak jauh dari perkara lapak dagangan. Sri menjadi tak bersemangat berdagang.Tiara mengamati segala solah polah Sri dari trotoar taman. Gadis itu tengah melipat tikar tempat pembeli duduk. Sebelumnya dia telah lebih dulu mengumpulkan sampah yang nantinya akan diangkut oleh truk sampah, yang lewat setiap pukul satu dini hari. Harus bersih. Berjualan di sini wajib mengikuti aturan. Ada beberapa iuran dari dinas. Pun dengan kebersihan setelah selesai berjualan, tak boleh ada sisa nasi yang berserakan.
Tiara mempercepat laju kereta anginnya. Sempat menoleh ke belakang. Sang ibu masih dengan kecepatan yang sama. Ibu tak akan takut, tetapi dirinya? Bulu kuduknya sudah meremang. Jangan sampai makhluk apapun di sekitar sini menyadari jika dia bisa berinteraksi. Tidak, Tiara sedang tidak ingin melihat apapun."Mbak tunggu ibu," pinta Alif."Ibu di belakang. Nggak akan hilang juga. Mbak ngantuk banget, Lip. Lupa kalau besok ada ulangan matematika. Jangan sampai telat. Bisa bahaya. Gurunya galak," alibinya.Alif menurut saja setelah itu. Tiara enggan mengeluarkan suara lagi. Dia takut semakin dia berpikir negatif makan akan semakin banyak makhluk tak kasat mata yang mengetahui kemampuannya. Tidak, Tiara tak ingin seperti itu.***Sepanjang pagi itu Tiara tak bisa tidur. Untunglah dia tak mengantuk di sekolah. Untung pula ulangan yang hanya alibinya itu tak terjadi. Biasanya apa yang diomongkannya dengan asal, bisa terjadi tiba-tiba.
Seperti pagi-pagi biasanya. Sapardi serta Sri akan sibuk sepanjang pagi sebelum kemudian di siang hari menjajakkan dagangan. Sapardi sepenuhnya dapat membantu Sri sejak pabrik tempatnya mengais rezeki tak lagi beroperasi. Pabrik tersebut memilih tak memperpanjang kontraknya di Indonesia. Kota Gresik dipilih perusahaan tersebut untuk membangun usaha baru. Beberapa karyawan memilih tetap bekerja dengan konsekuensi menempuh jarak yang tak dekat. Sisanya memilih mengundurkan diri dengan pesangon yang tak sebesar seharusnya. Sapardi memilih mengundurkan diri. Jika untuk mengikuti pabrik yang pindah ke Gresik, tubuh Sapardi tak lagi kuat.Kembali pada aktifitas sederhana pagi keluarga tersebut. Tiara tak ikut berjualan di pagi hari itu. Dia hendak membersihkan rumah serta memasak, sebelum kemudian membantu Sri menjaga lapak es campur. Mula-mula mencuci baju miliknya serta keluarga. Menyapu. Mengepel rumah. Menghilangkan debu-debu yang menempel pada perabot rumah, sebelum kemu
Tiara menunduk. Menekuri jemari tangannnya yang saling meremas. Kelopak matanya menutupi bola mata cokelat tua yang dia miliki. Dalam diamnya Tiara mencoba mencari cara. Bagaimana dagangan kedua orang tuanya kembali ramai. Jika tidak, Tiara akan mencari penyebab dagangan kedua orangnya sepi pelangan. Tak ada asap, jika tak ada api, bukan? Tak mungkin dagangan kedua orang tuanya sepi sedangkan dagangan hampir seluruh pedagang di sepanjang jalan ini ramai. Terlalu mustahil untuk dinalar dengan akal sehat. Terlalu tidak baik-baik saja jika dibiarkan. Meski sedikit, Tiara berharap dapat membantu. Setidaknya menudarkan rona sedih diwajah kedua orang tuannya dengan kehadiran satu atau dua pembeli. Karena setahu Tiara, pembeli pertama yang jadi "penglaris" dalam kepercayaan jawa akan mendatangkan rezeki yang lain. Tiara ingin meyakini itu. Ya, setidaknya satu dua pembeli harus ada setelah ini."Nduk, kenapa, ya, dagangan Bapak sepi banget?"Tiara terse
Tengah malam, dan Sapardi belum ada kemauan untuk menyudahi kegiatan mencari nafkah untuk menyambung napas keluarganya. Syukurlah hari ini uang lima puluh ribu bisa dibawa pulang. Sedang Sri yang berjualan es campur membawa pulang uang lima puluh ribu juga. Kondisi sekitar sepi. Tinggal beberapa geroba yang pemiliknya telah dulu pulang. Besok hari minggu. Biasanya orang-orang tak membawa pulang atau menitipkan ke ponten gerobak mereka. Khusus hari minggu, mereka boleh berjualan pagi sekali.Kereta terakhir di hari itu baru saja lewat. Sapardi menilik kondisi. Masih adakah kendaraan yang lewat? Barangkali sudah waktunya juga dia pulang. Sri dan anak-anaknya sudah sejak dua jam lalu pamit pulang.Lalu saat Sapardi hendak membereskan dagangan, dia teringat ucapan Tiara. Tentang bungkusan yang berada di bawah tempat duduk. Jauh di dalam tanah. Bungkusan itulah sumber masalah dagangannya sepi pembeli.Sempat ragu untuk mengikuti apa yang dikat
Emansipasi wanita, secuil aksara yang mengoyak abar-abar pewatas. Lihatlah, berapa banyak pekerjaan pria yang digeluti wanita. Agaknya, hampir semua perkerjaan bani Adam, para kaum Hawa berhasil menuntaskannya dengan baik, bahkan lebih sempurna. Bos perusahaan, Security, masinis kereta api sampai tukang aduk semen, wajah legit mereka meramaikan. Sekelumit cerita tentang emansipasi wanita tersebut, tak urung menggedor nurani pelakon hikayat ini Sri. Wanita seperempat abad itu, terggeragap dari kehibukan berleha-leha yang menjadi habit. Alotnya kehidupan serta seretnya ekonomi keluarga, memaksanya berpikir keras mencari jalan keluar. Ribuan ide dipilah dari otak yang hanya tertempa ilmu seadanya. Sri tak tamat sekolah dasar. Namun, tak perlu mahir matematika untuk menghitung uang kembalian. Tak harus fasih aritmatika sosial untuk mengetahui untung dan rugi. Bagi Sri, tangan emasnya ini cukup ahli dalam meramu rasa yang mendatangkan rupiah. Berpayung pana