"Nduk, kenapa, ya, dagangan Bapak sepi banget?"
Tiara terse
Tengah malam, dan Sapardi belum ada kemauan untuk menyudahi kegiatan mencari nafkah untuk menyambung napas keluarganya. Syukurlah hari ini uang lima puluh ribu bisa dibawa pulang. Sedang Sri yang berjualan es campur membawa pulang uang lima puluh ribu juga. Kondisi sekitar sepi. Tinggal beberapa geroba yang pemiliknya telah dulu pulang. Besok hari minggu. Biasanya orang-orang tak membawa pulang atau menitipkan ke ponten gerobak mereka. Khusus hari minggu, mereka boleh berjualan pagi sekali.Kereta terakhir di hari itu baru saja lewat. Sapardi menilik kondisi. Masih adakah kendaraan yang lewat? Barangkali sudah waktunya juga dia pulang. Sri dan anak-anaknya sudah sejak dua jam lalu pamit pulang.Lalu saat Sapardi hendak membereskan dagangan, dia teringat ucapan Tiara. Tentang bungkusan yang berada di bawah tempat duduk. Jauh di dalam tanah. Bungkusan itulah sumber masalah dagangannya sepi pembeli.Sempat ragu untuk mengikuti apa yang dikat
Emansipasi wanita, secuil aksara yang mengoyak abar-abar pewatas. Lihatlah, berapa banyak pekerjaan pria yang digeluti wanita. Agaknya, hampir semua perkerjaan bani Adam, para kaum Hawa berhasil menuntaskannya dengan baik, bahkan lebih sempurna. Bos perusahaan, Security, masinis kereta api sampai tukang aduk semen, wajah legit mereka meramaikan. Sekelumit cerita tentang emansipasi wanita tersebut, tak urung menggedor nurani pelakon hikayat ini Sri. Wanita seperempat abad itu, terggeragap dari kehibukan berleha-leha yang menjadi habit. Alotnya kehidupan serta seretnya ekonomi keluarga, memaksanya berpikir keras mencari jalan keluar. Ribuan ide dipilah dari otak yang hanya tertempa ilmu seadanya. Sri tak tamat sekolah dasar. Namun, tak perlu mahir matematika untuk menghitung uang kembalian. Tak harus fasih aritmatika sosial untuk mengetahui untung dan rugi. Bagi Sri, tangan emasnya ini cukup ahli dalam meramu rasa yang mendatangkan rupiah. Berpayung pana
Tiara menepi, bersama Alif. Adiknya itu menikmati kue tart, sembari sesekali melihat piala lomba cerdas cermat tingkat sekolah dasar se-kabupaten yang dia dapatkan. Kebahagiaannya jelas terlihat. Pun dengan kebahagiaan di wajah Sri. Berbinar. Penuh kepuasan. Betapa bahagiannya dia dapat mendidik kedua buah hatinya, hingga dapat berprestasi dalam bidang akademik maupun non akademik. Sang Ibu itu mengamati dua buah hatinya dari balik pintu dapur rumah. Sedang Sapardi tengah menata masakan Sri ke meja makan."Makanannya siap," ujar Sapardi.Tiara dan Alif menghambur masuk. Bukan makananan spesial, hanya nasi dan ayam crispy. Akan tetapi kesederhanaan itu cukup membuat dua jagoannya merasa senang bukan kepalang. Bukan hanya Alif saja yang suka ayam crispy, Tiara pun begitu. Ayam crispy buatan Sri selalu menjadi favorit keluarga.Mereka duduk melingkar. Di tengah meja itu, kue tart yang baru terambil sedikit di letakkan. Kue tart rasa cokelat. Jika
B a y i B u n g k u s 37K e s u r u p a nPedagang kaki lima di wilayah Sri berjualan yang sebelumnya tak terlalu padat, lambat laun tempat-tempat kosong mulai terisi. Sepanjang jalan kian rapat dengan deretan gerobak berbagai macam jenis menu serta warna. Setiap kali melintasi daerah tersebut, cuping hidung rajin digelitik oleh aroma berbagai jenis masakan yang menggugah selera. Pun makanan di daerah tersebut bervariasi dan tak akan membuat mata serta lidah bosan. Es campur dan Tahu campur. Hanya Sapardi dan Srilah satu-satunya yang menggawangi menu tersebut. Pikir Sri atau pun Sapardi, tak akan mendapat pasar sendiri jika dia menjual menu yang sudah ada di tempat tersebut. Apalagi dipadu dengan kelihaian jari jemari Sri dalam meramu bumbu dan meracik makanan. Meskipun Sri bukan orang Lamon
Tiara suka membaca. Waktu senggang dia habiskan untuk bercengkrama dengan buku-buku. Ketika hanyut dalam cerita dari novel yang dia baca, teriakan kencang mengangetkannya. Bahkan membuat Tiara berjingkat. Detak jantungnya berdebar lebih cepat dari sebelumnya. Sial! Apa yang terjadi? Sri sudah beranjak lebih dulu dari tempat duduknya. Pun dengan semua pembeli Mia. Suara itu berasal dari Diah. Wanita itu menjerit histeris dalam dekapan Mia. Pergelangan tangannya mengepal kuat. Selain berteriak, dia mengeram. Matanya membeliak. Tiara yang ikut dalam kerumunan itu, tak hanya melihat Diah mengaum, berteriak, atau sesekali mencakar-cakar tak jelas. Dia melihat seekor harimau berukuran besar. Harimau kuning. Jenis harimau yang biasa dia lihat di televisi bahkan kebun binatang. Gradasi warna bulunya terang. Wajahnya kejam dan mengancam. Anehnya, tak seperti harimau kebanyakan, mata harimau tersebut berwarna merah menyala. Tiara sempat memekik dan terhuyung mundur. Ditarik-tariknya d
Proses penyembuhan berjalan lambat. Makhluk itu keluar masuk tubuh Diah. Seperti enggan untuk dikuarkan dalam tubuh wanita itu. Diah merintih menahan sakit saat Mbah Karjo meletakkan ujung jari telunjuknya di dahinya. Seolah dia merasakan sakit yang teramat. Mulut Mbah Karjo terus berkomat-kamit. Beberapa orang yang masih ditempat itu, termasuk Tiara, diminta membantu lewat doa. Doa apa saja yang bisa terbaca. Diah telentang. Peluhnya mengucur deras. Dilihat dari penampilan fisiknya---rambut acak-acakan, baju naik semua, sampai Mia harus menyelimutinya dengan selimu--- terlihat kalau dia sudah sangat kelelahan.Tiara mengamati wajah Diah. Bukan wajah wanita itu yang dia lihat. Wajah harimau ganas yang memandang ke arah Tiara dan Mbak Karjo bergantian. Seperti makhluk itu tahu jika Tiara dapat melihat wujudnya. Andai Tiara bisa membantu menyembuhkan Diah pasti kini dia sudah membantu Mbah Karjo. Sayangnya, Tiara tak tahu caranya. Kemampuan yang bersarang di tubuhny
B a y i B u n g k u sB a b 4 1P E N U T U P D A G A N G A N🔲🔳🔲🔳Setahun lebih tak ada yang aneh dengan dagangan Sri dan Sapardi. Ramai. Bahkan Sapardi berniat membuka cabang baru dagangan tahu campur dan es campurnya di tempat lain. Tiara kini telah masuk perguruan tinggi. Alhamdulillah, putrinya itu diterima di perguruang tinggi negeri di daerah Surabaya.Mereka pun telah berpindah rumah. Mencari ukuran yang lebih besar. Mengingat Alif dan Tiara sudah sama-sama dewasa. Tak mungkin tetap tidur bersama.Kegiatan pagi rutinan. Sapardi berangkat bekerja---beberapa bulan lalu Sapardi melamar pekerjaan menjadi petugas kebersihan di salah satu perumahan di daerah sekitar rumahnya. Syukurlah Sapardi diterima bekerja. Pu
Saat pertama kali menerima batu itu. Telapak tangannya seperti tersengat arus listrik. Aneh, memang, tetapi itulah yang dirasakan Tiara. Batu itu seperti memiliki penghuni. Bentuknya saja yang batu biasa, tetapi ada makhluk gaib yang mendiami batu itu. Jika menilik dari bentuknya, batu itu mirip sekali dengan batu sungai dari kedalaman. Halus. Hitam pekat. Bentuknya bulat sempurna.Tiara menggenggam batu tersebut. Sengatan listrik yang dihasilkan semakin kencang. Serta merta, dilepaskan batu itu, bahkan dilempar. Keringat yang sebelumnya telah mengering, kini mengucur kembali. Napasnya kembali memburu, kilatan masa lalu menerobos pikiran. Bagaimana batu itu diletakkan. Kapan waktunya. Hanya saja tak begitu jelas. Gambaran itu sepotong-potong dan loncat-loncat. Tiara melihat warung ibunya di malam hari. Gelap. Tak ada warung lain yang buka. Warung ibunya pun tak buka. Selanjutnya Tiara melihat tangan seseorang meletakkan batu itu ke rak atas etalase Sri.Sem